Senin, 10 Oktober 2016

Setelah Pasar Skow Dibuka Kembali,Saatnya Menggarap Potensi Pariwisata



Meski dalam bentuk sederhana, pasar tradisional Skow di perbatasan RI-PNG kini telah dibuka kembali sejak 20 September 2016, setelah ditutup sejak tangga 27 Agustus lalu, seiring dengan terbakarnya sebanyak 178 Kios di lokasi tersebut. Pasar ini dibangun  Kemendag sejak tahun 2008, pembangunannya meliputi tiga tahap dan baru selesai pada tahun 2014. Melihat fisik pasar Skow tentu tidak akan memberikan efek “megah”, namun demikian untuk ukuran sebuah pasar di perbatasan dia patut dijadikan harapan, khususnya dalam mengembangkan kerja sama antar sesama warga perbatasan antar kedua negara dan khususnya dengan warga perbatasan di negeri sendiri.
Kepala Badan Pengelola Perbatasan dan Kerja Sama Luar Negeri Provinsi Papua Susana Wanggai, menyebutkan bahwa pembukaan pasar ini demi kebutuhan bersama baik bagi para pedagang dari Indonesia maupun para pembeli dari PNG. Pasar dibuka dua kali dalam satu minggu, dan direncanakan akan jadi tiga hari dalam seminggu. Sementara menurut Kepala Bidang Perdagangan Luar Nageri Dinas Perindak Kop Provinsi Papua Herman Bleskadit, mengatakan selama ini pemasukan yang didapat oleh 360 pedagang pasar berkisar pada omset 50 Milyar pertahun.
Dari sejarahnya, pasar Skow dibangun selama empat tahun, yaitu sejak tahun 2007, 2008, 2009, dan 2011 dengan total anggaran Rp 20,5 miliar. Pasar ini diresmikan pada 2 Februari 2012. Pasar Skow dibangun atas kerjasama Kemendag dengan Pemerintah Provinsi Papua melalui Dana Tugas Pembantuan 2007. Pasar ini pada awalnya memiliki 200 kios dan ditempati 280 pedagang termasuk pedagang kaki lima dan mama-mama penjual pinang. Semangatnya sejak awal adalah bagaimana caranya  agar aktivitas Pasar Skow dapat terus ramai, tanpa bergantung pada pembeli dari Papua Nugini. Salah satunya yakni dengan mengoptimalkan tata kelola agar hasilnya maksimal.

Mengembangkan Wisata Kota Perbatasan
Pasar Skow kian menarik karena dinamika perkembangan infrastruktur di Kota Jayapura, khususnya dengan pembangunan jembatan Hammadi-Holtekamp yang akan memperpendek waktu tempuh ke perbatasan jadi tinggal setengah jam dari Jayapura (dibandingka bila lewat Abepura jalan lama yang butuh waktu 2 jam) dan sekaligus akan menjadikan daerah perbatasan khususnya distrik Muara Tami akan semakin cocok jadi tempat tinggal. Pasalnya setelah jembatan Hamadi-Holtekamp selesai dibangun (diperkirakan tahun 2017 atau awal 2018), distrik tersebut akan menjadi tempat hunian menarik bagi masyarakat kota Jayapura.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Jayapura, Nofdi J. Rampi di ruang kerjanya, Senin (22/5/2016) mengatakan topografi di empat distrik: Jayapura Utara, Jayapura Selatan, Abepura dan Heram bergunung-gunung sehingga tempat hunian terbatas.“Jika dipaksakan membangun perumahan di daerah perbukitan yang menjadi daerah resapan air, maka akan menimbulkan dampak lingkungan yang besar,” katanya. Maka dari itu, Distrik Muara Tami sangat sesuai dijadikan daerah pengembangan untuk hunian masyarakat. Pihaknya akan menata infrastruktur jalan, air bersih dan sanitasi. Ia bahkan yakin penyiapan infrastruktur dengan akselerasi yang terukur dan cepat, Muara Tami akan bisa menjadi penerapan konsep pembangunan infrastruktur modern.
Hal lain yang membuat pasar Skouw atau pintu perbatasan jadi objek yang lebih menarik lagi adalah dengan mengembangkan potensi wilayah ini dengan objek menarik di sekitarnya. Bisa lewat jaringan wisata alam atau wisata belanja. Kalu wisata alam tentu dengan mengkoneksikannya dengan lokasi-lokasi wisata alam di sekitarnya, baik dengan pantai Holtekamp, Base-G,  danau Sentani atau Kampung Tablanusu dll. Kalau wisata belanja dengan mengaitkannya dengan lokasi-lokasi belanja yang ada di sekitar Jayapura seperti :  pasar Ampera, pasar Hamadi, pasar Entrop (Kelapa Dua) dan pasar Youtefa tetapi ini harus dimulai dengan pemenuhan sarana dan prasarana penunjang seperti seperti sarana jalan dan transportasi, air bersih, sanitasi, fasilitas pasar yang baik, serta terminal penghubung, dan lain- lain. Sarana yang memang diperlukan untuk pengembangan sebuah kota yang baik.
Kalau sekarang ini, maka yang jadi penghalang utama berkembangnya pasar Skouw di perbatasan adalah minimnya sarana penunjang. Khususnya sarana air besih, listrik dan terminal. Ketika pasar itu terbakar pada bulan agustus lalu, nggak ada petugas Damkar yang datang untuk membantu. Mereka ganya bisa menyelamatkan harta dagangan mereka sedanya saja.  Dalam hal seperti ini, kerja sama antar daerah, misalnya antara Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom akan sangat besar manfaatnya khususnya dalam pengembangan pasar Skow di perbatasan.

Mengelola Keterbelakangan
Wilayah perbatasan secara umum adalah wilayah terbelakang, dan sekaligus terisolasi tetapi ke depan akan berbeda dengan perbatasan dengan Ikon pasar Skow ini. Berkembangnya pembangunan infrastruktur di wilayah ini akan membuka isolasi dan sekaligus membawa peluang, dan tentu saja persaingan. Padahal penduduknya masih tergolong sangat sederhana. Dalam kondisi seperti ini, sangat diharapkan Pemda bisa mengambil peran dan memberikan kemampuan peningkatan ketrampilan hidup berkampung secara baik bagi warganya. Maksudnya bagaimana memberikan “pelatihan” yang baik bagi kehidupan warganya. Maksudnya kalau mereka petani, ya dengan memperbanyak tenaga penyuluh pertanian, perkebunan, dan nelayan dlsb. Warga tidak saja perlu ditingkatkan kemampuan tekniknya tetapi juga penangan paska panen dan pemasaran hasil budi daya mereka.
Mata pencaharian penduduk di Kampung Skouw  umumnya terdiri dari petani, nelayan, dan Pegawai Negeri Sipil. Dari jenis mata pencaharian tersebut, sebagian besar (85,7%) sebagai petani, sedangkan yang memiliki mata pencaharian sebagai pedagang hanya sekitar 5%  dan itupun hanya berupa usaha skala kecil semisal membuat kios di kampung.  Tanaman pertanian yang dibudidayakan penduduk adalah sayur-sayuran, ubi jalar, singkong, tomat, rica, jeruk asam, semangka dan jenis sayur lainnya. Sistem pertanian dan teknik bercocok tanam masih sederhana. Jenis tanaman perkebunan yang diusahakan oleh penduduk adalah pinang, kelapa, kakao dan sagu. Tanaman pinang dan kelapa awal mulanya ditanam oleh orang tua yang pertama kali tinggal di kampung Skouw , sedangkan tanaman kakao baru mulai ditanam oleh penduduk pada tahun 2010. Selain itu terdapat pula tanaman buah – buahan seperti mangga, dan rambutan.
Potensi hasil hutan yang terdapat di Kampung Skouw  dan sering diambil oleh penduduk adalah kayu dan sagu. Hasil hutan berupa sagu diolah untuk diambil tepung sagunya, selain itu juga dimanfaatkan daunnya untuk membuat atap sedangkan kayu di ambil oleh masyarakat untuk membuat rumah dan ada juga yang di olah menjadi balok dan papan untuk di jual.Jenis ternak yang diusahakan oleh masyarakat meliputi ayam, babi, dan sapi. Populasi ternak yang paling banyak adalah babi. Untuk ternak babi merupakan bantuan dari Bappeda dan sapi merupakan Program BanPres.
Potensi laut yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat adalah menangkap ikan dengan cara memancing ataupun menjaring. Hasil tangkapan selain untuk dikonsumsi sendiri, ada juga yang dijual namun dalam jumlah yang terbatas. Apabila sedang musim ombak, masyarakat akan mencari ikan di telaga. Di Kampung Skouw ada juga potensi telaga yang sebenarnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk membuat tambak ikan, hanya saja sampai saat ini masyarakat belum memanfaatkannya. Karena mereka memang masih memerlukan sesuatu percontohan.
Mempersiapkan warga dengan baik adalah dengan memberikan mereka kemampuan untuk memberikan peningkatan kemampuan teknik dalam kehidupan mereka. Tanpa ada ke sadaran yang baik di lingkungan Pemda hanya akan membuat warganya kian tertinggal. Tertinggal oleh kemajuan zaman, yang sukar untuk dihindari. Terlebih lagi untuk wilayah Papua, sangat diperlukan peran serta semua pihak khususnya Pemda untuk ikut membantu dalam meningkatkan kemampuan warganya untuk bisa lebih mumpuni dalam melakoni kehidupan mereka sehari-hari, baik sebagai petani, pekebun, Nelayan atau Peternak. Jangan sampai suatu saat, pasar Skow kian berkembang dan menjadikan perbatasan kian menarik, sementara warganya tetap tidak mampu mengikuti perubahan untuk mengikuti perkembangan ekonomi wilayah perbatasan yang kian membaik.
Catatan : Disarikan atau diambil dari tulisan yang sama dari Blog www.wilayahperbatasan.com


Senin, 05 September 2016

Pendidikan di Perbatasan dan Desa Tertinggal


Oleh harmen batubara[1]

Soal pendidikan di perbatasan; arahan Presiden Jokowi Jelas-Indonesia mengalami ketidak merataan sarana dan kesempatan berpendidikan. Presiden sudah memulainya dengan Kartu Pintar dan Kartu Sehat. Presiden meminta agar melakukan yang terbaik untuk pendidikan, bila perlu reformasi pendidikan di daerah perbatasan, coba lakukan kerja sama dengan negara tetangga; yang penting kesempatan pendidikan itu ada,nyata bagus dan terjangkau. Meski presiden sudah berbuat secara nyata tetapi sangat disayangkan para pembantunya di Kementerian/Lembaga (K/L) terkait masih saja berada pada zona “comport”nya masing-masing. Tetapi untunglah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy kini tengah menggagas perlunya membangun  boarding school di daerah perbatasan agar kualitas pendidikan di daerah itu tidak kalah dengan negara tetangganya."Selama ini pemerintah daerah di kawasan perbatasan belum menggarap masalah pendidikan ini dengan maksimal, sehingga perlu diambil alih pemerintah pusat, termasuk para pengajarnya.
Masalah Pendidikan di Perbatasan dan Daerah Tertinggal
Masalahnya kompleks dan masih sangat mendasar. Pemda selama ini tidak tertarik dan tidak mampu membangun SDM di perbatasan dan daerah tertinggal. Pemda lebih fokus pada warganya yang ada di pusat-pusat kehidupan, yang ada di kota-kota di wilayahnya karena itu terkait “para warga pemilih” mereka dan itu penting untuk direspon. Akibatnya sarana dan prasarana pendidikan di perbatasan dan daerah tertinggal tidak pernah terperhatikan dengan wajar. Cobalah lihat bagaimana kondisi pendidikan warga kita di desa Tanjung Datu, Kal Barat; di desa Binter, Lumbis Ogong; di simantipal atau Sinapad perbatasan Kalimantan Utara; bisa juga di desa Pegunugngan bintang, atau di desa muting perbatasan Papua; atau di Naibenu; Noemuti; dan  Noemuti Timur di perbatasan Timor Leste; kondisinya sungguh jauh dari memadai.
Masalahnya itu umumnya, sarana berupa ruang-rung Kelas yang tidak berfungsi, tidak ada kapur tulis, tidak ada buku pelajaran. Ruang kelas yang kumuh dan tidak mempunyai MCK. Kondisi guru-gurunya juga tidak lebih baik; secara fisik mereka tinggal di Kota Kabupaten atau Kecamatan jauh dari lokasi tempat mereka mengajar; akibatnya kehadiran mereka hanya bisa mencapai 40% dalam setahun; bisa dibayangkan dengan petugas-petugas sekolah lainnya atau semacam pembantu dan sekaligus penjaga sekolah; lebih parah lagi.
Hal yang juga tidak kalah memperihatinkannya adalah kondisi ekonomi para orang tua siswa tersebut. Mereka adalah masyarakat peramu, yang kalau di Kota bisa kita sebuat sebagai tenaga serabutan. Penghasilan mereka sepenuhnya masih tergantung dengan kemurahan alam, seperti berburu, mencari kulit kayu manis, cari damar dll yang hanya bisa menopang kehidupan yang sangat-sangat sederhana. Kalau mereka sempat sakit, maka tamatlah sudah. Kemana mau mintak pertolongan? Ke Puskesmas? Yang ada hanya Plang namanya saja, ruangan tidak punya kalau beruntung warga masih punya bidan atau perawat desa. Mereka senang sekali kalau bisa membantu, tetapi karena mereka juga tidak punya apa-apa; yang masih ada hanya sebatas pemberi semngat, dan doa semoga lekas sembuh. Sementara di negara tetangga, Puskesmas itu ada dan real fungsinya. Puskesmas mereka nyata ada baik secara fisik, maunpun non fisik. Mereka punya petugas yang diberi gaji dan tunjanga-mereka punya sarana peralatan kesehatan; mereka punya sarana tempat menginap pasien dll. Puskesmas mereka sangat dekat dengan warga.
Semua Konsep Masih Rencana dan Akan
Seperti apa sebenarnya persepsi Pemda terkait “Boarding School” gagasan Mendikbud ini?  Salah satunya kita bisa lihat konsep pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, mereka akan membangun sekolah terpadu minimal pada lima titik di lima kabupaten di sepanjang perbatasan dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia.“Sekolah terpadu dilengkapi fasilitas asrama, mulai dari Pendidikan Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dalam satu kawasan,” kata Aleksius Akim[2], Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi (Kadis Dikbud Prov) Kalimantan Barat (Kalbar), Jumat (1/7).
Menurut Akim, keberadaan sekolah terpadu satu atap akan menjadi pilot project secara nasional yang sudah dikoordinasikan dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, agar ada model sekolah yang efektif di dalam pembinaan karakter bangsa.Akim mengatakan, sekolah terpadu satu atap biayanya akan jauh lebih murah dibandingkan dengan sekolah-sekolah dengan lokasi terpisah, karena sistem pembiayaan terintegrasi. Terintegrasi, ujar Akim, nanti ada segmen yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Kalimantan Barat dan APBD Kabupaten yang bersangkutan.
Diungkapkan Akim, tahap awal sekolah terpadu satu atap dimulai di Sintang, Kabupaten Sintang yang sudah mulai jalan tahun 2016, dimana dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA dan SMK dalam satu kawasan.“Sekarang dalam tahap inventarisir lahan di perbatasan wilayah Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sintang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Sambas. Kawasan sekolah terpadu minimal menempati lahan 10 hektar, lengkap dengan fasilitas pendukung, seperti asrama, perumahan guru dan lain-lain,” ungkap Akim.
Konsep yang mirip juga tengah di wacanakan pemerintah Kabupaten Tana Tidung (KTT) dalam mempersiapkan sekolah unggulan terpadu berkonsep boarding school (sekolah asrama). Sejauh ini, pemkab terus memberi perhatian terhadap persiapannya. Hal ini diungkapkan Bupati KTT Dr H Undunsyah MH MSi pada sebuah acara di KTT, Selasa (23/8). “Awal tahun 2017 nanti kami akan meresmikan boarding school. Kita sangat berharap selain SDM lokal, bisa diisi dari anak-anak sekitar KTT. Seperti yang di perbatasan-perbatasan dan wilayah terpencil. Daripada harus ke kota-kota besar dengan jarak yang jauh, lebih baik bisa diarahkan di KTT,” ungkapnya. “Dengan konsep boarding school yang akan ada di KTT, anak akan diwajibkan tinggal di sekolah dengan disediakan fasilitas dan ditanggung makan yang akan ditanggung oleh pemerintah daerah,” bebernya. Sekadar informasi, hingga saat ini pembangunan sekolah telah mencapai 60 persen dengan segala perencanaan fasilitas. Karena bertajuk sekolah kejuruan, fasilitaspun akan dilengkapi dengan lokasi-lokai praktik, seperti hutan buatan dan lahan untuk bercocok tanam.
Perlu Kerja Kolaborasi K/L
Bagi daerah perbatasan dan daerah tertinggal, menyelamatkan SDM nya agar tetap bisa berkembang sebagai mana mestinya jelas suatu kepentingan mendesak dan strategis sifatnya. Kedepan kita ingin melihat bagaimana konsep “boarding school” ini bisa di kolaborasi oleh K/L terkait dan Pemda sehingga sekolah ini bisa diwujudkan dan jadi nyata. Tetapi satu hal yang jadi ikutannya adalah, bagaimana agar K/L dan Pemda yang sama juga bisa memberdayakan para warganya atau para orangtua murid yang ada. Selama ini kita banyak mendengar program dan gagasan K/L terkait pembangunan SDM perbatasan dan daerah tertinggal. Tetapi terus terang sasarannya itu banyak yang naggak jelas dan sering dibalut oleh jargon-jargon yang sama sekali sulit dipahami. Misalnya jadi Desa Mandiri; lokasi priritas satu; prioritas dua dst dst. Tapi kalau kita telusuri kepada warganya, hasilnya nggak bisa di baca.

Padahal kita maunya warga perbatasan itu, minimal nantinya mempunyai paktor produksi yang berupa perkebunan ( karet, kopi, coklat dll sesuai kecocokan daerah) atau persawahan minimal 2 Ha per kepala keluarga. Daerah mereka terjangkau sarana transfortasi, tersedia pasar, pengolahan hasil, sehingga mereka benar-benar jadi warga yang punya penghasilan. Cobalah baca visi dan Misi BNPP, Kementerian Desa Tertinggal dan Transmigrasi; Kemendikbud, KemnePu, Pemda dll begitu bagus dan hebat-hebat tetapi apa hasilnya bagi warga? Sama sekali jauh dari memadai. Saya lalu teringat dengan Tim Perbatasan Indonesia 30 tahun yang lalu. Juru masaknya sudah bangun sejak jam 04 subuh, mereka dengan cekatan dan semangat menyediakan masakan pagi untuk Tim; tetapi pada saat makan pagi jam 06.30 yang diolah mereka hasilnya hanya nasi dengan lauk krupuk ikan teri dan rebusan daun singkong. Sementara Juru masak Tim Negara tetangga bangunnya jam 05.30 dan tiba saat  sarapan pagi mereka menyantap berbagai pilihan; Makanan Roti ala Barat dan Makanan Prasmanan ala Melayu dan lengkap. Padahal biayanya sama, semangat dan selogannya sama; tapi hasilnya yang satu dengan tetangganya berbeda seperti langit dan bumi. 



[1] Tulisan ini pertama kali dimuat di - http://www.wilayahperbatasan.com/boarding-school-di-perbatasan-babak-baru-pendidikan-di-desa-tertinggal/

Selasa, 23 Agustus 2016

Membangun Kawasan Bisnis Perbatasan Kupang , Timor Leste dan Darwin



Oleh harmen batubara
Sebelum pemekaran, wilayah kepulauan ini merupakan wilayah Provinsi Sunda Kecil, dengan ibukota di kota Singaraja, kemudian menjadi 3 provinsi  Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.Setelah pemekaran, Nusa Tenggara Timur (NTT)  menjadi Provinsi yang terdiri dari beberapa pulau, antara lain Pulau Flores, Pulau Sumba, Pulau Timor, Pulau Alor, Pulau Lembata, Pulau Rote, Pulau Sabu, Pulau Adonara, Pulau Solor, Pulau Komodo dan Pulau Palue. Ibukotanya di Kupang, di bagian barat pulau Timor. Provinsi ini terdiri dari kurang lebih 550 pulau, tiga pulau utama di Nusa Tenggara Timur adalah Pulau Flores, Pulau Sumba dan Pulau Timor Barat (biasa dipanggil Timor).Provinsi ini menempati bagian barat pulau Timor. Sementara bagian timur pulau tersebut adalah bekas provinsi Indonesia yang ke-27, yaitu Timor Timur yang merdeka menjadi negara Timor Leste pada tahun 2002.
Indonesia secara perlahan tengah membangun pertahanannya meski Pertahanan Udara di wilayah timur Indonesia saat ini masih jauh dari memadai, terlebih lagi untuk wilayah NTT.  Padahal wilayah ini berbatasan langsung dengan Timur Leste dan Australia. Saat ini Indonesia baru mempunyai Skuadron 11 Makassar dengan 16 unit pesawat tempur Su-27/30. Memang Timor Leste saat ini belum punya skuadron tempur, tetapi Australia?  Australia punya markas Angkatan Udara Australia RAAF Base di Darwin yang dilengkapi dengan puluhan pesawat tempur F/A-18 E/F Super Hornet dan E/A-18 Growler dan juga terdapat pangkalan Marinir Amerika Serikat. Masih ada lagi pangkalan Angkatan Udara di Tindall yang rencananya akan dilengkapi dengan 1 Skuadron pesawat tempur F-35 A.
Australia adalah tetangga yang rasional, dengan kepentingan nasionalnya ada pada prioritas utama. Masih ingat tahun 1999 lalu ketika terjadi gejolak di Timor Timur menjelang referendum kemerdekaan Timor Leste dari Indonesia. Hubungan Indonesia dan Australia sudah buntu dan tidak lagi logis, ketika itu hampir terjadi duel udara antara 2 unit Hawk-109/209 TNI AU dengan 2 unit F/A-18 Hornet Australia yang masuk ke wilayah udara Indonesia tanpa izin. Tepatnya tanggal 16 September 1999, dimana 2 unit F/A-18 Hornet Australia yang mencoba memasuki wilayah udara Indonesia di sekitar Nusa Tenggara Timur akhirnya berhasil di usir oleh 2 unit Hawk-109/209 milik TNI AU. Malam harinya setelah kejadian tersebut, Lanud El Tari Kupang kedatangan  8 unit F/A-18 Hornet Australia yang terbang diatas Lanud El Tari Kupang tanpa bisa dicegah TNI-AU. Memang 8 unit F/A-18 Hornet Australia ini hanya sekedar lewat atau fly pass tanpa izin diatas pangkalan militer Indonesia. Suatu penghinaan yang amat keterlaluan.
Masih dalam memperkuat pertahanan. Mabes Angkatan Darat akan membangun 2 kompi kavaleri di wilayah Korem 161/Wirasakti (NTT) dalam rangka memperkuat sistem pertahanan keamanan di perbatasan Indonesia-Timor Leste dan Indonesia-Australia."Ada dua lokasi yang nantinya dijadikan tempat untuk pembangunan kokav tersebut, yakni di Kabupaten Belu yang berbatasan dengan Timor Leste dan satu lagi di Kabupaten Kupang, tepatnya di Naibonat," kata Komandan Korem 161/Wirasakti Kupang Brigjen TNI Heri Wiranto di Kupang, Jumat (27/5/2016).
Hal senada juga oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU) El Tari Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) saat ini juga sudah mulai membangun radar pertahanan udara di Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD).Hal ini dilakukan pihak TNI-AU sebagai langkah menjaga pertahanan keamanan udara di Nusa Tenggara Timur (NTT).“Kami akan bangun satuan radar pertahanan udara di wilayah Kabupaten SBD, sebagai wujud pertahanan udara di wilayah selatan Indonesia, dan meningkatkan Paskhas Kompi C menjadi detasemen pertahanan udara di wilayah Kupang,” kata Komandan Pangkalan Udara (Danlanud) El Tari Kupang, Kolonel Penerbang Jorry Koloay kepada wartawan, Sabtu, 9 April 2016. Sebagai pemerhati kita menyarankan agar pemerintah juga perlu menjadikan Lanud Eltari Kupang menjadi salah satu pangkalan Skuadron yang dilengkapi dengan pesawat tempur, minimal setara dengan Skuadron Makassar, hal yang sama kita harapkan dibangun juga di Pulau Biak.

Pengembangan Kawasan Bisnis Kawasan
Timor Leste sejak tahun 2014 sudah bertekat akan mengembangkan Oecussi menjadi Zona Pasar Khusus  atau Special Social Market Economy Zone  (ZEESM) yang bisa menarik para penanam modal dari wilayah sekitarnya. Karena itu mereka harus memulainya dengan membangun sarana jalan, jembatan, pelabuhan  mulai dari Sacato-Lifau, pusat pembangkit listrik, hotel dan sarana perumahan  direncanakan akan dimulai pada tahun 2015. Saat penulis ke Winni sudah ada 4 BUMN Indonesia yang ikut ambil bagian dalam pembangunan Infrastruktur tersebut.
Meski masih premature tetapi santer juga terdengar bahwa negara tetangga tersebut akan membangun semacam Casino Resort di Oecussi. Meski dari berbagai info yang ada, pembangunan Casino untuk wilayah itu belum tentu bisa diterima oleh warga, dan kini masih jadi perdebatan. Namun demikian potensi Oecussi jelas akan sangat menarik banyak peminat kalau di sana dibangun Resort Casino. Hal itu bila melihat industry hiburan yang bisa diisi oleh para penggiat pasar seperti itu baik dari China atau Filipina. Dua negara yang saat ini sangat mewarnai kehidupan pariwisata di Timor Leste.
Tetapi apapun rencana negara tetangga tersebut, mereka perlu terlebih dahulu membangun infrastruktur yang memadai untuk bisa mendorong kehidupan bisnis di wilayah itu seperti :

-      Rangkaian Jalan yang menghubungkan antar wilayah di Oecussi, karena umumnya jalan yang ada baru jalan-jalan setapak  yang menghubungkan antar kampung.
-          Belum ada juga sarana transfortasi yang memadai
-          Listrik dan Air bersih masih sangat terbatas
-          System Perbank kannya juga masih belum tumbuh
-          Begitu juga dengan standarisasi harga, sepenuhnya masih tergantung dinamika pasar
-          Sarana pendidikan masih sangat terbatas  dan upaya mengembanlikan lagi kemampuan bahasa warga dari bahasa Indonesia ke bahasa Timor Leste ( Tetun)
-          Dll
Indonesia sendiri dengan program Nawa Cita membangun dari pinggiran,  kini tengah membangun Pintu gerbang perbatasan di 7 Lokasi. Untuk wilayah Oecussi terdapat di tiga Pos Lintas Batas Nasional (PLBN) seperti di Winni Timor Tengah Utara, Mota Ain Kabupaten Belu dan Motamasin Kabupaten Malaka.
Kupang kini memang sudah jauh berbeda. Kalau anda ke Kupang hari hari ini akan terasa dinamika pembangunan yang tengah dikembangkan oleh Pemda terkait. Ketika memantau kunjungan Ketua Komisi V DPR RI, Fary Francis bersama rombongan pada bulan Maret 2016 misalnya, mereka langsung meninjau sejumlah titik pembangunan infrastruktur dan pariwisata di daerah ini. Menurutnya pemerintah pusat telah mengeluarkan sejumlah anggaran untuk pembangunan sektor terkait, seperti pemecah gelombang di tempat rekreasi Batu Kapala Nunhila dan tempat rekreasi di Kelurahan Namosain sepanjang kurang lebih seribu meter, juga   di Pantai Lasiana yang saat ini sudah dikelola Pemprov NTT.
Rombongan juga meninjau langsung lokasi pembangunan jembatan Petuk di Kelurahan Kolhua. Jembatan  penghubung jalan lingkar luar Kota Kupang yang menghubungkan pelabuhan Bolok dan Tenau dengan bandara Eltari . Jembatan sepanjang 320 meter itu akan menjadi jembatan terpanjang di NTT mengalahkan rekor yang dipegang jembatan Noelmina di Kabupaten Kupang yang memiliki panjang 240 meter.jembatan Petuk ini akan menjadi proyek monumental karena membutuhkan biaya besar, dirancang dengan model dua jalur untuk menampung kendaraan bertonase besar  dan dibangun dengan karakteristik lokal menggunakan motif semua suku di NTT.
Untuk menghidupan jaringan bisnis di wilayah ini, Kupang memang perlu di desain untuk menjadi pusat kerja sama untuk kawasan, yakni dengan membuka transfortasi dari dari dank e pusat –pusat bisnis kawasan yang meliputi ; Kupang-Darwin-Dilli-Denpasar-Ambon-Merauke-Dll. Terlebih lagi jalur dari Kupang-Darwin dan Dilli sudah pernah ada, dan kini tinggal menghidupkannya kembali. Kita percaya Kawasan ini berkembang sesuai dinamika pembangunan di kawasan masing-masing. Kita senang melihat lahirnya kerja sama kawasan, tetapi kita tetap mengingatkan agar pemerintah terus membenahi system pertahanannya. Sistem pertahanan nasional sebuah negara kepulauan terbesar yang pernah ada.



Minggu, 07 Agustus 2016

Membangun Warga Halama Depan Bangsa di Garis Batas


Oleh harmen batubara

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi termasuk salah satu yang di “ganti” oleh Presiden Jokowi, tentu beliaulah yang tahu alasan persisnya. Dan tulisan ini sama sekali jauh dari upaya untuk memberikan penilaian. Karena itu sepenuhnya hak Presiden. Sebagai pemerhati kehidupan masyarakat termarjinalkan di desa-desa perbatasan dan desa tertinggal, saya sering tidak menemukan “gatukannya” atau kaitannya antara program yang digagas oleh Pemerintah dengan kondisi riel masyarakat yang terpinggirkan. Terkait membangun desa perbatasan ada minimal empat Kementerian/Lembaga (K/L) yang terlibat yakni : BNPP (badan nasional pengelola perbatasan);Kementerian Desa,Pembangunan Daerah Tertinggal & Transmigrasi, Kementerian Kelautan & Perikaanan serta Pemerintah Daerah setempat.

Masalah utama rakyat terpinggirkan ini ada pada tiga pokok persoalan yang betul-betul mereka butuhkan yakni adanya sumber pendapatan (usaha, tani,sawah,kebun dll) agar bisa berusaha; adanya layanan kesehatan agar mereka bisa berobat, dan adanya sarana pendidikan agar anak-anak mereka bisa bersekolah.Umumnya warga perbatasan tidak mempunyai pekerjaan tetap yang memberikan mereka penghasilan. Kalau itu dimasyarakat pertanian, maka mereka ini tidak punya lahan sawah. Kalau mereka ini di perkampungan nelayan, maka mereka ini tidak punya motor pencari ikan meski hanya dengan ukuran 5 gros ton (ukuran paling kecil). Kalau mereka di perbatasan, mereka tidak punya lahan untuk bercocok tanam dan kalaupun ada maka sarana transportasinya yang tidak ada. Jadi masalah mereka ini umumnya tidak punya sarana usaha yang bisa memberikan mereka penghasilan. Yang ada hanyalah jadi pekerja serabutan, kalau di perbatasan ya jadi peramu hasil hutan musiman. Tidak ada layanan kesehatan, kalaupun ada hanya sebatas plang namanya dan nama-nama petugasnya saja. Selebihnya nggak berfungsi. Apalagi sarana pendidikan, adanya jauh di kecamatan sementara asrama Pemda tidak punya. Jadi banyak anak-anak itu terpaksa tidak bisa mengikuti pendidikan. Kalau perbatasan itu di darat, lokasi mereka terisolasi disebabkan tidak ada sarana jalan; tetapi kalau perbatasan itu ada di Pulau-pulau kecil terluar mereka terisolasi karena jauh dari trayek kapal-kapal perintis.

Memberdayakan Warga Desa di Garis Batas
Dalam kondisi seperti itu, mari kita lihat program pembangunan perbatasan yang terkait warga masyarakat. Ternyata program BNPP tersebut baru sebatas menentukan “lokasi-lokasi prioritas” yang akan di bangun. Soal siapa yang akan membangunnya, ternyata bukan lagi “urusan” badan ini. Tapi apakah mereka “berkenan” mengajak K/L lainnya? Jelas itu bukan Tupoksinya. Pikiran kita lalu bertanya. Masa BNPP yang anggarannya sebesar itu hanya sekedar menentukan pembangunan Lokasi Prioritas?  Sekarang mari kita lihat program Kementerian Desa Tertinggal. Menteri Marwan Jafar (kala itu) menyatakan, desa di wilayah perbatasan Indonesia dengan negara lain menjadi sasaran prioritas pembangunan. Menurutnya,selama ini desa di perbatasan kurang tersentuh pembangunan sehingga kondisi sumber daya manusia dan infrastrukturnya masih sangat memprihatinkan. ”Kami bertekad untuk mengurus desa di wilayah perbatasan. Caranya, antara lain, dengan membuat kerja sama antarkementerian untuk membangun infrastruktur dan sumber daya manusia di sana,” kata Marwan seusai mengikuti seminar bertemakan ”Membangun Indonesia dari Desa dan Pinggiran: Pelajaran dari Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan Utara”, Sabtu (15/11/2014), di salah satu Hotel berbintang di Yogyakarta.
Identifikasi masalahnya juga terkesan sangat “absurd”, kala itu Marwan mengatakan, desa di perbatasan mengalami tiga masalah pokok, yakni KETERTINGGALAN, KEMISKINAN, dan MINIMNYA PERHATIAN DARI PEMERINTAH. ”Jalan di desa perbatasan itu sangat buruk sehingga barang-barang kebutuhan pokok juga susah didapat. Sinyal telepon genggam juga jelek sehingga komunikasi dengan wilayah lain susah dilakukan,” katanya. Kondisi semacam itu kadang membuat masyarakat perbatasan lebih bergantung pada pasokan barang kebutuhan sehari-hari dari negara tetangga. Marwan menegaskan, kondisi semacam itu tak boleh dibiarkan. Dalam program kerja kementerian yang dipimpinnya, Marwan menerapkan NAWAKERJA PRIORITAS, yang jadi target utama dalam masa jabatan tahun 2014-2019. Dalam Nawakerja Prioritas terdapat sembilan program yang hendak dicapai Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

”Pertama adalah program Gerakan Desa Mandiri di 3.500 desa tahun 2014. Kedua, pendampingan dan penguatan kapasitas kelembagaan dan aparatur desa tahun 2015,” ; Program yang ketiga adalah pembentukan dan pengembangan 5.000 Badan Usaha Milik Desa (BUMDes); Keempat, melakukan revitalisasi pasar desa yang ditargetkan dilakukan di 5.000 desa/ kawasan pedesaan; Kelima, pembangunan infrastruktur jalan pendukung pengembangan produk unggulan di Desa Mandiri; Keenam, persiapan implementasi penyaluran Dana Desa sejumlah Rp 1,4 miliar untuk setiap desa secara bertahap; Ketujuh, penyaluran modal bagi koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah di desa. Kedelapan, pembangunan proyek percontohan sistem pelayanan publik jaringan koneksi online di desa. Kesembilan, pembangunan desa di perbatasan.
Kalau kita melihat Program Pemda perbatasan, malah lebih terbatas lagi. Dalam hal prioritas Pemda, ternyata warga perbatasan bukanlah prioritas mereka. Sebab warga mereka sendiri masih jauh lebih banyak di pusat–pusat kota ( Kabupaten dan kecamatan), sementara APBD mereka sendiri tergolong sangat terbatas dan nyaris tidak bisa dibagi ke perbatasan. Untuk warga perbatasan mereka sepenuhnya menggantungkannya pada kebijakan pemerintah Pusat. Dari tiga (K/L) ini kita hanya bisa berharap pada Kementerian Desa Tertiggal, tapi ternyata program mereka lebih banyak pada “memenage,atau manajerial” permasalahan desa. Bagaimana agar warga pedesaan itu bisa mengelola diri mereka sendiri. Sementara persoalan warga pedesaan di perbatasan atau  desa tertinggal intinya adalah karena mereka tidak punya sumber penghasilan, tidak punya lahan kebun, lahan sawah atau sarana produksi lainnya serta tidak adanya layanan kesehatan dan pendidikan yang memadai.


Dalam hati kita bertanya-tanya, karena nomenklatur Kemeterian Desa Tertinggal adalah pembawa nama pembangunan Desa, maka kita berharap tentunya Kementerian inilah yang akan jadi “Koordinator” pembangunan desa-desa di perbatasan. Harapan kita mereka mau bekerja sama dan bahu membahu dengan BNPP, Pemda, Kemdiknas, KemenKes, KemenPU dan PLN. Upaya arah ke sana itu yang terlihat jauh dari memadai. Lemahnya kepemimpinan Lapangan dan Ego sektoral di masing-masing K/L, jelas sudah terkenal kakunya. Pengalaman menunjukkan, dana dari masing-masing K/L itu seolah hanya merekalah yang harus jadi pengelolanya ( amanat UU), dan merekalah yang  mendapat nilai lebih dari apa yang telah mereka programkan. Bisa di duga apa yang terjadi. Pembangunan berjalan sporadis dan sendiri-sendiri. Sekolahan dibangun di tengah hutan (Pemda umumnya hanya memintak lahan ke warga desa,dan warga hanya memberi lahan yang jauh dari pemukiman), tanpa listrik dan tanpa jalan karena APBD atau APBN K/L yang ada belum punya dana utk itu. Akibatnya, sekolah tidak bisa dipakai. Dua tahun kemudian saat jalan dan listrik masuk ke desa itu. Sekolahnya sudah ambruk. Begitulah seterusnya dan seterusnya. Dan tidak ada K/L yang peduli.
Kita juga melihat ada dana Kementerian Daerah Tertinggal untuk program Transmigrasi. Tapi dana itu hanya bisa dipakai untuk program transmigrasi. Mereka tidak bisa membangun warga desa tertinggal dan desa perbatasan dengan program seperti itu.Padahal warga sangat berharap adanya program seperti itu. Program yang memberikan kepada mereka sumber penghasilan di lahan mereka sendiri. Dalam hati kita alangkah baiknya kalau Kementerian Desa tertinggal mempunyai program seperti itu. Tetapi selama ini, sepertinya Kementerian inipun sudah “happy” dengan Misi dan Tupoksinya. Padahal mendatangkan para transmigran ke desa-desa tertinggal dan perbatasan dengan fasilitas seperti itu. Hanya akan melukai perasaan warga lokal. Warga lokal merasa, mereka sudah dianggap mampu padahal sejatinya, mereka masih sangat membutuhkan bantuan.

Tidak Mampu Menyentuh Permasalahan
Saya mencoba menghubungkan program kementerian Desa Tertinggal ini dengan Kementerian Perikanan dan Kelautan terkait dengan kondisi riel masyarakat Nelayan miskin di berbagai kawasan Nusantara yang direkam oleh penulis Harian Kompas (Akses untuk Perbaikan Kesejahteraan Masih Minim; 6 April 2015). Saya mencoba menghubung-hubungkannya, tetapi hemat saya memang tidak “gatuk”. Cobalah baca realitas para nelayan miskin ini.
Kemiskinan kronis menjerat nelayan di sejumlah daerah di Nusantara. Kesejahteraan mereka secara turun-temurun tak kunjung membaik. Penyebabnya, mereka jauh dari akses untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan. Kemiskinan telah menjadi bagian hidup nelayan kecil karena penghasilan yang tidak sesuai dengan ongkos melaut serta bergantung pada cuaca.
Cobalah berkunjung ke kampung nelayan Muara Angke, Jakarta Utara, di sepanjang tepi Kali Adem. Nelayan berada di tempat itu sudah lebih dari tiga generasi. Sebagian besar dari mereka adalah nelayan dengan kapal rata-rata berbobot 5 gros ton dan panjang sekitar 6 meter. Kapal ini merupakan kapal motor terkecil. Kapal ukuran ini merupakan kapal yang paling banyak dimiliki nelayan Indonesia. Permukiman nelayan itu berada di atas aliran Kali Adem. Sekitar 200 rumah berukuran 4 meter x 4 meter dibangun dengan topangan pilar-pilar bambu. Dinding rumah terbuat dari tripleks, berlantai papan, dan beratap seng. Sampah rumah tangga, seperti plastik, botol, dan sisa memasak, terlihat menumpuk di bawah rumah itu. Limbah mandi-cuci- kakus (MCK) tiap keluarga juga langsung dibuang ke Kali Adem.
Di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah lain lagi, nelayan mengakui bahwa kehidupan mereka sangat tergantung dengan harga bahan bakar minyak, perawatan kapal serta biaya opreasional. Kelompok nelayan di Indramayu, Jawa Barat, kerap mendapat tangkapan yang minim, hingga kalau lagi apes hanya mendapat Rp 10.000 per orang perhari dan bahkan pernah tidak mendapat uang sama sekali. ”Kalau tidak ada uang, kami berutang biaya perbekalan sama bos,” dan kehidupan seperti itu sepertinya akan terus berjalan. Sulit untuk bisa keluar dari pusaran hidup yang sudah meleganda itu kecuali ada bantuan pemerintah menjadikan kami mampu memiliki sumber-sumber penghasilan.
Para nelayan mengatakan, sulit meningkatkan kemampuan mereka untuk menambah atau membeli kapal dengan kapasitas besar. Mereka mengakui pendidikan mereka sangat rendah. Mulyadi (35), nelayan generasi ketiga di Muara Angke, hanya mencicipi pendidikan sampai kelas III SD. Sekarang ia berusaha menyekolahkan anaknya agar tidak menjadi nelayan lagi. Bagi dia, nelayan identik dengan kemiskinan. Ia menyekolahkan anaknya dengan harapan agar bisa bekerja di luar pekerjaan nelayan.

Darmin (30) melaut sejak lulus SMP. Ia mengikuti jejak ayahnya yang juga nelayan di Muara Angke. Ia lahir dan tinggal di permukiman nelayan tradisional Muara Angke. Menurut dia, hidup bersama anak dan istrinya sekarang tidak banyak berbeda dengan kehidupan ayah dan ibunya dahulu. ”Penghasilan tak pernah bisa ditabung, sedangkan utang selalu saja ada. Yang berbeda hanya permukiman yang semakin padat dan kumuh, sementara penghasilan semakin menurun,” tuturnya.
Kemiskinan nelayan tidak beda dengan warga perbatasan atau pulau-pulau terluar, berbagai persoalan mendasar yang belum terpecahkan sejak dulu telah menjerat mereka dengan jeratan simpul mati. Sebenarnya, para ahli tahu bahwa nasib para nelayan tidak banyak berubah karena keterbatasan akses hulu-hilir, mulai dari permodalan, sarana penunjang, hingga pemasaran produk. Persoalannya tidak ada ahli yang mendesain bagaimana bisa mensejahterakan pawa warga yang termarjinalkan itu. Seperti kita tuturkan dari awal tulisan ini, bahwa persoalan para warga itu muncul karena mereka tidak mempunyai “sumber” penghasilan, akibatnya mereka tidak mampu untuk menyekolahkan anak-anak nya dan tidak mampu untuk menjaga kesehatannya, karena pelayanan kesehatan langka dan sering tidak terjangkau.

Kita berharap dari keempat K/L ditambah dengan Kemen Pendidikan &Kebudayaan, apakah mereka tidak mampu menghadirkan sekolah gratis dengan pola berasrama? Sekolah yang bisa menampung anak-anak warga termarjinalkan itu, sehingga mereka bisa bersekolah dengan baik secara gratis. Mereka diberi tempat (asrama di kecamatan), diberi pakaian, diberi makan – minum, diberi buku-buku dan keperluan kependidikan mereka dan diberi “uang saku” dan terjaga kesehatannya. Dalam hati kita hanya bertanya. Masa dari kelima K/L dengan dana puluhan teriliun itu, sama sekali tidak mampu berbuat sesuatu untuk pendidikan anak-anak bangsa yang termarjinalkan itu? Karena selama ini kita percaya. Bukannya pemerintah tidak punya dana. Hanya cara memanfaatkannya yang tidak pada tempatnya.

Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di www.wilayahperbatasan.com yang jadi sindikasi blog ini 

Selasa, 19 Juli 2016

Perbatasan, Peran Kaltara Membangun Halaman Depan Bangsa


Dilihat dari berbagai sisi, provinsi Kaltara mempunyai simbol-simbol yang menggambarkan strategisnya provinsi ini. Pertama di provinsi ini terdapat Garis Batas Negara (RI-Malaysia) termasuk OBP (Outstanding Boundary Problem yakni di sungai Sinapad, sungai simantipal dan pulau sebatik);kita paham bahwa garis perbatasan adalah Batas Kedaulatan Negara-analogi mengisyaratkan perlunya persiapan yang baik terkait pertahanan keamanan; di daerah pantainya khususnya di Pantai Timur di pulau Sebatik, merupakan titik awal penarikan garis pangkal batas laut; masih ditambah lagi dengan permasalahan Perairan laut Sulasewi di sekitar Ambalat; juga terdapat Alur Laut Kepulauan Indonesia ALKI tempat lalu lalangnya Kapal bertonase besar-kapal perang dan dagang-yang mengharuskan kita memperhatikan kepentingan nasional di wilayah tersebut. Meskipun hal itu wewenang pemerintah Pusat, tetapi selayaknya Kaltara mempunyai ahli yang menguasai permasalahan Batas tersebut baik secara teknis maupun secara hokum. Dengan demikian Kaltara akan dapat memposisikan dengan baik terkait berbagai isu perbatasan.

Jadi tidaklah berlebihan kalau kita sebut provinsi Kaltara adalah provinsi strategis yang memerlukan perencanaan pembangunan secara khusus yang mampu mengakomodasi pertahanan wilayahnya sendiri. Perencanaan yang bisa mengintegrasikannya dengan  pembangunan kawasan didalam negeri dan dengan negara tetangga. Pembangunannya harus juga mencerminkan kerjasama dengan jaringan infrastruktur yang terkoneksi dengan connectivity Asean (Malaysia-Brunai-Filipina). Kaltara harus dari awal mendesain lapangan terbangnya mulai dari Tarakan, Nunukan, Malinau, Tanjung Selor bisa didarati oleh pesawat tempur dengan panjang Run Way minimal 2500 meter. Kalau Amerika cukup punya satu “Pearl Harbour” maka Indonesia minimal ada dua, yakni di Natuna dan Tarakan.

Pendidikan di Kaltara

Masalah pendidikan adalah persoalan SDM warga perbatasan, dan hal itu harapan kita menjadi salah satu perioritas yang menjadi perhatian Kaltara. Kita tahu setiap tahunnya, banyak anak-anak yang ada di perbatasan tidak bisa melanjutkan sekolahnya karena persoalan ekonomi orang tua mereka dan juga karena sarana dan prasarana untuk pendidikan itu masih sangat terbatas. Harapan kita sesungguhnya Kaltara melakukan sesuatu yang sifatnya proaktif dalam hal pembangunan sarana penunjang pendidikan ini, khususnya pembangunan asrama bagi para siswa di tiap masing-masing kecamatan perbatasan, dan juga di Kabupaten. Dengan catatan asrama itu difungsikan mulai dari tibgkat SD, SMP,SMA dan sederajat dalam artian mereka diberikan jatah makan dan minum serta uang saku gratis. Termasuk juga pendirian asrama-asrama mahasiswa di dekat kampus-kampus terbaik di Kalimantan dan Indonesia. Menurut kita kalau Kaltara hanya melihat pendidikan ini sama seperti provinsi lainnya maka jelas Kaltara kurang peka dengan pembangunan SDM nya dan hal ini jelas akan mendatangkan kerugian tidak terhingga bagi peningkatan marwah perbatasan.
Hal yang juga bisa dimintakan untuk mendapat perhatian dari Kaltara adalah pendidikan anak-anak para TKI yang ada di sekitar Tawau dan Kota Kinabalu. Kita tahu, menurut data catatan KJRI Kota Kinabalu, jumlah WNI yang berada di Sabah per 09 Februari 2012 sejumlah 401.773 orang, dengan komposisi TKI dan keluarganya 305.584 orang, Tenaga Profesional (guru, pilot, dosen dan dokter) 165 orang dan sejumlah 96.024 orang adalah masyarakat keturunan pemegang paspor RI. Dari sejumlah WNI tersebut di atas, sebanyak 53.768 orang adalah anak-anak. Dipercaya masih banyak lagi anak-anak Indonesia yang lahir tanpa akta lahir, apalagi paspor. Jadi jumlah diatas bisa berlipat menjadi 150% – 200%. Pendidikan anak-anak TKI itu sangat memelas, diatas kertas maka dari sisi pendidikan generasi mereka ini jelas lebih rendah mutu SDM nya disbanding orang tua mereka.
Pemerintah Indonesia pada 2006 mulai mengambil langkah untuk menangani nasib pendidikan anak-anak Indonesia yang ada di Sabah dengan membuat MOU antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia melalui NGO Borneo Child Aid – Humana Child Aid Society Sabah. Kini ada sekitar 90 gedung sekolah informal yang dikelola Humana dengan jumlah murid sekitar 7.000 orang,sisanya 46.000 lagi dapat pendidikan apa?. Sejak tahun 2007, Indonesia mengirimkan 109 guru. Pemerintah Sabah mengijinkan adanya sekolah Indonesia di Kota Kinabalu bagi anak-anak TKI. Sebagai propinsi di Perbatasan, kita berharap Kaltara bisa mengambil peran yang positip untuk ikut serta memecahkan permasalahan pendidikan para anak-anak TKI ini. Kalau hal ini belum juga terpikirkan oleh Kaltara, tentu sangat di sayangkan sekali.

Mulau Membangun Infrastruktur dan SDM

Kalau anda pernah ke Tanjung Selor, ibu kota Provinsi Kalimantan Utara, maka inilah gambarannya. Tanjung Selor tadinya adalah sebuah kecamatan dan sekaligus Ibu Kota Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur. luasnya 1.277 km persegi, dengan penduduk 37.539 orang. Kepadatan penduduknya 30 jiwa per km persegi. Di Tanjung Selor, hanya ada satu stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Jumlah minimarket tidak lebih dari 4-5 buah. Tidak ada gedung bioskop, mal, hotel berbintang, maupun tempat hiburan keluarga.
Jalanan pun cukup lengang. Bahkan, hanya terdapat empat persimpangan yang memiliki lampu pengatur lalu lintas. Untuk bandara, Tanjung Selor memiliki Bandar Udara Tanjung Harapan, bandara kecil yang selama ini baru diisi rutenya oleh satu maskapai dengan pesawat kecil. Selama ini warga jika hendak merasakan hiburan, setidaknya mal, atau berbelanja, warga pergi ke Tarakan dengan menggunakan speedboat. Alternatif lain ialah ke ibu kota Kabupaten Berau, yakni Tanjung Redeb, dengan menempuh jalur darat sejauh 125 km. Kini ia sudah resmi jadi Ibu Kota Provinsi Kaltara.
 Tapi kalau anda bertemu dengan Gubernurnya, maka kesannya bisa beda. Gubernur Kalimantan Utara (Kaltara) Irianto Lambrie[1] di awal pemerintahahnya mengatakan, pembangunan infrastruktur di wilayah perbatasan menjadi perhatian serius pihaknya. Hal itu telah dia lakukan sejak  dirinya menjabat sebagai Pj Gubernur Kaltara.
Menurutnya  anggaran yang telah dialokasikan sebesar Rp 35 miliar untuk pembangunan sekaligus peningkatan Jalan Long Midang, Long Bawan hingga Long Pasia. Kemudian  pembangunan jalan perbatasan Long Layu, Pa Upan, Long Rungan juga sebesar Rp 35 miliar. Pembangunan jalan perbatasan Long Rungan, Long Padi, Binuang, Malinau juga sebesar Rp 35 miliar. Sedangkan pembangunan Jalan Perbatasan Long Apung, Long Nawang, Data Dian, Long Pujungan, Malinau menggunakan nilai anggaran yang sama.
Untuk pembangunan Jalan Perbatasan Long Apung, Sungai Barang, Sungai Boh alokasi anggaran yang disediakan juga sebesar Rp 35 miliar. Untuk jalan Perbatasan Long Nawang, Batas Negara (Tapak Mega), dialokasikan sebesar Rp 3 miliar yang diserap dari APBD Kaltara. Gubernur juga  mengungkapkan, Pemerintah pusat telah mengalokasikan dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN) untuk kegiatan pembangunan jalan dari Kabupaten Malinau hingga ke Long Bawan. Alokasi dana yang dianggarkan oleh pemerintah pusat sebesar Rp 250 miliar untuk pembangunan jembatan."Mudah-mudahan dalam tiga tahun kedepan, hasilnya sudah terlihat. Tahun ini saja sudah terlihat hasilnya, kita sudah bisa mengendarai mobil dari Malinau, Binuang, Long Bawan," urainya. Menurutnya, "Jika infrastruktur telah dibangun dengan baik, maka hal itu akan dapat mendorong kemajuan perekonomian masyarakat yang ada di perbatasan," begitu pungkasnya.
Kalau kita melihat ke MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia), kita dapat mengidentifikasi proyek proyek MP3EI yang ada di Kalimantan Timur  meliputi: 1. Pembangunan Express Way Samarinda – Balikpapan; 2. Pengembangan Kapasitas Pelabuhan Maloy; 3. Pembangunan Jembatan P. Balang Bentang Panjang 1.314 m; 4. Percepatan Pembangunan Bandara Samarinda Baru; 5. Pembangunan Terminal Peti Kemas Kariangau; 6. Satker Sementara Pembangunan Pelabuhan PPU dan Kariangau; 7. Peningkatan Jalan Tj Selor-Tj. Redep – Maloy; 8. Pembangunan Jembatan P. Balang Bentang Pendek; 9. Peningkatan Jalan Samarinda-Bontang – Sangatta – Maloy; 10. Pelebaran Jalan Samarinda-Tenggarong; 11. Satker Sementara Pembangunan Faspel Laut Maloy/Sangkulirang; 12. Pembangunan Waduk Wain untuk kebutuhan air baku; 13. Pelebaran Jalan menuju P. Derawan; 14. Pembangunan Pelabuhan Tanjung Issuy; 15. Pelabuhan Tanah Grogot; 16. Kanpel Nunukan; 17. Pembangunan Jalan Lingkungan di Derawan dan Tanjung Batu; 18. Pembangunan Pembangkit Listrik; 19. Bandara Balikpapan; 20. Pembangunan Fasilitas Transmisi Kelistrikan; dan 21. Pembangunan Jalur Kereta Api Puruk Cahu–Tanjung Isuy sepanjang 203 km. Menurut hemat kita pembangunan Infrastruktur akan sangat baik bila tetap dikembangkan bersama antara Kaltim dan Kaltara. 



[1] http://www.merdeka.com/peristiwa/gubernur-kaltara-fokus-pembangunan-jalan-perbatasan.html

Jumat, 08 Juli 2016

Perbatasan, Australia Merampok Hak Nelayan Tradisional Indonesia di Pulau Pasir


Di perairan Natuna Indonesia bentrok dan mengusir “Nelayan Tradisional Tiongkok”. Karena dalam bahasa perbatasan, Tiongkok bukanlah negara tetangga yang berbatasan dengan Indonesia. Klaim Tiongkok dengan alasan sebagai tradisional fishing groundnya dengan dasar “Nine Dash Line”, juga tidak terdapat dalam ketentuan “perbatasan” yang mengacu pada UNCLOS1982. Jadi menurut hemat kita. Indonesia sangat wajar bertindak seperti itu. Kalau mau kerja sama tentu ada saja caranya. Tetapi ini soal kisah dan cara Australia mengusir dan membakar kapal-kapal nelayan tradisional Indonesia; negara tetangga kita sendiri. Australia jelas-jelas tidak lagi mengakui Hak Penangkapan Ikan Nelayan Tradisional (HPT) Indonesia di sekitar pulau-pulau Ashmore Reef, Cartier Islet, Scott Reef, Seringapatam Reef, dan Browse Islet meski sebelumnya mereka akui. Pemerintah Australia, sejak awal mengakui adanya HPT tersebut. Tapi karena Indonesia kurang “ serius melobi” lama kelamaan hpt itu malah jadi malapetakan bagi para nelayan kita di sana.

Sesuai hukum laut Internasional. Hak Penangkapan Ikan Secara Tradisional (Traditional Fishing Right), yaitu hak yang diberikan kepada nelayan-nelayan tradisonal negara tetangga untuk menangkap ikan secara tradisional di Perairan Kepulauan tertentu berdasarkan perjanjian bilateral. Mengenai hal ini sudah diatur berdasarkan perjanjian bilateral sesuai ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut dan ketentuan Hukum Laut Internasional (HLI).
Perairan antara Indonesia dengan Australia meliputi wilayah  yang sangat luas, terbentang lebih kurang 2.100 mil laut dari selat Torres sampai perairan P.Chrismas. Perjanjian perbatasan maritim antara Indonesia dengan Australia yang telah ditentukan dan disepakati, menjadi sesuatu yang menarik untuk dipelajari perkembangannya, karena perjanjian tersebut dilaksanakan baik sebelum berlakunya UNCLOS ’82 (menggunakan Konvensi Genewa 1958) maupun sesudahnya.
•           Perjanjian yang telah ditetapkan juga menarik karena adanya negara Timor Leste yang telah merdeka sehingga ada perjanjian (Timor Gap Treaty) yang menjadi batal dan batas-batas laut yang ada harus dirundingkan kembali secara trilateral antara RI – Timor Leste – Australia.
•           Secara Garis besar perjanjian batas maritim Indonesia – Australia dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu :
•           Perjanjian  perbatasan pada tanggal 18 Mei 1971 mengenai Batas Landas Kontinen di wilayah perairan selatan Papua dan Laut Arafura.
•           Perjanjian perbatasan pada tanggal  9 Oktober 1972 mengenai Batas Landas Kontinen di wilayah Laut Timor dan Laut Arafura.
•           Perjanjian perbatasan maritim pada tanggal 14 Maret 1997 yang meliputi ZEE dan Batas Landas Kontinen Indonesia Australia dari perairan selatan P.Jawa termasuk perbatasan maritim di P.Ashmore dan P.Chrismas.
Pada tanggal 9 September 1989 telah disetujui pembagian Timor Gap yang dibagi menjadi 3 area (A,B dan C) dalam suatu Zone yang disebut ”Zone Of Cooperation”. Perjanjian Timor Gab ini berlaku efektif mulai tanggal 9 Februari 1991, perjanjian ini juga tidak membatalkan perjanjian yang sudah ada sebelumnya, namun dengan merdekanya Timor Leste maka perjanjian ini secara otomatis menjadi batal.
Catatan saya terkait Masalah Batas Laut RI-Australia sesuai dengan apa yang dimuat oleh harian Kompas (6/7/2011). Kompas menuliskannya sebagai berikut: Tata batas Laut Timor dan Laut Australia masih membingungkan nelayan di sepanjang pesisir selatan Nusa Tenggara Timur. Banyak nelayan ditangkap dan ditahan Australia karena dianggap melanggar batas wilayah perairan itu. Akan tetapi, menurut nelayan, mereka berada di perairan Indonesia saat ditangkap. Status hukum batas laut antara Indonesia dan Australia belum diratifikasi. Tahun 1997, kedua negara melakukan perjanjian mengenai batas wilayah laut, tetapi sampai hari ini perjanjian itu belum diratifikasi atau disahkan.
Perlu Kerja Sama Lebih Lanjut      
Indonesia dan Australia telah mempunyai MOU tentang “Memorandum of Understanding between the Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia Regarding the Operations of Indonesian Traditional Fishermen in Areas of the Australia Exclusive Fishing Zone and Continental Shelf” pada tanggal 7 November 1974. Dengan demikian, MOU 1974 ini dapat dijadikan sebagai landasan hukum bagi nelayan tradisional Indonesia untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di beberapa zona perikanan eksklusif Australia beserta landas kontinennya. Adapun zona perikanan yang diperjanjikan kedua negara ini adalah meliputi, Ashmore Reef, Cartier Islet, Scott Reef, Seringapatam Reef, dan Browse Islet. Artinya, di wilayah ini, Pemerintah Australia tidak akan menerapkan peraturan perikanananya kepada nelayan tradisional Indonesia.
Berdasarkan MOU 1974 tersebut, Australia mengakui nelayan tradisional Indonesia untuk menangkap ikan di beberapa wilayah perairannya, karena selama beberapa dekade, mereka telah melakukannya di sekitar perairan Australia secara tradisi tanpa mendapatkan hambatan atau larangan. Dengan demikian, hak perikanan tradisional di zona perikanan Australia merupakan satu-satunya hak perikanan tradisional yang diakui secara resmi.
Persoalan baru muncul setelah pemerintah Australia mengeluarkan UU Cagar Alam Australia  (National Park and Wildlife Conservation), 16 Agustus 1984. UU ini menjadi larangan sepihak dan menuntut adanya amandemen terhadap MoU 1974. Pada tahun 1986 pemerintah Australia mengusulkan amandemen terhadap MOU 1974. Inti usulan amandemen tersebut antara lain :
·         larangan nelayan-nelayan Indonesia untuk mendarat di Ashmore Reef;
·         larangan mencari ikan dan organisme laut yang menetap di Ashmore Reef;
·         sebagai gantinya pemerintah Australia mengusulkan tempat yang lebih luas di wilayah perairan Australia.
Sebagai negara tetangga, usulan itu sebenarnya dapat di kompromikan atau bahkan di tolak bilamana perlu. Pengaturan terkait perberlakuan akibat batas laut suatu negara harus selalu dilakukan dengan kesepakatan negara-negara bertetangga. Pengaturan tentang penentuan suatu wilayah berbatasan, baik di laut dan darat mewajibkan adanya suatu kesepakatan Negara-negara tetangga seperti yang ditegaskan dalam UNCLOS 1982, yaitu “penentuan batas wilayah laut suatu Negara harus dilakukan dengan suatu kesepakatan bilateral  yaitu dengan melibatkan Negara Negara tetangga (neighboring countries).
Traditional fishing rights antara Indonesia-Australia sebenarnya mempunyai legalitas yang kuat dan hal ini mendapatkan pengakuan pada Bab IV Konvensi PBB tentang Hukum Laut UNCLOS 1982. Sangat di sayangkan, kedua Negara khususnya Indonesia kurang sungguh-sungguh dan belum pernah mendesak kesepakatan bersama tentang apa sebenarnya yang disebutkan dengan “nelayan tradisional” termasuk dengan perangkat penangkap ikan yang mereka pakai baik itu terkait kapalnya ataupun soal perorangan atau perusahaan.
Pengaturan Hak Penangkapan Ikan Tradisional
Sebelum Pemerintah Australia mengeluarkan UU Cagar Alam Australia  (National Park and Wildlife Conservation), 16 Agustus 1984. Dalam pandangan penulis, dan melihat sejarah persahabatan antara Indonesia dan Australia saya cenderung mengatakan Australia itu sering melecehkan atau meng”under estimated Indonesia. Banyak hal alasan untuk dikemukakan untuk itu. Mulai dari pelanggaran perbatasan laut yang mereka lakukan; penyedapan hanphone para pejabat Indonesia; protes mereka atas ketidak mampuan “menjaring” kapal pencari suaka yang ahirnya banyak yang lolos ke Australia; cara mereka menyogok nakhoda kapal pencari suaka untuk mengembalikan para pengungsi yang mereka bawa kembali ke perairan Indonesia; dll masih banyak lagi. 
Australia terlihat secara berkelanjutan memang mempunyai kebijakan khusus dan agresif dalam upaya melindungi hak berdaulatnya meski hal itu bertentangan dengan UU Internasional. Hal ini terlihat dari polanya. Nelayan Indonesia yang ditangkap di perairan Australia umumnya langsung ditahan di Darwin biasanya 1-2 minggu untuk diinterogasi dan proses lainnya. Dalam berbagai kasus, hampir semua nelayan ditetapkan bersalah dan langsung diterbangkan kembali ke Indonesia, sementara perahu, peralatan, dan sebagainya dibakar atau dimusnahkan. Para nelayan tersebut, secara sepihak malah dikategorikan sebagai 'trans-organized crime' yang termasuk pencari suaka, pelanggar imigrasi, bahkan sebagai penyelundup.  Australia, menerapkan kebijakan Rapid Repatriation (RR) dan AMIS yang menurut saya cenderung bersifat diskriminatif khususnya bagi nelayan tradisional Indonesia, dan tidak dituangkan dalam perangkat perundang-undangan Australia secara memadai. 
Kebijakan yang agresif ini, sebenarnya lebih menyerupai semangat melecehkan, dan ini bukanlah hal baru bagi Australia. Berbagai kebijakan dari tahun ke tahun telah terbukti mempersempit akses ke lokasi penangkapan ikan bagi nelayan tradisional Indonesia. Misalnya, perluasan kawasan Australian Fishing Zone (AFZ) dari 3 menjadi 12 mil tahun 1968 menjadikan wilayah tangkapan nelayan berkurang. Melalui kesepakatan MoU tahun 1974, penangkapan ikan hanya diperbolehkan pada wilayah 12 mil wilayah tertentu yang diklaim Australia di Laut Timor. Selanjutnya tahun 1979, dengan meluasnya kawasan AFZ dari 12 mil menjadi 200 mil, hak nelayan Indonesia semakin terbatas.
Membela Kepentingan Nasional Bersama
Sebelum tulisan ini saya ahiri, saya ingin mengatakan bahwa ketentuan mengenai semua larangan yang diterapkan oleh Australia justru bertentangan dengan hak tradisional nelayan Indonesia sesuai Pasal 51 Konvensi Hukum Laut PBB (The United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) 1982. Para nelayan tradisional itu wajib memperoleh penghormatan dan perlindungan dari Pemerintah Australia meskipun wilayah Pulau Pasir dan sekitarnya tunduk di bawah kedaulatan Australia. Hal ini ditambah lagi setelah berlakunya Deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak-hak Masyarakat Adat (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) yang telah berlaku sejak 13 September 2007 yang menjamin hampir semua masyarakat adat di dunia untuk dapat mengklaim wilayah daratan dan wilayah kelautan yang telah lama mereka diami, jauh sebelum para kolonial datang menjajah dan mencaplok wilayah-wilayah mereka.
Apabila Australia menolak untuk melakukan amandemen sesuai kesepakatan yang “menjamin kepentingan nasional kedua negara” terhadap MoU 1974, maka sebaiknya Pemerintah Indonesia, menarik kembali MoU RI-Australia 1974 dan kemudian mengajukan persoalan tersebut kepada salah satu badan peradilan yang disediakan oleh konvensi, seperti Mahkamah Internasional (International Court of Justice) atau Mahkamah Hukum Laut Internasional (International Tribunal For The Law Of The Sea).
Pengakhiran MoU 1974 akibat hukumnya, maka MoU 1974 ini menjadi berakhir dan hak nelayan Indonesia dikembalikan kepada kedudukan sebelumnya yakni seperti yang dilakukan nenek moyang Indonesia sejak ratusan tahun yang silam. Sebaliknya jika persoalan ini di bawah ke salah satu peradilan internasional, maka hak nelayan Indonesia di sekitar Pulau Pasir MEMILIKI PELUANG untuk dipulihkan kembali sebab kewajiban penghormatan terhadap hak nelayan tradsional secara turun-temurun telah memperoleh pengakuan secara yuridis dalam UNCLOS 1982 maupun Deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak-hak Masyarakat Adat (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) yang telah berlaku sejak 13 September 2007.