Selasa, 08 Maret 2011

Membangun Kekuatan Diplomasi Bilateral


Oleh :  Rakarya Sukarjaputra

ASEAN menjadi pijakan utama politik luar negeri Indonesia hingga saat ini. Peran Indonesia dalam organisasi regional itu sangat menentukan sehingga kalangan diplomat dari luar ASEAN kerap menyebut Indonesia-lah penggerak utama ASEAN. Pujian banyak kalangan dari luar ASEAN bukan sekadar penghibur semata. Peran Indonesia dalam mendorong lahirnya Piagam ASEAN hingga terbentuknya badan hak asasi manusia ASEAN, misalnya, memang sangat menonjol. Ukuran-ukuran ”ideal” bermasyarakat, seperti demokrasi dan penghormatan sekaligus perlindungan hak asasi manusia, bisa masuk Piagam ASEAN, itu karena dorongan sangat kuat Indonesia.

Akan tetapi, harus diakui, pujian sekaligus permintaan kalangan dari luar ASEAN yang meminta Indonesia selalu ”memimpin” ASEAN itu menjadi semacam beban yang di luar sadar telah mengurangi kemampuan bergerak Indonesia. Terlebih lagi, ASEAN mempunyai target yang harus segera dikejar untuk bisa diwujudkan, yaitu Komunitas ASEAN 2015. Bisa dibayangkan, banyak sekali tenaga dan pemikiran difokuskan ke proses pembangunan Komunitas ASEAN tersebut.

ASEAN, harus diakui, sudah berhasil ”mengikat” negara-negara kunci di dunia untuk berinteraksi dengan organisasi regional ini, yang secara tidak langsung juga menjadi pintu masuk Indonesia untuk berhubungan dengan negara-negara kunci tersebut. Namun, pada praktiknya, interaksi bilateral Indonesia dengan sejumlah negara kunci itu masih jauh dari potensi yang tersedia. Tanpa sadar, Indonesia seperti terbawa pada arus kuat diplomasi multilateral, baik di ASEAN, APEC, maupun G-20, di mana Indonesia menjadi salah satu anggotanya. Arus kuat itu cenderung membawa Indonesia semakin jauh dari memanfaatkan kekuatan diplomasi bilateral.

Dampak dari melemahnya kekuatan diplomasi bilateral itu tecermin dalam kemampuan Indonesia untuk memanfaatkan peluang-peluang baru yang terbuka luas pada era informasi global yang sangat terbuka saat ini. Ketika banyak negara berkembang lainnya giat memanfaatkan peluang yang terbuka pada kekuatan-kekuatan ekonomi potensial baru, seperti di Amerika Latin, negara-negara Eropa Timur, juga negara-negara Eropa Barat yang selama ini kurang mendapat perhatian, Indonesia cenderung masih melewatkan peluang-peluang itu. Akibatnya, peningkatan investasi, dari maupun ke Indonesia, dan volume ekspor Indonesia belum menunjukkan banyaknya pengembangan pasar baru.

Ketidaksiapan dalam negeri

Penguatan diplomasi bilateral antara Indonesia dan suatu negara memang memerlukan sebuah komitmen kuat yang didukung oleh kesiapan, kemauan, dan kemampuan berbagai unsur di dalam negeri. Apalah artinya sebuah komitmen peningkatan hubungan bilateral dibuat jika unsur-unsur di dalam negeri tidak bisa memenuhi komitmen-komitmen tersebut.

Persoalan itulah yang masih kerap terjadi. Antusiasme sejumlah pengusaha dari berbagai negara untuk berinvestasi di Indonesia, misalnya, tidak jarang terbentur oleh ketidaksiapan unsur-unsur di dalam negeri untuk menyambut dengan sigap dan cerdas minat para investor tersebut. Masalah ini bukan rekaan semata. Faktanya, ada beberapa duta besar Indonesia di negara lain terpaksa kembali ke Indonesia untuk langsung mengurus kemandekan investasi para pengusaha dari negara tempat dia bertugas. Itu terpaksa dilakukan karena pengaduan masalah melalui jalur-jalur komunikasi seperti telepon, e-mail, dan sejenisnya kurang membuahkan hasil.

Begitu juga minat wisatawan asing dari sejumlah negara untuk berkunjung ke Indonesia kurang direspons dengan pembukaan rute penerbangan baru, misalnya. Padahal, negara tetangga kita, Malaysia, rajin membuka rute-rute penerbangan baru untuk meningkatkan kunjungan wisatawan asing ke negerinya. Rute-rute penerbangan baru itu hanyalah salah satu hasil dari kekuatan sebuah diplomasi bilateral.

Entah terkait secara langsung atau hanya kebetulan semata, yang jelas, ketidaksiapan di dalam negeri itu berjalan beriringan dengan kurang dimanfaatkannya kekuatan diplomasi bilateral.

Memang tidak ada salahnya banyak terlibat dalam diplomasi multilateral. Namun, yang penting, jangan sampai diplomasi multilateral itu malah menghambat kepentingan nasional Indonesia.

Di bidang ekonomi, misalnya, Indonesia gigih mendorong agar hubungan ekonomi antara negara-negara di ASEAN dan mitra-mitranya dilakukan lebih dahulu melalui kebersamaan di ASEAN, khususnya dalam bentuk kerja sama perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA). Oleh karena itulah ASEAN rajin membuat kesepakatan FTA dengan mitra-mitra dialognya, misalnya AS, Uni Eropa, Jepang, China, Korea Selatan, India, dan Australia.

Faktanya, upaya mewujudkan kerja sama ekonomi dengan ASEAN sebagai sebuah blok ternyata jauh lebih rumit. Meskipun telah menjadi sebuah ”organisasi baru” dengan status hukum yang jelas setelah adanya Piagam ASEAN, di mata banyak negara lain ASEAN belumlah menjadi sebuah organisasi regional yang solid. Uni Eropa, contohnya, sangat hati-hati untuk mengaktualisasikan FTA dengan ASEAN. Pasalnya, masih banyak negara anggota ASEAN yang mengabaikan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, yang merupakan salah satu pertimbangan bagi Uni Eropa dalam pembuatan sebuah FTA. Keberadaan Myanmar di ASEAN dengan sejumlah permasalahannya masih menjadi ”nilai minus” ASEAN di mata Uni Eropa.

Menyadari adanya kendala tersebut, negara-negara anggota ASEAN seperti Singapura, Malaysia, juga Vietnam dan Thailand rajin menempuh jalur bilateral untuk segera mewujudkan FTA dengan Uni Eropa sebagai sebuah blok atau negara-negara anggota Uni Eropa sebagai mitra ekonomi langsung. Bagaimana dengan Indonesia? Kita cenderung menunggu FTA ASEAN-Uni Eropa diwujudkan dan seperti kurang bersemangat menggunakan pendekatan bilateral untuk kepentingan nasional kita sendiri.

Memanfaatkan multipolarisme

Di tengah kondisi dunia yang saat ini multipolar, pemanfaatan kekuatan diplomasi bilateral bisa dipandang sebagai upaya untuk memanfaatkan multipolarisme itu. Ketika krisis keuangan menjalar ke seluruh dunia, kita bisa melihat kekuatan-kekuatan ekonomi ”tradisional”, seperti Uni Eropa dan AS, ternyata paling menderita terkena dampak krisis tersebut. Sebaliknya, banyak negara di Asia dan Amerika Latin tidak banyak terkena dampak krisis tersebut.

Hal itu semestinya menyadarkan para pengambil keputusan di Indonesia untuk lebih serius ”menggarap” potensi yang tersedia di negara-negara yang jarang, bahkan mungkin belum pernah dikunjungi langsung oleh seorang presiden Indonesia.

Ibarat membuka ladang persawahan baru, memang dibutuhkan kerja lebih keras dan tidak mudah ketimbang menanam padi di areal persawahan yang sudah ada. Justru pola pikir yang lebih khawatir terhadap berbagai kesulitan yang akan ditemukan, ketimbang keuntungan jangka panjang yang akan diperoleh, itulah yang harus dihilangkan.

Waktu akan menunjukkan, apakah kita bisa memanfaatkan peluang dunia yang multipolar ini atau tetap terbelenggu pada hubungan dengan kekuatan-kekuatan ”tradisional”.

Pemanfaatan kekuatan diplomasi bilateral sesungguhnya juga akan berdampak positif pada peningkatan kemampuan para diplomat Indonesia dalam perundingan-perundingan bilateral. Indonesia memerlukan banyak diplomat andal untuk diplomasi bilateral dan mulai menyeimbangkan kemampuan para diplomatnya. Selama ini ada kecenderungan para ”jagoan” diplomat umumnya ditempatkan pada diplomasi-diplomasi multilateral (Kompas/9/1/2010

Bertetangga Yang Baik Dengan Sikap Yang Tegas, Itu Perlu

Tulisan ini dimuatkan kembali, untuk mengingatkan bahwa bertetangga yang baik itu perlu, tetapi mempunyai sikap dan pandangan yang tegas itu juga sangat perlu; redaksi.

James Luhulima

Cara Pemerintah Indonesia menanggapi ”krisis” dengan Malaysia menyusul penangkapan dan penahanan tiga anggota patroli pengawas perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan oleh Polisi Diraja Malaysia di Johor, Malaysia, dua pekan lalu, membuat banyak kalangan di Indonesia yang kurang puas dan berupaya melampiaskan kemarahan kepada Malaysia.Pasalnya, menurut laporan yang diterima, ketiga anggota patroli pengawas perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan itu ditahan ketika mereka tengah menggiring lima kapal nelayan Malaysia yang mencuri ikan di perairan Indonesia.

Menurut Bambang Nugroho, Kepala Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Pontianak, ketiga anggota patroli itu menjalankan tugas di wilayah Indonesia. Oleh karena itu, tidak ada dasar bagi mereka untuk menangkap dan menahan mereka.
Bambang mengisahkan, ”Kapal pengawas itu berhasil menangkap lima kapal berbendera Malaysia yang mencuri ikan (13 Agustus 2010 malam). Kapal-kapal Malaysia itu digiring ke Batam. Mereka kemudian dihadang oleh polisi perairan Malaysia. Polisi Malaysia menghadang dan memberi dua kali tembakan peringatan.Tiga anggota patroli pengawasan itu dibawa ke Johor, Malaysia, sedangkan tujuh awak kapal Malaysia ditahan di Kepolisian Perairan Batam. Penangkapan tiga anggota patroli pengawasan Indonesia di wilayahnya sendiri sulit diterima, apa pun alasan yang dikemukakan oleh Malaysia.

Dalam keadaan seperti itu, banyak kalangan di Indonesia yang berharap Pemerintah Indonesia menanggapinya dengan serius karena Polisi Diraja Malaysia diduga memasuki wilayah Indonesia secara tidak sah dan menangkap anggota patroli pengawas Indonesia. Dan, memang sudah seharusnya Indonesia langsung memprotes keras tindakan Polisi Diraja Malaysia itu, apa pun alasan yang dikemukakannya. Protes keras terhadap tindakan Polisi Diraja Malaysia sangat wajar untuk dilakukan oleh Indonesia, dan itu juga merupakan bagian dari tindakan diplomasi serta sama sekali bukan bagian dari suatu tindakan yang bermusuhan. Dengan memprotes keras, dapat diartikan Indonesia memaksa Malaysia untuk dengan segera menjelaskan mengapa krisis itu terjadi, sama sekali tidak dilandasi oleh rasa permusuhan.

Pada tahun 1984, Indonesia pernah memprotes keras Papua Niugini, yang merupakan salah satu negara tetangga dan negara sahabat. Protes keras itu dilakukan atas terjadinya penganiayaan terhadap beberapa anggota tim verifikasi Indonesia oleh sekelompok pelintas batas Irian Jaya (kini Papua) di Black Water Camp, Vanimo, Papua Niugini. Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja (waktu itu) keesokan harinya langsung memprotes keras Papua Niugini atas ketidakmampuan negara itu melindungi keamanan tim verifikasi Indonesia.
Bahkan, pada tahun 1986, Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja pun secara diplomatis pernah menyatakan keberatan Indonesia kepada Singapura yang menerima kunjungan Presiden Israel Chaim Herzog (waktu itu). Saat itu, Mochtar menyebut, Singapura tidak peka terhadap kebijakan politik negara-negara ASEAN terhadap Israel, termasuk Indonesia. Namun, di akhir pernyataannya, Mochtar Kusumaatmadja menambahkan kata-kata bahwa kunjungan itu merupakan masalah bilateral antara Singapura dan Israel serta merupakan hak Singapura sebagai negara merdeka berdaulat untuk mengadakan hubungan dengan negara mana pun.

Pemerintah tidak bereaksi

Alih-alih bereaksi, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto hanya mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginginkan kasus tersebut diselesaikan secara baik-baik dan mengedepankan upaya diplomasi. Menurut Djoko, instansi terkait sedang berusaha menyelesaikan masalah tersebut. Sikap Pemerintah Indonesia yang berupaya berkepala dingin dalam mengatasi krisis dengan Malaysia sesungguhnya juga dapat dipahami. Bagaimana hubungan kedua negara yang sempat terputus pada tahun 1965 dan membaik kembali pada tahun 1967 terlalu penting untuk dipertaruhkan. Bagaimanapun ASEAN, di mana Malaysia tergabung di dalamnya, adalah soko guru politik luar negeri Indonesia.

Namun, diam saja juga keliru. Pemerintah Indonesia, setidak-tidaknya Menlu, harus memprotes Malaysia jika tidak ingin memprotes keras. Dengan demikian, kemarahan banyak kalangan di Indonesia kepada Malaysia dapat diredam. Pemerintah Indonesia harus siap untuk bertindak tegas karena gesekan dengan Malaysia pasti akan terjadi lagi di masa depan. Seperti yang dikemukakan oleh Menlu Malaysia Anifah Aman, ”Gesekan dengan Indonesia pasti akan terjadi lagi. Sebagai negara yang bertetangga, pasti akan banyak masalah muncul di antara kedua negara.”

Masalah pasti akan muncul, tinggal terpulang kepada kedua negara bertetangga untuk menjaga bagaimana agar hubungan baik di antara kedua negara tetap terjaga. Namun, janganlah itu dianggap sebagai Indonesia tidak boleh bersikap tegas kepada Malaysia. Sikap tegas Indonesia itu diperlukan asalkan dilakukan secara terukur dan lewat jalur-jalur diplomatik. (Kompas/28/8/2010)