Sabtu, 28 November 2009

Konsep Minapolitan Fadel Muhammad



Pembangunan Pulau-pulau Kecil Di Wilayah Perbatasan Kapal pinisi Cinta Laut memulai pelayaran Ekspedisi Garis Depan Nusantara, Minggu (15/11). Ekspedisi yang diberangkatkan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad dari Pantai Losari Makassar, Sulawesi Selatan, itu akan mendata 28 pulau wilayah timur Indonesia. Ketua Dewan Penasihat Ekspedisi Garis Depan Nusantara, Sarwono Kusumaatmadja, memaparkan, ekspedisi yang diprakarsai Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri dan komunitas budaya Rumah Nusantara itu merupakan kelanjutan ekspedisi serupa yang menjelajahi pulau terluar di wilayah barat dan tengah Indonesia.

”Secara keseluruhan, ekspedisi tersebut akan mengunjungi 92 pulau di perairan Nusantara yang merupakan titik pangkal garis teritorial NKRI,” tutur Sarwono. Menurut Sarwono, dalam tim ada sejumlah peneliti yang akan meneliti masalah sosial, ekonomi, dan budaya 28 pulau terluar di wilayah perbatasan timur Indonesia. Hasil penelitian akan disusun menjadi buku, sebagaimana hasil Ekspedisi Garis Depan Nusantara di kawasan barat Indonesia yang dibukukan dengan judul Tepian Tanah Air. Dalam pidato pelepasan tim ekspedisi, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad menyatakan, pengelolaan pulau kecil di wilayah perbatasan merupakan arah baru kebijakan pengelolaan kelautan nasional.
 ”Paradigma pembangunan yang berorientasi daratan harus diubah ke paradigma baru, berorientasi pada sektor kelautan dan perikanan,” katanya. Ia menyatakan bahwa pengembangan 92 pulau terluar di Indonesia membutuhkan kebijakan khusus yang mengintegrasikan pertahanan dan keamanan, peningkatan keterampilan masyarakat, serta perlindungan dan pengawasan pulau terluar. Indonesia masih menghadapi masalah dalam mendata ribuan pulau di Indonesia. ”Kondisi masing-masing pulau kecil berbeda-beda. 
Ada berbagai kendala, misalnya belum tertib administrasi kependudukan, kurang data dan informasi. Presiden telah meminta inventarisasi semua pulau untuk diberi nama dan didaftarkan ke PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Inventarisasi seluruh pulau kecil akan selesai 2010. Pada 2011 pulau-pulau itu akan didaftarkan ke PBB agar kasus Sipadan dan Ligitan tidak terulang lagi,” ungkap Fadel. Minapolitan Fadel menyatakan, untuk memperbaiki kondisi, ia mengembangkan konsep kawasan minapolitan agar pulau kecil dan terluar menjadi sumber ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan.

 ”Dalam pertanian ada agropolitan, yaitu kawasan yang berbasis pertanian. Kita akan perkenalkan minapolitan, suatu kawasan yang dibantu infrastrukturnya, airnya, dan lainnya agar tumbuh dengan bertumpu kepada sektor perikanan. Pada 17 November saya akan bertemu dengan Menteri Pekerjaan Umum dan membicarakan pembangunan minapolitan,” tutur Fadel. 


Terkait dengan kemudahan usaha sektor kelautan dan perikanan, Fadel menyatakan bahwa mulai 1 Januari 2010 seluruh peraturan daerah (perda) yang dianggap memberatkan nelayan akan dihapus. Kabupaten/kota dan provinsi yang memiliki perda seperti itu akan diberi kompensasi berupa dana alokasi khusus yang proporsional. Inventarisasi perda yang memberatkan merupakan bagian dari prioritas program 100 hari Fadel sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan di Kabinet Indonesia Bersatu II. (Sumber: Kompas, 16/11/09/row/nar/bdm)

Rabu, 18 November 2009

Program 100 hari, kebijakan penyelesaian masalah wilayah perbatasan.




program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu ke-2, terkait penajaman konsep kebijakan penyelesaian masalah wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar. Departemen stack holder telah melakukan serangakaian kunjungan kerja ke wilayah perbatasan, dalam upaya mengidentifikasi prioritas kerja dan penajaman konsep kebijakan penyelesaian wilayah perbatasan dalam upaya mendorong terwujudnya Badan Nasional Pengelola Wilayah Perbatasan.

Dari kegiatan kunjungan tersebut, beberapa hal yang dijadikan atensi diantaranya adalah persoalan tapal batas, infrastruktur dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan.

Pertama, persoalan tapal batas.

Wilayah Darat.

Perbatasan RI – Malaysia di Pulau Kalimantan
Panjang garis batas :  2004 km, terdiri dari sektor barat (Kalimantan Barat - Sarawak) dan sektor timur (Kalimantan Timur - Sabah). Penegasan batas bersama dimulai sejak tahun 1975. Jumlah tugu batas ada 19.328 buah lengkap dgn koordinatnya. Pada tahun 2000 pekerjaan demarkasi telah selesai, tetapi masih terdapat sepuluh lokasi yang bermasalah (Outstanding Boundary Problems) atau kedua negara belum sepakat tentang batas negara di lokasi tersebut.
Kesepuluh masalah batas tersebut adalah sebagai berikut, untuk Sektor Barat meliputi ; Tanjung Datu; Gunung Raya ; Batu Aum ; Gunung Jagoi dan Titik D. 400. Untuk Sektor Timur meliputi ; Titik B. 2700 – B. 3100; Titik C.500 – C. 600;,S. Sinapad, Sungai Semantipal dan Pulau Sebatik.

Batas RI – PNG.
Panjang garis batas  770 km, darat 663 km, ikut thalweg Sungai Fly  107 km, penegasan batas dimulai tahun 1966. jumlah tugu MM sebanyak 52 buah.
Permasalahan batas antara RI – PNG, pada umumnya terbatasnya dana dari masing-masing pihak, sehingga praktis tidak banyak yang bisa dilakukan untuk melanjutkan penyelesaian tegas batas. Sebagai contoh sejak tahun 2000, program yang ada hanya sebatas, rapat atau pertemuan tahunan.

Batas RI - Timor Leste.

Panjang batas  268,8 km, terdiri dari sektor Timur  149,1 km dan sektor Barat  119,7 km. Telah disepakati 907 tugu dari rencana + 5.000, disepakati 5 dari 8 daerah yg semula ada permasalahan (terutama kesulitan implementasi karena masalah adat, yakni Permasalahan. di Noel Besi, Manusasi, dan Dilumil/Memo.

Wilayah Laut. Indonesia mempunyai perbatasan laut (meliputi atau terdiri dari laut territorial, ZEE dan Zona Tambahan) dengan sepuluh negara tetangga yakni India, Thailand,Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, Kepulauan Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste. Dalam hal penegasan batas di laut pengorganisasiannya relative sederhana karena lebih fokus pada masalah-masalah teknis tegas batas. Masalah batas yang menonjol adalah dengan Malaysia khususnya di selat Malaka, dan Blok Ambalat di laut Sulawesi.

Perbatasan di sekitar Pulau-Pulau Kecil Terluar

Dari hasil penelitian dan penghitungan di wilayah NKRI terhadap 17.504 pulau. Dari jumlah sebanyak itu terdapat 92 Pulau Terluar yang dinilai sangat strategis, 67 diantaranya berbatasan langsung dengan negara tetanngga; dari 67 pulau itu hanya 28 pulau yang berpenduduk sementara 39 lagi masih kosong; Dan dari sejumlah itu terdapat 12 pulau diantaranya yang paling menghawatirkan, hal ini terkait dengan posisinya dan tidak adanya air tawar dan kehidupan di pulau-pulau tersebut.
12 Pulau yang membutuhkan perhatian khusus, yakni : Pulau Rondo (Sabang,NAD). Pulau Sekatung (Natuna,Kepri). Pulau Nipa (Batam, Kepri). Pulau Berhala (Deli Serdang,Sumut). Pulau Marore (Sangihe,Sulut), Pulau Miangas (Kep.Talaud,Sulut), Pulau Marampit (Kep.Talaud,Sulut), Pulau Batek (Kupang,NTT), Pulau Dana ( Kupang, NTT), Pulau Fani (Raja Ampat, Papua), Pulau Fanildo (Biak Numfor, Papua) dan Pulau Brass ( Biak Numfor,Papua).
Khusus pulau-pulau yang berbatasan dengan Singapura seperti Pulau Nipa, Sekatung rawan terhadap kegiatan penjualan pasir ilegal. Contohnya pulau Nipa, pemerintah RI telah mengeluarkan biaya reklamasi lebih dari 300 milyar, untuk mempertahankan keberadaan pulau, karena merupakan titik dasar tegas batas laut antara Ri-Singapura.

Kedua, persoalan terbatasnya infrastruktur. Terbatasnya infrastruktur seperti jalan, jembatan dan sarana transportasi yang dapat menghubungkan antar wilayah di perbatasan. Pada dasarnya disebabkan belum singkronnya antara kebijakan dan strategi pengembangan wilayah perbatasan di lapangan. Kebijakan menghendaki wilayah perbatasan sebagai halaman depan bangsa, tetapi konsep pengembangannya masih mengambang antara Pemda dan Pusat. Baik pusat maupun Pemda belum mampu menyelesaikan Rencana Tata Ruang yang berwawasan regional, yang dapat mengakomodasikan pembangunan wilayah perbatasan dengan negara tetangganya. Yang ada baru sebatas semangat membangun daerah tertinggal dengan terpaksa mengikuti pola ”inward looking” (lebih realistis), pembangunan lebih cenderung ke pusat-pusat pertumbuhan di kota provinsi / Kabupaten/Kota yang pada umumnya di wilayah pantai, sementara perbatasan darat ada di wilayah pegunungan dan terisolir, dan menyebar dengan jarak hingga ribuan kilometer. Karenanya wilayah perbatasan akan selalu kalah prioritas, terlebih lagi dengan terbatasnya jumlah penduduk, dan lokasinya yang menyebar....

persoalan kehidupan sosial ekonomi. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat perbatasan masih sangat memprihatinkan. Tingkat pendidikan, penghasilan dan kesehatan yang rendah, demikian pula dengan lokasi Pulau-Pulau Kecil Terluar pada umumnya terpencil, jauh dari pusat kegiatan ekonomi. sulit dijangkau, demikian pula dengan kondisi alamnya ada yang sama sekali tidak berpenghuni dan tidak mempunyai sumber air tawar.

Pengamanan Wilayah Perbatasan. Pengamanan wilayah perbatasan masih bersifat tradisional, yakni dengan menempatkan Pos-pos pengamanan, baik yang sifatnya bersama (jumlahnya sangat terbatas) maupun atas inisiatif masing-masing pihak dengan sepengetahuan negara tetangga, adapun gambarannya adalah sebagai berikut;

Di wilayah perbatasan RI- Malaysia, terdapat sebanyak 55 Pos, dua diantaranya PPLB (pos pengamanan lintas batas, bersama) dan selebihnya PLB (pos lintas batas, sepihak). Di wilayah perbatasan RI-PNG terdapat sebanyak 114 pos, 17 PLB permanen dan selebihnya pos mobil dan untuk di wilayah RI-RDTL sebanyak 38 PLB (14 permanen dan 12 Pos Teritorial dan 10 pos mobil).
Untuk di pulau-pulau kecil terluar dilakukan penempatan pasukan TNI khususnya marinir - AL dengan prioritas pulau terluar yaitu di Pulau : Rondo, Berhala, Nipa, Natuna, Miangas, Marore, Marampit, Fani, Fanildo, Brass, Batek dan Dana.
Pengelolaan Wilayah Perbatasan. Sekarang ini belum ada badan yang secara khusus dalam menangani wilayah perbatasan, tetapi sebaliknya terdapat 25 Instansi/lembaga, 71 setingkat eselon satu dan 35 program terkait wilayah perbatasan dan pada kenyataannya sulit dalam hal koordinasi serta upaya mensinergikan program. Sesuai amanat UU no.43 tahun 2009 tentang Wilayah telah mengamanatkan pembentukan Badan Nasional Pengelola Perbatasan, sampai saat ini belum terbentuk, namun demikian untuk tingkat daerah sudah terbentuk.

Ada tiga bidang utama yang harus dituntaskan secara terintegrasi, yakni peningkatan keamanan, ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat di perbatasan. Selama ini semua mekanisme penyelesaian masalah perbatasan berjalan linier. Tidak ada simpul yang mengintegrasikan kebijakan dan implementasi kebijakan di lapangan. Idealnya masalah perbatasan sebaiknya disinergikan oleh kementerian Polhukam, Menko Perekonomian, Menko Kesra secara terintegrasi. Tetapi faktanya tidak bisa optimal. Sebagai tindak lanjut diharapkan adanya perumusan kebijakan, minimal ada semacam Instruksi Presiden, lebih tepat lagi dengan mewujudkan Badan nasional perbatasan.

Jumat, 13 November 2009

Pulau Nipa, Patriotisme di Wilayah Perbatasan



Catatan Blogger
Pulau Nipa. Pulau nipa titik batas yang nyaris tandas, Pulau Nipa termasuk ProvinsiRiau Kepulauan, berhadapan dengan negara Singgapura kurang lebih berjarak 5 mil/8 km arah Barat Daya dari Singgapura, nama lain dari pulau Nipa adalah Pulau Angup termasuk daerah administrative provinsi Riau. Pulau ini luas daratannya ± 60 ha tetapi ketika air laut surut dan kalau air laut pasang hanya 6 Ha.
Pulau ini hampir tenggelam karena pulau yang berada disebelah selat Philip, wilayah ini mengalami abrasi akibat penambangan pasir laut. Penambangan pasir illegal dijual ke Singgapura untuk reklamasi pantai Singgapura. Pasirnya di jual seharga Sin-$5/kubik, sementara untuk keperluan reklamasinya pemerintah RI sudah mengeluarkan lebih dari 300 milyar rupiah. Dipulau Nipa ada pos penjagaan prajurit Marinir TNI-AL yang menjaga pulau ini.




Pada saat kita memperingati hari Pahlawan tahun ini. Kita seperti kehilangan roh kepahlawanan. Pejabat hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat kehilangan semangat membela kebenaran, keadilan, dan kepentingan bangsa yang lebih luas.

Di balik sikap pesimistis masyarakat terhadap wajah penegakan hukum dan perilaku penegak hukum, setidaknya masih ada aparatur negara yang tetap tulus dan setia membela kebenaran dan menjaga kepentingan bangsa yang lebih luas.

Mereka setia membela ”negara” dan berkorban meninggalkan keluarga. Mereka menerima gaji yang kecil, jauh dari kemungkinan korupsi atau menerima suap, untuk sebuah tugas negara....

Di Pulau Nipah, Provinsi Kepulauan Riau, hadir sosok yang melaksanakan tugas berat dengan jiwa patriot, tanpa banyak berkoar-koar. Mereka adalah anggota Marinir TNI Angkatan Laut (AL) yang bertugas menjaga pulau di perbatasan Indonesia itu.

Pulau Nipah adalah salah satu pulau terdepan dan strategis sebagai penanda kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebelum direklamasi tahun 2004, luas pulau ini tinggal 1,4 hektar. Kini, setelah direklamasi, luasnya mencapai 60 hektar.

Tidak ada seorang warga sipil pun yang tinggal di sini. Pohon baru segelintir. Beberapa tanaman, seperti semangka dan kacang, ditanam anggota Marinir yang bertugas. ”Bulan lalu kami baru tanam 3.300 pohon ketapang,” kata Komandan Pos TNI AL Pulau Nipah Letnan Satu (P) Agus Tuslian.

Pengorbanan yang diberikan anggota TNI AL di Pulau Nipah memang tidak kecil. Apalagi fasilitas di pulau itu, seperti air bersih dan listrik, hampir tidak ada. Listrik mengandalkan genset. Air bersih mengandalkan air hujan yang tergenang di permukaan tanah.

Padahal, tanggung jawab TNI AL sangat besar, yaitu menjaga kedaulatan NKRI. Untuk itu, TNI AL hanya dilengkapi dengan senapan mesin ringan, perahu fiber, dan perahu karet.

”Kalau ada apa-apa, risiko kami paling rendah cacat, paling tinggi, ya, mati,” kata Komandan Satuan Tugas (Satgas) Marinir VII Pulau Nipah Letnan Satu (Mar) Alex Zulkarnaen. ”Pokoknya, kalau ada ancaman, kami sebagai pasukan tempur yang di depan harus bertahan dan lapor,” paparnya lagi.

Satgas ini diganti enam bulan sekali. Selama enam bulan itu prajurit tidak boleh meninggalkan pulau. Prajurit Satu (Mar) Rahman (27) dan Prajurit Dua (Mar) Faturohman (24) adalah 2 dari 34 anggota Marinir yang menjaga Pulau Nipah.

Sebulan yang lalu putra kedua Rahman, Azka Hurina, lahir. Rahman yang tak boleh pulang hanya bisa gundah gulana sepanjang hari sambil terus berusaha mencari sinyal telepon seluler yang meredup seiring angin kencang yang datang. Akhirnya, pukul 02.30, setelah menghabiskan Rp 100.000 untuk pulsa, ia mendengar tangisan Azka untuk pertama kali.

Tidak bisa bertemu keluarga hanya satu dari sekian tantangan yang harus dihadapi. Sehari-harinya mereka harus bergulat dengan suasana pulau yang gersang dan tiupan angin yang kencang pada malam hari.

Meskipun dengan segala keterbatasan, anggota TNI AL itu tetap dapat mensyukuri apa yang diterima. Mereka tetap setia bertugas meski dengan gaji yang tidak besar.

Dengan uang makan yang terdiri dari uang makan operasi, uang saku, dan uang lauk-pauk rata-rata sebesar Rp 34.000 sehari, mereka harus membeli air minum galon dan bahan makanan di Pulau Batam dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam dengan perahu nelayan, pompong. Menu utama mereka, mi instan yang ditumis dengan kol ditambah telor.

”Kami tak ada tunjangan dengan bertugas di pulau terluar karena kondisi ini dianggap tugas biasa,” kata Alex. Padahal, biaya angkut dengan perahu masyarakat itu sekitar Rp 500.000 sekali jalan, belum lagi harga kebutuhan pokok di Batam yang mahal karena didatangkan dari luar Batam.

Di televisi, prajurit TNI kerap melihat tingkah birokrat dan anggota parlemen di Jakarta, termasuk rencana permintaan untuk naik gaji. Saat ditanya apakah ingin naik gaji, Rahman dan Faturohman terdiam. Tak sepatah kata pun keluar.

”Kami tidak ingin meminta. Terserah atasan saja. Tetapi, kalau dikasih, ya, kami bersyukur,” kata Alex.

Tambahan gaji bagi prajurit yang bertugas, apalagi harus meninggalkan keluarga, memang patut dipertimbangkan. Daripada uang negara dikorupsi atau uang publik digunakan untuk menalangi bank bermasalah yang kini kian tidak jelas. Kompas, Selasa, 10 November 2009 Oleh :Edna C Pattisina dan Ferry Santoso)

Minggu, 08 November 2009

193 Titik Dasar, 92 Pulau Terluar 12 Perlu Perhatian Khusus



Oleh Gesit Ariyanto
 ”Berbuatlah sesuatu sebelum perkara muncul” (Hasjim Djalal). Menjaga kedaulatan negara bukan hanya perkara diplomasi politik, melainkan harus diterjemahkan di lapangan. Sebagai sebuah negara kepulauan, menentukan titik dasar terluar adalah sebuah langkah awal. Dari sejumlah negara kepulauan di dunia, Indonesia adalah salah satu yang terbesar—menurut United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1992. Konsekuensinya, penetapan titik-titik pangkal terluar juga merupakan kerja cukup berat dan tidak mudah. Menurut hukum laut internasional, jarak dua titik berdekatan—jika ditarik garis lurus—maksimal 100 mil laut. Pekerjaan besar itu harus melibatkan para ahli untuk memastikan posisi titik-titik tersebut. 
Proses selanjutnya, mendaftarkannya ke sekretariat PBB untuk memenuhi asas publisitas dengan publikasi di situs resmi. Di situs itulah pekerjaan para ahli diuji: diteropong negara tetangga apakah penetapan titik pangkal yang akan menjadi dasar batas wilayah dan kedaulatan itu bermasalah. ”Dari 193 titik pangkal yang didepositkan di PBB, tidak satu pun yang disengketakan negara tetangga,” kata Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional Sobar Sutisna, yang juga anggota Tim Perunding Batas Maritim. Sebelum menentukan 193 titik pangkal itu, tim yang di antaranya melibatkan Bakosurtanal dan Dinas Hidro-Oseanografi TNI Angkatan Laut menyurvei lebih dari 300 titik sepanjang tahun 1996-1999.
Sebagai dasar survei, tim memanfaatkan data Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Sebelum sempat didaftarkan di sekretariat PBB, data direvisi karena sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan, yang keduanya akhirnya diputuskan menjadi milik Malaysia. Akibatnya, tiga titik pangkal di Sipadan dan Ligitan diganti di Pulau Sebatik dan Karang Unarang.... Keputusan itu memberi wilayah laut lebih besar karena titik dasar di Pulau Bunyu diganti di Pulau Maratua, yang tarikan garis penghubungnya dari Karang Unarang menjadi lebih panjang memotong laut. 
Berdasarkan kesepakatan UNCLOS, titik pangkal ada di titik terluar pulau terluar sebuah negara. Indonesia memiliki 92 pulau terluar yang berbatasan langsung dengan 10 negara. Surut terendah Posisi titik pangkal disepakati pada posisi air surut terendah. Titik koordinat ditetapkan di sana. Menurut Sobar, terjadinya air surut terendah itu memiliki siklus 18,6 tahun. Artinya, tidak sewaktu-waktu titik pangkal dapat dilihat langsung. Bahkan, sangat sulit. Menurut ahli hukum laut internasional Hasjim Djalal, penetapan titik pangkal sangat penting karena merupakan elemen penting perundingan batas wilayah kedaulatan sebuah negara. 
Dari titik-titik itulah, wilayah kedaulatan RI ditentukan. Oleh karena itu, pascapenetapan titik pangkal negara perlu terus memantau atau mengidentifikasi keberadaannya. Sesuai dengan namanya, titik pangkal menjadi dasar penarikan garis batas. Berjarak 12 mil ke arah laut lepas merupakan kawasan laut teritorial, sejauh 24 mil merupakan zona tambahan. Lalu, 200 mil merupakan zona ekonomi eksklusif (ZEE), dengan bagian dasarnya merupakan batas landas kontinen. Atas kesepakatan internasional itu, kehilangan pulau terluar karena tenggelam tidak memengaruhi wilayah kedaulatan sebuah negara. ”Sebagai daratan memang hilang, tetapi hak kedaulatan atas laut tidak,” kata Hasjim.

Pasalnya, hukum laut internasional mengakui lima hal, yakni kedaulatan darat, laut, dasar laut, udara, dan semua sumber daya yang ada di dalamnya. Seluruh kandungan sumber daya alam dalam batas landas kontinen adalah milik RI. Seluruh aktivitas di kawasan itu harus seizin Pemerintah RI. Pengawasan efektif Faktor utama dan penting terkait kedaulatan negara adalah pengawasan efektif. Kunjungan berkala ke kawasan perbatasan dan pulau-pulau terluar, meski tak berpenghuni, amat dianjurkan. 
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Sarwono Kusumaatmadja berkisah. Saat masih menjabat ia berkunjung ke sebuah pulau di Kalimantan Barat. Seorang bapak tua di sana mengaku tidak tahu nama gubernurnya. Presiden yang ia kenal pun Soekarno. Namun, ia kenal baik nama-nama nakhoda kapal nelayan Thailand berikut nomor lambung kapalnya karena sering mengangkut warga yang sakit. Oleh karena itu, kehadiran nyata pemerintah di wilayah perbatasan mutlak adanya.


Berpenghuni atau tidak, selama ada pengawasan berkala, tak perlu khawatir pencaplokan pulau oleh negara lain. ”Ada persepsi salah, seakan-akan kepemilikan sebuah pulau tergantung dari ada-tidaknya penduduk,” kata Sobar. Soal pengawasan yang membuat Sipadan dan Ligitan jatuh ke tangan Malaysia. Pemerintah Inggris saat menguasai Malaysia tercatat beraktivitas di dua pulau itu, sementara Hindia Belanda tidak. Adapun Pulau Miangas yang secara geografis lebih dekat dengan Filipina tetap menjadi wilayah Indonesia karena Hindia Belanda memiliki bukti aktivitas di sana. Berkaca pada pengalaman, Hasjim mengingatkan, pemantauan efektif di pulau-pulau terluar dan batas-batas wilayah RI harus dilakukan intensif. ”Berbuatlah sesuatu sebelum perkara muncul”. Sabtu, 7 November 2009