Rabu, 09 Desember 2015

KRI Banda Aceh,Menjaga Kedaulatan Negeri



KRI Banda Aceh, Kapal Misi Kemanusiaan

Mengarungi laut dengan KRI Banda Aceh seolah mengakrabi rekam jejak Tentara Nasional Indonesia yang sigap mengulurkan tangan kala rakyat dilanda nestapa. KRI Banda Aceh mengantar pemudik, mengantar bantuan, mengevakuasi korban, dan menerjang ganasnya gelombang Lautan Pasifik.

Belum lama angkat sauh dari Jakarta, pengeras suara KRI Banda Aceh yang berlayar di Laut Jawa, Sabtu (21/11), terdengar lantang. "Kepada semua santri dilarang membuang sampah apa pun ke dalam kloset. Mampat satu kloset saja, seluruh jaringan pasti macet," demikian awak kapal mewanti-wanti.
Kerisauan itu menjadi nyata. Keesokan harinya, semua kloset di KRI Banda Aceh mampat. Ada lebih dari 50 kloset di kapal itu. "Teknisi harus buka saluran kloset satu-satu. Kotoran sudah pasti muncrat ke baju," ujar Komandan KRI Banda Aceh Letnan Kolonel Laut Edi Haryanto.
Syukurlah, persoalan itu dapat langsung diatasi. Penumpang sadar dan semua toilet lancar, hingga perjalanan usai Kamis (26/11). Sepenggal kisah dari Pelayaran Santri Bela Negara yang diikuti 1.000 peserta itu hanya sekelumit dari kelindan TNI dan rakyat.
Selanjutnya, hanya terlihat kemanunggalan antara santri dan awak kapal. Setiap dini hari, awak kapal sudah menyiapkan sarapan, dilanjutkan pagi-pagi untuk memasak makan siang. Demikian pula sejak siang, mereka sudah menyiapkan makan malam.
Selepas petang, baru awak kapal bisa beristirahat sejenak hingga dini hari. Untunglah, para santri, tanpa dikomando, turut membantu memasukkan bahan, memasak, dan menaruh makanan dalam kotak karton. Itu masih mending dibandingkan saat KRI Banda Aceh mengangkut pemudik Lebaran.
Sekitar 2.000 pemudik dibawa dari Jakarta ke Semarang pada tahun 2015. Saat arus balik, KRI Banda Aceh kembali mengantar warga. "Mereka diberi konsumsi gratis. KRI Banda Aceh biasa mendukung Kementerian Perhubungan saat masa Lebaran," kata Edi.
Selain sebagai angkutan Lebaran, KRI Banda Aceh memang sangat karib dengan misi kemanusiaan. Kapal itu, misalnya, dikirim untuk menolong masyarakat yang sakit karena asap kebakaran lahan dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada akhir Oktober 2015.
KRI Banda Aceh juga turut serta dalam pencarian korban pesawat AirAsia QZ 8501 yang ditemukan jatuh di perairan Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, akhir 2014. KRI Banda Aceh menjadi kapal komando armada Indonesia.
Kapal itu mampu mengarungi laut hingga 30 hari. KRI Banda Aceh sudah seperti kampung berjalan karena fasilitasnya amat beragam. Tak heran, KRI Banda Aceh menjadi langganan dan sangat ideal untuk misi-misi sosial jika sedang tidak dalam posisi tempur.
KRI Banda Aceh memiliki satu ruang VVIP, dua ruang VIP, 344 tempat tidur, kantin, dek tank, panggung, sarana olahraga, ruang makan perwira serta pasukan, dan geladak helikopter. Seorang dokter dan empat paramedis siaga di ruang perawatan dan ruang periksa.
Sejak 2011, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan rutin menggelar Bhakti Kesejahteraan Rakyat (Bhakesra) Nusantara. Donasi dikumpulkan lalu dibawa dengan kapal, termasuk KRI Banda Aceh, ke pulau-pulau terluar, terpencil, dan tertinggal.
Sementara Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menggelar Ekspedisi Nusantara Jaya untuk meningkatkan koneksi di pulau terdepan, terpencil, dan wilayah perbatasan pada pertengahan 2015 yang juga diikuti KRI Banda Aceh. Sebagian masyarakat di salah satu pulau terluar masih takut bertemu tentara.

Peserta Pelayaran Santri Bela Negara membacakan ikrar di geladak KRI Banda Aceh saat mengarungi Laut Jawa, akhir November 2015.
KOMPAS/DWI BAYU RADIUSPeserta Pelayaran Santri Bela Negara membacakan ikrar di geladak KRI Banda Aceh saat mengarungi Laut Jawa, akhir November 2015.
"Pernah, ada pertunjukan musik. Lapangan penuh, tetapi warga sungkan. Saya paksa satu warga joget. Baru warga lain mau ikut," kata Edi.
Berkelana ke pulau-pulau kecil, menjadi peristiwa paling menegangkan. KRI Banda Aceh adalah kapal besar, tetapi harus memasuki perairan sempit. "Data peta pulau-pulau kecil tentu tak diperbarui sesering jalur ramai. Kami harus berhati-hati, kapal bisa kandas," ujar Edi.
Tak hanya di Nusantara, KRI Banda Aceh bertualang hingga Pearl Harbor, Hawaii, Amerika Serikat. Kapal itu ikut bergabung dalam latihan Rim of the Pacific Exercise (Rimpac), pertengahan 2015. Perjalanan memakan waktu sekitar dua pekan. "Banda Aceh adalah KRI paling sering dikunjungi masyarakat. Pernah ada seminar, pertemuan bertema bahari, hingga pertunjukan wayang di Banda Aceh," kata Edi.
Buatan Indonesia
Kebanggaan awak kapal bertambah mengingat KRI Banda Aceh adalah karya anak bangsa yang dibuat PT Pal Indonesia.
KRI Banda Aceh dilengkapi empat kapal anakan jenis landing craft vehicle personnel (LCVP) untuk mengantar pasukan dan landing craft utility (LCU) yang membawa tank ke pantai. Daya angkut LCVP sekitar 50 orang, sedangkan LCU yang lebih besar mampu membawa pasukan hingga 200 orang.

"Jika ada ekspedisi, warga setempat malah biasa dibawa untuk melihat-lihat KRI Banda Aceh. Daerah terpencil tanpa dermaga dapat dijangkau karena ada LCVP dan LCU," kata Edi.
KRI Banda Aceh yang diawaki 126 orang mulai dioperasikan pada tahun 2011. Panjang KRI Banda Aceh 125 meter dan lebar 22 meter. Kapal itu mampu mengangkut 24 tank dan lima helikopter. Berbobot sekitar 10.500 ton, kecepatan KRI Banda Aceh tertinggi 15 knot dan dapat membawa beban hingga 1.800 ton.
Bintara Mesin KRI Banda Aceh, Sersan Mayor Rohmat, yang menangani bagian mesin, sedang beristirahat di kabinnya saat ditemui pada siang hari. Jadwal piket membuat Rohmat harus tidur pada jam-jam yang belum tentu lazim agar kembali segar saat bertugas.
"Panas sekali di ruang mesin, sekitar 40 derajat celsius," ujar Rohmat yang sudah berlayar dengan berbagai kapal selama 16 tahun. Ayah dari dua anak itu pernah meninggalkan keluarganya hingga tiga bulan. Perjalanan mengikuti Rimpac paling mendebarkan bagi Rohmat.
"Ombaknya besar. Air masuk ke haluan. Kapal miring hingga 35 derajat. Banyak yang mabuk laut selama dua hari," katanya.
Bagi Sersan Dua Akhmad Rizki Adam, Juru Inner Bulk Head Door (pintu antara kapal anakan dengan dek tank) KRI Banda Aceh, Rimpac merupakan pengalaman paling menantang. "Menerjang ombak Pasifik. Saya belajar situasi di samudra dan mengunjungi Pearl Harbor yang sarat dengan sejarah," ucapnya.

Prajurit negara lain pun geleng-geleng kepala menyaksikan marinir Indonesia. Mereka sangat militan dengan perbekalan seadanya. "Marinir kita cari makanan dari alam. Kalau prajurit lain dengan peralatan lengkap masih bertanya, itu bisa dimakan atau tidak," kata Adam sambil tertawa. (Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/12/09/KRI-Banda-Aceh%2c-Kapal-Misi-Kemanusiaan)

Jumat, 04 Desember 2015

Perbatasan, Membangun Halaman Depan Bangsa

Perbatasan, Membangun Halaman Depan Bangsa 

Membangun wilayah perbatasan jelas memerlukan waktu, dan itu semua pihak sudah paham. Wilayah perbatasan itu juga terisolasi dan selama ini kesannya kurang terurus, ya faktanya memang begitu. Bahwa Badan Pengelola Perbatasan Nasional yang selama ini jadi andalan, juga tidak atau belum mampu memperlihatkan kinerjanya. Bahwa para pelaku dan pemangku jawab telah melakukan kerja keras dan berdedikasi dalam membangun wilayah perbatasan, ya semua orang juga percaya. Tapi pada faktanya apa yang telah mereka lakukan itu juga ternyata tidak merubah apa-apa, adalah sebuah fakta. Secara logika berarti memang ada apa-apanya di sana. Ada yang salah urus di wilayah perbatasan. Ya faktanya memang seperti itu.


Dihadapkan dengan strategi pemerintah saat ini, maka pemerintah kini sedang melakukan pembangunan fisik halaman depan bangsa sebagai langkah prioritas. Yakni menjadikan kondisi infrastruktur di halaman depan bangsa itu benar-benar bisa terlihat berubah. Pemerintah terlihat tengah melakukan pembangunan fisik di halaman depan perbatasan, sesuai dengan Inpres Nomor 6 Tahun 2015 tentang Percepatan Pembangunan 7 (Tujuh) Pos Lintas Batas Negara Terpadu (PLBN) dan Sarana Prasarana Penunjang di Kawasan Perbatasan, di mana 3 dari 7 Pos Lintas Batas Negara  terdapat di Kalimantan.

Ketujuh PLBN yang akan dilebarkan yaitu PLBN Aruk, Kabupaten Sambas, PLBN Entikong, Kabupaten Sanggau dan PLBN Nanga Badau, Kabupaten Kapuas Hulu. Pembangunan PLBN tersebut harus selesai dalam waktu 2 tahun sejak dikeluarkannya Inpres tersebut pada tanggal 28 April 2015. Seperti mengutif catatan DetikCom bersama rombongan Kementerian PU berkesempatan melihat proses pembangunan pelebaran jalan akses di Kabupaten Entikong sepanjang 3,4 km itu, Jumat (27/11/2015). Nantinya akses jalan itu akan dibangun dengan 4 jalur dengan lebar 19 meter dan dua lajur dengan lebar 9,5 meter.

Menurut Dirjen Bina Marga Kementerian PU, Hediyanto W Husaeni, pelebaran jalan akses di Entikong sangatlah penting. Pasalnya, perbatasan Entikong merupakan perbatasan paling padat dari dua pos perbatasan lainnya di Kalimantan Barat. "Pos lintas batas ada tiga di Kalimantan Barat yaitu Aruk, Badau dan Entikong. Entikong paling besar sehingga posisinya penting. Karena itu, untuk mewujudkan pos perbatasan yang lebih baik dari negara tetangga, maka tidak hanya lintas batasnya, infrasktruktur pendukung minimal juga harus sama. Indonesia bertekad lebih baik akan membangun jalan paralel dan akses," jelas Hediyanto saat meninjau lokasi.


Hediyanto mengatakan, pelebaran akses jalan di perbatasan dilakukan dari Balai Karangan hingga Entikong dengan total 21 km yang akan selesai di 2016. Namun, untuk tahun 2015 sendiri ditargetkan 5-7 km jalan sudah selesai dilebarkan. "Jadi 1,5 tahun ke depan kita akan lebih baik dari Malaysia dan jadi kebanggaan bangsa Indonesia. Untuk pelebaran jalan di 2015 itu menggunakan uang Rp 50 Miliar, dan pengerjaannya hampir selesai," terang Hediyanto. Hediyanto mengatakan, persoalan awal pelebaran jalan ialah pembebasan lahan. Namun, saat ini masyarakat sangat antusias memberikan lahannya sangat cepat. Karena mereka melihat keteguhan pemerintah dalam membangun perbatasan.