Peran BNPP Yang Didambakan Dalam Pembangunan Perbatasan
Oleh harmen batubara
Yang Ingin Kita Katakan
Pemerintah sudah
membentuk BNPP, dan badan ini dengan segala keterbatasannya sudah membuat GRAND
DESIGN pembangunan di wilayah/kawasan perbatasan, yang pada ujungnya kita kenal
menghasilkan Lokasi-lokasi prioritas yang akan dibangun. Tetapi bagaimana
jabaran dari pembangunannya di Lokasi prioritas ini? Apakah masih seperti
dahulu? Sama sekali hanya mengandalkan pada kemauan Pemda setempat sementara
Pemda lokasi prioritasnya justeru di Kota-kota dimana warganya banyak bermukim.
Padahal kita tahu
wilayah perbatasan ini membutuhkan pembukaan keterisolasian yang mampu
mengaitkannya dengan pola pembangunan nasional dan Asean; sayangnya Grand
Design itu belum/tidak tersinergikan dengan Enam Koridor Pembangunan Ekonomi
Nasional- tidak terkoneksikan dengan Konektivitas Asean. Tetapi satu hal yang
ingin kita ingatkan adalah bahwa tradisi pengelolaan perbatasan ini dari
sananya memang sudah seperti itu, dan meski organisasinya sudah diganti tetapi
pola lama masih saja yang berlaku.
Kalau
perbatasannya bisa dibangun dengan sebagaimana mestinya, tentu tidak jadi
masalah tetapi kalau sebaliknya maka itulah yang kita sayangkan, tradisi yang
tidak “benar” itu ternyata masih saja berlanjut.
Peran Daerah Dalam Pengelolaan Perbatasan
Dalam mengelola wilayah perbatasan, Pemerintah
Propinsi Kalimantan Barat berpedoman pada UU No. 24 Tahun
1992 tentang Penataan Ruang, PP No. 47 Tahun 1997 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), UU No. 25 Tahun 2000 tentang
PROPENAS, dan INPRES No. 7 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi
Nasional Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Strategi yang ditempuh oleh Pemerintah Propinsi Kalimantan
Barat dalam mengelola wilayah perbatasan adalah dengan mengembangkan
pusat-pusat pertumbuhan yang diharapkan menjadi pendorong pengembangan
kawasan perbatasan secara keseluruhan. Pusat-pusat pertumbuhan tersebut
meliputi:
·
Temajo (Kecamatan Paloh) dan Aruk
(Kecamatan Sajingan Besar) di Kabupaten Sambas.
·
Jagoi Babang (Kecamatan Jagoi
Babang) di Kabupaten Bengkayang.
·
Entikong (Kecamatan Entikong) di
Kabupaten Sanggau.
·
Nanga Bayan (Kecamatan Ketungau
Hulu) di Kabupaten Sintang.
·
Nanga Badau (Kecamatan Badau) di
Kabupaten Kapuas Hulu.
Sesuai Idenya pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di atas
dilakukan oleh BNPP. Sesuai rencananya pengembangan dimulai tahap pertama dari
wilayah Entikong pada tahun 2003, tahap kedua wilayah Nanga Badau yang
dimulai pada tahun 2004. Empat pusat pertumbuhan lainnya akan
dikembangkan secara simultan pada tahap ketiga yang rencananya akan
dimulai pada tahun 2005 dengan asumsi telah tercapai kesepakatan
antara Indonesia-Malaysia dan keberhasilan pada tahap pertama. Tetapi ternyata
semua Ide itu masih sebatas ide.
Strategi selanjutnya adalah pengembangan Border Development
Center (BDC) di Entikong. Pengembangan kawasan BDC ini dimaksudkan
sebagai pusat kegiatan industri, jasa dan perdagangan, dan juga
pusat pelatihan dan pelayanan tenaga kerja yang terpadu dan mandiri yang
dikelola oleh suatu kelembagaan yang profesional dilengkapi dengan sarana dan
prasarana yang memadai. BDC belum jelas, tetapi pemda Sarawak malah sudah
mengembangkan Pelabuhan Darat Tebedu-yang terpadu dengan Pelabuhan dan bandara
Internasional Kuching, Sarawak.
Permasalahan yang pada umumnya terjadi di wilayah perbatasan
antara Propinsi Kalbar (Indonesia) dengan Sarawak (Malaysia) adalah terjadinya
ketimpangan/kesenjangan keadaan sosial ekonomi antara penduduk Kalbar
dengan Sarawak yang cukup besar. Menurut informasinya memang
tingkat pendapatan penduduk Kalbar berkisar US$ 3000, sedangkan
penduduk Sarawak mencapai US$ 14000. Permasalahan mendasar lainnya adalah
terbatasnya infrastruktur wilayah seperti jalan, listrik, telekomunikasi, air
bersih, serta terbatasnya fasilitas sosial ekonomi seperti sarana
kesehatan, pendidikan dan sebagainya.
Selama ini terkesan bahwa Pemerintah Pusat, Propinsi
maupun Kabupaten masih berjalan sendiri-sendiri. Dampak dari permasalahan
tersebut berakibat pada minimnya sentuhan pembangunan sosial ekonomi di daerah
perbatasan sehingga relatif tertinggal bila dibandingkan dengan daerah lainnya.
Dalam menghadapi permasalahan di wilayah perbatasan, selama
ini penanganannya masih bersifat parsial, sektoral, skala kecil,
normatif, dan diperlakukan secara seragam.
Secara historis pendekatan kebijakan yang diterapkan dalam
menangani pembangunan daerah perbatasan lebih menekankan pada aspek
keamanan (security approach) dan cenderung bernuansa sentralistik. Sebagai
akibat dari minimnya kebijakan yang menyentuh wilayah perbatasan,
pembangunan kawasan perbatasan di Kalbar relatif terabaikan dan jauh tertinggal
dibandingkan dengan wilayah perbatasan Sarawak.
Rebutan Rezeki Dari Anggaran Perbatasan
Selama ini kita tahu begitu banyak Kementerian dan Lembaga yang
mengurusi wilayah perbatasan, tetapi tiba di ujungnya semua justeru seolah cari
“rezeki” di wilayah perbatasan ini. Pengelolaan perbatasan dilihat dari sisi
perjalannya (historynya) serta kenyataannya memang sudah seperti itu, sudah
jadi tradisi. Meski regulasi baru diperkenalkan, tetapi pengorganisasiannya
seolah tidak pernah berubah. Begitu juga setelah adanya Badan Nasional
Pengelola Perbatasan, berbagai mekanisme itu memperlihatkan masih seperti pola
lama dan tidak ada yang berubah. Tulisan berikut barangkali bisa memperlihatkan
bagaimana peran BNPP dan peran K/L yang ada melakukan tugas dan perannya dalam pengelolaan
wilayah perbatasan.
Penanganan wilayah perbatasan di Propinsi Kalbar hingga saat ini
memang sudah ada lembaga khusus yang menangani wilayah perbatasan. Namun
demikian penanganan perbatasan masih bersifat parsial, temporer dan bahkan ad
hoc dengan leading
sector yang berbeda-beda (secara sektoral) sehingga penanganannya tidak memberikan
hasil yang optimal. Penanganan wilayah perbatasan selain dilakukan oleh
unit-unit pelaksana teknis (badan-badan dan dinas-dinas di propinsi
dan kabupaten), dilakukan juga upaya kerjasama bilateral dengan menginduk
pada Sosek Malindo sementara pengelolaan Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB)
Entikong di Kabupaten Sanggau masih ditangani oleh Pusat.
Pembentukan Sosek Malindo mengacu pada Keppres No. 13 Tahun 2001
tentang Pembentukan Tim Koordinasi Kerjasama Sub Regional. Sedangkan
pembentukan PPLB dilakukan berdasarkan:
·
Perjanjian tentang perdagangan
lintas batas antar Pemerintah RI dengan Pemerintah Malaysia pada tanggal 24
Agustus 1970.
·
Persetujuan mengenai lintas batas
antara RI dengan Malaysia tanggal 12 Mei 1984.
·
UU No. 10 tahun 1995 tentang Cukai.
·
Kepmen Perdagangan No. 36/KP/III/95
tentang perdagangan lintas batas melalui PPLB Entikong di Kalbar.
·
Kepmen Keuangan No. 490/KMK 0.5/1996
tentang tata laksana impor barang, penumpang, awak sarana pengangkutan,
pelintas batas, kiriman pos dan kiriman melalui jasa titipan.
·
Keputusan Dirjen Bea Cukai
No. KEP-78/BC/1997 tentang juklak penyelesaian barang penumpang,
awak sarana pengangkutan, pelintas batas, kiriman melalui jasa titipan dan
kiriman pos.
Kedudukan Sosek Malindo dalam instansi Pemerintah Propinsi
Kalbar secara struktural melekat pada Bappeda Prop Kalbar yang ditunjuk oleh
Pemerintah Propinsi Kalbar sebagai Ketua Tim Teknis Kelompok Kerja/Jawatan
Kuasa Kerja Sosek Malindo. Sosek Malindo merupakan forum kerjasama di
bidang sosial ekonomi yang dilandasi oleh latar belakang politik mengenai
wilayah perbatasan Malaysia (Sabah dan Sarawak) dengan
Indonesia (Kalbar dan Kaltim).
Sosek Malindo diketuai oleh General Border Committee (GBC)
di masing-masing negara dan untuk Indonesia Ketua GBC
adalah Panglima TNI. Kedudukan GBC berada di bawah lembaga Join Commission
Meeting RI-Malaysia (JCM) yang diketuai oleh Menteri Luar Negeri. Adapun
pengelola PPLB secara umum diatur oleh peraturan yang mengikat semua
pihak yang terkait. Pengelolaan yang berjalan selama ini belum
memiliki dasar hukum yang memadai karena bersifat sementara (ad hoc) dan Ketua
Kelompok Kerja Sosekda Kalbar ditunjuk untuk mengelola PPLB Entikong ini.
Adapun tugas Sosek Malindo antara lain adalah:
·
Menentukan proyek-proyek pembangunan
sosial ekonomi yang digunakan bersama-sama.
·
Merumuskan hal-hal yang berhubungan
dengan pelaksanaan pembangunan sosial ekonomi dan wilayah perbatasan.
· Melaksanakan pertukaran informasi
mengenai pembangunan sosial ekonomi di wilayah perbatasan bersama.
Sosek Malindo memiliki fungsi koordinasi kerjasama sub
regional antar negara (Pemerintah Kalbar dan Sarawak) di bidang sosial
ekonomi kedua negara. Sementara itu fungsi PPLB Entikong adalah sebagai
kantor pengurusan administrasi, pintu masuk, pemisahan jalur masuk
dan keluar, dan tempat untuk memeriksa kegiatan baik orang maupun barang
yang melintasi perbatasan negara.
Berkaitan dengan mekanisme pertanggungjawaban, Tim Teknis yang
diketuai oleh Bappeda Propinsi Kalbar bertanggung jawab kepada Ketua Kelompok
Kerja/Jawatan Kuasa Kerja Sosek Malindo Daerah Kalbar-Sarawak. Ketua
Kelompok Kerja bertanggungjawab kepada:
·
Asops Kasum TNI selaku Ketua
Coordinated Operation Control Committee (COCC) dan Ketua Jawatan Kuasa Latihan
Bersama (JKLB).
·
Aster-Kaster TNI selaku Ketua
Kelompok Kerja Sosek Malindo.
·
Kabasamas selaku Ketua Kelompok
Kerja SAR.
·
Selanjutnya pertanggungjawaban
diteruskan ke Kasum TNI selaku Ketua Staff Planning Committee (SPC) dan
Panglima TNI selaku Ketua GBC.
BNPP Ternyata Masih Sulit Ditemukan di Lapangan?
Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) merupakan lembaga struktural dan bersifat permanen dengan 4 (empat) tugas, yaitu menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan anggaran, mengoordinasikan pelaksanaan dan melaksanakan evaluasi dan pengawasan. Bayangkan dengan ketentuan seperti itu, BNPP mestinya sudah sangat bisa diharapkan akan mampu membawa perubahan ke kawasan perbatasan.
Bayangan kita tadinya, setelah adanya BNPP ini maka keterlibatan
TNI sudah semestinya kembali ke “core business” mereka, TNI hanya akan menjadi
pengelola dan pelaksana pertahanan negara. Begitu juga dengan K/L lainnya yang
tadinya ikut memberi perhatian pada perbatasan tentu akan menginduk ke BNPP. Tetapi
ternyata perubahan seperti itu belum juga muncul. Akibatnya malah semakin
tidak jelas siapa atau lembaga mana yang mengelola wilayah perbatasan,
siapa yang menangani kawasan perbatasan dan lembaga mana pula yang menangani
Garis perbatasan. Semua ini menjadikan penanganan wilayah perbatasan
belum bisa berjalan optimal dan terpadu malah seringkali terjadi tarik
menarik kepentingan antar berbagai pihak.
Timbulnya konflik antar berbagai pihak tersebut (baik horisontal
mapun vertikal) tidak dapat dihindari dan kenyataan di lapangan menunjukkan
banyaknya kebijakan yang tidak saling mendukung atau kurang sinkron
satu sama lain. Misalnya belum terkoordinasinya pengembangan kawasan perbatasan
antar negara, baik melalui kerjasama ekonomi sub regional (Sosek Malindo dan
BIMP-EAGA), konektivity Asean maupun dengan rencana Pembangunan Enam Koridor
Nasional serta MP3E.