Jumat, 18 September 2015

Pembangunan Infrastruktur Perbatasan, Kini Bukanlagi Sebatas Retorika



Ditengah penantian pembangunan perbatasan, kita senang membaca apa yang terdapat dalam twitter presiden RI. Dalam twitter beliau: disampaikan bahwa “Kemajuan pembangunan jalan perbatasan Kalimantan, NTT dan Trans Papua menggembirakan,” tulis Presiden Jokowi melalui akun twitternya @Jokowi yang dikutip Republika, Kamis (27/8/2015). Sementara itu melalui FAN PAGE facebooknya yang juga diunggahnya Kamis (27/8), Presiden Jokowi menyampaikan, jalan perbatasan Kalimantan sepanjang 771,36 kilometer (Km), membentang dari Kalimantan Barat, Kalimantan Utara hingga Kalimantan Timur. “Sampai Agustus 2015, ruas yang sudah diaspal 188,37 Km dan ruas yang sudah fungsional sebagai jalan tembus 441,70 Km,” papar Jokowi. Adapun jalan perbatasan Nusa Tenggara Timur (NTT) sepanjang 171,56 Km. Sampai akhir 2015 ditargetkan sepanjang 47 Km, tahun 2016 sepanjang 67,61 km, dan tahun 2017 adalah penyelesaian akhir sepanjang 56,95 km. Sedangkan jalan Trans Papua sepanjang 4.325 Km. “Sampai saat ini jalan yang teraspal sudah mencapai 2.075 Km. Jalan Trans Papua ditargetkan rampung 2019,” kata Presiden Jokowi. Kita percaya bapa Presiden semoga pembangunan wilayah perbatasan kian nyata dan terwujud sebagaimana harapan kita semua.
Saat ini, boleh dikatakan kepercayaan masyarakat perbatasan kepada pemerintah sudah ada di titik nadir, janji manis membangun perbatasan itu sudah diucapkan oleh pejabat berwenang sejak puluhan tahun yang lalu. Kini janji yang sama kembali diutarakan pemerintah. Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menjadikan janji itu sebagai salah satu poin dalam Nawa Cita, yang merupakan visi dan misi mereka, membangun Indonesia dari pinggiran. Implementasinya, rencana pembangunan perbatasan masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015- 2019. Dengan demikian, setiap kementerian/lembaga harus membuat rencana strategis untuk mencapai target pembangunan perbatasan di RPJMN. Di beberapa wilayah perbatasan getaran pembangunan itu meski sedikit, tapi sudah terasa. Hal itulah yang membuat para pihak juga masih punya optimism.
Program itu memang nyata dan ada di dalam program pembangunan perbatasan, 10 daerah bakal dikembangkan menjadi pusat kegiatan strategis nasional (PKSN) dan 187 kecamatan perbatasan ditetapkan menjadi lokasi prioritas pembangunan. Seluruhnya tersebar di 41 kabupaten/kota dan 13 provinsi. Khusus untuk tahun ini, dari 187 kecamatan, terlebih dahulu diprioritaskan pembangunan di 50 kecamatan.  Secara teoritis  daerah yang ditetapkan sebagai PKSN akan didorong untuk menjadi kawasan/perkotaan yang dapat mendorong pengembangan kecamatan perbatasan di sekitarnya. ( Mudah diucapkan, misalnya di dorong jadi kawasan perkotaan, padahal sejatinya proses untuk itu membutuhkan waktu hingga puluhan tahun, apalagi terkait dengan pembentukan Daerah Otonom Baru, peranan parpol dan tetek bengek lainnya; sungguh memerlukan waktu lama). Tetapi pejabat itu seolah menuturkannya bukan sebagai suatu persoalan.



Sistem  Acuan Pembangunan Perbatasan

Pembangunan  perbatasan di pulau-pulau terluar mungkin sedikit lebih sederhana. Misalnya kita konkritkan di Saumlaki. Dengan menjadikan Saumlaki sebagai PKSN. Saumlaki akan didorong menjadi pusat perekonomian baru. Caranya menurut BNPP  di antaranya dengan membangun infrastruktur dan konektivitas dengan pusat perekonomian baik di Maluku sendiri maupun dengan di luar Maluku, yaitu Surabaya. "Direncanakan akan ada kapal KARGO KHUSUS  yang melayani jalur dari Surabaya ke Saumlaki hingga Papua. Tak hanya membawa barang-barang kebutuhan pokok, kapal akan membawa hasil-hasil bumi rakyat di selatan Maluku," begitu teorinya. Berarti itukan memerlukan subsidi lagi, dan itu terkait anggaran lagi; padahal anggaran itu persoalannya. Bisakah itu terwujut? Atau realistiskah yang disampaikan para pejabat yang berwenang itu? Hal seperti itulah yang sulit untuk dinilai.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam beberapa kesempatan menjanjikan perubahan wajah perbatasan bisa terlihat dalam waktu tiga tahun ini. Perubahan setidaknya harus terlihat dari lima hal, yaitu INFRASTRUKTUR JALAN, AIR BERSIH, LISTRIK, PENDIDIKAN, DAN KESEHATAN. Dia pun menjanjikan egosektoral kementerian/lembaga yang selama ini menghambat pembangunan perbatasan tidak akan terjadi. "Koordinasi antarkementerian/lembaga di bawah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan. Sementara BNPP menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan anggaran, serta evaluasi dan pengawasan program. Hingga kini koordinasi berjalan lancar," ujar Tjahjo, yang juga Kepala BNPP.
Untuk lebih menjamin wajah perbatasan betul berubah  Suhatmansyah, Deputi Bidang Potensi Perbatasan Negara Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP)  mengatakan,  saat ini disusun instruksi presiden yang isinya PETA JALAN PEMBANGUNAN PERBATASAN SETIAP TAHUN. "Ditetapkan pembangunan di perbatasan apa, kementerian/lembaga yang terlibat apa, dan alokasi anggaran yang harus disediakan kementerian/lembaga. Ini menjadi acuan. Dengan inpres, tidak ada alasan kementerian/lembaga tidak mengalokasikan anggaran," ujarnya.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan, hal paling utama yang menghambat pembangunan perbatasan selama ini adalah setiap kementerian/lembaga berjalan sendiri-sendiri. BNPP yang diserahi tugas mengoordinasikan pembangunan perbatasan oleh kementerian/lembaga (K/L) tidak mampu menjalankan tugasnya. Dengan kendali koordinasi sekarang berada di Menko Polhukam, dia juga pesimistis tiap kementerian/lembaga bisa menyingkirkan egonya dan menurut kepada Menko Polhukam.
Kita bisa memahami apa yang dihawatirkan pa Djohan, sebab biasanya Kementerian/Lembaga hanya konsern dengan Badan yang menentukan besarnya anggaran untuk  K/Lnya. Menkopolhukam jelas tidak ada sangkut pautnya dengan anggaran, karena itu biasanya pejabat koordinasi yang datang terbatas hanya sebatas Kasubdit. Itu artinya tidak ada yang bisa diputuskan, kecuali hanya sebatas melaporkan ke atasan yang bersangkutan. Kalau itu yang terjadi, ya sama saja dengan pola yang ada selama ini. Koordinasi berjalan dan seolah tidak ada permasalahan, tetapi  di lapangannya lain lagi yang terjadi. Pendek kata, yang penting anggaran mereka terserap sesuai dengan administrasinya. Soal apakah yang mereka kerjakan bisa sinergi dengan program K/L lainnya, itu bukan lagi urusan mereka.
Hal seperti itulah yang terjadi selama ini. Katakan Kemdiknas mempunya anggaran untuk membangun sekolah SMK di perbatasan. Mereka koordinasikan pada para pihak, tetapi karena wilayah perbatasan  masih terisolasi, seharusnya pembangunan SMK itu ditunda dahulu sampai jalan raya sampai ke desa tersebut. Tetapi itu tidak akan terjadi.  Yang terjadi kemudian, pembangunan SMK dilakukan tetapi tempatnya jauh dari sasaran. Akibatnya gedung sekolah yang sudah dibangun itu tidak bisa dipergunakan, karena belum ada jalan, belum ada listerik dan belum ada aliran air bersih. Pendek ceritra, sekolah itu jadi muspro. Setelah tiga tahun kemudian sarana jalan raya masuk, tetapi gedung sekolahnya sudah terlanjur hancur. Pola-pola seperti inilah yang sering terjadi, masing-masing pihak membangun sesuai sasaran K/L nya masing-masing, tetapi hasilnya tidak bermanfaat.
Di wilayah perbatasan itu juga sebenarnya ada Badan Perbatasan milik Pemda, tetapi mereka tidak memegang mata anggaran atau mereka tidak bisa jadi Bowhirnya pembangunan perbatasan. Kalau ada pembangunan jalan KemenPu yang punya dana, kalau ada pembangunan sekolah maka yang punya mata anggaran adalah jajaran Diknas di daerah. Jadi praktis badan perbatasan ini tidak punya “taring”. Jadi kalau mereka melaksanakan rapat koordinasi maka yang datang adalah petugas yang mewakili saja dan itu hanya setingkat jauh dari yang bisa mengambil keputusan. Teman-teman di Badan Perbatasan  Daerah itu biasanya hanya dapat melihat-lihat saja. Begitu juga dengan Dana Alokasi Khusus, mereka memang menbantu tetapi semua kendali dan supervise ada pada Kemdagri dari Pusat. Rekan-rekan dari Perbatasan daerah itu hanya sekedar meananda tangani surat jalan para petugas dari Pusat, baik dari jajaran K/L ataupun dari pihak ketiga.
Soal adanya anggaran sebensar 16.5 Trilin dana perbatasan pertahunnya, ternyata dana itu adalah dana semua Pemda yang mempunyai daerah perbatasan. Pemda perbatasan sendiri, prioritas pembangunannya adalah wilayah dimana terdapat banyak warganya atau dengan kata lain di wilayah Ibu Kota Kabupaten/Kota atau Kecamatan. Mereka tidak mungkin bisa memprioritaskan wilayah perbatasan yang jumlah penduduknya tergolong langka. Pemda Perbatasan selalu mengatakan bahwa untuk membangun wilayah perbatasan itu adalah kewenangan pemerintah Pusat. Dan hal-hal seperti itulah yang terjadi selama ini. Pemerintah Pusat dan Pemda mempunyai agendanya masing-masing yang jauh dari saling sinergi.
Karena itulah Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan bahwa sebaiknya "Kendali harus ada di Presiden. Presiden sendiri yang memastikan setiap kementerian/lembaga menjalankan program pembangunan perbatasan yang disusun oleh BNPP. Dengan demikian, menteri/kepala lembaga pasti ikut," katanya. Hal lain yang sering diabaikan, pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah provinsi yang daerahnya di perbatasan tidak dilibatkan dalam perencanaan program. "Libatkan daerah karena mereka yang paling tahu persoalan di daerah dan cara-cara mengatasinya," ujar Djohermansyah. Selama ini Pusat selalu mengalokasikan dana untuk sektoralnya masing-masing terlebih dahulu, sehingga pemda nyaris tidak kebagian. Sehingga dalam pelaksanannya Badan Perbatasan Pemda itu memang hanya sekedar memberi cap atau tanda tangan bahwa K/L dari Pusat itu sudah sampai ke daerahnya. Selama ini yang sering terjadi itu, petugas  K/L serta pihak ketiga dari pusat yang mengerjakan proyek perbatasan itu, sudah datang ke daerah. Di pesawat mereka juga punya tiket resmi tetapi sebagian orangnya  tidak ada. Maksudnya dalam surat jalan tertera orangnya ada 8 delapan dan tiketnya juga ada 8, tetapi orangnya hanya empat. Praktek seperti itu nampaknya masih terus berjalan dan semua pihak masih melihatnya sebagai sesuatu yang  biasa-biasa saja.
Kalau di perbatasan pulau-pulau terluar Isolasi bias diselesaikan dengan membuka jalur khusus, artinya pemerintah berjanji akan membangun atau meningkatkan kualitas pembangunan dermaga, kemudian menyediakan Kapal perintis dan termasuk subsidi Solar atau BBMnya. Nah kalau diperbatasan darat, tentu sangat tidak sebanding kalau dilakukan dengan menambah atau membangun lapangan terbang baru di perbatasan. Jadi praktis harus menunggu pembuatan jalan parallel perbatasan selesai.  Kalau ini yang terjadi, maka pembangunan perbatasan memang secara logika masih akan membutuhkan waktu yang lama. Tetapi kalau pemerintah punya komitmen dan mengawasi system dan cara kerja para petugasnya, maka kita masih mempunyai harapan. Tapi kalau system ini masih seperti yang sudah-sudah ini, maka nampaknya pembangunan wilayah perbatasan masih sebatas jargon-jargon yang membohongi belaka.