Sabtu, 30 Desember 2017

Melihat Kembali Semangat Percepatan Penyelesaian Perselisihan Batas Daerah Tahun 2013


Melihat Kembali Semangat Percepatan Penyelesaian Perselisihan Batas Daerah Tahun 2013
Oleh harmen batubara[1]

Pada pelaksanaan Rapat Sinkronisasi Data Batas Antar Daerah di Hotel Acacia, Jakarta dari tanggal 15-17 Februari 2012 yang lalu DitjenPum Kemdagri serta dihadiri oleh semua perwakilan provinsi menyiratkan perlunya percepatan dalam penyelesaian permasalahan perselisihan batas antar daerah. Menurut DirjenPUM masalah perbatasan antar daerah ini baru muncul setelah era reformasi, zaman orde baru boleh dikatakan persoalan batas antar daerah sama sekali tidak pernah mengemuka; kalaupun ada pasti dapat di selesaikan oleh Gubernurnya.

Tetapi setelah reformasi, masalahnya sangat berbeda; dari jumlah perbatasan yang terdiri dari 966 segmen (161 segmen provinsi, 805 segmen Kab/Kota) yang terselesaikan 151 segmen dan yang sudah ditetapkan dengan Permendagri baru 79 dan dalam proses 206 segmen sementara 681 segmen lagi belum tersentuh. Dalam manajemen dan penyelesaian konflik, sangat penting untuk terlebih dahulu dilakukan analisis untuk mencari sebab-sebab terjadinya konflik (Furlong, 2005). Karena tanpa tahu secara persis penyebab perselisihannya tentu akan sulit menemukan solusi yang pas. Analisis untuk mencari penyebab sengketa batas daerah di Indonesia dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan teori penyebab konflik yang dikemukakan oleh Moore (1986).

Konflik atau perselisihan adalah salah satu bentuk perilaku persaingan antar individu atau antar kelompok orang. Potensi terjadinya konflik akan ada bila dua atau lebih aktor bersaing secara berlebihan atau tidak adanya kesesuaian tujuan dalam kondisi sumberdaya yang terbatas (Moore, 1986). Pendekatan Moore (1986) ini sering digunakan untuk alat analisis konflik terutama dalam hal menentukan penyebab sengketa dan perilaku konflik  (Forbes,  2001 dan Furlong,  2005).

Menurut Moore (1986) ada lima penyebab utama terjadi nya konflik batas dan untuk mengidentifikasi penyebab utama terjadinya konflik bisa dilihat dari : (1) persoalan hubungan antara orang atau kelompok, (2) persoalan dengan data, (3) tidak diperhatikannya atau tidak ada kesesuaian nilai (value), (4) kekuatan terstruktur dari luar yang menekan para aktor dalam sengketa, (5) persoalan kepentingan yaitu tidak diperhatikannya atau tidak ada kesesuaian dalam hal keinginan.

Penyebab Perselisihan Batas  Untuk dapat melihat berbagai perselisihan batas maka ada baiknya memakai kacamata Moore, dengan cara itu kita bisa melihat berbagai faktor penyebab terjadinya konflik atau perselisihan. Menurut Moore (1986), Furlong (2005) dan outdoorKristiyono (2008) penyebab konflik itu dapat dilihat dari berbagai sisi perselisihan tersebut yakni sebagai berikut[2] :

Konflik  structural  Adalah sebab-sebab konflik yang berkaitan dengan kekuasaan sehingga ada ketidak seimbangan kekuatan misalnya dalam hal ketimpangan kontrol sumberdaya, wewenang formal yang membuat bagaimana suatu situasi dapat dibuat untuk tujuan tertentu melalui kebijakan umum (baik dalam bentuk peraturan perundangan maupun kebijakan formal lainnya). Aturan main dan norma untuk menentukan aspirasi apa yang menjadi haknya. Ketika aspirasi dianggap tidak kompatibel dengan tujuan pihak lain maka hasilnya dapat menimbulkan konflik.

Faktor geografis dan sejarah merupakan dua aspek penyebab konflik struktural diantara aspek lainnya yang sering menjadi alasan klaim suatu wilayah. Faktor geografis merupakan klaim klasik berdasarkan batas alam, sedangkan faktor sejarah merupakan klaim berdasarkan sejarah kepemilikan (pemilikan pertama) atau lamanya kepemilikan (Prescott,  2010).

Faktor kepentingan  Masalah kepentingan menimbulkan konflik karena adanya persaingan kepentingan yang dirasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan ini terjadi ketika salah satu pihak atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhan/keinginannya, pihak lain harus berkorban. Konflik kepentingan mungkin bisa bersifat substantif, prosedur atau psikologis.

Konflik  nilai  Konflik nilai biasanya disebabkan oleh sistem kepercayaan (nilai) yang tidak bersesuaian misalnya dalam hal definisi nilai dan mungkin nilai-nilai keseharian.

Konflik hubungan  Konflik hubungan antar manusia terjadi karena adanya emosi negatif yang kuat, salah persepsi, salah komunikasi atau tidak ada komunikasi, atau perilaku negatif yang berulang.

Konflik data/informasi  Konflik data/informasi terjadi ketika kekurangan atau tidak tersedianya data dan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan, data dan informasi yang tersedia salah, tidak sepakat mengenai data dan informasi yang relevan, beda cara pandang dalam menterjemahkan data dan informasi, atau beda interpretasi dan analisis terhadap data dan informasi.

Menurut Moore, konflik data, konflik nilai dan konflik hubungan sebenarnya konflik yang tidak perlu terjadi, artinya kalau data dan informasi tersedia sesuai kebutuhan, nilai-nilai yang ada dapat difahami secara baik dan emosi serta perilaku negatif dapat dijaga, maka tidak akan terjadi konflik. Konflik yang sebenarnya adalah konflik struktural dan konflik kepentingan yang hampir selalu terjadi karena antara faktor kepentingan dan faktor struktural adalah dua faktor yang saling berhubungan dan selalu ada dalam kehidupan manusia (Furlong, 2005).

Dari penelitian kasus sengketa batas daerah sesuai hasil penelitian Sumaryo dkk, yang dilakukan terhadap berbagai kasusu yang dilaporkan Kemendagri (2013), dapat diklasifikasi atas dasar katagori tahun pembentukan daerah otonom dengan mengingat tahun UUPD daerah yang bersengketa, yaitu:

Sengketa batas daerah antar DOB yang dibentuk pada era otonomi daerah  ( tahun 1999 s.d. 2009)
Sengketa batas daerah antara DOB yang dibentuk pada era OTDA (tahun 1999 s.d. 2009) dengan daerah otonom yang dibentuk sebelum tahun 1999.
Sengketa batas daerah antara daerah otonom yang dibentuk sebelum tahun 1999 (sebelum OTDA) namun munculnya sengketa terjadi pada era OTDA. Dari analisis yang mereka lakukan dengan menggunakan pendekatan  lingkaran konflik Moore seperti telah diuraikan sebelumnya,  maka perselisihan batas dapat dikelompokan atas jenis sengketa batas daerah yang terjadi selama era OTDA, yaitu:

Konflik data/informasi, dalam hal ini data dan infromasi geospasial yaitu kualitas peta lampiran UUPD yang tidak memenuhi syarat sebagai dasar dalam penegasan batas daerah  Kombinasi antara konflik data dan informasi geospasial dengan faktor kepentingan memperebutkan SDA dan faktor struktural terkait suatu wilayah pada DOB hasil pemekaran ingin tetap gabung dengan kabupaten induk.
Hasil Pengamatan atas Perselisihan Batas Era Otda[3]
Dari hasil penelitian secara observasi yang dilakukan selama periode tA 2006-TA 2013 ditemukan beberapa masalah perselisihan batas yang merujuk  pada;

  Ketidakjelasan UU Pembentukan.  Salah satu penyebab yang menonjol terdapat pada UU pembentukan Pemda, klausul tentang batas hanya disebutkan sebagai berbatasan dengan derah tetangganya. Misalnya disebelah utara berbatasan dengan daerah A; di sebelah selatan berbatasan dengan daerah B dst. ( sehingga muncullah perbedaan penafsiran antar UU, perbedaan pasal-pasal dengan peta lampiran, ketidakjelasan peta lampiran). Contoh: Sengketa Pulau Berhala antara Prov, Kepri dan Prov. Jambi.

  Perebutan SDA.  Kalau di daerah itu ada sumber SDA maka batas bisa jadi rebutan. Masing-masing pihak biasanya akan berlomba melayani dan itulah awal sengketa. Contoh: Kab. Muba-Kab. Mura Prov Sumsel (Sumur Migas Subhan 4); Prov. Riau (Kab.Rohil)-Prov.Sumut (Kab.Labuan Batu) terkait patok 153 (perkebunan sawit); Prov.Aceh (Kab.Aceh Tamiang)-Prov.Sumut (Kab.Langkat) terkait potensi sarang burung walet di Goa Bukit Kapal.

  Kesukuan/Kultur/Etnis. Meski batas hanya mengatur persoalan administrasi dan sama sekali tidak mempengaruhi masalah kepemilikan. Tetapi batas seolah sudah menjadi “pemisah” sehingga batas yang terdapat pada etnis yang sama; dinilai menjadi sebagai pemisah etnis itu sendiri.  Contoh:   Prov.Sumsel (Kab.Mura)-Prov. Jambi (Kab.Sorolangun) terkait eksistensi penduduk Suku Rawas.

  Pelayanan Publik. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mendekatkan pelayanan publik kepada warganya. Diharapkan warga yang ada di daerah batas tersebut  lebih dekat dengan pusat-pusat pelayanan. Contoh: di Prov. Bengkulu: keinginan penduduk sebag Desa di Kab. Kepahiang kembali bergabung ke Kab.Bengkulu Utara, Penduduk salah satu Kecamatan di Kutai Timur ver KTP Kota Bontang dan ingin bergabung ke Kota dengan alasan akses ke pusat pemerintahan lebih dekat (ke Sangata, Kutim 65 km; ke Kota Bontang hanya 3 km).

Adanya Kesamaan Persepsi Moore dan Realita Perselisihan Batas
Apa yang ditemukan Sumaryo dkk dalam penelitiannya berdasarkan pendekatan Moore dengan hasil observasi staff khusus Ditjem PUM Kemdagri, terdapat kesamaan terkait penyebab perselesihan batas. Yakni Konflik yang muncul karena kualitas data/informasi pada peta lampiran UUPD yang tidak memenuhi syarat sebagai dasar dalam penegasan batas daerah.

Kurangnya kualitas peta Lampiran UUPD kemudian menjadi “entri point” bagi masuknya berbagai kepentingan para pihak, seperti  kepentingan memperebutkan SDA, masalah etnis, kemudahan pelayanan.

Percepatan Penyelesaian Sengketa Batas

Selama ini yang dianggap sebagai salah satu kendala yang menyebabkan penyelesaian perselisihan batas itu jadi mahal dan memakan waktu lama, disebabkan peraturannya itu sendiri; yakni permendagri no 1 tahun 2006 tentang penegasan batas di daerah serta ketentuan yang harus dilaksanakan di lapangan.

Sekarang halangan itu sudah diperbaiki, Permendagri No I tahun 2006 telah direvisi dengan Permendagri No 76 Tahun 2012 yang pada intinya memberikan penekanan secara lebih tegas dan kuat kepada Pemda Provinsi ( Gubernur) sebagai perpanjangan tangan Mendagri di daerah. Revisi tersebut kembali memberi penekanan sesuai amanat penyelesaian perselisihan batas daerah sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 198, yakni :

Apabila terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar kab/kota dalam satu provinsi, Gubernur menyelesaikan perselisihan dimaksud. Apabila terjadi perselisihan antar provinsi, antara provinsi dan kab/kota di wilayahnya, serta antara provinsi dan kab/Kota di luar wilayahnya, Menteri Dalam Negeri menyelesaikan perselisihan dimaksud.
Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat final.
Juga ditegaskan jangka waktu dan mekanisme yang lebih jelas.
Yang tidak kalah menariknya adalah Pemamfaatan Teknologi Survei dalam penyelesaian perselisihan batas; yakni dengan metode Kartometrik. Dengan metode ini kondisi lapangan yang sebenarnya dapat dihadirkan di ruangan rapat; sehingga berbagai kesulitan ke lapangan tidak lagi jadi masalah; dengan demikian akan sangat menghemat waktu dan biaya.

Mengoptimalkan Penyelesaian Batas dengan cara Kartometrik dapat di optimalkan dengan dukungan data dari Pemerintah (berupa peta dasar, peta Batas Indikatif yang lebih akurat dengan memanfaatkan the best  available data seperti Citra satelit, SRTM, DEM dan IFSAR   dalam bentuk digital). Kerjasama (Kesepakatan atau Kontrak Kerjasama) dengan Bakosurtanal dan Dittopad untuk penyediaan Peta Dasar Rupabumi atau Topografi  dalam format digital dengan skala yang memadai.
Metode kartografis dilakukan pada tahap pelacakan batas daerah dengan catatan untuk  pelacakan batas yg sulit dilakukan di lapangan ditelusuri pada peta kerja & ditentukan titik koordinatnya dan titik-titik koordinat batas yg belum disepakati/ masih meragukan, dapat dilaksanakan pelacakan/ recheck ke lapangan. Hasil pelacakan di atas peta yg disepakati digunakan sbg bahan penyusunan PERMENDAGRI ttg Batas Daerah; Pilar dapat dipasang kemudian jika dipandang perlu dan memungkinkan.
Penyusunan SOP .  Beberapa SOP perlu diterbitkan untuk memberikan panduan baku bagi Tim PBD Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Pembuatan beberapa Standar Operasi Presedur (SOP) terkait penyelesaian batas yang meliputi; SOP penyiapan Dokumen; SOP Pelacakan Batas; SOP Pengukuran dan Penghitungan Koordinat Batas; SOP Penggambaran Peta Batas dan SOP Sosialisasi Batas.

Pengoptimalan Kemampuan Internal, meliputi; Masalah  Kelembagaan  seperti :
Kurangnya  Sumber Daya Manusia (pegawai) sesuai kualifikasi  yg dibutuhkan untuk itu telah dilakukan;

Pembentukan Tim Asistensi/Konsultansi di tingkat pusat untuk membantu Tim PBD Pusat dan Ditjen PUM dalam proses survey, pemetaan, fasilitasi konflik, verifikasi dan perancangan Permendagri, serta sekaligus membantu Pemerintah Provinsi dalam memfasilitasi Kab/Kota.
Tim Asistensi/Konsultansi bersifat paralel (beberapa Tim bersama-sama), setiap Tim menangani beberapa Provinsi.
Tim Asistensi/Konsultansi terdiri dari para ahli antara lain di bidang: survey, pemetaan, geodesi, geografi, pemerintahan, manajemen konflik, sistem informasi, map drafter, dan operator.
Tim bertugas sebagai pendamping (management consultant) sampai dengan target pekerjaan terselesaikan.
Untuk merealisir percepatan tersebut  disamping merevisi Permendagri dan penetrapan metode kartogmeteris juga telah diambil langkah-langkah konkrit berupa ;

Quick Win Penyelesaian Segmen Batas Daerah : 

Percepatan Penegasan Segmen Batas Daerah Yang Tidak Bermasalah.
Gubernur Melaporkan Progres Penanganan Penegasan Batas  Kab/Kota Yang Ada Di Daerahnya.
Gubernur Melaporkan Secepatnya Kepada Mendagri Untuk Proses Penyelesaian Segmen Batas Yang Tidak Bermasalah Untuk Di Proses Permendagri Ttg Penegasan Batas Daerah.

Sinkronisasi Data Batas Daerah
Data yang ada, sebagian besar daerah belum melaksanakan penegasan batas dengan  sistematis dan terkoordinasi. Karena itu data perlu di sinkroniskan.

Untuk  itu perlu sinkronisasi data batas antar daerah yang sinergis antara Pusat, Provinsi dan Kab/Kota sebagai  tindaklanjut pelaksanaan penegasan batas. Agar sinkronisas penegasan batas berjalan dengan baik serta sesuai dengan yang diharapkan, diperlukan data kegiatan penegasan batas yang mencakup: Identifikasi jumlah Kab/Kota yang berbatasan baik antara kabupaten/kota dalam satu provinsi maupun antar provinsi; Identifikasi permasalahan batas daerah dan tindaklanjutnya;
Identifikasi progres penyelesaian batas daerah; Rencana kerja tahunan dan anggaran serta sumber anggaran penataan batas daerah. Perkuatan Tim PBD Provinsi ; Pemberian SOP kepada provinsi ; Pemberian pelatihan, fasilitasi, asistensi dan konsultansi ; Pemberian dana dekonsentrasi kepada pemerintah provinsi untuk kegiatan koordinasi dan fasilitasi penyelesaian batas antar kabupaten/kota di wilayahnya.

Prioritas Percepatan  Prioritas program pada penyelesaian batas antar Provinsi melalui penegasan batas antar kabupaten/ kota berlainan provinsi.
Diikuti dengan penyelesaian batas antar kab/kota dalan satu provinsi
Mendorong provinsi memfasilitasi proses penegasan batas antar kabupaten/kota di wilayahnya.

Ekses Ketidakjelasan Batas Daerah dapat berupa;
  •   Ketidakjelasan Cakupan Wil Admin  Untuk Penyelenggaraan Kewenangan  Pemda
  •   Inefisiensi Pelayanan Kpd Masy (Duplikasi)
  •   Ketidakjelasan Luas Wilayah
  •   Ketidakjelasan Admin. Kependudukan
  •   Ketidakjelasan Dapil (Pemilu, Pilkada)
  •   Ketidakjelasan Administrasi Pertanahan
  •   Ketidakjelasan Perijinan Pengelolaan Sda
  •   Kesulitan Pengaturan Tata Ruang Daerah

Target tahun 2013 terkaiy penyelesaian  609 Segmen Batas Antar Daerah, meliputi;
Batas Daerah Antar Provinsi Berjumlah 127 Segmen Batas
Batas  Daerah Antar Kab/Kota Dalam Satu Provinsi Berjumlah 482 Segmen Batas.
Batas Daerah Antar Provinsi Menjadi Kewenangan Menteri Dalam Negeri Untuk Menyelesaikannya.
Batas Daerah Antar Kab/Kota Dalam 1 Provinsi Menjadi Kewenangan Gubernur  Untuk Menyelesaikannya
Dasar Hukum Penyelesaian Adalah Pada Uu No. 32 Tahun 2004 Pasal 198 Dan Permendagri No. 1 Tahun 2006 Pasal 20
Dari 482 Segmen Batas Mencakup Seluruh 33 Provinsi.



[1] CEO – www.wilayahperbatasan.com
[2] “Informasi Geospasial dan Sengketa Batas Daerah dalam Kegiatan Penegasan Batas Daerah pada Era Otonomi Daerah di Indonesia” hasil Penelitian Sumaryo Joyosumarto dkk-2013, mahasiswa Program Pascasarjana S3 Teknik Geomatika Fakultas Teknik UGM.
[3] Dari hasil observasi terkait perselisihan batas yang dilakukan oleh ( Harmen Batubara dkk) staff khusus Batas Antar Daerah Ditjen PUM Kemdagri periode 2006-2013.

Tidak ada komentar: