Rabu, 29 Juni 2016

Perbatasan, Arti Sebuah Kedaulatan

          
 Oleh Hamid Awaluddin

Perang selama 30 tahun (1618-1648) antara kaum Protestan dan kaum Katolik Roma berakhir di meja perundingan. Sekilas, perang ini adalah perang keyakinan. Namun, sesungguhnya perang di Eropa tersebut adalah perang tentang perebutan pengaruh dan kekuasaan. Lantaran itulah, perang ini melibatkan banyak negara. Sebutlah Swedia, Belanda, Jerman, Denmark, dan Italia.
Perang yang menelan banyak korban tersebut diakhiri dengan perundingan damai di kota Osnabruck dan Munster di Provinsi Westphalia, Jerman. Perundingan dan diplomasi yang melahirkan perjanjian damai ini dikenal hingga kini dengan nama Perjanjian Westphalia.

Salah satu isi perjanjian Westphalia, yang jadi tonggak sejarah dan praktik hubungan dan hukum internasional, ialah adanya pengakuan kedaulatan negara tanpa campur tangan negara lain. Ini yang kita sebut sovereignty of state. Konsep kedaulatan negara inilah yang mengubah konstelasi politik global dan meneguhkan prinsip kesederajatan bangsa-bangsa yang ada di dunia ini.
Kedaulatan negara memiliki dua unsur utama: (1) pemegang kedaulatan (negara) secara mutlak memiliki otoritas dan (2) kedaulatan negara ditandai dengan adanya teritori, di mana otoritas mutlak itu dijalankan secara penuh. Kedua unsur ini acapkali dipostulatkan secara hukum dengan istilah supreme authority within a territory. Bagi filosof RP Wolff, otoritas adalah ”The right to command and correlatively the right to be obeyed.”
Masalah kedaulatan negara ini telah menyita perhatian Thomas Hobbes dan Jean Bodin. Mereka malah dengan tegas mengatakan, kedaulatan negara adalah absolut. Mereka berprinsip bahwa kedaulatan negara ”Extending all matters within the territory, unconditionally.”
Jabaran dari perjanjian damai Westphalia mengenai kedaulatan negara ini diabadikan dalam Piagam PBB, khususnya dalam Pasal 2 (4), yang jelas menegaskan, semua anggota PBB (negara) dalam hubungan internasional mereka menjauhkan diri dari tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara lain atau dengan cara apa pun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan PBB.
Kedaulatan suatu negara terkandung di dalamnya adalah otoritas penuh menjalankan hukum yang dibuat oleh negara tersebut. Membuat dan menjalankan hukum dalam wilayah dan teritori negara adalah kebebasan mutlak negara tersebut dan tidak boleh dicampuri negara lain.
Kehormatan bangsa
Soal kedaulatan negara ini kembali mengemuka di republik kita sekarang ini karena dua negara anggota PBB, Brasil dan Australia, meradang karena warga negara mereka dihukum mati di Indonesia. Protes mereka sudah melampaui tata krama hubungan internasional yang selalu mengutamakan cara-cara damai dan bersahabat.
Tindakan Pemerintah Brasil pada 20 Januari lalu yang menolak Duta Besar RI untuk menyerahkan surat kepercayaan Pemerintah Indonesia yang sudah hadir bersama sejumlah duta besar lainnya adalah penamparan atas kedaulatan negara. Penyerahan surat kepercayaan seorang duta besar kepada pemerintah tempat ia ditugasi adalah bagian terpenting atas pengakuan negara yang diwakilinya, bukan hanya di negara ia bertugas, melainkan juga dalam pergaulan internasional.
Seorang duta besar tidak bisa secara leluasa menjalankan tugas-tugas diplomatnya sebelum ia menyerahkan surat kepercayaan kepada pemerintah yang ditempatinya. Semua ini sudah diatur dalam Konvensi Vienna tentang Hubungan Diplomatik, di mana Brasil adalah penanda tangan konvensi tersebut.
Seorang duta besar yang dikirim oleh negaranya ke satu negara, secara de juredan de facto, mewakili totalitas negaranya. Karena itu, sebutan duta besar selalu berbunyi, ”Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh”. Itu pula sebabnya semua surat kepercayaan yang dibawa oleh duta besar ke tempat ia bertugas pasti selalu berbunyi, ”Dengan ini kami mengirim putra-putri terbaik dan terhormat kami”.
Maka, penolakan Pemerintah Brasil atas Dubes RI untuk menyerahkan surat kepercayaan adalah penolakan Brasil terhadap kehormatan Indonesia. Jelas, penolakan tersebut berkaitan langsung dengan penegakan hukum Indonesia atas warganya, yang sekaligus berarti bahwa Brasil tidak menghargai prinsip-prinsip kedaulatan negara lain.
Sikap Australia
Hal yang sama juga terjadi buat Australia, yang memang dari masa ke masa selalu menunjukkan gelagat kurang bersahabat dengan Indonesia. Lebih ironis lagi, protes Australia atas Indonesia yang berdaulat untuk menjalankan hukumnya itu diekspresikan dengan cara mengungkit bantuan Australia terhadap korban tsunami di Aceh 10 tahun silam.
Seiring sejalan dengan ini, kita perlu memahami bahwa bantuan dunia terhadap korban tsunami tersebut adalah bantuan kesemestaan. Negara-negara lain, tanpa diminta, datang berduyun-duyun mengulurkan tangan dengan motif tunggal: demi kemanusiaan! Ketika itu, saya selaku Menteri Hukum dan HAM yang bertanggung jawab mengenai keimigrasian membuka selebar mungkin pintu Indonesia bagi siapa pun yang datang dengan misi kemanusiaan. Tak perlu mereka menggunakan visa. Banyak negara telah menunjukkan komitmen kemanusiannya, tanpa dasar perhitungan untung-rugi.
Nah, sekarang Australia telah menunjukkan bahwa apa pun yang dilakukannya ternyata selalu dimotivasi oleh kalkulasi untung-rugi. Artinya, motif kemanusiaan yang semestinya melebur sekat-sekat motif politik, sosial, dan ekonomi, tidak berlaku bagi Australia.
Untung Wakil Presiden RI M Jusuf Kalla menunjukkan kedaulatan negeri ini dengan cara ingin mengembalikan seluruh bantuan Australia tersebut. Pada masa silam, Bung Karno pernah berteriak, ”Go to hell with your aid.” Mungkin sekarang ini, demi tegaknya harga diri bangsa ini, ada pemimpin kita yang berkata ke Australia: ”Get lost and get your aid back.”
Australia perlu memahami betul bagaimana Indonesia membantunya tanpa batas waktu. Jika bukan Indonesia, Australia sudah lama disesaki oleh imigran gelap, khususnya yang berasal dari Asia Selatan dan sejumlah negara di kawasan Asia. Indonesia berperan vital mencegah imigran-imigran gelap tersebut melalui operasi penangkapan dan penangkalan. Ke Australia, ada baiknya bangsa ini berkata, ”Get this?”
Beberapa tahun silam, tatkala keluar dari penjara yang mengurung badannya selama 28 tahun, Nelson Mandela mengatakan bahwa manusia yang bermartabat adalah manusia yang memiliki kedaulatan dan kedaulatan itu adalah kebebasan dan ”Freedom is to master my way and to be captain of myself.” Indonesia adalah negara yang berdaulat karena itu Indonesia adalah master untuk jalannya dan kapten bagi dirinya sendiri. Bukan negara lain.


Hamid Awaluddin Mantan Duta Besar RI Di Rusia Dan Belarus (Sumber : Kompas, 26 Januari 2016)

Tidak ada komentar: