Rabu, 09 Desember 2015

KRI Banda Aceh,Menjaga Kedaulatan Negeri



KRI Banda Aceh, Kapal Misi Kemanusiaan

Mengarungi laut dengan KRI Banda Aceh seolah mengakrabi rekam jejak Tentara Nasional Indonesia yang sigap mengulurkan tangan kala rakyat dilanda nestapa. KRI Banda Aceh mengantar pemudik, mengantar bantuan, mengevakuasi korban, dan menerjang ganasnya gelombang Lautan Pasifik.

Belum lama angkat sauh dari Jakarta, pengeras suara KRI Banda Aceh yang berlayar di Laut Jawa, Sabtu (21/11), terdengar lantang. "Kepada semua santri dilarang membuang sampah apa pun ke dalam kloset. Mampat satu kloset saja, seluruh jaringan pasti macet," demikian awak kapal mewanti-wanti.
Kerisauan itu menjadi nyata. Keesokan harinya, semua kloset di KRI Banda Aceh mampat. Ada lebih dari 50 kloset di kapal itu. "Teknisi harus buka saluran kloset satu-satu. Kotoran sudah pasti muncrat ke baju," ujar Komandan KRI Banda Aceh Letnan Kolonel Laut Edi Haryanto.
Syukurlah, persoalan itu dapat langsung diatasi. Penumpang sadar dan semua toilet lancar, hingga perjalanan usai Kamis (26/11). Sepenggal kisah dari Pelayaran Santri Bela Negara yang diikuti 1.000 peserta itu hanya sekelumit dari kelindan TNI dan rakyat.
Selanjutnya, hanya terlihat kemanunggalan antara santri dan awak kapal. Setiap dini hari, awak kapal sudah menyiapkan sarapan, dilanjutkan pagi-pagi untuk memasak makan siang. Demikian pula sejak siang, mereka sudah menyiapkan makan malam.
Selepas petang, baru awak kapal bisa beristirahat sejenak hingga dini hari. Untunglah, para santri, tanpa dikomando, turut membantu memasukkan bahan, memasak, dan menaruh makanan dalam kotak karton. Itu masih mending dibandingkan saat KRI Banda Aceh mengangkut pemudik Lebaran.
Sekitar 2.000 pemudik dibawa dari Jakarta ke Semarang pada tahun 2015. Saat arus balik, KRI Banda Aceh kembali mengantar warga. "Mereka diberi konsumsi gratis. KRI Banda Aceh biasa mendukung Kementerian Perhubungan saat masa Lebaran," kata Edi.
Selain sebagai angkutan Lebaran, KRI Banda Aceh memang sangat karib dengan misi kemanusiaan. Kapal itu, misalnya, dikirim untuk menolong masyarakat yang sakit karena asap kebakaran lahan dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada akhir Oktober 2015.
KRI Banda Aceh juga turut serta dalam pencarian korban pesawat AirAsia QZ 8501 yang ditemukan jatuh di perairan Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, akhir 2014. KRI Banda Aceh menjadi kapal komando armada Indonesia.
Kapal itu mampu mengarungi laut hingga 30 hari. KRI Banda Aceh sudah seperti kampung berjalan karena fasilitasnya amat beragam. Tak heran, KRI Banda Aceh menjadi langganan dan sangat ideal untuk misi-misi sosial jika sedang tidak dalam posisi tempur.
KRI Banda Aceh memiliki satu ruang VVIP, dua ruang VIP, 344 tempat tidur, kantin, dek tank, panggung, sarana olahraga, ruang makan perwira serta pasukan, dan geladak helikopter. Seorang dokter dan empat paramedis siaga di ruang perawatan dan ruang periksa.
Sejak 2011, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan rutin menggelar Bhakti Kesejahteraan Rakyat (Bhakesra) Nusantara. Donasi dikumpulkan lalu dibawa dengan kapal, termasuk KRI Banda Aceh, ke pulau-pulau terluar, terpencil, dan tertinggal.
Sementara Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menggelar Ekspedisi Nusantara Jaya untuk meningkatkan koneksi di pulau terdepan, terpencil, dan wilayah perbatasan pada pertengahan 2015 yang juga diikuti KRI Banda Aceh. Sebagian masyarakat di salah satu pulau terluar masih takut bertemu tentara.

Peserta Pelayaran Santri Bela Negara membacakan ikrar di geladak KRI Banda Aceh saat mengarungi Laut Jawa, akhir November 2015.
KOMPAS/DWI BAYU RADIUSPeserta Pelayaran Santri Bela Negara membacakan ikrar di geladak KRI Banda Aceh saat mengarungi Laut Jawa, akhir November 2015.
"Pernah, ada pertunjukan musik. Lapangan penuh, tetapi warga sungkan. Saya paksa satu warga joget. Baru warga lain mau ikut," kata Edi.
Berkelana ke pulau-pulau kecil, menjadi peristiwa paling menegangkan. KRI Banda Aceh adalah kapal besar, tetapi harus memasuki perairan sempit. "Data peta pulau-pulau kecil tentu tak diperbarui sesering jalur ramai. Kami harus berhati-hati, kapal bisa kandas," ujar Edi.
Tak hanya di Nusantara, KRI Banda Aceh bertualang hingga Pearl Harbor, Hawaii, Amerika Serikat. Kapal itu ikut bergabung dalam latihan Rim of the Pacific Exercise (Rimpac), pertengahan 2015. Perjalanan memakan waktu sekitar dua pekan. "Banda Aceh adalah KRI paling sering dikunjungi masyarakat. Pernah ada seminar, pertemuan bertema bahari, hingga pertunjukan wayang di Banda Aceh," kata Edi.
Buatan Indonesia
Kebanggaan awak kapal bertambah mengingat KRI Banda Aceh adalah karya anak bangsa yang dibuat PT Pal Indonesia.
KRI Banda Aceh dilengkapi empat kapal anakan jenis landing craft vehicle personnel (LCVP) untuk mengantar pasukan dan landing craft utility (LCU) yang membawa tank ke pantai. Daya angkut LCVP sekitar 50 orang, sedangkan LCU yang lebih besar mampu membawa pasukan hingga 200 orang.

"Jika ada ekspedisi, warga setempat malah biasa dibawa untuk melihat-lihat KRI Banda Aceh. Daerah terpencil tanpa dermaga dapat dijangkau karena ada LCVP dan LCU," kata Edi.
KRI Banda Aceh yang diawaki 126 orang mulai dioperasikan pada tahun 2011. Panjang KRI Banda Aceh 125 meter dan lebar 22 meter. Kapal itu mampu mengangkut 24 tank dan lima helikopter. Berbobot sekitar 10.500 ton, kecepatan KRI Banda Aceh tertinggi 15 knot dan dapat membawa beban hingga 1.800 ton.
Bintara Mesin KRI Banda Aceh, Sersan Mayor Rohmat, yang menangani bagian mesin, sedang beristirahat di kabinnya saat ditemui pada siang hari. Jadwal piket membuat Rohmat harus tidur pada jam-jam yang belum tentu lazim agar kembali segar saat bertugas.
"Panas sekali di ruang mesin, sekitar 40 derajat celsius," ujar Rohmat yang sudah berlayar dengan berbagai kapal selama 16 tahun. Ayah dari dua anak itu pernah meninggalkan keluarganya hingga tiga bulan. Perjalanan mengikuti Rimpac paling mendebarkan bagi Rohmat.
"Ombaknya besar. Air masuk ke haluan. Kapal miring hingga 35 derajat. Banyak yang mabuk laut selama dua hari," katanya.
Bagi Sersan Dua Akhmad Rizki Adam, Juru Inner Bulk Head Door (pintu antara kapal anakan dengan dek tank) KRI Banda Aceh, Rimpac merupakan pengalaman paling menantang. "Menerjang ombak Pasifik. Saya belajar situasi di samudra dan mengunjungi Pearl Harbor yang sarat dengan sejarah," ucapnya.

Prajurit negara lain pun geleng-geleng kepala menyaksikan marinir Indonesia. Mereka sangat militan dengan perbekalan seadanya. "Marinir kita cari makanan dari alam. Kalau prajurit lain dengan peralatan lengkap masih bertanya, itu bisa dimakan atau tidak," kata Adam sambil tertawa. (Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/12/09/KRI-Banda-Aceh%2c-Kapal-Misi-Kemanusiaan)

Jumat, 04 Desember 2015

Perbatasan, Membangun Halaman Depan Bangsa

Perbatasan, Membangun Halaman Depan Bangsa 

Membangun wilayah perbatasan jelas memerlukan waktu, dan itu semua pihak sudah paham. Wilayah perbatasan itu juga terisolasi dan selama ini kesannya kurang terurus, ya faktanya memang begitu. Bahwa Badan Pengelola Perbatasan Nasional yang selama ini jadi andalan, juga tidak atau belum mampu memperlihatkan kinerjanya. Bahwa para pelaku dan pemangku jawab telah melakukan kerja keras dan berdedikasi dalam membangun wilayah perbatasan, ya semua orang juga percaya. Tapi pada faktanya apa yang telah mereka lakukan itu juga ternyata tidak merubah apa-apa, adalah sebuah fakta. Secara logika berarti memang ada apa-apanya di sana. Ada yang salah urus di wilayah perbatasan. Ya faktanya memang seperti itu.


Dihadapkan dengan strategi pemerintah saat ini, maka pemerintah kini sedang melakukan pembangunan fisik halaman depan bangsa sebagai langkah prioritas. Yakni menjadikan kondisi infrastruktur di halaman depan bangsa itu benar-benar bisa terlihat berubah. Pemerintah terlihat tengah melakukan pembangunan fisik di halaman depan perbatasan, sesuai dengan Inpres Nomor 6 Tahun 2015 tentang Percepatan Pembangunan 7 (Tujuh) Pos Lintas Batas Negara Terpadu (PLBN) dan Sarana Prasarana Penunjang di Kawasan Perbatasan, di mana 3 dari 7 Pos Lintas Batas Negara  terdapat di Kalimantan.

Ketujuh PLBN yang akan dilebarkan yaitu PLBN Aruk, Kabupaten Sambas, PLBN Entikong, Kabupaten Sanggau dan PLBN Nanga Badau, Kabupaten Kapuas Hulu. Pembangunan PLBN tersebut harus selesai dalam waktu 2 tahun sejak dikeluarkannya Inpres tersebut pada tanggal 28 April 2015. Seperti mengutif catatan DetikCom bersama rombongan Kementerian PU berkesempatan melihat proses pembangunan pelebaran jalan akses di Kabupaten Entikong sepanjang 3,4 km itu, Jumat (27/11/2015). Nantinya akses jalan itu akan dibangun dengan 4 jalur dengan lebar 19 meter dan dua lajur dengan lebar 9,5 meter.

Menurut Dirjen Bina Marga Kementerian PU, Hediyanto W Husaeni, pelebaran jalan akses di Entikong sangatlah penting. Pasalnya, perbatasan Entikong merupakan perbatasan paling padat dari dua pos perbatasan lainnya di Kalimantan Barat. "Pos lintas batas ada tiga di Kalimantan Barat yaitu Aruk, Badau dan Entikong. Entikong paling besar sehingga posisinya penting. Karena itu, untuk mewujudkan pos perbatasan yang lebih baik dari negara tetangga, maka tidak hanya lintas batasnya, infrasktruktur pendukung minimal juga harus sama. Indonesia bertekad lebih baik akan membangun jalan paralel dan akses," jelas Hediyanto saat meninjau lokasi.


Hediyanto mengatakan, pelebaran akses jalan di perbatasan dilakukan dari Balai Karangan hingga Entikong dengan total 21 km yang akan selesai di 2016. Namun, untuk tahun 2015 sendiri ditargetkan 5-7 km jalan sudah selesai dilebarkan. "Jadi 1,5 tahun ke depan kita akan lebih baik dari Malaysia dan jadi kebanggaan bangsa Indonesia. Untuk pelebaran jalan di 2015 itu menggunakan uang Rp 50 Miliar, dan pengerjaannya hampir selesai," terang Hediyanto. Hediyanto mengatakan, persoalan awal pelebaran jalan ialah pembebasan lahan. Namun, saat ini masyarakat sangat antusias memberikan lahannya sangat cepat. Karena mereka melihat keteguhan pemerintah dalam membangun perbatasan.

Sabtu, 14 November 2015

Pembangunan Jalan Paralel Perbatasan, Memhadirkan Kesejahteraan di Perbatasan




Pembangunan Jalan Paralel Perbatasan, Memhadirkan Kesejahteraan di Perbatasan

Tekad pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla untuk membangun dari pinggiran, bukan cuma janji kampanye semata. Di tahun 2015 ini, pembangunan infrastruktur jalan di wilayah perbatasan yang selama ini tertinggal, mulai dikebut pelaksanaannya. Di utara, terdapat proyek jalan perbatasan Kalimantan.  Di selatan, terdapat proyek perbatasan Nusa Tenggara Timur (NTT). Sedangkan di timur, ada proyek jalan Trans Papua.

Untuk jalan perbatasan Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Malaysia, terdapat 9 ruas jalan yang akan membentang sepanjang 771,36 kilometer dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur hingga Kalimantan Utara.  Kesembilan ruas tersebut masing-masing adalah Ruas 1 Temajuk-Aruk; Ruas 2 Aruk-Batas Kecamatan Siding/Seluas; Ruas 3 Batas Kecamatan Siding/Seluas-Batas Kecamatan Sekayan/Entikong; Ruas 4 Batas Kecamatan Sekayan/Entikong-Rasau; Ruas 5 Rasau-Batas Kapuas Hulu/Sintang; Ruas 6 Batas Kapuas Hulu/Sintang-Nanga Badau-Lanjak; Ruas 7 Lanjak-Mataso (Benua Martinus)-Tanjung Kerja; Ruas 8 Tanjung Kerja-Putussibau-Nanga Era dan Ruas 9 Nanga Era-Batas Kaltim.
Berdasarkan Progress Report Jalan Perbatasan, 23 Agustus 2015, yang dibuat oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, disebutkan bahwa total panjang jalan yang sudah tembus mencapai 441,7 kilometer meskipun sebagian masih belum diaspal, alias masih jalan tanah.   Masih terdapat 329,66 kilometer yang harus ditangani sampai tuntas agar seluruh ruas jalan dapat terhubung.
Untuk jalan perbatasan NTT terdapat 6 ruas dengan total panjang mencapai 171,56 kilometer.  Keenam ruas tersebut adalah Ruas 1 Mota’ain-Salore-Haliwen; Ruas 2 Haliwen-Sadi-Asumanu-Haekesak; Ruas 3 Turiskain-Fulur-Nualain-Henes; Ruas 4 Nualain-Dafala; Ruas 5 Dafala-Laktutus dan Ruas 6 Laktutus-Motamasin.
Total panjang jalan di NTT yang ditangani di tahun 2015 ini mencapai 47 kilometer.  Sisanya akan ditangani pada tahun 2016 sepanjang 67,61 kilometer dan terakhir pada tahun 2017 sepanjang 56,95.
Untuk jalan Trans Papua, terdapat 12 ruas yang jika tersambung semua akan mencapai 4.325 kilometer.  Keduabelas raus tersebut adalah Ruas 1 Merauke-Tanah Merah-Waropko; Ruas 2 Waropko-Oksibil; Ruas 3 Dekai-Oksibil; Ruas 4 Kenyam-Dekai; Ruas 5 Wamena-Habema-Kenyam-Mamugu; Ruas 6 Wamena-Elelim-Jayapura; Ruas 7 Wamena-Mulia-Haga-Enarotali; Ruas 8 Wageta-Timika; Ruas 9 Enarotali-Wageta-Nabire; Ruas 10 Nabire-Windesi-Manokwari; Ruas 11 Manokwari-Kambuaya-Sorong; Ruas 12 Jembatan Holtekamp.

Saat ini jalan Trans Papua yang sudah tersambung cukup panjang yaitu 3.498 kilometer – dengan kondisi aspal mencapai 2.075 kilometer dan sisanya masih berupa tanah/agregat. Sisa panjang jalan yang belum tersambung adalah 827 kilometer – masih lebih panjang 55,64 kilometer dari total jalan Trans Kalimantan.
Geliat pembangunan berbagai ruas jalan di wilayah perbatasan ini menurut Deputi IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi, Eko Sulistyo menunjukkan salah satu indikator utama pemenuhan janji visi Nawacita Presiden Jokowi untuk membangun dari pinggiran. “Langkah pertama yang paling tepat untuk membangun dari pinggiran, tentunya membangun akses konektivitas.  Konektivitas yang terjadi karena pembangunan jalan-jalan seperti ini yang kelak akan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut,” papar Eko.

Butir ketiga dalam Nawacita menjelaskan tentang tekad Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla untuk membangun dari pinggiran. “Kami akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat Daerah-daerah dan Desa dalam kerangka Negara Kesatuan. Kami akan meletakkan dasar-dasar bagi dimulainya desentralisasi asimetris. Kebijakan desentralisasi asimetris ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan nasional Indonesia di kawasan-kawasan perbatasan, memperkuat daya saing ekonomi Indonesia secara global, dan untuk membantu daerah-daerah yang kapasitas berpemerintahan belum cukup memadai dalam memberikan pelayanan publik.”


Jumat, 30 Oktober 2015

Sumpah Pemuda, Bertemu untuk Menjadi Satu



Sumpah Kebersamaan, Bertemu untuk Menjadi Satu
 oleh Imam Nahrowi

Sebagai pemuda yang lahir dan tumbuh di sebuah kepulauan seperti Madura, saya memiliki persepsi tersendiri tentang apa itu kesatuan dan persatuan. Garis pantai yang begitu dekat dengan tanah yang kami jejak telah membentuk cara pandang saya terhadap kesatuan Indonesia yang begitu luas. Bercampur antara kemusykilan, keajaiban, dan kebanggaan.

Saya sebut musykil karena bagaimana mungkin menyatukan orang dari ribuan pulau yang secara budaya, bahasa, dan tradisi berbeda-beda satu sama lain. Jangankan membayangkan bersatu, membayangkan orang-orang tersebut sekadar bertemu saja bukan pekerjaan mudah. Ribuan kilometer jarak harus ditempuh. Ribuan perbedaan dan juga sekat-sekat sosial harus ditebas jika ingin bertemu, apalagi bersatu dalam satu cara pandang yang sama tentang kenegaraan. Saya sungguh ragu-ragu mengemukakan kemusykilan di depan khalayak luas di saat bersamaan duduk di posisi pemegang amanat. Namun, itulah yang saya alami. Itulah yang saya rasakan. Dan, alhamdulillah, kemusykilan itu langsung runtuh tatkala saya membaca fakta sejarah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Saya takjub sekaligus musykil menerima pertanyaan, apa yang melatarbelakangi penjelasan negeri kepulauan nan membentang ini bersatu. Bagaimana bisa keberbedaan yang sempurna yang dimiliki oleh bangsa ini ternyata mampu bersatu? Satu lagi pertanyaan, imajinasi macam apa yang dimiliki para pemuda pendahulu sehingga mampu menyatukan bangsa-bangsa, ras-ras, suku-suku, agama-agama, adat-adat, bahasa-bahasa, golongan-golongan, juga kepentingan-kepentingan yang pragmatik?

Pelajaran di sekolah terlalu sederhana saat menjelaskan apa itu Bhinneka Tunggal Ika. Kalimat dari bahasa Sanskerta ini, bagi saya orang Madura, termasuk kategori jimat. Kenapa? Karena kalimat tersebut sakti. Ia bisa terus menyelip di buku pelajaran SD hingga SMA tanpa saya bisa memahami bagaimana semiotika dan semantiknya, apalagi mau dirunut dengan metodologi pengetahuan pesantren seperti sanad (asal-usul), rowi (otorisasi), serta asbabul nuzul dan asbabul wurud (konteks sejarah).

Saya mulai bisa menemukan rasionalisasi dari kesaktian Bhinneka Tunggal Ika dan ikrar Sumpah Pemuda 1928 itu dari kisah-kisah orang dekat, orangtua, kakek, atau guru mengaji di kampung saya di Madura. Perlahan mereka membuka pikiran saya. Misalnya, ada kisah bahwa orang Madura memiliki tradisi merantau di luar pulau, melaut mencari ikan hingga Sulawesi, bahkan Nusa Tenggara Timur.

Sebuah pertemuan. Kisah-kisah pertemuan orang Madura dengan orang-orang dari pulau lain di dermaga, di stasiun kereta api, di masjid, di pasar, hingga di lautan meminimalkan kemusykilan saya tentang bersatunya orang-orang di negeri kepulauan ini. Teman saya, Ahmad Baso, sambil mengutip sebuah buku, bercerita bahwa orang Madura itu disebut echte zwervers, pengelana sejati. Namun, muncul pertanyaan lain, yang sedikit menggelikan: bagaimana orang Madura bertemu dengan orang-orang dari bahasa, adat, hingga agama berbeda?

Ahmad Baso yang berasal dari Makassar menjawab, awal abad ke-19 ada kamus bahasa Bugis-Makassar-Madura. Artinya, pertemuan budaya itu sudah berlangsung lama dan begitu dekat. Komunikasi sudah begitu canggih sehingga dapat menghasilkan kamus bahasa bersama. Tentu ini pencapaian yang luar biasa. Kemusykilan-kemusykilan saya tentang keindonesiaan makin terpecahkan saat saya mulai merantau ke Surabaya, kuliah di IAIN Sunan Ampel. Saya mulai merasakan keindonesiaan yang sebelumnya hanya ada di buku pelajaran. Dan, saya pun pelan-pelan mengalami pertemuan yang sudah dialami nenek moyang orang Madura dengan orang-orang pulau yang jauh.

Prasangka-prasangka khas, seperti agama, suku, dari kampung di Madura yang homogen mulai hilang saat bertemu dengan orang-orang di Kota Surabaya yang heterogen, multikultur, multietnis, hingga multiagama. Di Kota Surabaya, saya tidak lagi menganggap Bhinneka Tunggal Ika sebagai jimat. Dari sinilah saya lantas menemukan rasionalisasi dari peristiwa Sumpah Pemuda yang dimotori pemuda dan pelajar dari sejumlah daerah, seperti Sugondo Djojopuspito dari Jawa, Mohammad Yamin dari Sumatera, dan Johannes Leimena dari Ambon. Dari sini pula saya meyakini NKRI itu bukan lagi sebuah kemusykilan, apalagi disebut imagined communities (komunitas imajer) seperti yang dikatakan oleh Ben Anderson.
Bhinneka Tunggal Ika, Sumpah Pemuda, dan NKRI adalah fakta sejarah yang dibentuk melalui dialektika zaman, bukan hasil dari lamunan atau imajinasi. Rekam jejaknya dapat dilacak dan diverifikasi secara logis ataupun empiris. Semua ini bisa terjadi karena adanya pertemuan dan dialog antarelemen pemuda dari pelbagi pelosok. Saya berhasil meruntuhkan kemusykilan saya tentang NKRI setelah saya ke Surabaya: kuliah, bertemu, dan berdialog dengan beragam orang. Tanpa pertemuan-pertemuan itu, tidak mungkin NKRI menemukan rasionalisasinya dalam diri saya. Bukankah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 juga baru diputuskan pada kongres kedua, bukan di kongres pertama? Artinya, sebelum itu terdapat serangkaian pertemuan pemuda yang cukup intens untuk menyatukan cara pandang antarpemuda.

Dalam peringatan Sumpah Pemuda kali ini, saya tak ingin bicara muluk-muluk tentang Sumpah Pemuda. Saya hanya ingin fokus pada satu hal: mengajak para pemuda Indonesia di seluruh Nusantara untuk bersama-sama dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga mengikhtiari semakin banyak pertemuan pemuda; memperbanyak dialog pemuda lintas suku, ras dan agama; serta menciptakan sebanyak mungkin momentum keindonesiaan (kebinekaan) pemuda, baik melalui organisasi kepemudaan, komunitas kepemudaan, maupun kegiatan keolahragaan.

Hanya dengan bertemu kita bisa saling berbagi dan menguatkan keyakinan kita akan kebinekaan Indonesia. Pertemuan meminimalkan salah paham dan munculnya paham salah. Saya percaya-dan sudah juga dialami dan dilakukan oleh para pemuda Indonesia, para pendiri bangsa 87 tahun silam-bahwa untuk menjadi satu adalah bertemu.

Imam Nahrawi, Menteri Pemuda Dan Olahraga ( Sumber ; kompas,28 oktober 2015)

Sabtu, 03 Oktober 2015

Melihat Beranda Depan Indonesia, Pertaruhan Jokowi di Perbatasan




Pertaruhan Jokowi di Beranda Indonesia

Oleh Freddy Numberi

Perbatasan suatu negara, bagi seorang pemimpin negara, tak dimungkiri adalah suatu harga diri yang tak dapat dipandang remeh oleh negara lain.Pasalnya, karena adanya perbatasan itulah, suatu negara memiliki kedaulatan. Karena itu, bisa dimaklumi jika Presiden Joko Widodo, saat sebelum menjadi presiden, dalam acara debat dengan calon presiden Prabowo Subianto kala itu terkesan arogan. "Kita bikin rame," katanya saat itu, terkait tekadnya jika terpilih menjadi presiden, ia akan tanpa ragu melakukan tindakan yang tegas jika kedaulatan RI diancam negara lain.
https://www.bukalapak.com/bukubatas
Meski mengedepankan diplomasi, dia menyatakan siap bertindak jika kedaulatan NKRI diganggu bangsa lain. "Apa pun akan saya lakukan jika kedaulatan kita diganggu, apa pun saya pertaruhkan," katanya saat itu.
Kedaulatan teritorial. Mengawali dari prolog menyangkut urgensi wilayah perbatasan, Jokowi saat masih calon presiden tampak garang dan terkesan bahwa mempertahankan kedaulatan batas negara merupakan harga mati. Sejatinya, seorang pemimpin bangsa dari suatu negara memang harus seperti itu, apalagi Indonesia punya sejarah menyakitkan ketika Sipadan-Ligitan lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi, berpindah ke pelukan Malaysia.

Apakah langkah Jokowi akan seperti janjinya? Sebagai gambaran, persoalan perbatasan hingga saat ini masih tetap berpotensi memunculkan konflik. Seperti potensi konflik pada daerah sengketa perbatasan laut, antara lain dengan Singapura (Selat Philips), Vietnam (utara Kepulauan Natuna), dan pengaturan kembali perairan Indonesia di sekitar Kepulauan Timor. Semrawutnya pengaturan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang hingga kini belum terselesaikan dengan beberapa tetangga juga berpotensi melahirkan friksi dan sengketa yang dapat mengarah pada konflik internasional.
Mengingat Indonesia negara kepulauan yang sarat isu-isu maritim, wajar apabila isu-isu tersebut menjadi perhatian serius dari pemerintah dan melibatkan aneka kepentingan strategis, baik militer maupun ekonomi.

Menyangkut batas teritorial, ada beberapa aspek yang dialami Indonesia. Pertama, Indonesia masih memiliki banyak "pulau tak bernama", membuka peluang negara tetangga mengklaim wilayah-wilayah itu.
Kedua, implikasi secara militer, TNI AL yang bertanggung jawab terhadap wilayah maritim perlu diperkuat armadanya, baik dalam kecanggihan maupun sumber daya manusia. Demikian juga TNI AU perlu diperkuat dan modernisasi pesawat tempurnya agar dapat melakukan tindakan tegas terhadap pesawat-pesawat tempur milik Malaysia yang berulang kali menerobos wilayah udara Indonesia.
Ketiga, Presiden Jokowi perlu memiliki utusan khusus sebagai negosiator mumpuni yang menguasai hukum teritorial kewilayahan yang diandalkan di fora internasional.

Secara gradual, pembenahan dapat dimulai dari tataran domestik. Pertama, melakukan penelitian dan penyesuaian kembali garis-garis (pangkal) pantai dan alur laut Nusantara. Hal ini perlu segera dilakukan guna mencegah klaim-klaim dari negara lain. Namun, sekali lagi, hal ini memerlukan kemauan politik pemerintah. Tanpa itu, mustahil akan berhasil. Kedua, mengintensifkan kehadiran yang terus-menerus, pengembangan ekonom, dan jaminan pelestarian terhadap pulau perbatasan. Tak terpenuhinya ketiga unsur itu menjadikan Sipadan-Ligitan jatuh ke Malaysia pada 17 Desember 2002.

Sampai di situ, Presiden Jokowi tampaknya memang berupaya bekerja keras untuk melakukan pembenahan. Paling tidak, janji Nawacita dalam butir "Membangun dari Pinggir" yang menjadi andalan Jokowi kini diaplikasikan dengan berbagai program oleh jajaran pembantunya di beberapa kementerian.
Membangun dari pinggir berarti Jokowi peduli untuk mengupayakan pembangunan di beranda-beranda Indonesia yang berbatasan dengan negara lain. Dan memang, dengan tersejahterakannya warga di daerah-daerah perbatasan, dengan sendirinya nasionalisme dan kedaulatan bisa terjaga dengan kuat.
Namun, keamanan maritim pun pastinya tak bisa diabaikan. Pasalnya, tantangan keamanan maritim yang mengemuka memungkinkan konflik antarnegara. Konflik antarnegara merujuk tingkat kompetisi antarnegara untuk mendapat sumber daya alam dan klaim berkait batas-batas nasional dan teritorial.
Sayangnya, isu keamanan maritim saat ini masih kurang mendapatkan perhatian serius. Lebih jauh lagi, hal ini juga berpengaruh terhadap tingkat kesiapan domestik, armada pengamanan kelautan kita dalam mengatasi ancaman dari luar negeri. Kemampuan militer armada laut kita masih terhitung minim, apalagi jika dibandingkan dengan luas wilayah. Belum lagi berbicara kecanggihan peralatan militer yang "tidak layak tempur" karena usia tua.
Kemampuan diplomasi. Ketegangan akibat beragam konflik dengan negara tetangga, terutama Malaysia, hingga kini masih cukup menggelitik. Masih segar dalam ingatan kita, Soekarno pernah menyerukan Komando "ganyang Malaysia" sebagai reaksi atas tuduhan neokolonialisme (Nekolim). Semangat "ganyang Malaysia" beberapa waktu lalu kembali menggema sebagai cermin nasionalisme kebangsaan, terkait isu perbatasan yang kerap muncul.
Dalam relasi dunia modern sekarang ini, tindakan penyerangan dengan persenjataan dianggap sebagai langkah konvensional primitif. Oleh karena itu, mengedepankan jalur diplomasi menjadi pilihan utama dan logis. Namun, kembali lagi adanya pengalaman pahit terkait lepasnya wilayah-wilayah Indonesia menjadikan publik pesimistis atas kemampuan tim diplomatik kita. Apalagi, seperti ditulis I Basis Susilo-"Menghadapi Provokasi Malaysia"-(Kompas, 7 Maret 2005), kita lalai dalam merawat perbatasan.
ASEAN-mengutip Wawan Fachrudin di Kompas beberapa waktu lalu-sebagai satu forum kerja sama regional sangat minim perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena ia dipandang sebagai persoalan domestik satu negara dan ASEAN tidak dapat campur tangan. Memang, secara historis ASEAN dibentuk atas dasar persoalan politik, yaitu adanya ketakutan peristiwa seperti "ganyang Malaysia" terulang. Artinya, kerja sama regional Asia Tenggara ini ingin meminimalkan intervensi satu negara atas negara lain.
Seperti mengidap paranoid historis, menjadikan ASEAN tak memiliki kekuatan dalam menyelesaikan masalah batas teritorial. Meski pembicaraan mengenai forum-forum kerja sama seperti Forum Keamanan ASEAN atau Forum Maritim ASEAN memang merumuskan kerja sama keamanan regional negara Asia Tenggara, realisasinya belum kelihatan. Seharusnya, sebagai forum kerja sama regional, beragam persoalan regional menjadi tanggung jawab bersama. Hanya saja, karena adanya prinsip nonintervensi yang mendominasi, peran ASEAN menjadi tidak cukup mengemuka dalam mengatasi persoalan perbatasan.
Kini, di era Jokowi yang belum setahun menduduki jabatan presiden, rasanya patut menaruh harapan besar untuk membenahi persoalan yang kerap muncul di area pagar negara Indonesia. Tentu demi harga diri bangsa, dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Freddy Numberi Mantan Menteri Perhubungan serta Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan ( Sumber : Pertaruhan Jokowi di Beranda Indonesia, Kompas 21 September 2015)

Jumat, 18 September 2015

Pembangunan Infrastruktur Perbatasan, Kini Bukanlagi Sebatas Retorika



Ditengah penantian pembangunan perbatasan, kita senang membaca apa yang terdapat dalam twitter presiden RI. Dalam twitter beliau: disampaikan bahwa “Kemajuan pembangunan jalan perbatasan Kalimantan, NTT dan Trans Papua menggembirakan,” tulis Presiden Jokowi melalui akun twitternya @Jokowi yang dikutip Republika, Kamis (27/8/2015). Sementara itu melalui FAN PAGE facebooknya yang juga diunggahnya Kamis (27/8), Presiden Jokowi menyampaikan, jalan perbatasan Kalimantan sepanjang 771,36 kilometer (Km), membentang dari Kalimantan Barat, Kalimantan Utara hingga Kalimantan Timur. “Sampai Agustus 2015, ruas yang sudah diaspal 188,37 Km dan ruas yang sudah fungsional sebagai jalan tembus 441,70 Km,” papar Jokowi. Adapun jalan perbatasan Nusa Tenggara Timur (NTT) sepanjang 171,56 Km. Sampai akhir 2015 ditargetkan sepanjang 47 Km, tahun 2016 sepanjang 67,61 km, dan tahun 2017 adalah penyelesaian akhir sepanjang 56,95 km. Sedangkan jalan Trans Papua sepanjang 4.325 Km. “Sampai saat ini jalan yang teraspal sudah mencapai 2.075 Km. Jalan Trans Papua ditargetkan rampung 2019,” kata Presiden Jokowi. Kita percaya bapa Presiden semoga pembangunan wilayah perbatasan kian nyata dan terwujud sebagaimana harapan kita semua.
Saat ini, boleh dikatakan kepercayaan masyarakat perbatasan kepada pemerintah sudah ada di titik nadir, janji manis membangun perbatasan itu sudah diucapkan oleh pejabat berwenang sejak puluhan tahun yang lalu. Kini janji yang sama kembali diutarakan pemerintah. Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menjadikan janji itu sebagai salah satu poin dalam Nawa Cita, yang merupakan visi dan misi mereka, membangun Indonesia dari pinggiran. Implementasinya, rencana pembangunan perbatasan masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015- 2019. Dengan demikian, setiap kementerian/lembaga harus membuat rencana strategis untuk mencapai target pembangunan perbatasan di RPJMN. Di beberapa wilayah perbatasan getaran pembangunan itu meski sedikit, tapi sudah terasa. Hal itulah yang membuat para pihak juga masih punya optimism.
Program itu memang nyata dan ada di dalam program pembangunan perbatasan, 10 daerah bakal dikembangkan menjadi pusat kegiatan strategis nasional (PKSN) dan 187 kecamatan perbatasan ditetapkan menjadi lokasi prioritas pembangunan. Seluruhnya tersebar di 41 kabupaten/kota dan 13 provinsi. Khusus untuk tahun ini, dari 187 kecamatan, terlebih dahulu diprioritaskan pembangunan di 50 kecamatan.  Secara teoritis  daerah yang ditetapkan sebagai PKSN akan didorong untuk menjadi kawasan/perkotaan yang dapat mendorong pengembangan kecamatan perbatasan di sekitarnya. ( Mudah diucapkan, misalnya di dorong jadi kawasan perkotaan, padahal sejatinya proses untuk itu membutuhkan waktu hingga puluhan tahun, apalagi terkait dengan pembentukan Daerah Otonom Baru, peranan parpol dan tetek bengek lainnya; sungguh memerlukan waktu lama). Tetapi pejabat itu seolah menuturkannya bukan sebagai suatu persoalan.



Sistem  Acuan Pembangunan Perbatasan

Pembangunan  perbatasan di pulau-pulau terluar mungkin sedikit lebih sederhana. Misalnya kita konkritkan di Saumlaki. Dengan menjadikan Saumlaki sebagai PKSN. Saumlaki akan didorong menjadi pusat perekonomian baru. Caranya menurut BNPP  di antaranya dengan membangun infrastruktur dan konektivitas dengan pusat perekonomian baik di Maluku sendiri maupun dengan di luar Maluku, yaitu Surabaya. "Direncanakan akan ada kapal KARGO KHUSUS  yang melayani jalur dari Surabaya ke Saumlaki hingga Papua. Tak hanya membawa barang-barang kebutuhan pokok, kapal akan membawa hasil-hasil bumi rakyat di selatan Maluku," begitu teorinya. Berarti itukan memerlukan subsidi lagi, dan itu terkait anggaran lagi; padahal anggaran itu persoalannya. Bisakah itu terwujut? Atau realistiskah yang disampaikan para pejabat yang berwenang itu? Hal seperti itulah yang sulit untuk dinilai.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam beberapa kesempatan menjanjikan perubahan wajah perbatasan bisa terlihat dalam waktu tiga tahun ini. Perubahan setidaknya harus terlihat dari lima hal, yaitu INFRASTRUKTUR JALAN, AIR BERSIH, LISTRIK, PENDIDIKAN, DAN KESEHATAN. Dia pun menjanjikan egosektoral kementerian/lembaga yang selama ini menghambat pembangunan perbatasan tidak akan terjadi. "Koordinasi antarkementerian/lembaga di bawah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan. Sementara BNPP menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan anggaran, serta evaluasi dan pengawasan program. Hingga kini koordinasi berjalan lancar," ujar Tjahjo, yang juga Kepala BNPP.
Untuk lebih menjamin wajah perbatasan betul berubah  Suhatmansyah, Deputi Bidang Potensi Perbatasan Negara Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP)  mengatakan,  saat ini disusun instruksi presiden yang isinya PETA JALAN PEMBANGUNAN PERBATASAN SETIAP TAHUN. "Ditetapkan pembangunan di perbatasan apa, kementerian/lembaga yang terlibat apa, dan alokasi anggaran yang harus disediakan kementerian/lembaga. Ini menjadi acuan. Dengan inpres, tidak ada alasan kementerian/lembaga tidak mengalokasikan anggaran," ujarnya.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan, hal paling utama yang menghambat pembangunan perbatasan selama ini adalah setiap kementerian/lembaga berjalan sendiri-sendiri. BNPP yang diserahi tugas mengoordinasikan pembangunan perbatasan oleh kementerian/lembaga (K/L) tidak mampu menjalankan tugasnya. Dengan kendali koordinasi sekarang berada di Menko Polhukam, dia juga pesimistis tiap kementerian/lembaga bisa menyingkirkan egonya dan menurut kepada Menko Polhukam.
Kita bisa memahami apa yang dihawatirkan pa Djohan, sebab biasanya Kementerian/Lembaga hanya konsern dengan Badan yang menentukan besarnya anggaran untuk  K/Lnya. Menkopolhukam jelas tidak ada sangkut pautnya dengan anggaran, karena itu biasanya pejabat koordinasi yang datang terbatas hanya sebatas Kasubdit. Itu artinya tidak ada yang bisa diputuskan, kecuali hanya sebatas melaporkan ke atasan yang bersangkutan. Kalau itu yang terjadi, ya sama saja dengan pola yang ada selama ini. Koordinasi berjalan dan seolah tidak ada permasalahan, tetapi  di lapangannya lain lagi yang terjadi. Pendek kata, yang penting anggaran mereka terserap sesuai dengan administrasinya. Soal apakah yang mereka kerjakan bisa sinergi dengan program K/L lainnya, itu bukan lagi urusan mereka.
Hal seperti itulah yang terjadi selama ini. Katakan Kemdiknas mempunya anggaran untuk membangun sekolah SMK di perbatasan. Mereka koordinasikan pada para pihak, tetapi karena wilayah perbatasan  masih terisolasi, seharusnya pembangunan SMK itu ditunda dahulu sampai jalan raya sampai ke desa tersebut. Tetapi itu tidak akan terjadi.  Yang terjadi kemudian, pembangunan SMK dilakukan tetapi tempatnya jauh dari sasaran. Akibatnya gedung sekolah yang sudah dibangun itu tidak bisa dipergunakan, karena belum ada jalan, belum ada listerik dan belum ada aliran air bersih. Pendek ceritra, sekolah itu jadi muspro. Setelah tiga tahun kemudian sarana jalan raya masuk, tetapi gedung sekolahnya sudah terlanjur hancur. Pola-pola seperti inilah yang sering terjadi, masing-masing pihak membangun sesuai sasaran K/L nya masing-masing, tetapi hasilnya tidak bermanfaat.
Di wilayah perbatasan itu juga sebenarnya ada Badan Perbatasan milik Pemda, tetapi mereka tidak memegang mata anggaran atau mereka tidak bisa jadi Bowhirnya pembangunan perbatasan. Kalau ada pembangunan jalan KemenPu yang punya dana, kalau ada pembangunan sekolah maka yang punya mata anggaran adalah jajaran Diknas di daerah. Jadi praktis badan perbatasan ini tidak punya “taring”. Jadi kalau mereka melaksanakan rapat koordinasi maka yang datang adalah petugas yang mewakili saja dan itu hanya setingkat jauh dari yang bisa mengambil keputusan. Teman-teman di Badan Perbatasan  Daerah itu biasanya hanya dapat melihat-lihat saja. Begitu juga dengan Dana Alokasi Khusus, mereka memang menbantu tetapi semua kendali dan supervise ada pada Kemdagri dari Pusat. Rekan-rekan dari Perbatasan daerah itu hanya sekedar meananda tangani surat jalan para petugas dari Pusat, baik dari jajaran K/L ataupun dari pihak ketiga.
Soal adanya anggaran sebensar 16.5 Trilin dana perbatasan pertahunnya, ternyata dana itu adalah dana semua Pemda yang mempunyai daerah perbatasan. Pemda perbatasan sendiri, prioritas pembangunannya adalah wilayah dimana terdapat banyak warganya atau dengan kata lain di wilayah Ibu Kota Kabupaten/Kota atau Kecamatan. Mereka tidak mungkin bisa memprioritaskan wilayah perbatasan yang jumlah penduduknya tergolong langka. Pemda Perbatasan selalu mengatakan bahwa untuk membangun wilayah perbatasan itu adalah kewenangan pemerintah Pusat. Dan hal-hal seperti itulah yang terjadi selama ini. Pemerintah Pusat dan Pemda mempunyai agendanya masing-masing yang jauh dari saling sinergi.
Karena itulah Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan bahwa sebaiknya "Kendali harus ada di Presiden. Presiden sendiri yang memastikan setiap kementerian/lembaga menjalankan program pembangunan perbatasan yang disusun oleh BNPP. Dengan demikian, menteri/kepala lembaga pasti ikut," katanya. Hal lain yang sering diabaikan, pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah provinsi yang daerahnya di perbatasan tidak dilibatkan dalam perencanaan program. "Libatkan daerah karena mereka yang paling tahu persoalan di daerah dan cara-cara mengatasinya," ujar Djohermansyah. Selama ini Pusat selalu mengalokasikan dana untuk sektoralnya masing-masing terlebih dahulu, sehingga pemda nyaris tidak kebagian. Sehingga dalam pelaksanannya Badan Perbatasan Pemda itu memang hanya sekedar memberi cap atau tanda tangan bahwa K/L dari Pusat itu sudah sampai ke daerahnya. Selama ini yang sering terjadi itu, petugas  K/L serta pihak ketiga dari pusat yang mengerjakan proyek perbatasan itu, sudah datang ke daerah. Di pesawat mereka juga punya tiket resmi tetapi sebagian orangnya  tidak ada. Maksudnya dalam surat jalan tertera orangnya ada 8 delapan dan tiketnya juga ada 8, tetapi orangnya hanya empat. Praktek seperti itu nampaknya masih terus berjalan dan semua pihak masih melihatnya sebagai sesuatu yang  biasa-biasa saja.
Kalau di perbatasan pulau-pulau terluar Isolasi bias diselesaikan dengan membuka jalur khusus, artinya pemerintah berjanji akan membangun atau meningkatkan kualitas pembangunan dermaga, kemudian menyediakan Kapal perintis dan termasuk subsidi Solar atau BBMnya. Nah kalau diperbatasan darat, tentu sangat tidak sebanding kalau dilakukan dengan menambah atau membangun lapangan terbang baru di perbatasan. Jadi praktis harus menunggu pembuatan jalan parallel perbatasan selesai.  Kalau ini yang terjadi, maka pembangunan perbatasan memang secara logika masih akan membutuhkan waktu yang lama. Tetapi kalau pemerintah punya komitmen dan mengawasi system dan cara kerja para petugasnya, maka kita masih mempunyai harapan. Tapi kalau system ini masih seperti yang sudah-sudah ini, maka nampaknya pembangunan wilayah perbatasan masih sebatas jargon-jargon yang membohongi belaka.



Minggu, 30 Agustus 2015

Buku Perbatasan : Jalan Paralel Perbatasan Membuka Potensi Ekonomi Perbatasan




Jalan Paralel Perbatasan RI-Malaysia Membuka Potensi PerbatasanThe Minister of Public Works and Public Housing (PU and Pera) Basuki Hadimuljono is targeting the  Opening Business Opportunities at the Border PUPR Minister Basuki Hadimuljono [1] said that the construction of border roads is of strategic value because in addition to the functions of national defense and security, it also opens and grows the economy of border areas. "Development of the border area is not just for show but to meet the needs of border communities by creating an embryo for new economic growth centers in the border areas,"

Jalan paralel perbatasan Kalimantan – Malaysia sepanjang 1.920 km. Daerah Kalbar memiliki panjang 811.32 km yang  terbagi menjadi dua yakni 607.81 km berstatus jalan NON NASIONAL dan 203.51 km JALAN NASIONAL. Pada bulan Juli 2020, jalan paralel sepanjang 811.32 km tersebut telah tembus seluruhnya dari Temajok hingga Batas Provinsi Kalbar/Kaltim. Untuk daerah Kaltara dari 1.920 km jalan paralel perbatasan di Kalimantan, yang berada di Provinsi Kaltara sepanjang 824 km dan Kaltim sepanjang 244 km. Jalan tersebut sudah bisa tersambung dan fungsional pada akhir 2019 dengan kondisi sebagian beraspal, sebagian perkerasan agregat, dan perkerasan tanah. Rata-rata seluruh jalan memiliki lebar minimal 6 meter dan ruang milik jalan (Rumija) antara 15 - 25 meter.

It is believed that by opening up this isolation by road, it will automatically generate new ideas in terms of opening up economic opportunities. The parallel border road will open tourism activists to further beautify their tourist destinations along the border road. Various destination locations in Kalimantan are really interesting and can be tempting destinations. For example in West Kalimantan, there are several well-known tourist destinations such as: Bukit Penjamur Bengkayang, Bengkayang; Mananggar Waterfall, Hulu Sungai Landak, Kab Landak; Danau Sentarum, Kab. Kapuas Hulu; Bukit Kelam, Sintang District; Temajuk Beach and   Pulau Selimpai, Sambas Regency; Kapuas River is the longest river in Indonesia. Starting from Pontianak to the Putusibau mountains, it is approximately 1143 km.

Demikian juga untuk daerah Kalimantan Utara, untuk saat ini sudah banyak yang menarik seperti :  Air Terjun Krayan, Long Midang, Krayan Kab Nunukan;  Air Terjun Sianak, bambangn, Sebatik Nunukan; Bukit Damai Gn. Bahagia, Kec. Balikpapan Selatan, Kota Balikpapan.; Giram Luyu Desa Labang, Kec. Lumbis Ogong, Kab. Nunukan; Long Bawan, Long Bawan, Kec. Krayan, Kab. Nunukan; Pantai Kayu Angin Tanjung Karang, Sebatik, Kab. Nunukan.; Sungai Hitam Desa Tabur Lestari, Kec. Seimenggaris, Kab. Nunukan.; Desa Long Beluah, Kec. Tanjung Palas Barat, Kab. Bulungan.; Batu Tumpuk Panca Agung, Kec. Tanjung Palas Utara, Kab. Bulungan.; dan Gunung Putih, Kec. Tanjung Palas, Kab. Bulungan

Hal ini juga akan menambah gairah para pebisnis perkebunan untuk lebih mengoptimalkan potensi perkebunannya dst dst. Suatu kondisi yang tidak akan dibiarkan oleh para penggiatnya. Mislanya saja kita melihat saat PLBN Naga Badau[2] diresmikan. "Saat itu juga terlihat sudah ada pergerakan menuju tempat wisata Temajok, kalau sebelumnya warga Indonesia yang ke wilayah Malaysia, sekarang warga Malaysia  banyak yang ke wilayah Indonesia. Dulu warga Indonesia di perbatasan biasanya berhari - hari jalan kaki dan naik motor belanja ke wilayah Malaysia, sekarang sudah belanja ke ibu kota kecamatan atau desa terdekat karena sudah banyak toko,"

Kehadiran Pos Lintas Batas Negara (PLBN) seolah mengubah wajah Nanga Badau, Kapuas Hulu sebagai daerah ujung Indonesia. PLBN Badau juga membuka keran ekonomi bagi masyarakat setempat. PLBN Badau yang diresmikan tahun 2018 oleh Presiden Jokowi menjadi jalur utama lalu lintas masyarakat dari Indonesia menuju Malaysia dan sebaliknya. Setiap harinya, sebelum masa pandemi, sekitar 200 orang melintas di PLBN yang memiliki bangunan dengan corak ukiran khas Suku Dayak tersebut.


Kepala PLBN Badau Agato Litmat menyampaikan geliat ekonomi masyarakat Badau cukup terbantu dengan adanya PLBN. Mereka menjadi lebih leluasa untuk melakoni urusan perniagaan, seperti berdagang atau bekerja di Negeri Jiran. Begitu juga dengan pelancong dari Malaysia yang memberikan peluang ekonomi bagi masyarakat Badau. Dalam keadaan normal sebelum pandemi, Pasar Wisata Badau menjadi salah satu destinasi pelancongan bagi masyarakat dalam negeri maupun dari Malaysia. Di Pasar Wisata, terdapat sejumlah penjual makanan lokal hingga toko-toko souvenir yang menjajakan kerajinan khas Kalimantan Barat.

"Jadi memang pergerakan ekonomi (dengan adanya PLBN Badau) cukup bagus. Apalagi masyarakat diberi fasilitas oleh pemerintah jadi mulai bagus, tapi dengan adanya COVID jadi mulai terhenti. Kita berharap 2021 kembali normal," kata Agato saat ditemui detikcom di kantornya beberapa waktu lalu. 

Agato menambahkan efek ekonomi lain yang muncul dari pengoperasian PLBN Badau, yakni penyerapan tenaga kerja lokal. Ia menguraikan tenaga pendukung di area kantor dan fasilitas pendukung PLBN Badau mayoritas mengandalkan SDM lokal dari Nanga Badau dan sekitarnya.

"(Pedagang) Pasar wisata dan tenaga kerja di sini mayoritas lokal terutama tenaga pendukung seperti security, petugas kebersihan, tanaman, teknisi kita utamakan tenaga kerja lokal. Karena Presiden mengharapkan dengan dibangunnya PLBN masyarakat perbatasan ekonominya tubuh dan mereka menjadi sejahtera. Dengan lancarnya jalanan di sini kita bisa lihat geliat ekonomi di perbatasan sudah mulai naik," papar Agato.

Dampak dibukanya PLBN terhadap ekonomi di Badau dirasakan oleh Sumiwati (38), salah satu warga di Nanga Badau. Sumiwati yang merupakan pengrajin Sugu Tinggi-riasan kepala khas Suku Dayak Iban-mengatakan PLBN Badau memudahkannya mengirim barang ke Malaysia.

"Ya jadi lebih mudahlah bang kita untuk kirim barang ke Malaysia. Karena saya kan buat kerajinan pembelinya banyak dari Malaysia. Adanya PLBN ini membuat pengiriman jadi lebih lancar dan cepat, perekonomian jadi semakin baik," ulas Sumiwati.

Muhammad Iqbal (23) yang menjadi agen BRILink dekat PLBN Badau menceritakan, keberadaan PLBN Badau berdampak pada peningkatan transaksi di tokonya. Disebutkan Iqbal, banyak orang Indonesia yang bekerja di Malaysia mampir ke tokonya untuk menukar dan mengirim uang kepada kerabatnya di Indonesia.Menurut Iqbal, para WNI tersebut menyeberang ke Badau untuk mengirim uang, lantaran prosesnya lebih mudah. Mereka tinggal menukar uang ke agen BRILink seperti Iqbal, lalu uang tersebut bisa langsung dikirim ke sanak saudara mereka. "Karena kan rekening Malaysia susah kirim ke Indonesia. Makanya mereka ke Indonesia dulu tukar ringgitnya ke rupiah," sebut Iqbal yang merupakan perantau dari Sumatera Barat.

Geliat perekonomian di Badau juga tercermin dari peningkatan jumlah tabungan dan kredit yang disalurkan BRI Unit Badau. Dua item keuangan tersebut nilainya terus meningkat dari tahun ke tahun. Sampai dengan November 2020, jumlah tabungan di BRI Unit Badau menginjak angka Rp 48,5 miliar. Meningkat cukup signifikan dari jumlah tabungan tahun 2019, yang berjumlah Rp 40,9 miliar. Nilai Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang disalurkan BRI juga meningkat, dari Rp 7, 2 miliar di akhir 2019 menjadi Rp 18,7 miliar sampai dengan November 2020.

Setelah peresmian PLBN Presiden Jokowi meminta semua pihak untuk menggerakkan roda ekonomi di Entikong dan memanfaatkan keuntungan sebesar-besarnya dari keberadaan PLBN Entikong. Jokowi minta dibuat pasar yang besar, lokasinya sudah ditentukan agar masyarakat bisa menikmati pergerakan ekonomi di PLBN. “Agar masyarakat bisa ambil keuntungan sebesarnya dari perbaikan PLBN ini. Untuk sinergi yang lebih baik PLBN Entikong akan didukung oleh Pelabuhan Internasional Kijing Mempawah. Dengan adanya pembangunan pelabuhan Internasional Kijing ini, Kalimantan Barat dapat memiliki dua pintu ekspor dan impor, yakni pelabuhan Kijing dan jalur darat melalui Pos Pemeriksaan Lalu Lintas (PLBN) Entikong yang tentu masih perlu dikembangkan infrastrukturnya.

Pelabuhan Intl Kijing akan menjadi pelabuhan di wilayah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I yang meliputi Sumatera dan Kalimantan Barat. Kawasan ini akan menjadi pelabuhan padat. “Ekspor Kalbar bisa melalui pelabuhan ini. Jadi kalau kita ekspor CPO tidak lagi melalui pelabuhan tetangga (Malaysia).

Pelabuhan Kijing dirancang sebagai pelabuhan HUB untuk mampu melayani kapal kontainer ukuran besar dengan kapasitas di atas 10 ribu twenty foot equivalent units (TEUs). Terminal peti kemas Kijing juga disiapkan dengan kapasitas 2 juta TEUs per tahun yang akan terintegrasi dengan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), yang diharapkan mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi khususnya di Kalimantan Barat.

Dipercaya setelah pelabuhan ini beroperasi akan ada banyak kargo yang melintas di sana. Pelabuhan ini, akan menjadi salah satu bagian dari program tol laut  Jokowi.  Pemda berharap pelabuhan Kijing jadi bagian dari Tol Laut. Ini multiplier effectnya akan sangat besar. Ditambah lagi kalau jalan Tol Pontianak-Entikong sudah ada dan beroperasi.

Dengan adanya program tol laut ini, perdagangan di Indonesia yang selama berpusat di Jawa akan bergeser ke daerah-daerah lain, termasuk Kalimantan, khususnya kawasan perbatasan.  Memang dibutuhkan waktu untuk menjadikan wilayah tengah dan timur sebagai pintu ekspor. Sebab, industri harus dikembangkan terlebih dahulu. Untuk menggapai target itu, pemerintah kini tengah menyusun payung hukum yang akan mengatur agar impor beberapa komoditas tertentu tidak boleh masuk ke pelabuhan di kawasan Indonesia Barat, melainkan harus masuk melalui pelabuhan di kawasan Indonesia Timur. Memang ada skema perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) memang membuat Indonesia tidak bisa menolak impor produk-produk dari negara yang sudah meneken perjanjian FTA. Padahal, arus barang melalui kawasan Indonesia Barat seperti Batam dan Jakarta sudah sangat padat.

Selain itu, karena masuk dari wilayah barat, ketika kemudian didistribusikan ke wilayah timur, barang-barang menjadi lebih mahal. Karena itu, menggeser pintu masuk impor ke wilayah timur dan tengah ibarat sekali dayung dua pulau terlampaui. Yakni, mengembangkan wilayah timur sekaligus membuat harga produk di wilayah timur menjadi lebih murah. Langkah itu sekaligus merespons pergeseran kekuatan ekonomi dunia yang duhulu berada di barat, khususnya Eropa, melintasi Samudra Atlantik. Namun, dalam beberapa dasawarsa terakhir, negara-negara di sepanjang Samudra Pasifik –yang dimotori Jepang, lalu diikuti Korea Selatan serta Tiongkok– menjadi kekuatan ekonomi baru dunia.

Kita tahu, disamping PLBN Entikong, Pelabuhan Internasional Kijing, PLBN Aruk pemerintah kini sudah selesai membangun simbol simbol kedaulatan Negara berupa pembagunan kembali 7 Pos Lintas Batas Negara (PLBN). Adapun ke 7 PLBN yang tersebut yaitu PLBN Motaain, Motamasin, dan Wini di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kemudian di Kalimantan Barat ada Aruk, Nanga Badau dan Entikong, dan di Papua ada di Skouw. Sebenarnya ke 7 PLBN tersebut sebelumnya sudah ada namun dianggap tidak layak sehingga diratakan dan kemudian dibangun baru.Selain 7 PLBN tersebut ada tambahan 2 PLBN lagi yang akan diperbaiki yaitu PLBN Oupoli dan Waris yang masih dalam tahap Pra Design. Membangun Infrastruktur di perbatasan dimulai dari sekitar PLBN yakni infrastruktur yang bisa mempercepat pengembangan Kawasan Perbatasan, seperti pasar, perumahan, dll. Kita berharap  Pemda terkait disekitar PLBN tersebut juga ikut berperan aktif untuk membuka isolasi di wilayahnya, yakni dengan memperkuat sarana Ekspor dan Impor bagi kesejahteraan Rakyat. Sehingga bisa membuat produk pproduk Indonesia jadi unggul di perbatasan.



[1] https://properti.kompas.com/read/2020/07/29/090000021/strategis-jalan-paralel-perbatasan-indonesia-malaysia-di-kalbar-dibangun?page=all

[2] https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5309251/jalan-di-perbatasan-badau-mulus-warga-makin-mudah-cari-fulus?tag_from=wp_nhl_26

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU dan Pera) Basuki Hadimuljono menargetkan, pembangunan jalan lintas paralel perbatasan Kalimantan-Malaysia tuntas 2018. Jalan pararel perbatasan merupakan penghubung Kalimantan Barat hingga Kalimantan Timur yang sejajar dengan garis batas dengan Malaysia. Jalan lintas paralel perbatasan Kalimantan dibuat dalam beberapa ruas. Ruas pertama dimulai dari Kalimantan Barat sejak ruas Temajuk-Aruk-Seluas-Balai Karangan-Sepulau-Nanga, dan ruas Badau-Putusibau. Kemudian tersambung dengan ruas jalan Long Pahangai -Long Nawang-Long Bujungan-Malinau-Simanggaris-Sei Ular yang terletak di bagian Utara Kalimantan Utara.

www.wilayahperbatasan.com

Jalan paralel perbatasan Kalimantan merupakan bagian dari pembangunan ruas jalan Trans-Kalimantan sepanjang 7.619 km, yang merupakan rangkaian jalan nasional. Dibutuhkan anggaran Rp 15,1 triliun untuk melakukan perbaikan dan pembangunan jalan baru termasuk untuk lintas paralel. Total ruas jalan nasional Kalimantan tahun ini adalah sepanjang 7.619 kilometer (km). Panjang tersebut membentang, antara lain 1.204 km di Kalimantan Selatan, 2.002 km di Kalimantan Tengah, 1.710 km di Kalimantan Timur, 585 km di Kalimantan Utara, dan 2.117 km di Kalimantan Barat. Dana sekitar Rp 15,1 triliun untuk membangun infrastruktur tersebut, berasal dari APBN Rp 11,8 triliun, dan Rp 3,2 triliun dari sumber Dana Alokasi Khusus (DAK) Infrastruktur.
Menteri PU Tambah Alat Berat. Menteri PU dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono sedang mempercepat pembangunan jalan perbatasan Kalimantan-Malaysia khususnya lintas paralel yang sejajar dengan garis perbatasan. Jalan paralel di perbatasan banyak membuka hutan sehingga perlu banyak alat berat. "Kita juga minta untuk menambah alat berat. Alat-alat berat perkebunan yang menganggur kita sewa untuk bantu proses pembukaan hutan. Jadi waktu kerja jadi dua shift, dan alat berat lebih banyak," tutur Basuki kepada detikFinance, Senin (17/8/2015)
Langkah ini diambil untuk mempercepat proses pembukaan lahan kawasan bakal badan jalan. Pasalnya, awalnya proses pembukaan lahan direncanakan bisa dimulai pada awal tahun. Namun lantaran terbentur kendala pencairan anggaran yang baru bisa dilakukan sekitar bulan Mei maka dimulainya proses ini menjadi mundur. "Sekarang kita punya waktu sebelum akhir tahun sekitar 4-5 bulan. Jadi kita harus kerja ekstra dengan waktu yang tersisa hanya 4-5 bulan ini bisa dimaksimalkan hasilnya bisa sama dengan pekerjaan satu tahun," tegas Basuki. Ia pun menjelaskan bahwa penambahan waktu kerja atau shift pekerjaan dan jumlah alat berat ini tidak akan membuat kebutuhan anggaran akan membengkak. "Anggaran sama saja. Logikanya sederhana, ini hanya anggaran yang harusnya dibelanjakan 1 tahun dengan waktu kerja satu kali, jadi lebih padat dibelanjakan 4 bulan dengan waktu kerja dua kali dan tambah alat berat," katanya.
‎‎Jalan paralel perbatasan Kalimantan merupakan bagian dari pembangunan ruas jalan Trans-Kalimantan, yang merupakan rangkaian jalan nasional. Panjang Trans Kalimantan membentang, antara lain 1.204 km di Kalimantan Selatan, 2.002 km di Kalimantan Tengah, 1.710 km di Kalimantan Timur, 585 km di Kalimantan Utara, dan 2.117 km di Kalimantan Barat. Dibutuhkan anggaran Rp 15,1 triliun untuk melakukan perbaikan dan pembangunan jalan baru termasuk untuk lintas paralel. Dana sekitar Rp 15,1 triliun untuk membangun infrastruktur tersebut, berasal dari APBN Rp 11,8 triliun, dan Rp 3,2 triliun dari sumber Dana Alokasi Khusus (DAK) Infrastruktur.