Sabtu, 13 April 2013

Dinamika Batas Daerah Sebelum Era Orde Baru, Wilayah Perbatasan | WilayahPerbatasan.com



Dinamika Batas Daerah Sebelum Era Orde Baru, Wilayah Perbatasan | WilayahPerbatasan.com


Mencermati perkembangan penataan batas daerah di Indonesia dapat dirunut lewat titian waktu (time-line description) memperlihatkan adanya kesamaan dengan proses pergulatan politik negara. Gambaran penataan batas [wilayah] daerah  diawali dengan peristiwa terkait dengan wilayah negara beberapa saat sebelum disyahkannya Undang Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) pada tanggal 18 Agustus 1945[1]. Sebagai konsekuensi logis dari proklamasi kemerdekaan negara adalah adanya pertanyaan tentang “dimanakah batas-batas dari wilayah RI yang dibagi habis atas Provinsi, Kabupaten/Kota tersebut?”.
Fakta sejarah memperlihatkan bahwa ketika Bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, para pendiri bangsa ini belum dapat secara tuntas menyelesaikan persoalan cakupan dan batas-batas wilayah negara RI yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945[2]. Maka sebagai konsekwensi logis, sesuai dengan Pasal II Aturan Peralihan pada UUD 1945 tersebut, Indonesia menggunakan batasan cakupan wilayah negaranya menurut peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1939, yaitu sesuai dengan “Territorial Zee en Maritime Krigen Ordonante 1939” (TZMKO-1939).
Setelah kemerdekaan dan sesuai Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “ Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang,”  Dari rentang sejarahnya kita dapat melihat perkembangan penataan daerah otonom yang berjalan sesuai dinamika pembangunan bangsa, perkembangan sistem desentralisasi pemerintahan kepada daerah otonom dengan perjalanan sejarah dapat di jelaskan sebagai berikut;
Pada awal tahun 1945, pembagian wilayah sepenuhnya diatur oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan menetapkan daerah Negara Kesatuan  Republik Indonesia dibagi dalam 8 (delapan) provinsi, yang masing-masing dikepalai oleh seorang gubernur, yaitu provinsi-provinsi : Jawa Barat ; Jawa Tengah; Jawa Timur; Sumatera; Borneo (Kalimantan) ; Sulawesi ; Maluku; dan Sunda Kecil.
Sejarah perbatasan di  Indonesia, digambarkan sebagai pembagian teritorial pemerintahan sub-nasional, dan sebenarnya upaya ini telah dilakukan sejak zaman penjajahan, ketika pemerintahan Belanda berperan selaku pelaksana pemerintahan. Pada umumnya pola yang dipakai Belanda adalah menggunakan pendekatan :
(i) sejarah (bekas kerajaan besar dan kecil);   (ii) fungsional (daerah kota dan kabupaten);  (iii) ekonomis (terutama utk daerah  baru); (iv) administratif ( utk daerah baru terutama utk mempersempit rentang kendali pemerintahan);   (v) etnis;   (vi) politis;  dan juga gabungan dari beberapa diantaranya. Belanda sangat memperhatikan berbagai karakter ini, disamping untuk memudahkan pelayanan juga terkandung maksud menggali potensi yang bisa di gali sebagai pemicu “devide” et impera. Maksudnya tahu sisi-sisi mana yang paling mudah untuk dimanfaatkan demi kepentingan pengendalian daerah jajahan.
Kemudian daerah provinsi ini masih dibagi lagi  atas karesidenan-keresidenan yang dikepalai oleh seorang residen. Gubernur dan residen dibantu oleh komite nasional daerah. Pada masa itu semangatnya masih kental dengan semangat perjuangan dan polanya juga cukup sederhana, misalnya;
  1. Untuk sementara waktu, sambil menunggu ketentuan lebih lanjut, kedudukan daerah kesultanan Yogyakarta dan Surakarta,  dibiarkan tetap seperti apa adanya.
  2. Untuk sementara waktu kedudukan kota (Gemeente) diteruskan sebagaimana keadaanapa adanya waktu itu. 

Bagaimana batasnya? Persoalan batas dilakukan sesuai kepentingan dan semua masih serba terbuka. Misalnya, provinsi Sumatera, patokannya juga tidak diatur secara detail yang penting provinsi Sumatera itu, ya terdiri dari pulau Sumatera dan sekitarnya. Pengertian sekitarnya ini, hanya dilihat dari sisi pelayanannya. Misalnya terkait dengan pulau-pulau yang ada disekitar Pulau Sumatera, maka ia akan masuk jadi wilayah provinsi Sumatera. Boleh dikatakan tidak memerlukan petunjuk teknis dan cukup dikoordinasikannya.
Memasuki era reformasi sejak akhir tahun 1998, dapat dicatat adanya perubahan batas-batas laut Indonesia sebagai akibat adanya jajak pendapat (referendum) rakyat Timor-Timur pada tahun 1999 yang berakhir dengan terbentuknya negara baru Republik Demokratik Timor-Leste (RDTL). Beberapa titik garis pangkal kepulauan Indonesia harus diperbaiki, karena adanya garis-garis pangkal yang terputus di sekitar Selat Leti, Selat Wetar, Selat Ombai, dan Laut Sawu, untuk melengkapi daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia yang ada.
Selain batas-batas laut antara RI dan RDTL, harus pula ditetapkan kembali beberapa titik batas laut (ZEE dan Landas Kontinen) yang telah disepakati bersama antara Indonesia dan Australia, secara trilateral.
Pada tahun 1948, kondisi daerah otonom disesuaikan dengan UU No 22 Tahun 1948 tentang UU Pemerintah Daerah.  Pada periode ini penentuan batas-batas daerah otonom,  ditetapkan dengan Undang-undang Pemerintahan Daerah Nomor  22/1948 ini.   Peraturan ini mengatur keseragaman dalam pemerintahan daerah bagi seluruh Indonesia yaitu tingkat I disebut provinsi, tingkat II kota besar dan kabupaten, serta tingkat III desa dan daerah yang setingkat dengannya, seperti Marga.

Batas Daerah Sebelum Otonomi Luas  Era 1950 – 1957 (Percobaan Demokrasi) 

Pembagian wilayah Indonesia sebagai implementasi amanat Undang-undang Dasar 1945 secara efektif baru mulai dilakukan tahun 1950 dengan pembentukan beberapa daerah provinsi dan daerah-daerah kabupaten dan kota. Secara politik, sebagai suatu negara yang baru merdeka dengan rakyatnya banyak yang miskin, tingkat pendidikan rendah,  mewarisi tradisi-tradisi otoriter dan sedikit masyarakat yang faham politik, maka sistem politik Indonesia pada periode tahun 1950 sampai dengan 1957 masih dalam tahap mencoba berdemokrasi.
Pada tanggal 29 September tahun 1955 diselenggarakan pemilihan umum yang pertama kali setelah Indonesia merdeka untuk memilih anggauta DPR. Namun setelah pemilihan umum situasi politik tidak menjadi semakin stabil tetapi sebaliknya karena jatuh bangunnya kabinet dan persaingan yang semakin tajam diantara partai politik. Masa ini sering disebut sebagai era Percobaan Demokrasi (Ricklefs, 2010). Walaupun demikian, pada masa percobaan demokrasi ini terbentuk 11 provinsi dan 102 kabupaten/kota (Darmawan, dkk., 2008).

Era 1957 – 1965 (Demokrasi Terpimpin) 

Pada periode ini yang dipergunakan adalah Undang-undang Nomor 1/1957 yang didasarkan kepada Undang – Undang sementara 1950, maka kemudian dikenal ada tiga tingkatan daerah dengan batas-batasnya yang mengacu kepada peninggalan pemerintah Belanda. Selama kurun waktu 1950-1959 sering kali terjadi pergantian kabinet yang menyebabkan instabilitas politik. Parlemen mudah mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap kabinet sehingga koalisi partai yang ada di kabinet menarik diri dan kabinet pun jatuh. Sementara Sukarno selaku Presiden tidak memiliki kekuasaan secara riil kecuali menunjuk para formatur untuk membentuk kabinet-kabinet baru, suatu tugas yang sering kali melibatkan negosiasi-negosiasi yang rumit. Puncak ketidakstabilan politik adalah gagalnya Konstituante membentuk Undang-Undang Dasar sehingga Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli tahun 1959 yang isinya pembubaran Konstituante dan kembali lagi ke Undang-undang Dasar 1945.
Langkah politik Presiden Sukarno selanjutnya menuju suatu bentuk pemerintahan yang diberi nama “Demokrasi Terpimpin”. Politik demokrasi terpimpin berlangsung sampai tahun 1965, dan selama era demokrasi terpimpin ini situasi politik tetap tidak stabil ditambah situasi ekonomi yang semakin terpuruk yang puncaknya terjadi peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang menandai runtuhnya bangunan sistem demokrasi terpimpin (Ricklefs, 2010).
Pada era ini lahir dua undang-undang Pemerintahan Daerah (otonomi daerah) yaitu UU. No.1 tahun 1957  dan  UU No.18 Tahun 1965, namun demikian dua undang-undang ini masih bersifat sentralistik, sehingga kewenangan masih sepenuhnya dipegang pemerintah pusat (Suyanto, 2002).  Pada masa ini, daerah otonom sudah berjumlah 14 provinsi dan 148 kabupaten/kota (Darmawan, dkk., 2008). Karena kewenangannya masih banyak dipegang pemerintah pusat, maka keberadaan batas daerah sama sekali hampir tidak bermakna bagi daerah. Oleh sebab itu pada periode ini hampir tidak ada permasalahan (sengketa) tentang batas daerah (Kristiyono, 2008).

[1] Dengan merujuk kepada “Sejarah pembentukan UUD-1945” oleh Prof. Dr. Jumly Asshidiqi, SH., MH.
[2] Perhatikan pasal-pasal dalam batang tubuh UUD-RI 1945 dan penjelasannya yang tidak mencantumkan pasal tentang wilayah negara. Ibid Jimly Asshidiqi.

Tidak ada komentar: