Sabtu, 15 Juli 2017

Havas Oegroseno: Kebijakan Kelautan Indonesia


Oleh Arif Havas Oegroseno

Indonesia adalah satu-satunya negara yang mampu memperluas wilayah kedaulatan dan hak berdaulatnya dari 2 juta kilometer persegi menjadi 6 juta kilometer persegi, negara kepulauan terbesar di dunia, tanpa ekspedisi militer. Capaian ini diraih lewat diplomasi maraton di PBB sejak akhir 1960-an hingga diterimanya UNCLOS pada 1982.Diplomasi ternyata bukan sekadar berbasa-basi dengan tutur kata indah tanpa makna. Operasi gencar melawan pencuri ikan hari ini tidak akan pernah ada, apabila diplomasi tidak menghasilkan hak berdaulat ZEE 200 mil laut dari garis pangkal negara kepulauan.
Dengan kebangkitan ekonomi, politik dan militer Asia, terutama Asia Timur, posisi silang Indonesia berubah dari strategis menjadi super-strategis.

Tak hanya posisi silang di antara dua benua (Asia dan Australia) serta dua samudra (Samudra Pasifik dan Samudra Hindia), tetapi juga di antara Laut China Selatan dan Laut Asia Timur dengan Samudra Hindia, antara individualisme liberal di selatan dan komunisme di utara. Juga antara penghasil komoditas di selatan dan pengguna komoditas di utara, antara penghasil energi di selatan dan pengguna energi di utara, antara middle power di selatan dan global power di utara, antara non-nuclear power di selatan dan nuclear power di utara, serta antara anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB di utara dan bukan anggota DK PBB di selatan. Indonesia kini ada dalam lingkaran perebutan pengaruh antara kekuatan dominan pasca-Perang Dunia II dan kekuatan lama yang bangkit kembali.
Posisi super-strategis Indonesia beserta kemajemukan dan toleransi antarsuku, bangsa, dan agama juga menempatkan Indonesia dalam posisi penting di kawasan, yaitu dalam memengaruhi stabilitas politik, ekonomi, dan keamanan. Tak terbayangkan betapa sulitnya kondisi politik, ekonomi, dan keamanan kawasan apabila Indonesia berada dalam konflik seperti Suriah.Selain sumber daya alam yang bernilai tinggi di laut Indonesia, alam Indonesia sendiri bernilai strategis bagi Planet Bumi. Indonesia memiliki hutan tropis kedua terbesar di dunia, 20 persen terumbu karang di dunia, 20 persen hutan bakau dunia, 30 persen padang lamun, serta di pertemuan arus Samudra Hindia dan Samudra Pasifik yang membawa sumber makanan bagi kehidupan laut.
Hutan bakau dan padang lamun mampu menyerap emisi gas rumah kaca lebih besar daripada hutan teresterial. Kemampuan ini harus diperhitungkan dalam menghitung emisi dan serapan emisi Indonesia sebagai bagian solusi masalah pemanasan bumi dan perubahan cuaca dunia.
Kemampuan kelola laut
Pertanyaan mendasar bagi kita sekarang adalah: (a) apakah kita telah mampu memanfaatkan sumber daya alam laut yang diberikan hak pengelolaannya oleh para pendiri bangsa dan perunding ulung kita di UNCLOS 1982; (b) apakah kita telah mampu menjaga kelestarian dan keberlanjutan lingkungan laut yang sangat luas ini; (c) apakah benar laut kita telah menjadi pendukung pemerataan pembangunan; dan (d) apakah kita mampu mengamankan laut kita dari ancaman agresi atau kriminal.
Semua pertanyaan itu tak bisa dijawab secara terpisah karena terkait satu sama lain dengan erat. Kita pun tak bisa lagi menggantungkan diri kepada para tokoh Indonesia perumus UNCLOS 1982. Tugas mereka telah selesai. Adalah tugas kita semua untuk menjawab berbagai pertanyaan krusial itu dengan satu narasi besar yang komprehensif dan juga didukung oleh strategi yang tajam dan rencana aksi yang spesifik. Tidak akan ada manfaatnya lagi berkutat pada wacana dan debat tentang masalah kelautan tanpa arah yang jelas.
Dalam konteks inilah, kini Indonesia memiliki Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) atau Indonesian Ocean Policy yang diluncurkan dalam bentuk Perpres No 16/2017. Indonesia satu-satunya negara ASEAN dan satu dari sedikit negara di dunia yang memiliki pada 2013.
Sebagai suatu narasi besar bangsa Indonesia untuk menjadi pemenang di lautan, KKI berpijak pada tujuh pilar, yaitu pengelolaan sumber daya kelautan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM); pertahanan keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan di laut; tata kelola dan kelembagaan laut; ekonomi dan infrastruktur kelautan dan peningkatan kesejahteraan; pengelolaan ruang laut dan pelindungan lingkungan laut; budaya bahari; dan diplomasi maritim.
Tujuh pilar ini dijabarkan secara rinci dengan strategi yang jelas dan rencana aksi yang nyata serta terkait satu sama lain. Perang melawan penangkapan ikan secara ilegal (illegal, unreported and unregulated fishing/IUUF), misalnya, memiliki keterkaitan erat antara kebijakan penangkapan kapal asing dan perlunya membuat norma baru kejahatan perikanan di kawasan dan global serta peningkatan ekspor hasil perikanan, peningkatan kesejahteraan nelayan dan pembangunan infrastruktur pelabuhan perikanan yang modern serta gudang es yang memadai.
Keterkaitan adalah kunci krusial dalam pelaksanaan KKI. Tak hanya keterkaitan dari sisi tujuh pilar dengan strategi dan rencana aksi nyata, juga keterlibatan semua pemangku kepentingan—pemerintah pusat dan daerah, industri, dan gerakan akar rumput—secara komprehensif. Masalah sampah plastik di laut, misalnya. Indonesia dinilai negara terburuk kedua di dunia yang menghasilkan sampah plastik. Riset Universitas Hasanudin pada 2015 menunjukkan, 28 persen dari 76 sampel ikan dari pasar ikan Paotere, Makassar, memakan plastik dengan ukuran 0.1–4.5 mm. Pelancong ke Kepulauan Seribu sering mengeluhkan banyaknya plastik di laut kita.
Sekitar 80 persen sampah plastik di laut berasal dari daratan. Sampah ini tidak dikelola dengan baik oleh pemda, yang faktanya telah berhasil mengambil alih hak pengelolaan sampah dari pusat dengan alasan otonomi daerah. Tanpa langkah konkret dan cepat, sampah plastik dapat menyerang kita kembali dalam bentuk asupan toksin, racun, atau kanker, atau bahkan perubahan DNA manusia Indonesia.
Sinergi kebijakan                                
Langkah cepat Indonesia dalam menangani hal ini melalui penyusunan rencana aksi nasional penanganan sampah plastik di laut, kerja sama dengan inovator pembuat jalan aspal dengan plastik, membuka diri kepada investor pusat listrik tenaga sampah yang sudah sangat lazim di Uni Eropa, dan memimpin diskursus global soal penanganan sampah plastik di laut telah menciptakan momentum baru dalam menangani masalah ini. Momentum ini diciptakan bersama-sama antara birokrasi dengan industri nasional dan global serta gerakan akar rumput lingkungan hidup.
Tak terlalu sering terjadi di dunia ini, suatu tantangan nasional menciptakan gerakan nasional yang pada saat sama juga mengantarkan negara menjadi pemimpin dunia. Indonesia telah membuktikan. Gerakan nasional melawan sampah plastik di laut membuat Indonesia dikenal sebagai pemimpin global dalam menangani masalah ini. Hal ini terjadi karena adanya acuan KKI.
Kebijakan ini memang harus dilengkapi rencana aksi yang rinci karena salah satu tantangan besar bangsa Indonesia adalah inefisiensi dan birokrasi yang dinilai lambat dan kurang tanggap. Memang, rujukan yang rinci pun belum tentu menjamin terlaksananya suatu program nasional yang kompleks, tetapi Indonesia telah memiliki suatu acuan mendasar tentang arah pengelolaan laut Nusantara melalui KKI. Apabila kita semua memang ingin menjadi negara maritim yang sejahtera dan kuat serta disegani dunia, pelaksanaan KKI adalah suatu keniscayaan.

Arif Havas Oegroseno Deputi Kedaulatan Maritim Kemenko Kemaritiman
( Sumber : Harian Kompas.id Tanggal 14 Juli 2017 )


Tidak ada komentar: