Sabtu, 29 Maret 2014

Peran BNPP Yang Ditunggu Dalam Pembangunan Perbatasan



Peran BNPP Yang Didambakan Dalam Pembangunan Perbatasan




Yang Ingin Kita Katakan

Pemerintah sudah membentuk BNPP, dan badan ini dengan segala keterbatasannya sudah membuat GRAND DESIGN pembangunan di wilayah/kawasan perbatasan, yang pada ujungnya kita kenal menghasilkan Lokasi-lokasi prioritas yang akan dibangun. Tetapi bagaimana jabaran dari pembangunannya di Lokasi prioritas ini? Apakah masih seperti dahulu? Sama sekali hanya mengandalkan pada kemauan Pemda setempat sementara Pemda lokasi prioritasnya justeru di Kota-kota dimana warganya banyak bermukim.

Padahal kita tahu wilayah perbatasan ini membutuhkan pembukaan keterisolasian yang mampu mengaitkannya dengan pola pembangunan nasional dan Asean; sayangnya Grand Design itu belum/tidak tersinergikan dengan Enam Koridor Pembangunan Ekonomi Nasional- tidak terkoneksikan dengan Konektivitas Asean. Tetapi satu hal yang ingin kita ingatkan adalah bahwa tradisi pengelolaan perbatasan ini dari sananya memang sudah seperti itu, dan meski organisasinya sudah diganti tetapi pola lama masih saja yang berlaku.

Kalau perbatasannya bisa dibangun dengan sebagaimana mestinya, tentu tidak jadi masalah tetapi kalau sebaliknya maka itulah yang kita sayangkan, tradisi yang tidak “benar” itu ternyata masih saja berlanjut.

Peran Daerah Dalam Pengelolaan Perbatasan 

Dalam mengelola wilayah  perbatasan, Pemerintah  Propinsi  Kalimantan Barat berpedoman  pada UU No.  24 Tahun 1992  tentang  Penataan  Ruang, PP No. 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional  (RTRWN), UU No. 25 Tahun 2000 tentang PROPENAS, dan INPRES No. 7 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Strategi yang ditempuh  oleh Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat dalam mengelola wilayah perbatasan adalah dengan mengembangkan pusat-pusat  pertumbuhan  yang diharapkan menjadi pendorong pengembangan kawasan perbatasan secara keseluruhan. Pusat-pusat pertumbuhan tersebut meliputi:

·         Temajo (Kecamatan Paloh) dan Aruk (Kecamatan Sajingan  Besar) di Kabupaten Sambas.
·         Jagoi Babang (Kecamatan Jagoi Babang) di Kabupaten Bengkayang.
·         Entikong (Kecamatan Entikong) di Kabupaten Sanggau.
·         Nanga Bayan (Kecamatan Ketungau Hulu) di Kabupaten Sintang.
·         Nanga Badau (Kecamatan Badau) di Kabupaten Kapuas Hulu.

Sesuai Idenya pengembangan pusat-pusat  pertumbuhan di atas dilakukan oleh BNPP. Sesuai rencananya pengembangan dimulai tahap pertama dari wilayah  Entikong pada tahun 2003, tahap kedua wilayah Nanga Badau yang dimulai pada  tahun 2004. Empat pusat pertumbuhan lainnya akan dikembangkan secara simultan pada tahap ketiga  yang rencananya akan dimulai  pada tahun 2005 dengan asumsi  telah tercapai kesepakatan antara Indonesia-Malaysia dan keberhasilan pada tahap pertama. Tetapi ternyata semua Ide itu masih sebatas ide.

Strategi selanjutnya adalah pengembangan Border Development Center (BDC) di Entikong. Pengembangan kawasan BDC ini dimaksudkan sebagai  pusat kegiatan  industri, jasa dan perdagangan, dan juga pusat pelatihan dan pelayanan tenaga kerja yang  terpadu dan mandiri yang dikelola oleh suatu kelembagaan yang profesional dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai. BDC belum jelas, tetapi pemda Sarawak malah sudah mengembangkan Pelabuhan Darat Tebedu-yang terpadu dengan Pelabuhan dan bandara Internasional Kuching, Sarawak.
Permasalahan yang pada umumnya terjadi di wilayah perbatasan antara Propinsi Kalbar (Indonesia) dengan Sarawak (Malaysia) adalah terjadinya ketimpangan/kesenjangan keadaan sosial ekonomi antara penduduk  Kalbar dengan  Sarawak yang cukup besar. Menurut  informasinya memang  tingkat pendapatan penduduk Kalbar berkisar US$ 3000,  sedangkan  penduduk Sarawak mencapai US$ 14000. Permasalahan mendasar lainnya adalah terbatasnya infrastruktur wilayah seperti jalan, listrik, telekomunikasi, air bersih, serta terbatasnya fasilitas sosial ekonomi  seperti sarana kesehatan, pendidikan dan sebagainya.
Selama ini  terkesan bahwa Pemerintah Pusat, Propinsi maupun Kabupaten masih berjalan sendiri-sendiri. Dampak dari permasalahan tersebut berakibat pada minimnya sentuhan pembangunan sosial ekonomi di daerah perbatasan sehingga relatif tertinggal bila dibandingkan dengan daerah lainnya. Dalam menghadapi permasalahan  di wilayah  perbatasan, selama ini  penanganannya masih bersifat parsial, sektoral, skala kecil, normatif, dan  diperlakukan secara seragam.

Secara historis pendekatan kebijakan yang diterapkan dalam menangani  pembangunan daerah perbatasan lebih menekankan pada aspek keamanan (security approach) dan cenderung bernuansa sentralistik. Sebagai akibat dari minimnya kebijakan yang menyentuh wilayah  perbatasan, pembangunan kawasan perbatasan di Kalbar relatif terabaikan dan jauh tertinggal dibandingkan dengan wilayah perbatasan Sarawak.

Rebutan Rezeki Dari Anggaran Perbatasan

Selama ini kita tahu begitu banyak Kementerian dan Lembaga yang mengurusi wilayah perbatasan, tetapi tiba di ujungnya semua justeru seolah cari “rezeki” di wilayah perbatasan ini. Pengelolaan perbatasan dilihat dari sisi perjalannya (historynya) serta kenyataannya memang sudah seperti itu, sudah jadi tradisi. Meski regulasi baru diperkenalkan, tetapi pengorganisasiannya seolah tidak pernah berubah. Begitu juga setelah adanya Badan Nasional Pengelola Perbatasan, berbagai mekanisme itu memperlihatkan masih seperti pola lama dan tidak ada yang berubah. Tulisan berikut barangkali bisa memperlihatkan bagaimana peran BNPP dan peran K/L yang ada melakukan tugas dan perannya dalam pengelolaan wilayah perbatasan.

Penanganan wilayah perbatasan di Propinsi Kalbar hingga saat ini memang sudah ada lembaga khusus yang menangani wilayah perbatasan. Namun demikian penanganan perbatasan masih bersifat parsial, temporer dan bahkan ad hoc dengan  leading sector yang berbeda-beda (secara sektoral) sehingga penanganannya tidak memberikan hasil yang optimal. Penanganan wilayah perbatasan selain dilakukan oleh unit-unit  pelaksana teknis  (badan-badan dan dinas-dinas di propinsi dan kabupaten),  dilakukan juga upaya kerjasama bilateral dengan menginduk pada Sosek Malindo sementara pengelolaan Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong di Kabupaten Sanggau masih ditangani oleh Pusat.
Pembentukan Sosek Malindo mengacu pada Keppres No. 13 Tahun 2001 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Kerjasama Sub Regional. Sedangkan pembentukan PPLB dilakukan berdasarkan:

·         Perjanjian tentang perdagangan lintas batas antar Pemerintah RI dengan Pemerintah Malaysia pada tanggal 24 Agustus 1970.
·         Persetujuan mengenai lintas batas antara RI dengan Malaysia tanggal 12 Mei 1984.
·         UU No. 10 tahun 1995 tentang Cukai.
·         Kepmen Perdagangan No. 36/KP/III/95 tentang  perdagangan lintas batas melalui PPLB Entikong di Kalbar.
·         Kepmen Keuangan No. 490/KMK 0.5/1996 tentang tata laksana impor barang, penumpang, awak sarana pengangkutan, pelintas batas, kiriman pos dan kiriman melalui jasa titipan.
·         Keputusan  Dirjen Bea Cukai No.  KEP-78/BC/1997 tentang  juklak penyelesaian barang penumpang, awak sarana pengangkutan, pelintas batas, kiriman melalui jasa titipan dan kiriman pos.

Kedudukan Sosek Malindo dalam instansi Pemerintah Propinsi Kalbar secara struktural melekat pada Bappeda Prop Kalbar yang ditunjuk oleh Pemerintah Propinsi Kalbar sebagai Ketua Tim Teknis Kelompok Kerja/Jawatan Kuasa Kerja Sosek Malindo.  Sosek Malindo merupakan forum kerjasama di bidang sosial  ekonomi yang dilandasi oleh latar belakang politik mengenai wilayah  perbatasan Malaysia  (Sabah dan Sarawak) dengan  Indonesia (Kalbar dan Kaltim).

Sosek Malindo diketuai oleh General Border Committee (GBC)  di masing-masing  negara  dan  untuk  Indonesia Ketua GBC adalah Panglima TNI. Kedudukan GBC berada di bawah lembaga Join Commission Meeting RI-Malaysia (JCM) yang diketuai oleh Menteri Luar Negeri. Adapun pengelola PPLB secara umum diatur oleh peraturan yang mengikat semua pihak  yang terkait. Pengelolaan yang berjalan  selama ini belum memiliki dasar hukum yang memadai karena bersifat sementara (ad hoc) dan Ketua Kelompok Kerja Sosekda Kalbar ditunjuk untuk mengelola PPLB Entikong ini.

Adapun tugas Sosek Malindo antara lain adalah:

 

·         Menentukan proyek-proyek pembangunan sosial ekonomi yang digunakan bersama-sama.
·         Merumuskan hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan pembangunan sosial ekonomi dan wilayah perbatasan.
·   Melaksanakan pertukaran informasi mengenai  pembangunan sosial ekonomi di wilayah perbatasan bersama.

Sosek Malindo memiliki fungsi koordinasi kerjasama sub regional  antar negara (Pemerintah Kalbar dan Sarawak) di bidang sosial ekonomi  kedua  negara. Sementara itu fungsi PPLB Entikong adalah sebagai  kantor pengurusan administrasi, pintu  masuk, pemisahan jalur masuk  dan keluar, dan tempat untuk memeriksa  kegiatan baik orang maupun barang yang melintasi perbatasan negara.

Berkaitan dengan mekanisme pertanggungjawaban, Tim Teknis yang diketuai oleh Bappeda Propinsi Kalbar bertanggung jawab kepada Ketua Kelompok Kerja/Jawatan Kuasa Kerja Sosek Malindo Daerah Kalbar-Sarawak.  Ketua Kelompok Kerja bertanggungjawab kepada:

·         Asops Kasum TNI selaku Ketua Coordinated Operation Control Committee (COCC) dan Ketua Jawatan Kuasa Latihan Bersama (JKLB).
·         Aster-Kaster TNI selaku Ketua Kelompok Kerja Sosek Malindo.
·         Kabasamas selaku Ketua Kelompok Kerja SAR.
·         Selanjutnya pertanggungjawaban diteruskan ke Kasum TNI selaku Ketua Staff Planning Committee (SPC) dan Panglima TNI selaku Ketua GBC.

BNPP Ternyata Masih Sulit Ditemukan di Lapangan?

Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) merupakan lembaga struktural dan bersifat permanen dengan 4 (empat) tugas, yaitu menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan anggaran, mengoordinasikan pelaksanaan dan melaksanakan evaluasi dan pengawasan. Bayangkan dengan ketentuan seperti itu, BNPP mestinya sudah sangat bisa diharapkan akan mampu membawa perubahan ke kawasan perbatasan. 


 

Bayangan kita tadinya, setelah adanya BNPP ini maka keterlibatan TNI sudah semestinya kembali ke “core business” mereka, TNI hanya akan menjadi pengelola dan pelaksana pertahanan negara. Begitu juga dengan K/L lainnya yang tadinya ikut memberi perhatian pada perbatasan tentu akan menginduk ke BNPP. Tetapi ternyata perubahan seperti itu belum juga muncul. Akibatnya malah  semakin tidak jelas siapa atau   lembaga mana yang mengelola wilayah perbatasan, siapa yang menangani kawasan perbatasan dan lembaga mana pula yang menangani Garis perbatasan. Semua ini  menjadikan penanganan wilayah perbatasan belum bisa berjalan optimal dan terpadu malah seringkali  terjadi tarik menarik kepentingan antar berbagai  pihak.

Timbulnya konflik antar berbagai pihak tersebut (baik horisontal mapun vertikal) tidak dapat dihindari dan kenyataan di lapangan menunjukkan banyaknya kebijakan yang tidak  saling mendukung atau  kurang sinkron satu sama lain. Misalnya belum terkoordinasinya pengembangan kawasan perbatasan antar negara, baik melalui kerjasama ekonomi sub regional (Sosek Malindo dan BIMP-EAGA), konektivity Asean maupun dengan rencana Pembangunan Enam Koridor Nasional serta MP3E.