Sabtu, 31 Oktober 2009

Sengketa Perbatasan, Warga Timor Leste Pakai Tanah RI

Kupang, Kompas - Pemerintah Republik Indonesia diminta segera menangani masalah tapal batas antara Republik Indonesia dan Timor Leste. Saat ini, sudah ribuan hektar lahan warga Indonesia di perbatasan digunakan dan dimasuki warga Timor Leste.
Warga Republik Indonesia di perbatasan sudah melakukan berbagai upaya termasuk berbicara dengan warga Timor Leste, tetapi tidak menemukan penyelesaian akhir. Mereka juga sudah melapor ke camat dan polsek setempat, tetapi belum ditanggapi.
Warga Timor Leste bersikeras mengklaim Desa Detemnanu masuk dalam wilayah Timor Leste. Padahal, pada masa integrasi dan sampai hari ini, desa itu masuk wilayah administrasi Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Raja Amfoang Kabupaten Kupang Robi Manoh, Rabu (23/9), mengatakan, sekitar 1.062 hektar lahan milik warga Desa Detemnanu, Kecamatan Amfoang Timur, dikuasai warga Oekusi, Timor Leste. ”Kasus ini terjadi sejak tahun 1999 saat Timor Timur lepas dari NKRI. Mereka terus bergeser masuk sampai menguasai sekitar 1.062 hektar lahan milik warga RI di perbatasan,” tutur Manoh.
Amfoang berbatasan langsung dengan Timor Leste. Konflik horizontal sangat potensial terjadi di wilayah ini, apalagi Amfoang Timur termasuk daerah terpencil di Kabupaten Kupang karena sulit dilalui kendaraan.
Ia meminta pemerintah segera mengatasi masalah tanah milik warga RI di perbatasan. Jika kasus ini dibiarkan berlarut-larut, tidak tertutup kemungkinan terjadi konflik horizontal antara warga kedua negara.
Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya mengatakan, masalah tapal batas negara RI dengan Timor Leste dibicarakan kedua negara secara damai. Persoalan batas wilayah RI yang diserobot warga Timor Leste sedang dipelajari dan dilaporkan kepada pemerintah pusat.
”Kami akan minta informasi dari Bupati Kupang soal penyerobotan tanah di Detemnanu itu. Kasus ini sudah menjadi tanggung jawab pemerintah kedua negara, bukan Pemprov NTT saja,” ujarnya. (KOR/SEM, 24 September 2009)

Selasa, 27 Oktober 2009

Spratly, Perbatasan Tak Punya Solusi


Manila, selasa - China menyatakan tidak melihat ada solusi di depan mata dalam penyelesaian perselisihan soal Kepulauan Spratly. Guna menghindari konfrontasi, China menawarkan pembahasan proyek bersama dengan negara-negara pengklaim lainnya. Pernyataan itu dikemukakan Duta Besar China untuk Filipina Liu Jianchao, Selasa (22/9) di Manila, Filipina. ”Saya kira penyelesaian isu ini akan memakan waktu sangat lama,” kata Liu, sambil mencontohkan persoalan perbatasan China-Rusia yang baru selesai setelah 50 tahun. 
Brunei, China, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam mengklaim semua atau sebagian dari sekitar 100 pulau kecil, karang, dan atol di Spratly yang diyakini menyimpan cadangan minyak dan gas alam melimpah. Pulau-pulau yang sebagian besar tak berpenghuni dan perairan di sekitarnya dikelilingi jalur laut yang sibuk dan kaya ikan. Liu menambahkan, China ingin membuat proyek bersama dengan negara-negara pengklaim guna membangun kepercayaan dan melangkah maju. Akan tetapi, Liu mengakui proyek seperti itu akan sulit diwujudkan. 
Studi seismik bersama oleh Philippine National Oil Co, China national Offshore Oil Corp, dan Vietnam Oil and Gas Corp terhenti tahun lalu saat beberapa anggota parlemen Filipina menduga kesepakatan itu melanggar konstitusi Filipina dan meminta Mahkamah Agung Filipina menghentikannya. Hubungan dengan Filipina Tahun lalu, Filipina meloloskan undang-undang yang menegaskan klaim negara itu atas sebagian Spratly. Liu mengatakan, undang-undang itu menimbulkan dampak negatif dalam hubungan China-Filipina karena dianggap melanggar kedaulatan China. 


Undang-undang Filipina itu juga dianggap melanggar aturan bertindak yang diadopsi semua negara pengklaim guna menghindari langkah sepihak. Liu mengatakan, China masih mengupayakan penyelesaian damai soal Kepulauan Spratly dan menegaskan penolakan terhadap campur tangan pihak lain, seperti Amerika Serikat dan ASEAN. Situasi kembali tegang pada awal tahun ini saat media China melaporkan China telah mengirim kapal patroli sipil ke perairan Kepulauan Spratly. (ap/afp/fro, kompas,, 23 September 2009)

Selasa, 20 Oktober 2009

Perbatasan Kamboja -Thailand, Sengketa Tugu Batas


Usul Sengketa Wilayah Candi Preah Vihear Dibahas di KTT ASEAN Phnom Penh, Senin - Kamboja mengajak tetangganya, Thailand, untuk membawa sengketa perbatasan kedua negara terkait wilayah Candi Preah Vihear dimasukkan ke Konferensi Tingkat Tinggi Ke-15 ASEAN di Hua Hin, Thailand, 21-25 Oktober. Thailand sebelumnya juga telah mengusulkan agar ASEAN segera menghasilkan mekanisme penyelesaian sengketa, sehingga bisa segera digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah perbatasan di antara sesama negara anggota ASEAN. 
 Ajakan Kamboja itu disampaikan dalam surat diplomatik yang dikirim Menteri Luar Negeri Kamboja Hor Namhong kepada mitranya, Menteri Luar Negeri Thailand Kasit Piromya, Senin (12/10). ”Dalam hal ini, saya ingin mengusulkan sengketa antara Kamboja dan Thailand di wilayah sekitar Candi Preah Vihear dimasukkan ke dalam agenda KTT ASEAN di Hua Hin,” ungkap Hor Namhong. Fokus sengketa perbatasan kedua negara ASEAN bertetangga itu adalah wilayah di sekitar candi abad ke-11, Preah Vihear. 
Akibat sengketa perbatasan itu, militer kedua negara terlibat baku tembak sehingga menewaskan tujuh prajurit dari kedua pihak. Sengketa perbatasan itu sebenarnya sudah berumur beberapa dekade, tetapi ketegangan memanas menjadi aksi kekerasan pada Juli tahun lalu, ketika candi tersebut dianugerahi UNESCO status warisan dunia.... Pengadilan Dunia pada tahun 1962 memutuskan wilayah candi itu milik Kamboja. Perdana Menteri Kamboja Hun Sen bulan lalu mengatakan, telah memerintahkan tentaranya untuk menembak siapa pun dari Thailand yang secara ilegal melintasi tanah di sekitar Preah Vihear. 
Pernyataan itu disampaikan seminggu lebih setelah para pemrotes Thailand melakukan aksi rapat umum dekat candi tua itu. ”Setiap kali dia wawancara dengan media asing, dia selalu menyampaikan sikap seperti itu ketika dia ingin membuat headline,” ungkap Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva membalas pernyataan Hun Sen. PM Thailand itu menambahkan, Hun Sen ingin membatasi aksi protes rakyat Thailand pada 19 September. Akan tetapi dia menegaskan, Thailand tetap ingin mencari penyelesaian damai atas sengketa tersebut. Abhisit menambahkan, dia telah menyampaikan sengketa kepada Sekjen PBB Ban Ki-moon di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB di New York, pekan lalu, dan mengungkapkan bahwa UNESCO telah memperburuk ketegangan Thailand dengan Kamboja. Tentara-tentara dari Kamboja dan Thailand terus melakukan patroli di sekitar wilayah yang disengketakan itu. 
 Hun Sen hadir Menlu Thailand, pekan lalu, mengharapkan mekanisme penyelesaian konflik ASEAN bisa membantu penyelesaian sengketa perbatasan Thailand-Kamboja. KTT ASEAN dan KTT ASEAN dengan enam mitra dialognya (China, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, dan Selandia Baru) akan diselenggarakan pekan depan. PM Kamboja Hun Sen, yang sebelumnya mengancam tidak akan datang, telah memastikan akan hadir. Kasit mengatakan, pemerintah telah merundingkan kerangka-kerangka kerja yang mengarah kepada pendekatan-pendekatan damai dan menghindari penggunaan kekerasan.

 ”Saya bertemu Tuan Hun Sen pekan lalu dan semuanya berlangsung baik. Saya mengklarifikasi isu-isu dengan semua pihak terkait,” kata Menlu Thailand seperti dikutip kantor berita Thailand, TNA. Pekan lalu, Komisi Nasional anti-Korupsi Thailand mengungkapkan, mantan Perdana Menteri Samak Sundaravej dan mantan Menteri Luar Negeri Noppadon Pattama harus ditindak karena mengabaikan tugas dan kecerobohannya. Disebutkan, sebuah keputusan kabinet Thailand, tahun lalu, mendorong Kamboja mendaftarkan Preah Vihear sebagai sebuah situs warisan dunia.


 ”Sebagai kepala pemerintahan pada saat ini, Samak seharusnya tahu bahwa masalah itu sangat sensitif dan tampaknya akan memiliki konsekuensi, baik hukum maupun sosial,” kata juru bicara komisi, Klanarong Jantik. Pengadilan Dunia pada tahun 1962 menganugerahkan candi tersebut kepada Kamboja, tetapi kedaulatan atas lahan di sekitarnya tidak pernah jelas diselesaikan. Pengadilan konstitusi Thailand, tahun lalu, memutuskan bahwa komunike bersama yang ditandatangani Noppadon dengan pihak Kamboja, yang mendukung pengajuan kepada UNESCO oleh Kamboja itu, melanggar konstitusi dan Thailand menarik lagi dukungannya. (AP/AFP/OKI, Kompas, selasa, 13 Oktober 2009)

Jumat, 16 Oktober 2009

Perang Perbatasan dengan Malaysia Mungkinkah ?


Susanto Pudjomartono Pada awal tahun 1950-an ada lelucon. Jika ada sejumlah orang sedang berselisih, datanglah seseorang yang akan memisah dengan mengatakan, ”Sudahlah jangan bertengkar. Itu tentara Belanda akan datang menyerang.” Ajaibnya, konon, pertikaian berakhir karena semua siap menghadapi musuh. Inti lelucon itu adalah bangsa Indonesia akan bersatu bila ada musuh bersama. Lelucon ini menyakitkan karena kita dianggap baru bersatu bila ada musuh bersama. Gampang tersulut Tampaknya, itulah yang terjadi. Ketika kasus Ambalat muncul dan konon Malaysia akan menyerobot pulau Indonesia itu, orang menyerukan untuk mengganyang Malaysia. 
Saat lagu ”Rasa Sayange”, kain batik, dan reog ponorogo didaku milik Malaysia, masyarakat menggusari Malaysia. Bumbu kemarahan lain adalah nasib tenaga kerja Indonesia yang kabarnya di sana banyak dizalimi. Terakhir, saat tari pendet masuk program pariwisata Malaysia, orang siap mengamuk melawan jiran serumpun itu. Di sisi lain, kasus itu menunjukkan sampai tahap tertentu, rasa cinta tanah air dan semangat nasionalisme masih kuat pada bangsa Indonesia. Namun, kasus itu juga mengungkap, kemarahan gampang disulut dan kita mudah terpancing untuk bertindak irasional. Seruan-seruan untuk mengganyang Malaysia, yang dulu pernah didengungkan saat Trikora dideklarasikan, merupakan contoh irasionalitas itu. 
Namun, kita juga disadarkan. Ingatan kolektif bangsa tentang masa konfrontasi dengan Malaysia ternyata masih ada dan kuat. Sentimen anti-Malaysia mudah disulut meski generasi sudah berganti. Apa yang terjadi pada kita? Bila mawas diri, soul searching, kita merasa, kekesalan kepada Malaysia sebenarnya tercampur perasaan lain, di antaranya perasaan tersinggung karena merasa dilecehkan saudara serumpun yang lebih muda. Juga ada rasa iri dan cemburu karena kini Malaysia lebih maju dan lebih makmur dibandingkan dengan Indonesia, padahal kita merdeka lebih dulu. Dan pada awal kemerdekaan, mereka ”berguru” kepada Indonesia. Juga ada rasa kecewa karena Malaysia dianggap kurang tenggang rasa dan menganggap enteng saudara tua, Indonesia. 
 Selama ini, banyak di antara kita merasa lebih unggul dibandingkan dengan Malaysia karena Indonesia merebut kemerdekaan dengan darah dan keringat? Sedangkan Malaysia ”diberi” kemerdekaan oleh bekas penjajahnya Mendadak, kita disadarkan, kini dunia sepertinya memakai parameter berbeda, bagaimana cara suatu negara merdeka kurang diperhatikan. Yang lebih penting dan diperhitungkan adalah kemajuan dan kesejahteraan rakyat negara itu.... Kita masih bisa berbangga diri, Indonesia adalah negara demokrasi nomor tiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Sedangkan Malaysia dan Singapura bukan negara demokratis. 
Apalagi di dua negara itu masih berlaku ketentuan seperti Internal Security Act yang memungkinkan orang ditangkap dan ditahan sewenang-wenang. Namun, apakah hal itu dapat membuat kita lebih unggul? Sedang galau Hati kita sebagai bangsa sedang galau. Kita seperti menggapai-gapai dan mencari-cari apa yang dapat mengangkat martabat bangsa. Kemiskinan dan pengangguran terserak di mana-mana. Korupsi di Indonesia masih bertengger di papan atas. Prestasi bidang olahraga yang memungkinkan atlet kita meraih medali emas hingga lagu ”Indonesia Raya” dikumandangkan tak juga kunjung tiba. Olahraga kita sedang jeblok. 
Karena itu, kini kita cenderung menjulangtinggikan prestasi-prestasi ”anak bangsa” yang lumayan tetapi tak terlalu tinggi, seperti medali emas di lomba fisika internasional atau kemenangan penyanyi di festival. Kita juga gusar jika ada suara-suara yang mau mengecilkan atau meniadakan kebanggaan nasional seperti Candi Borobudur atau komodo dari daftar keajaiban dunia. Singkat kata, sebagai bangsa, kita sedang gampang tersinggung. 
Dalam hati, sebenarnya kita ingin tinggi menjulang dengan prestasi-prestasi besar, tetapi realitas menyadarkan, kita belum mampu. Meniadakan orang antre minyak tanah pun belum mampu, apalagi menghapus korupsi. Perjalanan masih jauh. Dalam keterbatasan, apakah kita malu karena tidak bisa menepuk dada? Tidak. Seperti bayi belajar berjalan, kita masih tertatih-tatih, harus puas dan bangga dengan prestasi-prestasi ”kecil”. Untuk mencapai prestasi besar, kita harus lebih banyak belajar dan bekerja lebih keras. 
 Kita juga harus becermin. Setelah beberapa jenis produk budaya Indonesia di klaim Malaysia, kita baru sadar selama ini telah melalaikan harta pusaka budaya. Dalam arus globalisasi dan pendewaan materi yang kini makin bersimaharajalela, secara setengah sadar kita telah mencampakkan kebudayaan nasional. Celakanya, tampaknya kita juga masih melakukan kealpaan yang sama dengan retorika yang juga sama. 




Sekadar contoh, kita membanggakan diri, wayang kulit sejak 2003 diakui Unesco sebagai warisan budaya Indonesia. Kenyataannya, wayang kulit kita sebagai seni pertunjukan sudah bertahun-tahun sekarat dan kalau dibiarkan akan makin remuk. Mengajak perang dengan Malaysia jelas bukan solusi. Agaknya yang perlu dilakukan adalah menyerukan kepada seluruh bangsa untuk kembali ke akal sehat dan lebih memelihara warisan budaya. Mungkin seraya memekikkan, ”Awas, itu Malaysia sudah mulai mengiklankan produk budaya kita!”(Kompas, Sabtu, 5 September 2009) Susanto PudjomartonoWartawan Senior

Sabtu, 10 Oktober 2009

Ketika Lahan Perbatasan Jadi Sengketa


Masalah penggunaan lahan seluas 1.062 hektar di Kecamatan Amfoang Timur, Kupang, Nusa Tenggara Timur, oleh warga Timor Leste saat ini sudah ditangani pemerintah melalui Departemen Luar Negeri. Dalam kaitan itu, warga diminta bersabar dan tidak bertindak anarki karena dapat mengganggu hubungan kedua negara. ”Kawasan itu memang di daerah sengketa karena status tanahnya status quo. Namun, perlu saya tegaskan, negara kita berpegang pada hukum yang berlaku. Kita hadapi secara baik, tidak emosional. Jadi, jangan sampai terpancing,” kata Panglima Komando Daerah Militer IX/Udayana Mayor Jenderal Hotmangaradja Pandjaitan, Senin (5/10) di Denpasar, Bali, seusai memimpin upacara HUT Ke-64 TNI. ”Secara teknis, persoalan itu sudah diketahui dan ditangani langsung oleh Departemen Luar Negeri. Tujuan utama penanganan masalah adalah tercapainya solusi secara hukum. TNI selaku penjaga kawasan perbatasan berusaha mencegah warga di kawasan itu tidak terpancing dan secara emosional membalas aksi yang dilakukan warga Timor Leste itu,” kata Hotmangaradja. Selama ini, warga Timor Leste bersikeras mengklaim Desa Detemnanu masuk dalam wilayah Timor Leste. Padahal, pada masa integrasi dan sampai hari ini, desa itu masuk wilayah administrasi Kecamatan Amfoang Timur. Menurut Raja Amfoang Kabupaten Kupang, Robi Manoh, sekitar 1.062 hektar lahan milik warga Desa Detemnanu, Kecamatan Amfoang Timur, itu dikuasai warga Oekusi, Timor Leste. Amfoang berbatasan langsung dengan Timor Leste. Konflik horizontal sangat berpotensi terjadi, apalagi Amfoang Timur termasuk daerah terpencil di Kabupaten Kupang karena sulit dilalui kendaraan. 



Hotmangaradja kemarin juga menekankan, pasukan TNI tetap mengawasi kawasan perbatasan kedua negara itu. ”Salah satu tugas utama TNI di kawasan perbatasan, selain mencegah adanya pelintas batas, juga mencegah timbulnya masalah yang dapat mengganggu hubungan Indonesia dengan negara lain, dalam hal ini, Timor Leste,” ujarnya. Dalam konteks itu, lanjut Hotmangaradja, TNI akan berupaya keras mencegah warga Amfoang Timur membalas tindakan warga Timor Leste yang secara sporadis menggunakan lahan di sana sebagai kawasan beternak mereka.(BEN, Kompas 6, oktober 2009)

Sabtu, 03 Oktober 2009

Memandang NKR Indonesia dari Merauke



Oleh ARIFIN PANIGORO 
 Saat mendapat gelar adat Warku Gebze dan dianggap Namek (saudara laki-laki) bagi masyarakat adat suku Malind Marori di Kampung Wasur, Merauke, Papua, pertengahan Agustus lalu, saya ”ditikam” sebuah kesadaran baru. Memandang Indonesia dari Merauke ternyata lebih nyata ketimbang dari Jakarta dan kota besar lain. Hamparan tanah seluas 11 juta hektar di Papua selatan, Kabupaten Merauke, Asmat, Mappi, Boven Digoel, itu belum banyak tersentuh tangan pertanian, misalnya, mengingatkan penulis akan sempitnya sawah petani saat ini. Luas sawah di republik tinggal sekitar 12 juta hektar. Jika tanah yang idle di Merauke itu disentuh tangan-tangan produktif, ketahanan pangan kita akan menggeliat dan sangat kuat. Lebih dari itu, hasil pertanian itu juga bisa diolah menjadi energi terbarukan (biofuel) untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. 
Pendeknya, dari kesunyian dan ”keperawanan” Merauke, saya bisa lebih memahami pemikiran Thomas L Friedman (2008) tentang realitas dunia kekinian yang panas, datar, dan kumuh. Juga keinginannya untuk sebuah revolusi hijau di seluruh dunia agar kelangsungan hidup bumi tetap terjaga. Untuk itu semua, kita butuh pangan, pendidikan, dan energi. Segitiga pertahanan Fenomena dunia yang datar, sama seperti gejala yang lain, selalu merupakan pedang bermata dua. Di satu sisi, ia membuka peluang bagi siapa pun untuk maju dan berkembang tanpa adanya ganjalan diskriminatif. Di sisi lain, ia juga mengancam siapa pun yang tak bisa bertahan dalam pertempuran tanpa batas wilayah itu. 
Dunia begitu sempit dan mereka yang tak berkemampuan pasti akan terjepit dan tertinggal. Dilihat dari Merauke, terasa sekali Indonesia masih perlu kerja keras dan persiapan sistemik dalam menyongsong tekanan dunia yang semakin panas, datar, dan kumuh tersebut. Perasaan bening seperti itu, selama ini sering terhalang tingginya gedung-gedung mewah, hotel-hotel berbintang, dan fasilitas teknologi informasi canggih yang tersedia di Jakarta dan kota besar lainnya. Padahal, di balik itu, sejatinya kita masih lemah. Tiga pilar yang menjadi segitiga pertahanan, yaitu pangan, pendidikan, dan energi, masih kurang berdaya. Dalam produksi pangan, misalnya, saat ini kita masih jauh dari perkasa. 

Kecuali beras, hampir semua bahan pangan masih impor. Sementara itu, sumber pangan alternatif sejauh ini belum dikembangkan. Mengikuti logika dunia yang datar, kegagalan panen akan berubah menjadi hantu menakutkan apabila sekuen waktunya bersamaan dengan kelangkaan produksi pangan dunia. Bukan saja harga bahan dan produk pangan menjadi mahal, tetapi suhu politik domestik bisa berubah memanas seketika. Energi dan pendidikan Sementara itu, dalam hal energi, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa cadangan minyak yang kita miliki semakin menipis, jika tidak boleh disebut habis. Tekanan dunia yang datar, bukan saja memaksa pemerintah mengambil kebijakan untuk mengikuti harga minyak dunia, tetapi juga memaksa para pelaku bisnis energi berusaha untuk menemukan sumur baru dan sumber energi alternatif.... 
Pergumulan untuk menemukan sumber-sumber energi itu dan mengembangkan energi yang terbarukan kini sedang berlangsung. Sama seperti pilar pangan dan energi, pilar pendidikan juga masih lemah. Padahal, ia adalah titik keseimbangan dalam model segitiga pertahanan menghadapi dunia yang datar. Jika China sudah mempunyai lebih dari 30.000 doktor dalam bidang sains dan teknologi, Indonesia diduga baru mempunyai sepersepuluhnya. Karena itu, lompatan yang luar biasa perlu dilakukan untuk mengejar ketertinggalan di ranah pendidikan, khususnya menyangkut pengembangan nanoteknologi, bioteknologi, teknologi informasi, dan neurosains. 
 Integrasi keempat bidang tersebut dalam pilar pangan, pendidikan, dan energi akan memperkokoh soliditas segitiga pertahanan dalam menghadapi dunia yang panas, datar, dan kumuh. Tanpa penguatan tersebut, pertempuran yang kita lakukan di dunia yang datar adalah semu. Kita sudah kalau dari semula. Mendatarkan Indonesia Dari Merauke, terlihat jelas bahwa di antara lintasan dunia yang datar, keadaan Indonesia sendiri justru masih diwarnai lembah-lembah curam dan bukit-bukit berbatu. Ilustrasi itu merupakan suatu analogi bahwa selain segitiga pertahanan (pangan, pendidikan, energi) yang belum kuat, banyak praktik bisnis di negeri ini masih jauh dari efisiensi dan rasionalitas. 

Segmentasi pasar domestik masih begitu memprihatinkan. Untuk ongkos angkut kontainer, misalnya, jarak dari Jakarta ke Batam biayanya hampir dua kali lipat dibandingkan dengan jarak Singapura ke California. Padahal, ukuran kontainer itu sama besar. Hal yang sama juga terjadi pada ongkos angkut dan harga buah-buahan. Harga buah impor bisa jadi lebih murah daripada buah lokal karena mahalnya ongkos angkut antarpulau dan pungutan lain yang harus dibayar. Adalah tugas kita bersama untuk mendatarkan Indonesia. Tanpa lalu lintas barang dan pelayanan yang bebas (free movement of goods and services) serta kuatnya segitiga pertahanan (pangan, pendidikan, energi) di republik, dunia yang panas dan datar akan melibas kita. Dari Merauke, ketika mendapatkan gelar adat Warku Gebze, saya meyakini bangkitnya optimisme Indonesia, dalam waktu sesingkat-singkatnya.(Kompas,Sabtu, 29 Agustus 2009) | ARIFIN PANIGORO Seorang Pelaku Usaha dan Peminat Masalah Sosial-Politik