Jumat, 28 Agustus 2009

Warga Kepulauan yang Dibiarkan Berjalan Sendiri



Iwan Santosa dan Agung Setyahadi Ratusan warga Daruba, kota teramai di Pulau Morotai, berjejal memadati jembatan sandar Pelabuhan HMS Lastory. Mereka menanti kedatangan kapal penumpang dari Tobelo yang sudah berada di depan mata. Saat kapal sandar, para buruh angkut dan ojek berebutan naik ke kapal menjajakan jasa. Mirod Bane (34) dengan sigap melompat ke atas dek Kapal Motor Galang Samudra. Pria tinggi kurus itu lincah menembus kerumunan orang di atas dek sambil menawarkan jasa ojek. Jika memperoleh penumpang yang minta diantar ke Berebere, sekitar 90 kilometer arah utara Daruba, ia bakal mengantongi minimal Rp 250.000. Kedatangan kapal selalu menggairahkan masyarakat Pulau Morotai di Kabupaten Morotai, Provinsi Maluku Utara, yang berbatasan laut dengan Republik Palau. Kapal pelayaran rakyat selalu membawa rezeki bagi buruh angkut, ojek, dan pelaku ekonomi mikro lainnya. Transportasi laut yang dibangun oleh masyarakat inilah yang selama ini menghubungkan Morotai di bibir Samudra Pasifik dengan pusat perekonomian di Maluku Utara, seperti Tobelo dan Ternate, serta Bitung di Sulawesi Utara. Lalu lintas barang dan penumpang serta geliat perekonomian sangat bergantung pada pelayaran rakyat. Gairah seperti itu juga dijumpai di sebagian besar wilayah Maluku dan Maluku Utara yang berisi 954 pulau. Kapal selalu dinanti, mulai dari Pulau Wetar di ujung tenggara yang perbatasan dengan Timor Leste hingga Morotai di ujung utara di perbatasan Indonesia-Palau. Pelayaran rakyat mengisi ruang kosong jalur pelayaran kapal-kapal PT Pelni dan perintis. Di Pulau Wetar, misalnya, kapal perintis datang setiap 21 hari, itu pun hanya di ibu kota kecamatan. Maka muncullah kapal-kapal pelayaran rakyat yang menghubungkan Wetar dengan pusat perekonomian di Saumlaki maupun Kupang di Nusa Tenggara Timur. Minimnya infrastruktur yang disediakan pemerintah itu telah memicu perdagangan dengan masyarakat di Timor Leste. Mereka menukar hasil bumi dan beras dengan minyak atau barang lain. Bahkan, sebagian warga Wetar jika sakit berobat ke Dili karena hanya 4 jam perjalanan kapal. Barter juga terjadi antara warga Sopi di ujung utara Morotai dan para nelayan Filipina. Simon Mosley, sewaktu menjabat Camat Wetar pada tahun 2007-an, secara tegas mengizinkan warganya bertukar barang dengan warga Timor Leste. ”Kalau pemerintah mau melarang, sebaiknya berkaca dulu. Kehadiran pemerintah sudah bisa menjamin kebutuhan masyarakat apa belum,” kata Simon.... Setali tiga uang, di Morotai kondisi transportasi antarpulau sangat minim. Transportasi laut yang lancar hanya di Daruba. Setiap hari ada pelayaran rakyat bolak-balik rute Daruba-Tobelo. Kapal perintis KM Kie Raha 2 dari Ternate datang sekali sebulan. Ada juga feri penyeberangan Tobelo-Daruba. Ibu kota kecamatan lain, yaitu Sangowo (Morotai Timur), Berebere (Morotai Utara), Wayabula (Morotai Selatan Barat), dan Sopi (Morotai Jaya), sangat bergantung pada pelayaran rakyat. Itu pun macet total saat musim gelombang besar, seperti Juli-Agustus. Pada Oktober-Desember pelayaran macet karena ombak Pasifik sekitar 4 meter tingginya. Kondisi Sopi di ujung utara Morotai yang menghadap Samudra Pasifik paling terisolasi. ”Jangan coba-coba ke Sopi kalau musim ombak, nanti bisa celaka,” ujar Hamka Goraahe, Asisten II Bidang Administrasi Umum Kabupaten Morotai. Sepanjang akhir bulan Juli hingga awal Agustus 2009, ratusan kapal penumpang, barang, dan speedboat di pelabuhan-pelabuhan Ternate, Sofifi, Sidangoli, Tobelo, hingga Morotai tertambat berhari-hari menanti ombak mereda untuk berlayar ke kawasan Maluku Utara. ”Kalau omba’ tinggi tra (tidak) bisa berangkat. Harga barang juga jadi mahal,” kata Bahrudin, nakhoda KM Sandra Jaya, rute Daruba-Tobelo. Pada Kamis (6/8) siang, Sandra Jaya yang berbobot mati 58 ton berangkat dari Pelabuhan HMS Lastory di Daruba, Morotai, menuju Pelabuhan Tobelo. Kapal bermuatan 70-an orang itu mengangkut penumpang dan kopra. Ongkos tiap orang Rp 45.000 untuk perjalanan selama dua setengah jam menempuh jarak sekitar 25 mil laut atau 40-an kilometer di darat. Betapa mahal ongkos transportasi yang dibayar rakyat Maluku Utara. Jika di Pulau Jawa, ongkos Rp 45.000 dapat menempuh jarak Jakarta-Cirebon sejauh 275 kilometer ataupun bus AC dari Jakarta-Bandung sejauh 150 kilometer. ”Dua minggu lalu kami nyaris celaka, sepanjang perjalanan kapal dihantam ombak 3 meteran. Setiap kali anjungan naik, air masuk di bagian belakang. Kondisi seperti itu sudah jadi ’makanan’ kami,” ujar Atta (34), awak KM Sandra Jaya. Para operator pelayaran rakyat memang sering memaksa berangkat saat ombak sedikit mereda. Para pelaut itu seolah sudah putus urat nyalinya demi mengejar setoran operasional kapal. KM Sandra Jaya, misalnya, yang berkapasitas 70 penumpang itu bisa dipaksa mengangkut 120 penumpang. Jika penumpang penuh, pendapatan tiket bisa Rp 5,4 juta. Di wilayah utara Morotai, seperti Berebere dan Sopi, musim ombak berarti tidak bisa menjual kopra ke Tobelo. Kapal-kapal pelayaran rakyat tidak ada yang beroperasi. Padahal, kopra adalah sumber pendapatan utama masyarakat. Saat ini harga kopra per kilogram Rp 2.500. Jika memiliki 700 pohon, bisa memperoleh 6 ton kopra tiap panen 3 bulan, ini setara Rp 15 juta. Amin Bowulo (40), Kepala Desa Kenari, Kecamatan Morotai Utara, mengatakan, musim ombak juga menyengsarakan nelayan karena tidak bisa mencari ikan. Di saat penghidupan rakyat dipermainkan ganasnya ombak lautan, para pejabat di Maluku Utara justru sulit ditemui di kantor-kantor pemerintah. Di kantor pemerintah provinsi, kota, dan kabupaten di Maluku Utara, setiap akhir pekan—Jumat, Sabtu, dan Minggu—bisa dipastikan para pejabat tidak ada di tempat. Dalam pemantauan Kompas di kantor-kantor pemerintah di Ternate, Tobelo, dan Morotai, selepas pukul 13.00 suasana kantor pemerintah sudah sepi. Terlebih pada akhir pekan, banyak pejabat tidak bisa ditemui karena berada di Jakarta, Manado, atau Makassar. ”Mohon dimaklumi. Kami kabupaten pemekaran baru sehingga banyak pejabat pergi ke kabupaten induk dan ibu kota provinsi atau pun ke Jakarta untuk konsultasi program kerja,” kata Hamka Goraahe, Asisten II Bidang Administrasi Umum Morotai. Alasan konsultasi penyusunan program kerja itu ditertawakan oleh seorang staf perencanaan di Bappeda Maluku Utara sebab para pejabat baru itu ternyata tak pernah muncul untuk berkonsultasi. Jadi, bisa dibayangkan ke mana perginya uang hibah Rp 8,8 miliar untuk pemerintah Morotai yang lahir akhir 2008 itu. Harapan perbaikan nasib dari pemekaran pun mulai kabur, seperti Pulau Morotai dari kejauhan yang tertutup buih-buih ombak.(kompas, Minggu, 16 Agustus 2009 )

Minggu, 23 Agustus 2009

Bertemu di Tapal Batas



Kornelis Kewa Ama dan Fandri Yuniarti Minggu (2/8) pagi, pagar besi jembatan di gerbang masuk Motaain, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur—dari Timor Leste—diduduki sejumlah orang. Ada porter, penjual jasa angkut barang, sampai warga Timor Leste maupun warga Indonesia, khususnya warga eks Timor Timur, yang menanti kedatangan rekan atau keluarga mereka. ”Saya sudah sembilan tahun lebih tidak bertemu keluarga, sejak Timor Timur berpisah dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) 1999. Dari sepuluh bersaudara (lima di antaranya masih hidup), hanya saya sendiri yang menjadi WNI,” kata Dacosta (53)—sebut saja demikian karena yang bersangkutan tidak bersedia menyebutkan namanya—dengan mata yang terus diarahkan ke kawasan Timor Leste. Pukul 08.30 itu Dacosta, yang masih aktif di TNI, ditemani iparnya, Gaudens (bukan nama sebenarnya), asal Larantuka, NTT, serta seorang anak laki-laki 16 tahun bernama Ramon Amaral. Ramon bercerita, pertengahan Agustus 1999, Dacosta berkunjung ke Dili, Timor Leste. 

Ketika akan kembali ke NTT, Dacosta mengajaknya. ”Saya pun ikut. Tapi, tak lama kemudian (akhir Agustus 1999) Timor Timur merdeka (lepas dari NKRI). Jadi, sejak saat itu saya tak pernah lagi bertemu ibu-bapak serta empat saudara saya,” kata anak lelaki yang kini belajar di salah satu sekolah menengah kejuruan di Atambua, ibu kota Belu, itu datar. Menurut Dacosta, sejak Timor Leste merdeka, ia tidak pernah tahu bagaimana keadaan keluarganya. Ia benar-benar kehilangan kontak. ”Tapi, sekitar dua pekan lalu, tiba-tiba adik saya, Fransisco Gutteres (42), telepon. Katanya, ia mendapat nomor telepon rumah saya (di Atambua) dari warga Timor Leste yang sering berkunjung ke NTT. Karena itu, ia berjanji pagi ini menemui saya di perbatasan ini,” kata Dacosta, yang tubuhnya dibalut jaket kuning bertuliskan Secaba (Sekolah Calon Bintara). Setelah menunggu sekitar setengah jam, Fransisco yang dinanti-nanti pun mengabarkan telah sampai di Pos Lintas Batas Batugade (kawasan Timor Leste). Dacosta segera menjemputnya dan membawanya ke wilayah RI. Jembatan di atas sungai kering di Motaain pun menjadi saksi sejarah pertemuan mereka. ”Ini, ia sudah datang,” kata Dacosta kepada Kompas, dengan mata berkaca-kaca. ”Sebentar, saya lapor dulu ke (petugas) Imigrasi.” Tiga menit kemudian, Dacosta kembali menemui Fransisco. ”Ini, ambillah,” ujar Dacosta, sambil menyerahkan sebungkus rokok Gudang Garam kepada adik bungsunya itu. Fransisco yang mengenakan celana pendek loreng dan kemeja kotak-kotak berwarna lusuh menerimanya dengan tersenyum. Ia juga mengeluarkan bungkusan rokok serupa, isinya tinggal beberapa batang dan menyerahkannya kepada Gaudens (40). Mereka merokok, dan lalu berbicara dalam bahasa Tetum, bahasa ibu mereka. ”Bagaimana keadaan bapak?” tanya Dacosta.... ”Tak lama setelah kakak kembali ke NTT, Oktober 1999, ia meninggal di tempat pengungsian di Viqueque (Timor Leste),” jawab Fransisco, bekas sopir di Dili yang kini menganggur. ”Bapak meninggal karena ditembakkah?” tanya Dacosta penasaran. ”Bukan, ia meninggal karena sakit. Mungkin sedih dan stres berat. Waktu itu (seusai penentuan pendapat di Timor Timur 1999), Liberta kena tembak di bagian kaki. Tapi, ia selamat. Tidak ada kabar tentang keberadaan kakak. Kelihatannya bapak sangat terpukul,” kata Fransisco, seraya menambahkan keadaan tiga saudara mereka—termasuk Liberta—baik-baik saja. Di sela-sela obrolan kakak beradik tersebut, Ramon menerima satu kantong plastik penganan dari ibunya. Tak lama kemudian, Fransisco mengeluarkan plastik bening—seperti pembungkus gula pasir—berisi surat-surat dan uang dari kantong celananya. Plastik dibukanya, lalu ditariknya satu lembaran 10 dollar AS, disusul satu lembaran serupa, dan menyerahkannya kepada Ramon. ”Ini, ambil,” katanya tanpa perubahan ekspresi. Ramon, Dacosta, Fransisco, ataupun yang lainnya seperti berupaya menahan letupan emosi kebahagiaan. Tak ada tangis atau tawa keras bahagia dalam pertemuan tersebut. Sekalipun mereka terlihat senang, semua dilakukan bak pertemuan antarteman di tengah jalan. Percakapan di udara yang cerah tersebut hanya berlangsung lebih kurang 30 menit. Setelah itu, masing-masing kembali pulang. Dacosta, Ramon, dan Gaudens ke Atambua (NTT), sedangkan Fransisco dan istrinya naik angkutan umum ke Dili. Mercy (25), warga Dili, dan Maya (20), warga Atambua, pun begitu. Mercy mengaku sudah enam tahun lebih tidak bertemu Maya, adiknya. ”Tapi, kami sering kontak melalui telepon,” kata Mercy, yang ke tapal batas berboncengan motor sekitar tiga jam dengan suaminya, Jeffry (27). Menurut petugas Imigrasi Motaain, Jasser, tapal batas di Motaain—yang berjarak sekitar 34 kilometer dari Atambua—cukup sering dijadikan tempat pertemuan warga kedua negara. Sebab, mereka pada umumnya tidak memiliki paspor, di samping menghindari pengurusan dan pembayaran fiskal. Alasan lain mengadakan pertemuan di perbatasan adalah karena warga eks Timor Timur umumnya merasa belum aman mudik ke kampung mereka. ”Baru-baru ini (2 Agustus 2009) ada seorang pedagang asal Pulau Adonara (NTT) yang dibunuh di sana (Timor Leste). Itu kasus pertama warga negara Indonesia yang menggunakan paspor dibunuh di sana,” kata Jasser. Komandan Komando Resor Militer 161/Wirasakti Kupang Kolonel Dody Usodo Hargo Suseno menceritakan, 9 Agustus lalu, Sekretaris Camat Kobalima Martinus Bere, warga Dusun Lekekun Atas Selatan, Kabupaten Belu, NTT—yang memasuki wilayah Timor Leste bersama istrinya—ditangkap kepolisian Timor Leste di Dili. ”Padahal, Martinus ke sana dilengkapi dokumen keimigrasian resmi. Martinus saat itu hendak mengunjungi keluarganya di Distrik Suai. Ia dituduh bekas anggota milisi (tahun 1999). Padahal, Komisi Kebenaran dan Persahabatan antara Timor Leste dan Indonesia telah selesai (membahas persoalan masa lalu). Sampai sekarang Martinus masih ditahan di Dili,” papar Dody. Motaain, satu dari tujuh pos lintas batas di NTT, menurut Jasser maupun Isnin Muhammad (dari Bea dan Cukai Motaain), setiap hari dimanfaatkan sekitar 100 pelintas batas.

 Kekerabatan di antara warga bertetangga tersebut tampaknya cukup terjalin baik. Sabtu itu, misalnya, sejumlah warga Timor Leste masuk ke Motaain dengan membawa kue dan bir, biasanya untuk pesta keluarga. Kekerabatan seperti itu biasanya juga terlihat di kawasan perbatasan lain di Turiskain (Kabupaten Belu), Haumeniana, dan Wini (di Kabupaten Timor Tengah Utara). ”Kadang ada yang minta izin melayat (ke Timor Leste). Biasanya izin diberikan sekitar tiga hari,” kata Letnan Dua Fandi, Komandan Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan Turiskain. Pada era kemerdekaan ini, warga kedua negara bertetangga itu memang relatif bebas bergerak. Tapi, bisakah dikatakan mereka sudah benar-benar ”merdeka”? (Iwan Setyawan, Kompas, Selasa, 18 Agustus 2009)

Senin, 17 Agustus 2009

Transportasi Jadi Kendala Utama Pulau-Pulau Terluar




Oleh: Dinny Mutiah,Media Indonesia,

Masalah transportasi laut menjadi kendala utama bagi masyarakat yang menghuni pulau-pulau terluar. Pengadaan kapal yang mencukupi diharapkan bisa mengatasi masalah tersebut.
Nama Marore tak sepopuler Pulau Miangas. Namun, kedudukannya tak ubah menjadi gerbang menuju wilayah Indonesia. Pulau ini menjadi salah satu pulau terluar di utara bumi zamrud khatulistiwa.

Secara administratif, pulau berpasir putih ini berada di bawah pemerintahan Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Terletak di hamparan Samudra Pasifik, tak mudah menjangkau tempat ini saat angin barat bertiup. Maka itulah, meski kapal perintis beroperasi, kedatangannya tak bisa diprediksikan.

\"Jika menurut jadwal, kapal perintis berangkat dua minggu sekali. Tapi, harinya bisa berubah-ubah tergantung kondisi cuaca,\" jelas Kepala Bagian Humas Pemda Sangihe Suharto Mandiri kepada wartawan di Tahuna, Kabupaten Sangihe, Senin (17/8).

Hal ini juga diutarakan oleh Bupati Sangihe Winsu Salindeho. Menurutnya, transportasi ini menjadi masalah utama pulau-pulau kecil terluar. Adanya hanya kapal-kapalperintis yang kadwal kedatangannya tidak menentu.

Ketidakteraturan jadwal tersebut mempersulit warga yang ingin menjual komoditas. Masalah ini bukan hanya menimpa masyarakat Marore. Pulau Kawio juga mengalami hambatan serupa. Seringkali, komoditas lemon ikan mereka terbuang percuma karena jadwal kapal tak tertebak.

\"Masyarakat Pulau Kawio, misalnya, sebagai penghasil lemon ikan yang dipasarkan di Tahuna, yang laku mungkin tidak sampai dua puluh ribu tapi tunggu sampai tujuh hari. ya habislah uang itu untuk bekal mereka,\" sahutnya.

Kebutuhan kapal tidak hanya untuk keperluan distribusi barang dan jasa. Ia berharap akan adanya kapal penampung ikan yang dilengkapi pendingin untuk mengumpulkan hasil tangkapan nelayan. Selain itu, kapal diharapkan bisa menyediakan pelayanan jasa kepada masyarakat sekitar pulau, terutama untuk fungsi kesehatan. Karena, di tempat-tempat terluar, masyarakat hanya memiliki puskesmas tanpa tenaga dokter.

\"Kapal itu agar tidak hanya difungsikan untuk angkut jasa dan barang untuk keperluan bisnis, tapi juga bisa untuk keperluan lain. Misalnya, ada fungsi sosial disana akan lebih bermanfaat untuk masyarakat pulau terkecil,\" harapnya.

Pendekatan melalui peningkatan kesejahteraan ini memang menjadi salah satu cara untuk menjaga kedaulatan.

Hal ini, kata Dirjen KP3K Alex SW Retraubun, masih kurang bagi masyarakat. \"Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi hal ini perlu sedikit demi sedikit dilakukan agar biaya pemeliharaan kedaulatan tidak membengkak seperti untuk menjaga lahan sengketa di perairan Ambalat,\" ujarnya.

\"Sejauh ini security approach telah berhasil dilaksanakan, tapi prosperity approach belum maksimal,\" terangnya. (DM/OL-7)
(DM)

Jumat, 14 Agustus 2009

Berdagang : Jualan Ke Negara Tetangga di Perbatasan



Sebelum anda membaca tulisan tentang perbatasan berikut ini, maka cobalah menghayati betapa rumitnya persoalan batas.Sederhana tetapi blunder. Secara realitas dan fakta, wilayah perbatasan sebenarnya tidak ada yang memikirkannya. Bicara apa adanya, sesuai dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pembangunan wilayah perbatasan adalah bagian dari pembangunan daerah, tetapi masalahnya Pemerintah daerah dalam pembangunannya, mempunyai prioritas tersendiri. Mereka lebih memperioritaskan wilayah perkotaan, atau daerah ibu kota mereka. Karena memang di sanalah kehidupan itu. Jadi wilayah perbatasan itu, oleh pusat dan dia anggap telah menyerahkannya kepada Pemda, tetapi pemda tidak melakukan pembangunan di sana karena bukan prioritasnya. Hasilnya, wilayah perbatasan tetap jadi terlantar. Sementara kebijakan local, atau katakanlah kebiasaan yang sudah ada selama ini, jauh sebelum kedua Negara merdeka, sudah tidak berlaku lagi. Peraturan yang ada, itu tidak mampu mengakomodasi kepentingan local, ataupun kalau bisa sangat kaku. Maka jadilah wilayah perbatasan bagai wilayah tidak bertuan. Menembus Malam ke Negeri Seberang M Syaifullah, Kompas, Jumat, 14 Agustus 2009 Tiga lelaki tanpa baju, Jumat (31/8) sekitar pukul 19.00, membungkukkan badan secara bergantian saat melewati portal atau palang kayu ulin di Jalan Pangkalan menuju Sungai Aji Kuning di Pulau Sebatik. Tanpa rasa takut, malam itu, mereka masuk ke perbatasan negara Malaysia di Sebatik. Memang betul, sebagian Sungai Aji Kuning itu masuk wilayah Malaysia. Tapi, kami tidak pernah macam-macam di sini. Kami warga Indonesia. Karena itu, tidak pernah menggeser atau merusak patok batas Negara,” kata Jamal (35), warga Dusun Abadi, Desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Barat, Kabupaten Nunukan, Kaltim. Jamal adalah salah satu dari tiga lelaki yang turun ke Sungai Aji Kuning. Di Sungai itulah mereka menurunkan hasil pertanian yang dikumpulkan dari kebun-kebun milik petani Sebatik. Malam itu, bertandan-tandan pisang, daun pisang, sayur-mayur, nanas, pepaya, durian, kakao, dan lainnya diangkut ke beberapa perahu jongkong. Begitu selesai, mereka pun kembali ke rumah untuk beristirahat. Sekitar pukul 05.00, mereka kembali ke sungai. Airnya yang tadinya surut, tergenang lagi karena air laut pasang. Perahu-perahu itu pun berlayar menuju muara. Kurang dari satu jam, jongkong-jongkong itu tiba di Tawau. ”Tujuan mereka cuma menjual hasil pertanian ke Tawau. Semua terjual karena sudah pesanan para pedagang di sana,” kata Khumson, Koordinator Penyuluh Pertanian Sebatik. Selama ini, perdagangan lintas batas tidak bermasalah. Sebab, para petani tidak pernah merusak atau menggeser patok batas kedua negara. Para petani di sana justru memanfaatkan lahan perbatasan untuk bertani. Kepentingannya hanya satu, hasil usaha tani ini terus terserap pasar di Tawau. Dengan begitu, kehidupan mereka juga bisa terpenuhi. Untuk di wilayah utara Kaltim, kata Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Nunukan Jabbar, pertanian di Sebatik paling maju. Kemajuan ini terjadi selain karena para petaninya rajin dan tanahnya subur, mereka juga bergairah lantaran memiliki pasar yang jelas, yakni ke Tawau. Hasil panen padi saja, lanjutnya, saat ini mencapai 4,6 ton per hektar gabah kering giling (GKG). Luas tanaman padi di Sebatik 861 hektar dengan panen dua kali setahun. Sekali panen, paling mencapai 4.000 ton GKG. Sebagian besar produksi padi dijual ke Tawau karena harganya cukup tinggi Rp 4.760-Rp 6.500 per kilogram. ”Para petani di sana rela membeli beras lainnya yang lebih murah dengan harga Rp 3.000-Rp 4000 perkilogram,” katanya. Padahal, beras yang dijual ke Tawau itu bukan padi yang baru di panen, tetapi hasil panen tahun lalu. Ini memperlihatkan manajemen ketahanan pangan warga perbatasan juga berjalan baik. Untuk pisang, misalnya, sehari saja pengiriman ke Tawau melalui satu tempat pengumpulan di terminal agrobisnis bisa, misalnya, mencapai 8 ton. Kakao mencapai 10 ton, durian mencapai 5 ton, dan cempedak 2 ton.... Adapun harganya, kakao 4 sampai 6,5 ringgit atau Rp 11.200-Rp 18.200 per kilogram. Pisang satu tandan sekitar 4 ringgit (Rp 11.200) atau satu sisir seharga 70 sen (Rp 2.100). Sedangkan kopi 6 ringgit (Rp 16.800) per kg. Kelapa sawit 140 ringgit (Rp 392.000) per ton. Buah-buahan, seperti durian dan duku, dijual 3 ringgit (Rp 8.400) per kg. ”Kepastian pasar yang demikian tidak didapatkan kalau menjual ke Tarakan atau Samarinda. Sebab, selain jaraknya jauh, ongkos angkutnya mahal, juga belum tentu terjual habis. Inilah keunggulan bertani di Sebatik,” tuturnya. Yang membuat mereka khawatir justru adanya tindakan aparat Malaysia yang melancarkan klaim di beberapa areal pertanian milik warga Sebatik yang masuk wilayah negara tersebut. Pada saat kasus Ambalat memanas Juni lalu, misalnya, beberapa warga Desa Sungai Pancang, Kecamatan Sebatik, sempat dikejutkan dengan pemasangan patok-patok kayu di areal persawahan seluas 290 hektar. Petani-petani setempat baru tenang mengerjakan sawahnya setelah aparat TNI mencabuti patok-patoknya. Alasan pihak TNI melakukan itu karena patok resmi batas negara sudah ada, yakni 18 buah. Persoalannya, belasan patok tipe C di sepanjang 25 kilometer di batas kedua negara itu tidak banyak diketahui warga karena jaraknya jauh, 1-2 kilometer. Beberapa patok itu juga nyaris terbenam tanah seperti di Aji Kuning. Akibat kondisi patok yang demikian, terdapat beberapa rumah warga di Aji Kuning yang berdiri persis di batas kedua negara. Rumah-rumah itu bisa berdiri karena tidak ada pagar batas negara yang tegas berupa kawat berduri atau tembok seperti batas negara pada umumnya. Permukiman itu juga sudah ada sebelum ada perjanjian tapal batas kontinental Indonesia-Malaysia di Kalimantan tahun 1969 dan persetujuan batas laut Indonesia-Malaysia tahun 1970. Beberapa warga Desa Aji Kuning yang ditemui belum lama ini menyebutkan, setahu mereka, patok yang ada sekarang di desa mereka bukan patok sebenarnya. Dulu, patok itu ada di sebelah Sungai Aji Kuning di wilayah Malaysia. ”Kami tidak tahu kenapa diletakkan di sini,” kata Andi Zakir, warga Desa Aji Kuning, menunjuk patok batas negara yang bersih berada di sebelah kanan depan rumahnya. Persoalan ini perlu penyelesaian sebaik-baiknya agar tidak menjadi masalah krusial nantinya. Alasannya, kata Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat Kabupaten Nunukan Syafaruddin, masalah pergeseran patok atau kasus Ambalat yang terjadi akhir-akhir ini bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ini seperti menjadi lanjutan aksi Malaysia setelah merebut Pulau Sipadan dan Ligitan dari tangan Indonesia. Tahun 1979, Malaysia membuat peta yang memasukkan blok Ambalat ke wilayahnya dengan memajukan koordinat 4°10ì arah utara melampaui Pulau Sebatik. Dengan peta itulah Malaysia berkali-kali melakukan provokasi di perairan Ambalat, antara lain manuver kapal perang dan kapal patroli polisi Malaysia masuk perairan Indonesia, mengusir nelayan yang melaut, ataupun melarang membangun bagan. Selain itu, menurut Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Kecamatan Sebatik Masjidil, para nelayan Sebatik juga beberapa waktu lalu sempat khawatir dengan maraknya pemakaian trawl (pukat harimau) milik para pengusaha Malaysia yang masuk wilayah perairan Ambalat Indonesia. ”Sekarang para nelayan sudah senang kembali ke perairan Ambalat karena sudah aman,” katanya. Hal itu karena kapal-kapal perang Indonesia terus berpatroli. Di tapal batas di Sebatik juga aman karena terus di pantau petugas TNI yang menempati beberapa pos. Bahkan, pada akhir Juli lalu, para nelayan Sebatik juga memperlihatkan kesetiaan kepada Tanah Air-nya dengan beramai-ramai ke Ambalat untuk berikrar setia ikut menjaga wilayah Indonesia di perairan tersebut dengan memasang sedikitnya 800 bendera Merah Putih di bagan dan perahu-perahu mereka. Yang mesti dilakukan pemerintah sekarang, kata Syafaruddin, adalah memacu pembangunan di wilayah perbatasan Kaltim ini dengan fokus memajukan kesejahteraan masyarakatnya. Bukan sebaliknya, mereka terus dibiarkan mencari hidup sendiri terus bergantung dari negeri jiran.

Senin, 10 Agustus 2009

Wilayah laut Indonesia.






Oleh: Desk Perbatasan Berbicara tentang wilayah laut indonesia, perlu adanya pemahaman terhadap hak dan kewenanganatas laut sesuai UNCLOS yang dibedakan berdasarkan derajat dan tingkat kewenangan bagi negara yang bersangkutan. Ada beberapa jenis laut yang mendapatkan perhatian dikaitkan dengan pengelolaannya, baik bagi Indonesia sendiri, bersama dengan negara-negara tetangga ataupun dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan regional dan internasional. Secara prinsip dalam kaitannya pengelolaan sumber daya laut dan perikannan, perlu diperhatikan 3 (tiga) jenis laut, meliputi : Wllayah laut dengan hak kedaulatan penuh bagi Indonesia atau dikenal sebagai wilayah kedaulatan Indonesia, meliputi laut pedalaman, laut Nusantara dan laut teritorial. Wilayah laut dengan hak berdaulat atas kekayaan alam yang dikandung serta memiliki kewenangan untuk mengatur hal-hal tertentu, meliputi wilayah perairan Zona Tambahan, zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen. Wilayah laut, dimana Indonesia memiliki kepentingan namun tidak memiliki kedaulatan kewilayahan ataupun kewenangan dan hak berdaulat atas laut tersebut, meliputi wilayah perairan laut bebas atau ZEE dan dasar laut internasional diluar landas kontinen Indonesia. Wilayah laut dengan hak kedaulatan penuh berarti bahwa di wilayah ini Indonesia memiliki kedaulatan mutlak atas ruang udara serta dasar laut dan tanah dibawahnya, meliputi : Perairan Pedalaman. Merupakan bagian dari wilayah peraairan Nusantara. Pada wilayah ini, Indonesia memiliki kedaulatan mutlak dan kapal-kapal asing tidak mempunyai hak lewat. Ketentuan mengenai penetapan perairan pedalaman telah diatur di UNCLOS 1982, namun hingga saat ini Indonesia belum menetapkan perairan pedalaman tersebut. Perairan Nusantara. Bagian luar perairan pedalaman adalaah perairan kepulauan (Nusantara). Wilayah perairan ini dapat dipahami sebagai laut-laut yang terletak diantara pulau-pulau, dibatasi atau dikelilingi oleh garis-garis pangkal, tanpa memperhatikan kedalaman dan lebar laut-laut tersebut. Pada wilayah perairan Nusantara ini, kapal-kapal asing memiliki hak lewat berdasarkan prinsip lintas damai (innocent passage) dan bagi kepentingan pelayaran internasional kapal-kapal asing juga mempunyai hak lewat melalui sea lanes atau lebih dikenal sebagai Alur Laut Kepulauam Indonesia (ALKI). Indonesia telah menetapkan 3 ALKI berdasarkan PP No. 37 tahun 2002. Adanya hak lewat kapal asing berdasarkan prinsip lintas damai dan lintas ALKI ini , membedakan antara hak dan kewenangan antara perairan pedalaman dan perairan Nusantara. Laut Teritorial. Adalah wilayah perairan diluar perairan nusantara yang lebarnya tidak melebihi 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal. Di wilayah laut ini Indonesia juga memiliki kedaulatan penuh. Seperti halnya yang berlaku diwilayah perairan nusantara, kapal-kapal asing memiliki hak lewat berdasarkan lintas damai dan hak lewat melalui ALKI yang merupakan kelanjutan ALKI yang telah ditentukan pada perairan nusantara. Sedangkan jenis wilayah laut kedua bagi sebuah negara kepulauan meliputi wilayah laut dengan hak berdaulat atas kekayaan alam yang dikandung serta memiliki kewenangan untuk mengatur hal-hal tertentu, mencakup : Zona Tambahan. Di luar laut teritorial, terdapat laut-laut dimana Indonesia mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu. Zona tambahan dapat ditetapkan sampai kebatas 12 mil laut diluar laut teritorial atau 24 mil laut diukur dari garis pangkal. Pada zona ini, Indonesia memiliki hak untuk dapat melaksanakan kewenangan-kewenangan tertentu dalam mengontrol pelanggaran terhadap aturan-aturan dibidang bea cukai/pabean, keuangan, karantina kesehatan, pengawasan imigrasi dan menjamin pelaksanaan hukum diwilayahnya. Hingga saat ini Indonesia belum menetapkan Zona Tambahan ini.

Kamis, 06 Agustus 2009

Meteorologi Maritim dan perairan Laut.



Konstelasi, persebaran letak, ukuran, bentuk fisik dan posisi geografi Indonesia termasukk hususnya karena terletak antara benua Asia dengan Australia, dan antara Samudera Pasifik dengan samudera hindia, menjadikan terjadinya proses penting meteorologi dalam bentuk iklim monsun (muson, monsoon), dan hidrooseanografi dalam bentuk dinamika massa air dalam evolusi ekologi indonesia. Dapat disebut antara lain dengan terbentuknya hutan tropika basah yang menutupi sebagian besar daratan wilayah Indonesia dan wilayah berekosistem sabana terutama diwilayah Nusa Tenggara. Secara umum, klimatologi indonesia dapat dikelompokkan kedalam musim hujan (akhir November-April) dan musim kemarau (Mei-Oktober), dengan masa transisi antar keduanya. 
Secara lebih rinci Tanner (2002) membagi wilayah Indonesia kedalam 5(lima) wilayah (region) meteorolgi : Wilayah bercurah hujan tinggi pada musim hujan dan kemarau. Wilayah bercurah hujan rendah pada musim hujan dan kemarau. Wilayah bercurah hujan cukup tinggi (sedang) pada musim hujan dan kemarau. Wilayah bercurah hujan tinggi pada musin hujan dan rendah pada musim kemarau. Wilayah curah hujan rendah pada musim hujan dan tinggi pada musim kemarau. Indonesia juga menjadi pusat aliran konvergensi (pumpunan, convergence) udara panas tropika keatas (konveksi, convection) yang ikut mempengaruhi kuat proses anomali meteorolgi dunia El Nino dan La Nina. Masing-masing anomali ini menyebabkan bencana kekeringan berkepenjangan dan hujan berlebihan (banjir dan genangan air) di Indonesia karena terjadinya pergeseran perairan hangatnya (warm pool) yang secara umum dibatasi oleh suhu perairannya yang lebih tinggi dari 28 derajat Celcius. Selain oleh muson, dibagian timur Indonesia khususnya di perairan laut utara Papua Nugini terdapat pusat pertemuan antara dua daerah konvergensi dan disebut daerah konvergensi wilayah antar tropika (intertropical convergence zone, ITCZ). Wilayah ini terletak dibagian utara garis katulistiwa dan konvergensi ini menyebabkan aliran massa udara pada Samudera Pasifik kearah barat. Aliran massa udara yang bersirkulasi kesegala arah. Sirkulaisi yang dapat melebar, transversal dan lintas lintang (cross latitude) terhadap putaran bumi, yakni yang cenderung berarah kutub-katulistiwa dinamakan sirkulasi Hadley. Dibagian bawah angin mengalir dari kutub ke ekuator, sedangkan dibagian atas angin mengarah sebaliknya. Sementara itu angin yang mengarah timur-barat seirama atau sebaliknya dengan arah perputaran bumi yang bersifat memanjang, longitudinal dan lintas bujur (cross longitude) disebut dengan sirkulasi Walker. Indonesia merupakan wilayah pertemuan kedua arah sirkulasi angin tersebut dan saling pengaruhnya sulit dibedakan atau dipisahkan, sehingga oleh karena itu sirkulasinya disebut dengan sirkulasi Hadley-Walker. Diselatan garis khatulistiwa terdapat aliran massa udara yang disebut dengan daerah konvergensi (pumpunan) wilayah Pasifik Selatan (South Pacific Conveegence Zone, SPCZ) yang berasal dari arah tenggara. Kedua pusat konvergensi ini bertemu diwilayah Indonesia bagian timur-utara. Llahude (2005) menyebut aliran massa air Samudera Pasifik-Samudera Hindia melalui selat-selat pada perairan Indonesia dengan Aus Lntas Indonesia (Arlindo, Indonesian through-flow), dan arus aliran massa air pada perairan Indonesia karena perbedaan monsun (muson, monsoon) dengan arus monsun Indonesia (Armondo), yang mengalir dan berubah arah karena perubahan monsun. Disamping itu juga membuktikan bahwa perairan laut Banda merupakan jantungnya gerakan Arlindo Pasifik-Hindia melalui peraira Indonesia. Perairan Ondonesia merupakan jalur aliran dinamik massa air perairan laut/lautan dunia yang penjelasannya disederhanakan dengan teon sabukberjalan aliran massa air laut dunia (the great ocean conveyer belt, Broeker 1991. Letak indonesia di daerah khatulistiwa engan karateristik geologi, geografi dan lingkungan hidup yang ada, maka evolusi kehidupan di Indonesia kemudian membentuknya sebagai wilayah yang bukan hanya merupakan daerah beraneka ragam hayati (biodiversity) paling tinggi (megadiversity) didunia, namun juga dikenal memiliki keanekaragaman geologi (geological diversity), serta keaneka ragaman budaya (cultural diversity) yang berupa suku, kebudayaan dan bahasa yang tinggi pula.

Senin, 03 Agustus 2009

Memahami Karakteristik laut Indonesia

Oleh : Desk Perbatasan 


 Wilayah perairan Indonesia terletak dijalur pertemuan pergerakan 3 (tiga) lempeng utama dunia yang paling aktif, yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Samudera Pasifik dan lempeng Benua Eurasia. Posisi kerangka geologi yang demikian memberi keuntungan karena lempeng tersebut merupakan tempat yang potensial adanya sumber daya energi dan mineral yang terbesar di lautan dan di darat. Laut Jawa, Laut Cina Selatan, Paparan Sunda dan Kalimantan merupakan sub sistem lempeng Benua Eurasia. Batuan penyusun diwilayah perairan ini merupakan pelemparan dari batuan berumur Tersier yang beralaskan batuan Mesozoikom yang dijumpai di Jawa Bagian Utara Kalimantan Bagian Barat dan Sumatera Bagian Timur. Wilayah perairan ini merupakan wilayah yang potensial sumber daya energi, khususnya minyak dan gas bumi. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila diwilayah tersebut dijumpai cadangan minyak dan gas bumi yang besar seperti di Laut Jawa disekitar Pulau Natuna. Laut Banda, Laut Maluku, Laut, Laut Sulawesi dan Samudera Indonesia merupakan zona transisi mempunyai geologi yang berbeda dengan geologi yang dijumpai di Paparan Sunda. Zona Transisi ini adalah zona pertemuan dari lempeng-lempeng Samudera Pasifik, Samudera Indonesia, Benua Eurasia dan Benua Australia, sehingga batuan penyusunannya merupakan pencampuran dari batuan asal lempeng-lempeng tersebut. Oleh karena itu, geologi diwilayah ini lebih rumit tetapi menghasilkan sumber daya energi dan banyak ragam nineral. 

Pada wilayah yang didominasi oleh batuan asal samudera biasanya membawa cebakan-cebakan mineral logam seperti nikel, kromit dan mangan, sementara bagi wilayah dimana ditemukan batuan asal benuanya ditemukan sumberdaya energi seperti yang dijumpai diperairan antara pulau-pulau Banggai-sula dan Sulawesi bagian Timur. Daerah zona transisi banyak dilewati oleh sesar-sesar aktif yang pada daerah rekahannya serinh dijumpai endapan sulfida masif. Zona ini juga banyak dijumpai kegiatan gunung api bawah laut yang mempunyai potensi sebagai tempat terdapatnya endapan sulfida hidrothermal. Strukutur geologi yang ada memberikan potensi pertambangan dan energi lepas pantai. Potensi sumber daya hidrokarbon saat ini sebesar 77,32 miliar barel minyak, dan sekitar 332,7 triliun kaki kubik gas bumi, potensi ini sekitar 70 % berada dilepas pantai dan lebih dari separuhnya terletak didalam laut. Pada tahun 2000 produksi minyak 1,4 juta barel minyak dan 8,5 miliar kaki kubik gas bumi per hari, produksi tersebut 37 % diantaranya diproduksi dari lepas pantai. Produksi ini terutama berasal dari ladang minyak gas bumi dilaut Jawa, lepas Pantai Kalimantan timur, Laut Natuna dan Selat Malaka. Sejauh ini telah diketemukan bahwa dasar laut Indonesia memiliki 60 cekungan sedimen yang mempunyai potensi kandungan hidrokarbon. Dari jumlah itu, 38 cekungan telah dieksplorasi, 14 cekungan telah berproduksi dan sisanya 22 cekungan belum dieksplorasi. Kekayaan lain yang belum tereksplorasi adalah energi alam yang berasal dari arus, gelombang, angin, perbedaan temperatur serta panas bumi bawah laut. Kondisi geologi dan tektonik pula yang menyebabkan Indonesia merupakan wilayah aktif gempa bumi. Secara kasar diperkirakan sekitar 10 % gempa bumi berskala tinggi dari 6,5 Richter telah menyebabkan bencana Tsunami di Indonesia. Sumber bencana dapat berasal dari wilayah Indonesia ataupun dari luar wilayah Indonesia. Berkaitan dengan tektonik ini Indonesia juga merupakan bagian utama dari rantai api (ring of fire) bumi dengan 127 gunung api aktif.