Sabtu, 30 Maret 2013

Wilayah Perbatasan, Penanganan OBP Outstanding Boundary Problems RI-Malaysia Belum Ada Kemajuan | WilayahPerbatasan.com



Wilayah Perbatasan, Penanganan OBP Outstanding Boundary Problems RI-Malaysia Belum Ada Kemajuan | WilayahPerbatasan.com



Terkait permasalahan di kawasan, ditemukan beberapa pakta yang mencengangkan, artinya sekilas kita menganggapnya biasa saja, tetapi fakta memperlihatkan bahwa masalah terkait perbatasan suatu wilayah adalah sesuatu yang mampu membawa sengketa sampai ke tingkat yang paling konyol, misalnya saling menghancurkan. Hal ini terjadi di dalam negeri dan juga perbatasan dengan negara tetangga. Indonesia mempunyai 10 negara tetangga, dan sampai sekarang belum ada perbatasannya yang sudah selesai.
Masalah perselisihan batas terjadi di berbagai provinsi, kabupaten/kota di Negara kita. Boleh dikatakan hampir semua pemda yang mempunyai persoalan perbatasan baru satu persen yang bisa diselesaikan. Di Indonersia berbagai persoalan yang terkait dengan batas pemerintahannya. Dari jumlah perbatasan yang terdiri dari 946 segmen (151 segmen provinsi, 795 segmen Kab/Kota) yang terselesaikan baru 151 segmen dan yang sudah ditetapkan dengan Permendagri baru 79 dan dalam proses 206 segmen sementara 609 segmen lagi belum tersentuh.
Di kawasan Asia hal yang sama juga terjadi, misalnya persoalan batas antara kedua Korea; masalah batas antara Thailand dan Kamboja, antara RI-Malaysia, antara Bangladesh-Birma dan masalah batas di kepulauan Spratly di laut China selatan yang menyangkut perseteruan batas antara China-Vietnam-Malaysia-Filipina dan Brunai Darussalam.
Masalah perbatasan walaupun bukan sesuatu yang sulit untuk ditetapkan ( secara teknis penetapan batas sangat mudah) tetapi persolan batas perlu dikerjakan dengan baik, sesuai dengan acuan hukum yang berlaku. Menurut Laksamana pertama Soesetya (Deputi I BNPP); sekali batas ditetapkan maka selamanya dia tidak bisa diganggu gugat. Tidak ada maaf dan tidak ada negosiasi ulang; kalaupun misalnya terjadi perang, maka Negara pemenang tidak juga bisa menetapkan batas seenaknya.
Nah kalau kita berkaca dengan penegasan perbatasan antara RI-Malaysia, disamping telah banyak yang dapat diselesaikan dengan baik dan sama-sama senang tetapi sesungguhnya kita mempunyai persoalan batas Negara dengan Malaysia. Tetapi belum tertangani dengan baik. Sebagai Negara bekas jajahan Inggris dan ditembah lagi dengan tingkat kesejahteraan Negara itu, mereka telah melaksanakan penegasan batas Negara dengan baik, dan terorganisir dengan cara-cara yang sederhana, tetapi “built-in”, artinya badan/kementerian yang menanganinya dari dahulu ya ada dalam satu kementerian.
Sangat berbeda dengan Indonesia, yang penanganannya lebih bersifat kepanitiaan dan ad-hoc. Setiap tahun pejabat dan instansi yang menanganinya berbeda dan itu sudah berjalan lebih dari 30 tahun. Untungnya sekarang Indonesia sudah mempunyai BNPP ( badan nasional pengelola perbatasan) dan kita berharap badan inilah yang akan mengelola dan menanganinya dengan baik dan sungguh-sungguh. Hanya saja setelah tiga tahun berdiri BNPP ternyata masih belum bisa memberikan solusi yang memadai. Malah terlihat justeru semakin tidak tertata dengan baik, khususnya yang terkait OBP.
Pelaksanaan survei dan penegasan batas wilayah RI – Malaysia di Kalimantan dimulai pada tahun 1975. Pada pelaksanaan survei dan penegasan batas tersebut, telah timbul permasalahan di perbatasan baik yang diakibatkan oleh perbedaan datum seperti yang dijelaskan di atas, maupun karena perbedaan interpretasi Traktat-traktat yang dibuat antara Pemerintah Belanda dengan Pemerintah Inggris. Permasalahan-permasalahan(kedua pihak menyebutnya dengan : The Out Standing Boundary Problems(OBP)tersebut.
Pada dasarnya perbatasan sepanjang 2004 km telah selesai di survey dan diukur oleh Tim bersama kedua negara. Tim bersama ini telah melakukan delineasi diatas peta dan foto udara, sama-sama melakukan pengecekan di lapangan, sama-sama melakukan proses demarkasi sesuai prosedur yang telah di setujui. Tetapi kemudian sesuai dengan pertimbangan kepentingan negaranya, pemerintah Malaysia lalu memintak untuk mengkaji ulang kembali posisi batas pada lokasi-lokasi tertentu. Itulah kemudian yang menyebabkan munculnya permasalahan OBP.

Terkait OBP ini telah dibahas dalam berbagai  pertemuan kedua belah pihak, antara lain : 

Pada pertemuan Panitia Nasional ke – 18 (Minutes Nasional/JIM ke – 18) yang diadakan di Jakarta, Indonesia, tanggal 18 – 20 Oktober 1993, antara lain telah menyetujui bahwa supaya semua masalah yang berkaitan dengan perbatasan kedua negara segera diputuskan setelah seluruh pelaksanaan survei dan penegasan batas selesai dilaksanakan. 
Pada Pertemuan Panitia Nasional ke – 25 (Minutes Nasional JMI  ke – 25) yang diadakan di Pulau Pinang, Malaysia, tanggal 24 – 26 February 2000, telah menyetujui dan memerintahkan kepada Kedua Komite Teknik untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengkaji dan mengemukakan alternatif penyelesaian permasalahan perbatasan tersebut sebaik mungkin. 
Pada Pertemuan Teknik ke – 31 (Minutes Teknik/IMT – 31) di  Bandung, Indonesia, tanggal 20 – 22 September 2000pada titik g. Agenda 7, 3)( halaman 12) menyatakan bahwa : untuk segera membentuk sebuah Kelompok Kerja (A Joint Working Group / JWG) dan menerbitkan proposal sebagai bahan pertimbangan dan persetujuan terhadap Pokja ini.
Pada Pertemuan Tingkat Nasional/The Joint Bondary Committee Meeting (Minutes Nasional/JMI – 27) di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia tanggal 29-31 Oktober 2001, telah disetujui untuk menyelenggarakan pertemuan khsusus untuk membahas TOR untuk The Joint Working Group dalam rangka membahas OSBP tersebut.
Dari Pertemuan ke 27 tersebut, diputuskan untuk diadakan Pertemuan Khusus (The Special Metting) yang diberi nama “The Special Metting to Finalise the Terms of Reference for the Joint Working Group on the Outstanding Boundary Problems on the Joint Demarcation and Survey of The International Boundary betweenIndonesia and Malaysia) di Jakarta pada 10-11 April 2002.Sejak itu sampai dengan sekarang kedua belah pihak belum bisa membahas persoalannya secara substansi dengan semua alasan yang logis dan diterima oleh kedua Negara tentunya.

Dalam hal ini permasalahan dibagi atas dua bagian besar yaitu permasalahan di sektor Barat, antara Kalimantan Barat (Indonesia) dengan Serawak (Malaysia) serta permasalahan di sektor Timur, yaitu antara Kalimantan Timur (Indonesia) dengan Sabah (Malaysia).
PERMASALAHAN DI SEKTOR BARAT
Ada 5 (lima) permasalahan di Sektor Barat batas negara antara Kalimantan Barat (Indonesia) dengan Serawak (Malaysia), yaitu :
  1. Masalah Tanjung Datu,
  2. Masalah Batu Aum,
  3. Masalah titik D.400
  4. Masalah Gunugn Raya
  5. Masalah Gunug Jagoi/Sungai Boean

Kelima masalah tersebut memang tidak tepat kalau saya uraian disini, sebab persoalannya memang masih ditangani oleh Tim dan tentu sangat tidak tepat kalau persoalannya dibuka kepada umum.
PERMASALAHAN DI SEKTOR TIMUR
Ada 5 (lima) permasalahan di Timur batas negara antara Kalimantan Timur (Indonesia) dengan Sabah (Malaysia), yaitu :
  1. Masalah Pulau Sebatik
  2. Masalah Sungai Sinapad,
  3. Masalah Sungai Sematipal
  4. Masalah di titik B.2700-B.3100
  5. Masalah di Titik C.500-C.600

Ketidak Siapan Pemerintah Indonesia 

Seperti dikemukakan, kelemahan yang paling mendasar dalam Tim Perbatasan Indonesia adalah karena sifatnya yang berpola Kepanitiaan atau ad-hoc. Secara fungsional penanganan OBP ada pada Direktorat Administrasi dan Wilayah Perbatasan, Ditjem PUM Kemdagri, sementara secara teknis keanggotaannya tersebar di Direktorat Teknis Survei dan Pemetaan yang meliputi; Badan Informasi Geospasial (BIG), Direktorat Topografi TNI-AD, Dinas Oceano Hydrografi TNI-AL, Lapan, Perguruan Tinggi dll.
Karena sifatnya yang kepanitiaan, maka personil yang menanganinya juga terus berganti sesuai dinamika di instansinya masing-masing. Sehingga secara teknis yang menguasai dan mengetahui persoalannya terus tergerus, dan bahkan sering terjadi pesertanya sama sekali tidak tahu persis apa itu perbatasan, apalagi OBP. Padahal masalah OBP sangat teknis, sangat detail yang memerlukan pemahaman teknis, sejarah dan hukum Surta itu sendiri.
Seharusnya Tim Teknis ini harus secara terus menerus melakukan kajian, yang meliputi kajian Traktat, sejarah, teknis Survei dan pemetaan. Tim ini membutuhkan dukungan teknis, baik itu peta-peta versi lama tahun 1891 an, juga data-data empiris  liputan citra dalam time frame tertentu yang kesemua itu memastikan agar Tim mengetahui secara persis wilayah yang mereka akan tentukan batasnya. Sayangnya, keinginan untuk mendukung cara kerja Tim OBP Batas yang seperti itu tidak terdukung dengan baik. Sehingga bisa dibayangkan, apa yang bisa mereka lakukan untuk mempersiapkan diri dalam berunding dengan Malaysia. Sehingga dalam puluhan tahun terahir posisi Indonesia itu boleh dikatakan hanya sebagai pengamat dan maksimalnya hanya bisa “take Note”.
Tadinya kita berharap pada BNPP, tetapi ternyata BNPP malah belum ditugasi untuk itu dan sayangnya BNPP juga tidak ada perhatian yang memadai. Jadi apa yang terjadi? Batas kedaulatan yang demikian kita hargai itu, sama sekali tidak tertangani secara memadai. Pokja OBP yang diharapkan dapat melakukan kajian yang benar, serius dan berlanjut kini sama sekali tidak jalan. Kalaupun jalan itu hanya oleh karena “kesadaran” para orang per orangnya yang masih mau melakukan “kajian” secara bergilir di kantonya setelah jam kantornya usai. Artinya mereka sama sekali tidak memperoleh dukungan. Sebenarnya hal ini terjadi karena mereka yang tengah diberi kewenangan untuk menanganinya, tetapi tidak menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya.
Jadi bagaiamana kita mengatakan ini pada mereka yang menjadi pengelola atau ketua atau anggota pokja OBP perbatasan RI-Malaysia. Sungguh sebuah ke alfaan yang menurut penulis tidak akan pernah termaafkan. Kita mengharapkan Pokja OBP ini bisa bekerja optimal, dengan target yang jelas, jadwal kerja yang konkrit dan dukungan material yang baik. Sayangnya hal itulah yang belum bisa Indonesia lakukan. Konyol memang, tetapi itu nyata. Padahal di kalangan Asean Indonesia selalu dianggap bijak terkait masalah perbatasan; padahal nyatanya persiapan untuk itu sama sekali jauh dari memadai. 


Selasa, 26 Maret 2013

Wilayah perbatasan, Wujudkan Penyelesaian Perbatasan RI-Timor Leste Sebagai Simbol Kebersamaan | WilayahPerbatasan.com



Wilayah perbatasan, Wujudkan Penyelesaian Perbatasan RI-Timor Leste Sebagai Simbol Kebersamaan | WilayahPerbatasan.com



oleh harmen batubara

Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membuka kegiatan Jakarta International Defense Dialog di  Jakarta Convention Center, Rabu (20/3). Dialog ini diikuti oleh 1.300 peserta dari 45 negara. Mereka terdiri atas pejabat pertahanan internasional, spesialis keamanan dan dan kalangan militer. Tema Dialog “Pertahanan dan Diplomasi di Kawasan Asia-Pasifik” ini dinilai Presiden SBY sangat relevan mengingat secara geopolitik dan geoekonomi wilayah ini sangat bertalian erat.
Presiden mengakui bahwa kawasan ini menghadapi tantangan-tantangan khususnya berkaitan dengan perselisihan perbatasan dan yurisdiksi. Presiden juga menilai tantangan utama dalam mempromosikan keamanan internasional adalah bagaimana membangun kepercayaan strategis antara negara-negara di wilayah ini. Menurut Presiden; “Ketika dua atau lebih pihak mulai memiliki keyakinan mengenai goodwill dan niat yang lain, maka artinya mereka mempertaruhkan kepercayaan. Hal ini akan memungkinkan mereka untuk bekerja sama lebih, untuk berinvestasi satu sama lain, untuk mempercayai naluri mereka, dan mengerahkan lebih banyak upaya untuk perdamaian,” ungkap Presiden dalam sambutannya.
Dalam sambutan tersebut Presiden mencontohkan hubungan antara Indonesia dan Timor Leste. Ia mengisahkan, kedua negara itu pernah memiliki sejarah pahit dan kondisi yang sulit. Begitu banyak nyawa melayang, property yang tidak ternilai dengan hanya sebatas materi, emosi yang terbakar, rasa nasionalisme tercederai  dan banyak kalangan menilai bahwa trauma perang masa lalu akan terus membekas dan merusak hubungan kedua negara. “Tapi kami telah membuktikan bahwa penilaian orang-orang itu salah. Berbekal niat baik dan keberanian, baik Indonesia maupun Timor Leste bersama-sama bertekad membangun suatu hubungan baru,” tegas SBY.
Menurut Presiden hubungan antara Indonesia dan Timor Leste adalah yang terbaik di antara negara tetangga di kawasan ini. “Kepercayaan antara PM Timor Leste Xanana Gusmao dan saya sangat kuat,” kata Presiden SBY. Dalam ahir sambutannya, Presiden SBY mengajak  para peserta menyebarkan kepercayaan satu dengan yang lain. Menurut Presiden, membangun kepercayaan tidak cukup di kalangan pemimpin tingkat tinggi, tetapi harus juga di sosialisasikan ke level bawah. “Ingat sering kali aksi dan keputusan yang diambil oleh pejabat tingkat rendah dapat menimbulkan dampak yang lebih besar. Oleh karena itu, kepercayaan dan percaya diri harus disebarkan secara luas”.  

Kondisi Perbatasan RI-Timor Leste 

Pada 15 Agustus 2012 Tim terpadu yang diketuai T.H Susetyo bersama 17 anggotanya melakukan peninjauan ke lokasi konflik perbatasan di Desa Haumeni Ana, Kecamatan Bikomi Nailulat, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), selama dua hari. Ketua Tim Terpadu dari Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), T.H. Susetyo, mengatakan masih terdapat tiga segmen batas negara antara Indonesia-Timor Leste yang masih disengketakan yang belum disepakati kedua negara.
Ketiga segmen itu pertama, di Noelbesi Citrana, Desa Netemnanu Utara, Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, dengan Distrik Oecusee, Timor Leste, menyangkut areal persawahan sepanjang Sungai Noelbesi, yang status tanahnya masih merupakan daerah steril. “Segmen ini, pernah dibahas dua tahun lalu, tapi belum ada kesepakatan antarkedua negara sehingga diputuskan status tanahnya sebagai zona netral,” katanya.
Menurutnya, pembahasan tentang masalah batas wilayah daratan yang masih disengketakan, harus terus dilakukan agar bisa mendapatkan titik temu. Untuk pembahasan ini, katanya, harus melibatkan tokoh adat dan tokoh masyarakat dari kedua wilayah sebelum dibahas pada pertemuan bilateral antara kedua negara. 

Perlu Pendekatan Baru

Dalam kaitannya dengan kunjungan Xanana ke Jakarta, menlu Indonesia Marty N, menambahkan pertemuan Presiden Yudhoyono dengan Xanana juga menyinggung tentang rencana menyelesaikan tiga titik perbatasan Indonesia dengan Timor Leste. “Ada masalah yang belum tuntas yaitu masalah perbatasan, embarkasi perbatasan antara Timor Leste dan Indonesia. Seperti diketahui, kurang lebih 90% perbatasan darat Indonesia dan Timor Leste sudah terselesaikan, namun ada ada tiga titik yang belum tuntas embarkasinya”.
Tiga titik perbatasan yang akan diselesaikan yang dimaksud Marty adalah Dilumik-Memo, Bijael Sunan-Oben, dan Noel Besi-Citrana. Marty menyebut embarkasi yang akan diselesaikan yakni untuk keberangkatan
“Tadi dibahas dan komitmen kedua pemerintahan untuk menyelesaikan masalah ini dalam waktu yang relatif singkat. Bukan saja menyelesaikan embarkasi keberangkatan, melainkan juga memperkenalkan suatu pengaturan di kawasan perbatasan sehingga memungkinkan warga Timor Leste dan warga Indonesia yang berada di sisi perbatasan masing-masing untuk bisa melanjutkan hubungan sosial dan kekeluargaannya selama ini yang telah terjalin di antara mereka,” papar Marty.
Presiden SBY menilai hubungan antara Indonesia dan Timor Leste berlangsung dengan baik. “Sebagai pemimpin kita harus memastikan bahwa hal tersebut dapat ditingkatkan dari waktu ke waktu,” tambahnya. Ia mendapat laporan dari Duta Besar Indonesia untuk Timor Leste, bahwa situasi di sana berjalan lancar. Dan SBY memastikan Indonesia akan selalu mendukung dan melanjutkan kemitraan dan kerjasama yang telah terjalin di antara kedua negara. Selain batas wilayahnya sendiri, hal lain yang dibahas kedua pemimpin adalah pengaturan di perbatasan yang memungkinkan warna negara Timor Leste maupun Indonesia masing-masing melanjutkan hubungan sosial dan kekeluargaan yang telah terjalin.
Untuk menyelesaikan permasalahan batas di tiga lokasi tersebut, sebenarnya tidaklah susah. Selama ini yang jadi masalah adalah pola pendekatan penyelesaian yang di ketengahkan masing-masing pihak. Pihak Timor Leste dengan dipandu oleh ahli perbatasan UNTEAD menekankan bahwa penyelesaian perbatasan hanya mengacu kepada Traktat antara Belanda-Portugis Tahun 1904 dan sama sekali tidak berkenan memperhatikan dinamika “adat istiadat “ yang berkembang di wilayah tersebut. Padahal dan sebenarnya dinamika tersebut telah secara langsung ikut mempengaruhi posisi batas. Hal itu telah menjadi efektip serta sudah mereka “lakoni” dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sementara pihak Indonesia, dan berdasarkan fakta yang ada mengusulkan agar pendapat masyarakat adat ini ikut dipertimbangkan. Maka tentu saja terjadilah “jalan Buntu”.
Kalau kedua belah pihak, sama-sama berpegang pada “kepentingannya” masing-masing, maka sampai kapanpun akan sulit mencarikan solusi yang bisa diterima kedua belah pihak. Karena itu harus ada pendekatan baru, mencari “win-win solution” dengan catatan warga setempat tidak dirugikan tetapi sebaliknya di untungkan. Kalau hal seperti itu bisa diterima, maka batas itu bisa dicarikan posisinya yang bisa diterima para pihak.

Rabu, 13 Maret 2013

Wilayah Perbatasan, Lebih Santai Berunding Batas Dengan Sultan Sulu | WilayahPerbatasan.com

Wilayah Perbatasan, Lebih Santai Berunding Batas Dengan Sultan Sulu | WilayahPerbatasan.com


Wilayah Perbatasan, Lebih Semangat Berunding Batas Dengan Sultan Sulu


Malaysia tidak pernah ragu-ragu, negara itu melakukan serangan udara di pagi Selasa tanggal 5 Maret 2013; 8 jet tempur Angkatan Udara Malaysia yang terdiri dari 3 Hornet dan 5 Hawk berusaha meluluh lantakkan kawasan “hunian” pejuang Sulu yang sudah melakukan penyusupan sejak  9 Februari 2013 di Kampung Tanduo Lahad Datu Sabah.  Serangan itu kemudian dilanjutkan dengan pengerahan ribuan militer Malaysia berikut persenjataan berat berupa kendaraan lapis baja dan artileri. 

Sementara pemerintah Filipina hanya bisa berharap dan mendesak Malaysia untuk melakukan toleransi maksimum untuk menghindari pertumpahan darah lebih lanjut. Menteri Luar Negeri Filipina Albert del Rosario berada di Kuala Lumpur untuk bertemu dengan menteri luar negeri Malaysia. “Kami telah melakukan segala sesuatu untuk mencegah hal ini terjadi, tapi pada akhirnya orang-orang Sulu memilih jalan ini,” kata juru bicara Presiden Filipina, Ricky Carandang. 

Menteri Luar Negeri Malaysia, Anifah Aman mengatakan kepada TV3, Malaysia menganggap kelompok Filipina sebagai teroris yang telah melakukan kekejaman dan kebrutalan. Dia juga meminta Filipina melakukan aksi hukum melawan Sultan Sulu Jamalul Kiram III. Bagaimanapun, krisis di Lahad Datu telah memicu kekhawatiran timbulnya ketidakstabilan di Sabah karena sejumlah warga Filipina bersenjata telah memasuki kabupaten lain di Sabah. Kepala Polisi Malaysia Ismail Omar mengatakan aparat polisi dan militer masih memburu orang-orang Filipina di daerah Lahad Datu yang mencakup lahan perkebunan dan medan berbatu.

Kalau Melihat Kesombongan Malaysia Mengklaim wilayah NKRI

Dalam hal perundingan perbatasan, selama ini, pihak Malaysia tidak pernah memberikan sedikit tolerasi meskipun sedikit, terhadap semua perundingan batas dengan Negara itu. Misalnya ketika dua Negara sepakat untuk mendirikan titik nol bersama, antara provinsi Kalimantan Barat dan Sarawak di Jagoi Babang-Serikin sat masa dahulu, padahal hanya titik simbolis saja, tanpa ada arti apa-apa, dan kedua Negara sudah sepakat pula. Tapi pada saat akan dilaksanakan Negara Malaysia itu malah mengulur waktu hingga 4 tahun, dengan alasan di wilayah itu masih ada silang sengketa. Padahal dalam waktu yang sama, mereka mengajukan pemasangan kabel listrik tegangan ekstra tinggi sepanjang 520km dari Tanjung Datu Kalimantan Barat ke Semananjung, Malaysia dan anehnya mereka menyewa ahli kelautan Indonesia. Begitu juga dengan protes mereka atas jalan setapak yang dibuat warga sebatik, di Pulau Sebatik. Padahal di kedua wilayah itu nyata-nyata masih di dalam wilayah Indonesia.

Pendek kata, banyak hal terkait perbatasan yang pihak Malaysia sangat licik pikirannya dan selalu mikirkan untungnya saja. Begitu juga dengan yang terjadi dengan Ambalat. Malaysia dengan peta yang diterbitkannya tahun 1979 telah menetapkan secara sepihak batas laut antara Sabah dan Kalimantan Timur dengan antara lain:

a.   Memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayahnya sebagai titik dasar.

b.   Menarik garis dasar lurus(garis pangkal) dari Sipadan sampai ke perbatasan darat Indonesia – Malaysia di pulau Sebatik.

c.   Menarik garis tengah antara garis dasar Malaysia tersebut dan garis dasar perairan Kepulauan Indonesia berdasarkan UU No.4/Prp. 1960 di pulau-pulau sebelah timur Provinsi Kalimantan Timur.

Indonesia menolak kebijakan sepihak, antara lain karena:

a.   Status pulau Sipadan-Ligitan yang masih dipersoalkan pada waktu itu.

b.   Malaysia tidak berhak menarik garis lurus dari Sipadan ke perbatasan Pulau Sebatik, karena bukan Negara kepulauan.

c.   Andaikatapun Sipadan – Ligitan merupakan wilayah Malaysia, banyak praktek hukum internasional menunjukkan bahwa pulau-pulau kecil yang terletak jauh di tengah laut belum tentu berhak atas garis tengah dengan wilayah Negara yang ada di hadapannya.

        Ada beberapa hal kenapa belakangan ini Malaysia seperti menantang kepemilikan serta hak-hak Indonesia, bukan saja terhadap wilayah kedaultan (sovereignty) Indonesia (K.Unarang), tetapi juga terhadap hak-hak berdaulat (soverign rights) Indonesia atas kekayaan alam ZEE ataupun di landas kontinen kawasan blok Ambalat, antara lain ;

a.   Malaysia menarik garis pangkal lurus laut wilayah antara Sipadan dan perbatasan darat Indonesia-Malaysia di pulau Sebatik. Cara ini ditentang oleh Indonesia dan Negara-negara lain karena tidak sesuai dengan hukum internasional.

b.   Malaysia mungkin menjadi terlalu percaya diri dan melihat berbagai isu politik dan KESULITAN-KESULITAN INDONESIA di dalam negeri dewasa ini sebagai peluang dengan harapan Indonesia tidak akan menghadapi Malaysia secara sungguh-sungguh.

c.   Malaysia mungkin berusaha menuntut sebanyak mungkin terlebih dahulu sebelum memulai berunding dan kemudian baru mencari “kompromi”.

d.   Malaysia barangkali bersedia berdialog mengenai Ambalat dengan konsesi tanpa membahas perbatasan ZEE antara kedua Negara di selat Malaka dan laut Cina Selatan yang selalu dikehendaki Indonesia.


Sabah Dalam Sejarah Tempo Doeloe

Dalam catatan sejarah Abad ke 17, kongsi dagang Hindia Belanda VOC mulai memperluas wilayah jajahan ke Borneo Timur atau Kalimantan Timur. Pada tahun 1635 Garit Thomasen Pool untuk pertama kalinya diutus Pemerintah Hindia Belanda berkunjung ke Kaltim melakukan kontak dagang dengan Kerajaan Kutai Kartanegara, tetapi usaha ini tidak berhasil. Pada Tahun 1671 Belanda mengutus lagi Paoelos De Bock dengan kapal Chiolop de Noorman melakukan perluasan wilayah jajahan ke Kalimantan Timur. Mereka melakukan kontak dagang dengan kerajaan Kutai Kartanegara di Tenggarong
Pada tahun Tahun 1672 Frans Heys dengan tiga Kapal dagang berkunjung ke Kerajaan Kutai Kartanegara untuk melakukan kontak dagang. Karena hasilnya kurang memuaskan maka mereka meneruskan perjalanan ke pesisir Timur pantai Kalimantan hingga Kalimantan Utara yang sekarang menjadi Negara bagian Sabah Malaysia Timur. Disuatu tempat kawasan pantai yang disebut Tanjung Tinagat (kini Tawau), Belanda membuka perkampungan baru. Disini mereka mendirikan perwakilan dagang sebagai bagian dari wilayah jajahan mereka. Pada sebuah batu yang menjorok ke laut diukir lambang VOC yang secara jelas bisa dilihat dari laut sebagai bukti bahwa Tanjung Tinagat (Tawau) adalah merupakan wilayah jajahan Hindia Belanda.
Dibagian lain, Inggris yang telah menguasai India, Burma, semenanjung Malaya, dan Singapura, juga tengah memperluas wilayah jajahan di Borneo Utara. Serawak, Brunei dan Sabah berhasil diduduki. Inggris berniat memperluas wilayah jajahanya hingga Tawau, tetapi tidak berhasil. Kota Tawau lebih dahulu dikuasai Belanda. Mereka terikat perjanjian bahwa sesama Bangsa Eropa tidak boleh saling merebut wilayah jajahan yang sudah dikuasai.
Akan tetapi keinginan Inggris tidak berhenti sampai disitu. Dengan sengaja Inggris membuat kekacauan di Tawau. Suku Heban dan suku suku lain diadu domba bahwa mengayau atau memenggal kepala Manusia diperbolehkan dengan alasan adat. Maka terjadilah perang antar suku di Kota Tawau. Di muara sungai Tawau dirintangi berbagai pohon yang sengaja ditumbangkan. Kapal-kapal dagang Belanda dan kapal dagang asing dirampok, awak kapalnya dibunuh. Kantor maskapai VOC Belanda diserang kemudian dibakar. Batu cadas yang bertuliskan lambang VOC diujung tanjung dihancurkan oleh agen Inggris untuk menghilangkan bukti tapal batas wilayah jajahan Belanda.
Meluasnya kekacauan di Tawau membuat Belanda merasa kewalahan. Akhirnya orang-orang Belanda menyingkir kesebuah desa yang disebut Kampung Pembeliangan. (kini berada di Kabupaten Nunukan). Disini Belanda berkirim surat Kepada Raja Bulungan Sultan Kaharuddin minta dijemput. Maka sultan mengirim beberapa perahu mengambil orang-orang Belanda untuk dibawa ke Tanjung Palas, ibukota kerajaan Bulungan.
Sesampai di Tanjung Palas Sultan Kaharuddin mengajukan penawaran Kepada orang-orang Belanda apakah akan pulang kenegeri Belanda atau tetap ingin tinggal di Bulungan. Ternyata mereka memilih untuk tetap tinggal di Kerajaan Bulungan. Oleh Sultan kaharuddin Orang-orang Belanda ini diberi tempat tinggal berupa tanah seribu depa diseberang Sungai Kayan. Tempat orang-orang Belanda ini sekarang menjadi Kota Tanjung Selor, ibuKota Kabupaten Bulungan.
Sementara itu di Eropa, ternyata Belanda terdesak (rongrongan Francis) dan mengakibatkan Ratu Belanda terpaksa mengungsi ke London. Posisi Ratu Belanda yang tengah terjepit itulah kemudian yang secara halus telah memaksa Belanda dengan “Rela” melapaskan Tawau ke Inggris. Dan selama ini “pola “ semacam itulah yang selalu Malaysia terapkan kepada negara-negara tetangganya. Kalau negara tetangganya lagi “terjepi” maka mulailah mereka melancarkan “jurus jitu” memperkaya negara sendiri. Sebuah budaya yang sama sekali berbeda dengan budaya Indonesia. Budaya yang memanggap tetangga nya sebagai saudara dan bersedia membrikan berbagai kemudahan demi kebaikan bersama.

Lebih Enak Berunding Batas Dengan Sultas Sulu

Memang sih kalau melihat apa yang terjadi dengan tuntutan Sultan Sulu, bisa jadi adalah sesuatu yang nyata dan syah, tetapi sudah di telan zaman. Lain hal kalau Filipina memperkuat klaimnya sesuai dengan utusan pemerintah Filipina tahun 1962 ke London; dan mengingatkan bahwa Sabah itu adalah wilayah Filipina. Yang tidak bisa bersatu begitu saja dengan federasi Malaysia. Tetapi sekali lagi, yang namanya Inggeris, memang “licik” dari sananya. Sehingga mereka bulat-bulat menganggap “uang sewa” sebagai “uang pembelian” sabah dari Sultan Sulu. Maka jadilah Sabah sebagai bagian federasi Malaysia.

jumlah warga Sabah asal Filipina, khususnya Muslim Filipina dari Mindanao sebenarnya tergolong besar. Perdagangan di Kinabalu boleh dikatakan dikuasai oleh warga Muslim Filipina. Hanya anehnya. warga sabah asal Filipina Selatan ini tidak dianggap sebagai warga negara. Mereka hanya dianggap sebagai penduduk tetap bahkan banyak diantaranya  yang diangap sebagai pendatang gelap.

Sesuai data Biro Statistik Malaysia 2010, mayoritas penduduk Sabah adalah warga pendatang yang bukan berkewarganegaraan Malaysia. Komposisinya, dari sekitar 3,2 juta populasi Sabah, 27,81 persen adalah warga pendatang, di urutan kedua, warga Bumiputra (20 persen), urutan ketiga dan selanjutnya berturut-turut adalah; Kadazan-Dusun (17,82 persen), Bajau (14 persen), Cina (9,11 persen) dan Brunei-Melayu ( 5,71 persen).

Banyaknya warga Filipina di Sabah disebabkan kehidupan mereka di Filipina Selatan kurang lebih sama dengan di Indonesia yang sama sekali tidak member harapan. Indonesia dan Filipina adalah dua negara Terkorup di Asia, yang program pembangunannya sangat bagus dan ideal, tetapi uangnya di korupsi oleh para pejabatnya. Ya di eksekutif, legislative dan bahkan Yudikatif.  Tidak heran, warga Filipina Selatan dan Indonesia tertarik untuk merantau ke Sabah. Secara geografis, lokasi Sabah sangat dekat dengan Pulau Sulu di Filipina Selatan. Bisa ditempuh dalam waktu satu jam dengan perahu motor dan lima belas menit dari Pulau Sebatik.
Kalau terkait perundingan perbatasan, tentu saja saya yakin bahwa berunding dengan Sultan Sulu akan jauh lebih ramah dengan suasana persaudaraan yang bertetangga. Namun demikian saya juga tidak berharap intelijen Indonesia menyusupkan pejuang pembebasan Moro lewat Pulau Sebatik atau lewat Simenggaris atau mana saja di sepanjang pantai dan perbatasan kedua negara. Saya hanya konsern dengan Ambalat yang begitu besar potensinya. Malaysia jauh hari sudah menggeser kekuatan pertahanannya ke arah Ambalat; sudah menjadikan Tawao sebagai kota dagang dengan pelabuhan laut dan udara terbesar di kawasan dan juga pangkalan Kapal Selamnya Malaysia. 
Sementara Indonesia para elitnya masih cari komisi ke sana kemari cari Alut Sista yang bisa di embat. Bisa dibayangkan dari kasus Simulator SIM saja elit keamanan Indonesia bisa “nabung” hingga 30 asset tanah, rumah, apartemen dan SPBU, padahal hanya dari anggaran ± 200 M. Apalagi ini dari anggaran yang mencapai Triliunan atau ribuan milyar? Anda bayangkan sendiri sajalah. 

Selasa, 05 Maret 2013

Perbatasan Tertinggal, Mengharapkan BNPP Mensinergikan Pembangunan Wilayah Perbatasan | WilayahPerbatasan.com

Perbatasan Tertinggal, Mengharapkan BNPP Mensinergikan Pembangunan Wilayah Perbatasan | WilayahPerbatasan.com


Upaya untuk terus mengembangkan wilayah perbatasan dalam retorikanya masih terus di upayakan, meski dan terus terang dengan adanya BNPP nampaknya perbatasan masih belum bisa keluar dari pola pembangunan cara lama; mengampanyekan wilayah perbatasan dengan maksud mempengaruhi besaran anggaran. Setelah anggaran di peroleh, maka pola lama kembali muncul, dana pembangunan itu hanya sampai di ruang-ruang rapat hotel-hotel berbintang di Ibu kota dan kota provinsi. Wilayah perbatasan, hanya jadi objek bancaan. Bagaimana setelah ada BNPP?
Hal itu kita bisa lihat dari realitas pantauan media, seperti pemberitaan Kompas 20 februari 2013 misalnya menuliskan; menurut mereka “Ketelantaran dan ketertinggalan wilayah perbatasan RI merupakan produk warisan rezim Orde Baru (Orba). Pemerintah rezim Orba tidak pernah membangun wilayah perbatasan. Pemerintah saat ini pun dinilai tidak berbuat banyak untuk membangun daerah perbatasan tersebut.”
Salah satu upaya untuk mengambil perhatian para pemerhati wilayah perbatasan adalah dengan pembuatan film Tanah Surga. Seperti kita ketahui Film Tanah Surga yang mendapat enam Piala Citra berbagai kategori ini mengisahkan keterbelakangan kehidupan sebuah desa perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak. Haris, anak Hasyim, seorang veteran pejuang Dwikora, harus menjadi buruh migran di Malaysia. Salman, cucu Hasyim, tinggal di desa perbatasan dan belajar mencintai Indonesia yang miskin papa.
Peneliti sosial politik LIPI, Ikrar Nusa Bhakti, mengatakan, film Tanah Surga merupakan potret nyata kondisi perbatasan RI. Ikrar yang lahir di Papua menegaskan, sejak tahun 1960-an tidak banyak perubahan di perbatasan RI yang tetap miskin dan tertinggal. Demikian pula sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, mengatakan, film tentang perbatasan RI sangat relevan dengan upaya MEMBANGUN NASIONALISME SAAT INI. ”Kalimantan Barat dari kualitas indeks penduduk hanya sedikit di atas Papua. Sama-sama tertinggal sebagai daerah perbatasan,” kata Asvi.
Perbatasan Laut Kita Juga Memprihatinkan
Untuk melihat keadaannya mari kita lihat laporan Ong (Kompas,26 Februari 2013). Dalam tulisan itu digambarkan “Karena sengketa perbatasan laut belum selesai, kapal patroli instansi pemerintah dapat mengawal nelayan Indonesia yang melaut. Kepala Dinas Hidro Oseanografi TNI AL Laksamana Pertama Aan Kurnia mengatakan, langkah tersebut ditempuh sejumlah negara untuk menegaskan komitmen mengelola wilayah laut yang dipercayai bagian dari hak negara. Tapi bagaimana di Indonesia?”
Menurut Aan yang berbicara dalam seminar ”Sosialisasi Batas Maritim RI dengan Negara Tetangga” di Jakarta, Senin (25/2/2013), dengan aktif hadir di wilayah sengketa, sebuah negara menunjukkan komitmen atas kedaulatan. Langkah serupa dilakukan Malaysia di Pulau Sipadan-Ligitan dan perairannya semasa sengketa dengan Indonesia.
Dia mengakui, kapal nelayan Indonesia sering ditangkap aparat Malaysia karena penyelesaian persoalan klaim batas wilayah belum selesai. Pihak Malaysia dan Indonesia saling berpegang pada klaim unilateral (sepihak). Indonesia berbatasan laut dengan 10 negara. Batas maritim Indonesia mencakup laut wilayah, batas zona ekonomi eksklusif (ZEE), dan batas landas kontinen.
Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Linggawaty Hakim dan mengatakan, Indonesia dengan Malaysia masih ada lima segmen perbatasan laut yang belum selesai. Kedua negara telah berunding sejak 2005 dan sudah memasuki 24 putaran. Akhir bulan inipun, delegasi Malaysia akan ke Jakarta. Mudah-mudahan sebelum 2014 sudah ada segmen perbatasan laut RI-Malaysia yang disepakati, seperti di Laut Sulawesi, yakni kawasan Ambalat dan lain-lain,” ujar Linggawaty. Sementara di perbatasan darat kedua negara juga masih punya “ketidak sepakatan di 10 lokasi atau 10 Outstanding Boundary Problem”.
Yang menarik dari seminar tersebut adalah besarnya potensi yang bisa diajak kerja sama untuk pembangunan wilayah perbatasan. Misalnya seperti yang dilakukan oleh PT Bank Rakyat Indonesia,  PT Pertamina yang bekerja sama dengan TNI AD dalam Program Karya Bhakti. TNI AD diharapkan menyokong program dengan mengerahkan personel. Direktur Utama BRI Sofyan Basir mengatakan, BRI telah menghadirkan 9.000 unit kerja BRI di pelosok Indonesia. Kepala Staf TNI AD Jenderal Pramono Edhie Wibowo menuturkan, program seperti ini jelas memajukan masyarakat Indonesia dan menciptakan masyarakat berkualitas. ”Kalau kita menyayangi masyarakat, kita akan dijaga masyarakat,” ujar Pramono. Persoalannya, bagaimana BNPP mengoptimalkan peran serta seperti ini? Apakah BNPP hanya fokus pada asik dengan programnya saja dan membiarkan potensi yang ada lepas begitu saja? Lihat Juga BNPP Disini.

Sabtu, 02 Maret 2013

Ekspedisi NKRI 2013 Jelajah, Teliti dan Silaturrahmi | WilayahPerbatasan.com

Ekspedisi NKRI 2013 Jelajah, Teliti dan Silaturrahmi | WilayahPerbatasan.com


Setelah menggelar Ekspedisi Bukit Barisan 2011, Ekspedisi Khatulistiwa 2012, tahun ini Komando Pasukan Khusus kembali mengajak para dan perguruan tinggi untuk Ekspedisi NKRI 2013 di Sulawesi. Tujuan ekspedisi ini adalah Kabupaten Kepulauan Sangihe Talaud dan Minahasa (Sulawesi Utara), Kabupaten Bone Bolango (Gorontalo), Kabupaten Sigi dan Luwuk Banggai (Sulawesi Tengah), Kabupaten Mamuju (Sulawesi Barat), Kabupaten Tanah Toraja dan Gowa (Sulawesi Selatan), dan Kabupaten Kolaka (Sulawesi Tenggara).
Ekspedisi NKRI 2013  dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Format ekspedisi meliputi Penjelajahan, Penelitian dan Komunikasi Sosial. Kementerian atau lembaga yang terlibat dalam Ekspedisi NKRI 2013  terdiri atas 14 Kementrian, 6 Lembaga non Kementerian, TNI dan POLRI. Salah satu lembaga non kementerian yang terlibat dalam ekspedisi ini adalah LIPI. Dalam hal ini, LIPI akan melibatkan Puslit Oseanografi dan Puslit Biologi.
Personel yang dilibatkan dalam ekspedisi NKRI  ini berjumlah 1.468 orang yang berasal dari Kopassus, Kostrad, Raider, Paskhas, Marinir, TNI AL, Pusjarah TNI, Penerbad, Dispenad, Pusterad, Polri, Kemenkokesra, Menwa, KNPI, mahasiswa, pemda, media cetak dan elektronik.
Unpad pun kembali ikut berperan serta menjadi bagian dalam kegiatan ekspedisi yang mengikutsertakan peneliti, dosen, pecinta alam, hingga para mahasiswa. Sebagai tindak lanjut dari kegiatan tersebut, digelar Sosialisasi “Ekspedisi NKRI Koridor Sulawesi 2013”, Jumat (01/02/2013) di Bale Sawala Kampus Unpad Jatinangor. Dihadiri secara langsung oleh Komandan Jenderal Kopassus, sekaligus Komandan Ekspedisi NKRI, Mayjen TNI Agus Sutomo, Ia mengajak mahasiswa Unpad untuk bersama-sama melestarikan kekayaan Indonesia melalui ekspedisi tersebut.
Dari sisi Perguruan Tinggi ROHNYA “Ekspedisi ini memiliki kesamaan tujuan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni terdapat pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.” Bila diurai, kegiatan ekspedisi ini merupakan ajang silaturahmi nasional antara TNI, peneliti, pencinta alam, dan mahasiswa yang bersama-sama menjelajah daerah hingga ke kawasan terpencil untuk membawa manfaat bagi masyarakat Indonesia. Terlebih lagi kali ini dipadukan dengan pembangunan fisik dari jajaran Kementerian Pekerjaan UMUM.
Dari dua ekspedisi sebelumnya, disamping memberikan pengalaman, juga sudah menemukan beberapa penemuan flora dan fauna baru atau langka. Bahkan, dalam Ekspedisi Khatulistiwa 2012 tahun lalu, peneliti dan mahasiswa telah menemukan sekitar 909 spesies flora dan fauna yang baru, langka, maupun yang belum teridentifikasi sebelumnya. Unpad sendiri mengapresiasi positif kegiatan ekspedisi tersebut. Menurut Wakil Rektor III Unpad, Dr. Setiawan, kegiatan ini mendorong mahasiswa dan dosen dapat berinteraksi dengan berbagai komponen lainnya untuk bisa meningkatkan kepedulian serta meningkatkan karakter berdasarkan pengalaman selama ekspedisi. Unpad selalu mendorong para mahasiswanya untuk ikut terlibat dalam ekspedisi kali ini.
Komunikasi Sosial Kebangsaan
Sebanyak 20 kementerian/lembaga akan terlibat dalam tim Ekspedisi NKRI 2013 Koridor Sulawesi, yang melakukan penjelajahan, penelitian dan komunikasi sosial di sembilan kabupaten di Sulawesi. Ke-20 kementerian/lembaga yang terlibat itu, antara lain, Kementerian Koodinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra), Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kehutanan, Kementerian Sosial, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Dalam ekspedisi ini ke-20 kementerian-lembaga tersebut bisa langsung melakukan “action” di lapangan, sehingga bisa langsung menyentuh dan dirasakan oleh masyarakat pedalaman maknanya. Misalnya, Kementerian Pekerjaan Umum bisa membangun infrasktruktur jembatan dan sumur bor dalam penyediaan air bersih di pedalaman. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa langsung membantu melakukan perbaikan kelas sekolah yang rusak. Begitu juga, Kementerian Kesehatan bisa memperbaiki puskesmas yang rusak dan menambah tenaga kesehatan bagi puskesmas yang kekurangan.
Ini yang membedakan dengan ekspedisi sebelumnya, di mana hanya melakukan penjelajahan dan penelitian. Ekspedisi kali ini berada dibawah naungan Kemenko Kesra dan hasilnya bisa lebih maksimal serta bisa menyentuh langsung kepada masyarakat pedalaman.
Jumlah personel yang terlibat dalam ekspedisi NKRI 2013 ini sebanyak 1.450 orang. 800 orang personel merupakan anggota TNI, Polri, mahasiswa dan pencinta alam dari pusat; sementara anggota TNI dan Polri serta masyarakat di daerah sebanyak 650 orang, sehingga totalnya diperkirakan mencapai 1.450 orang. Anggota TNI yang dilibatkan, yakni Pusat Sejarah (Pusjarah) TNI, Puspen TNI, Kopassus, Kostrad, Pasukan Khas (Paskhas) TNI AU, TNI AL, Raider, Marinir AL, Penerbad, Direktorat Zeni AD, Direktorat Topografi AD, dan Pusterad.
Juga ada beberapa tim yang dilibatkan dalam ekspedisi ini, yakni Tim Kehutanan (Kementerian Kehutanan, IPB, UGM, Wanadri dan anggota Kopassus); Tim ahli geologi dan potensi bencana (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI, Puslitbang Geologi Kelautan, Laboratorium Petrologi dan Mineralogi UNPAD, Pusat Survei Pemetaan Geologi Bandung, Geologi UGM, dan anggota Kopassus). Selain itu, Tim sosial budaya, yakni tim arkeologi UI; antropologi UI, FISIP UNPAD, UGM; dan Psikologi berasal psikolog UNPAD. Tim flora dan fauna berasal dari Puslit Biologi LIPI, Fak Biologi UGM, Undip, FMIPA UNPAD
Menurut Deputi I Menko Kesra Willem Rampangilei, mengatakan, tidak ada anggaran khusus dalam melakukan ekspedisi ini, namun anggaran tersebut berasal dari sejumlah kementerian/lembaga yang terlibat. Menurutnya anggaran tersebut dari kementerian terkait sesuai dengan program yang mereka miliki. Jadi dari anggaran masing-masing di integrasikan dalam program ekspedisi ini, demikian Willem.
Ia mengatakan, ada tiga roh dalam ekspedisi kali ini, yakni penjelajahan, penelitian dan komunikasi sosial. Dengan adanya penjelajahan prajurit TNI dan masyarakat lebih mengenal situasi daerah Indonesia, pasalnya Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar. Dari dua ekspedisi sebelumnya banyak temuan-temuan yang luar biasa baik dalam bidang flora, fauna, dan kearifan lokal masyarakat, katanya seraya mengatakan kehadiran ekspedisi ini merupakan perwakilan pemerintah untuk membina silaturahmi serta dapat langsung menyapa masyarakat, khususnya daerah terpencil yang belum tersentuh.
“Ini juga dimanfaatkan untuk kegiatan bela negara, memberikan keterangan soal KB, membangun kerukunan, yang selama ini belum dapat dilaksanakan dengan efektif,” paparnya. Ekspedisi ketiga ini berbeda dengan ekspedisi sebelumnya, di mana akan didukung oleh sejumlah kementerian/lembaga yang terkait, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan. Sasaran utama ekspedisi ini meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui tiga kegiatan, penjelajahan, penelitian dan Komsos. Kegiatan lainnya seperti seperti baksos, pengobatan gratis, sunatan massal dan lainnya.