Kamis, 23 Februari 2017

Wilayah Perbatasan Kekurangan Kapal



Wilayah Perbatasan Kekurangan Kapal

Hubungan transportasi laut di sejumlah wilayah perbatasan negara dan pulau terpencil di Sulawesi Utara terhambat akibat minimnya kapal yang melayani. Saat ini hanya ada empat kapal perintis yang melayani puluhan pulau di kepulauan Kabupaten Sitaro, Kabupaten Sangihe, dan Kabupaten Talaud. Kepala Dinas Perhubungan Sulawesi Utara Joi Oroh, di Manado, Rabu (22/2), mengatakan, jumlah kapal perintis sangat minim dibandingkan jumlah pulau yang harus dilayani. Keempat kapal perintis itu harus melayari 40 titik transportasi dari Bitung menuju Sitaro, Sangihe, dan Talaud. Akibatnya, setiap titik hanya bisa disinggahi sekali dalam sepekan.
Menurut Joi, akhir Januari lalu Kementerian Perhubungan memberikan bantuan tambahan feri untuk melayani pelayaran ke Pulau Marore di Kabupaten Sangihe yang berbatasan dengan wilayah Filipina, hingga Amurang di Kabupaten Minahasa Selatan, untuk angkutan barang. “Tetapi, itu belum cukup mengingat banyaknya pulau yang harus dilayani,” katanya. Joi mengatakan, pihaknya mengusulkan penambahan kapal perintis di wilayah perbatasan kepada Direktorat Jenderal Laut Kemenhub. Diperlukan setidaknya dua kapal perintis lagi agar transportasi lebih lancar dan frekuensi kunjungan kapal bertambah.
Menurut Joi, frekuensi ideal kunjungan kapal untuk menunjang mobilitas ekonomi dan angkutan warga perbatasan menuju Manado ataupun Bitung adalah dua kali dalam sepekan. Hal senada dikemukakan Pelaksana Tugas Bupati Sangihe John Palandung. Transportasi laut di wilayahnya terkendala minimnya jumlah kapal. Idealnya, kunjungan kapal adalah dua kali per minggu.
Dermaga perintis
Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Papua Djuli Mambaya mengatakan, pihaknya menyiapkan anggaran Rp 80 miliar untuk pengembangan dermaga perintis di tujuh kabupaten. Ketujuh kabupaten itu adalah Sarmi, Kepulauan Yapen, Waropen, Nabire, Mappi, Mimika, dan Supiori. Djuli mengatakan, pembangunan dermaga ditargetkan selesai akhir tahun ini karena dana telah dianggarkan di APBD Papua.“Kehadiran dermaga itu sangat penting untuk mendukung kebijakan Presiden Joko Widodo terkait tol laut,” katanya.
Transportasi laut menjadi alternatif pengiriman logistik di wilayah pesisir Papua ketimbang lewat jalur udara yang kapasitas angkutnya kecil. Dengan demikian, diharapkan harga barang-barang kebutuhan bisa ditekan. Pengajar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Ahmad Bahar, mengatakan, pemerintah sebaiknya merevitalisasi pelayaran rakyat dengan konsep gugus pulau. Revitalisasi meliputi pengaturan zona persebaran pelayaran rakyat dengan memperhitungkan perkembangan dan kebutuhan warga serta potensi pulau.
Pemerintah, menurut Ahmad, juga perlu menyubsidi pelayaran rakyat sebagaimana subsidi pada angkutan darat. Pemerintah harus memperhatikan kebutuhan warga di wilayah kepulauan. Perlu juga regulasi yang mengatur pembagian peran antara pelabuhan kecil dan besar sehingga tidak terjadi penumpukan di satu pelabuhan. (Sumber, Kompas 23/2/2017/Zal/Flo/Ren)

Pelabuhan Rakyat Saatnya Direvitalisasi

Kondisi pelayaran rakyat, urat nadi transportasi untuk warga kepulauan ataupun daerah terisolasi di sejumlah wilayah di kawasan timur Indonesia, masih merana. Warga dan pelaku usaha pelayaran rakyat sangat mengharapkan perhatian pemerintah untuk menopang kebutuhan vital tersebut. Hal itu terangkum dari pantauan kondisi di beberapa titik basis pelayaran rakyat (pelra) di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku, dan Papua, Senin (20/2). Layanan pelra menjadi gantungan tunggal mobilitas orang dan barang di daerah kepulauan dan terisolasi.
Di Makassar, Sulawesi Selatan, armada pelra masih terkendala kondisi kapal atau mesin kapal yang tua serta minimnya alat keselamatan pelayaran seperti ditemukan di dermaga penyeberangan Kayu Bangkoa. Kapal dan perahu di sana melayani pelayaran ke pulau-pulau kecil di Selat Makassar. Daeng Esa (49), salah satu pemilik perahu bermesin 40 daya kuda, mengatakan, ketersediaan pelampung menjadi salah satu persoalan pelik baginya. “Serba salah. Saya tahu itu penting untuk berjaga-jaga, apalagi saat cuaca buruk. Tapi, saya juga tidak mampu membeli,” kata Esa.
Penyebabnya, pendapatan dari penumpang kadang tidak menutupi biaya operasional. “Biasanya kalau cuaca agak buruk dan kami ragu, perahu diistirahatkan,” ujarnya. Kerap merugi juga dirasakan Dahrin, pemilik kapal kayu dengan rute Makassar-Pulau Barrang Lompo. “Saya sering menombok biaya operasional dan gaji pekerja karena pemasukan dari penumpang tak mencukupi. Karena kasihan sama orang pulau, saya tetap beroperasi,” katanya. Akibat kondisi itu, pemilik usaha pelra tak dapat meremajakan armadanya, termasuk mesin. Daeng Esa masih menggunakan mesin bekas yang dibelinya lebih dari lima tahun yang lalu. Akibatnya, mesin perahu kerap mati di tengah pelayaran.
Bergantung cuaca
Operasi kapal-kapal pelra dari Ambon menuju sejumlah daerah di Maluku dan Maluku Utara sangat bergantung cuaca. Penyebabnya, armada yang digunakan umumnya berukuran kurang dari 10 gros ton (GT) sehingga sangat berisiko jika ada gelombang di atas 1,5 meter. Salah satunya, rute Ambon ke Pulau Obi di Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Rute itu adalah rute terpanjang pelra dari Ambon dengan jarak mencapai 135 mil laut (250 kilometer). Butuh waktu lebih dari dua hari untuk mencapai Obi dari Ambon dengan kapal kayu berukuran 3 GT dan 6 GT.
Nakhoda Kapal Motor Citra Emas, La Tani, di Pelabuhan Rakyat Desa Batumerah, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, mengatakan, kapal kerap tertahan berhari-hari di titik persinggahan di Pulau Buano, Seram Bagian Barat, jika cuaca buruk. Kondisi cuaca juga menjadi masalah yang dihadapi pelra di Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Pelra merupakan sarana penghubung satu-satunya antara ibu kota Kolonodale dengan tiga kecamatan yang belum tersambung jalan darat, yakni Mamosalato, Baturube, dan Soyojaya.
“Saat musim hujan, banyak kapal tak beroperasi,” ujar Yanti (26), warga Soyojaya, saat dihubungi dari Palu, Sulteng. Pada musim hujan, tinggi gelombang di Teluk Tolo mencapai 3 meter.


Pelayaran rata-rata menggunakan kapal motor ukuran 30 GT dengan waktu tempuh 2-5 jam. Kapal itu berkapasitas 40 penumpang dan 10 sepeda motor. Dari Papua dilaporkan, hanya ada 10 perahu berkapasitas masing-masing 15 penumpang untuk melayani ratusan penumpang rute Kampung Enggros dan Hamadi di Distrik Jayapura Selatan ke Jayapura.
Orpa Merauje (55), penumpang, berharap jumlah perahu ditambah atau kapasitasnya diperbesar untuk mengurangi waktu antrean penumpang. Yansen Hanasbey (74), salah satu motoris, di Dermaga Youtefa, Distrik Abepura, Jayapura, mengatakan, warga yang membuka jasa transportasi laut tradisional sangat minim karena tingginya biaya bahan bakar minyak (BBM). “Biaya yang harus dikeluarkan Rp 300.000 per hari,” ujar Yansen. Ia berharap ada bantuan dari pemerintah, seperti subsidi biaya BBM, perahu dengan kapasitas lebih besar, dan pelampung.
Sebelumnya, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, Kementerian Perhubungan berencana menyediakan 100 kapal kecil untuk melayani rute-rute pelra di daerah kepulauan tahun ini. Pelra yang selama ini menghidupi diri sendiri akan disubsidi pemerintah ( Sumber, Kompas, 21/2).

(Ren/Frn/Vdl/Flo)

Tidak ada komentar: