Kamis, 18 Januari 2018

Balada Dari Perbatasan, Kami Pasti Kembali



KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI
Bus air yang disebut kempang menjadi satu-satunya sarana penyeberangan dari dan menuju Pulau Merbau.
Oleh : Syahnan Rangkuti 

Hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Peribahasa ini tidak berlaku bagi pemuda di Pulau Merbau, Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Daya pikat kemilau bukan emas di negeri tetangga Malaysia lebih indah daripada hujan lumpur di negeri sendiri.

Setelah sebulan bekerja sebagai buruh bangunan di Johor Bahru, Malaysia, Solihin (36) kembali ke rumahnya di Desa Batang Meranti, Kecamatan Merbau. Selama di negara tetangga, Solihin, guru mata pelajaran Fisika yang telah mengajar 12 tahun di Madrasah Aliyah Hidayatul Rahmah di desanya, mengumpulkan penghasilan kotor Rp 7,2 juta. Kepulangannya bertepatan dengan jadwal kelahiran anaknya ke-6.

KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI
Kondisi jalan di Pulau Merbau rusak parah. Pengendara sepeda motor harus sangat hati-hati agar ban motor tidak pecah.
”Saya bekerja di Malaysia murni persoalan ekonomi. Sudah dua tahun honor saya sebagai guru tidak dibayar sejak pemerintah (Kabupaten Meranti) memutus dana hibah untuk sekolah madrasah. Saya harus membayar utang dan memberi nafkah keluarga. Anak saya banyak. Kalau karena bekerja di Malaysia saya dipecat sekolah, saya siap menerima konsekuensinya,” ujar Solihin, Rabu (17/1).
Tidak ada yang mau bekerja bertungkus lumus bermandi keringat di negeri orang. Namun, pilihan bekerja sebagai buruh di Malaysia, kata Solihin, merupakan jawaban instan guna menyambung hidup keluarganya. Menurut Solihin, menjadi buruh di Malaysia juga dijalani oleh puluhan guru dan ribuan warga Pulau Merbau bertahun-tahun.
Kepala Sekolah MA Hidayatul Rahmah, Abdul Rasyid Harahap (47), tidak menyalahkan Solihin. Apalagi, kegiatan merantau guru itu sebagian besar dilakukan di masa liburan sekolah. Sebagai kepala sekolah, Rasyid pasrah. Dia tidak mampu membayar honor guru.

”Pada awal sekolah berdiri, kami mengutip SPP (sumbangan pembinaan pendidikan) kepada murid. Namun, belakangan, SPP kami gratiskan karena Pemkab Meranti memberi bantuan kepada sekolah. Dari dana pemerintah, guru mendapat honor Rp 900.000 per bulan. Namun, sejak 2016, bantuan itu diputus, sementara SPP murid tetap gratis. Saya sempat menangis, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa,” kata Rasyid. Rasyid menambahkan, Sabtu (13/1), dia mengumpulkan wali murid agar dapat membantu dana gaji guru Rp 6,9 juta per bulan. Untuk itu, setiap murid diminta membayar SPP lagi. Nilainya Rp 67.000 per bulan. Namun, masalah itu belum tuntas, banyak wali murid keberatan.

Terlilit kemiskinan

Rasyid mengatakan, bertahan hidup di Pulau Merbau seakan tidak memiliki masa depan. Tidak ada pilihan pekerjaan yang menyejahterakan. Pekerjaan yang tersedia adalah menyadap karet di ladang. Namun, harga getah sangat rendah dan tidak mencukupi kebutuhan hidup. Apalagi sebagian besar karet rakyat sudah tua dan kurang terurus.
Pekerjaan lain adalah menjadi penebang batang bakau untuk dijual kepada tauke arang. Pekerjaan itu dilarang pemerintah karena merusak lingkungan. Namun, warga menebang secara kucing-kucingan. Pilihan lain adalah menjadi nelayan. Namun, ikan semakin sulit didapat.”Itulah kondisi riil di tempat kami. Tidak ada lapangan pekerjaan yang mencukupi hasilnya. Tidak heran jika merantau ke Malaysia jadi pilihan utama. Lebih dari 80 persen siswa saya setelah tamat merantau ke Malaysia. Yang perempuan setelah tamat, kalau bertahan di desa, pasti kawin muda. Suaminya adalah pemuda desa yang merantau ke Malaysia,” katanya.
Laki-laki dewasa yang bertahan di desa dapat dihitung jari. Kebanyakan penduduk desa adalah anak-anak yang ditinggal ayahnya merantau, pelajar, orang setengah baya dan lanjut usia.
Bekerja di negara tetangga buat perantau asal Pulau Merbau, kata Rasyid, bersifat semiilegal. Mereka masuk ke Malaysia dengan paspor pelancong atau turis bebas visa yang berlaku satu bulan. Ketika mendekati hari akhir, perantau yang bekerja keluar Malaysia. Istilahnya cuti sebentar, sebelum dapat masuk kembali.
Hanya beberapa gelintir orang yang mendapat kesempatan kerja bagus sehingga dapat mengurus izin menetap di negara tetangga. Yang perempuan bisa lebih cepat menjadi warga negara Malaysia jika dipersunting pemuda Malaysia.Nurfadilah (45), seorang pekerja perantau ulang alik, yang ditemui ketika cuti di Desa Batang Meranti, mengatakan, dirinya sudah bekerja di Malaysia selama lima tahun. Sebulan sekali dia pulang. Pekerjaannya adalah buruh potong ayam di sebuah pasar di Johor Bahru.
KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI
Populasi di perkampungan lebih banyak anak-anak, perempuan, dan lansia.

”Pihak imigresen (imigrasi) Malaysia yang sering mengecap paspor sudah kenal saya. Dia selalu membeli ayam saya. Setiap bulan saya masuk ke Malaysia, dia tidak banyak bertanya. Dia hanya mengatakan kerja yang baik-baik. Itu saja,” kata Nurfadilah dengan bahasa Melayu kental. Menurut Nurfadilah, bekal bahasa Melayu asli menjadi nilai tambah warga Pulau Merbau untuk bekerja di Malaysia. Mereka dapat berkomunikasi tanpa batas, seperti warga asli Malaysia. Tidak mengherankan jika ribuan warga Pulau Merbau dapat bekerja tanpa visa resmi di Malaysia. Penghasilan Nurfadilah mencapai 100 ringgit (Rp 330.000) per hari. Dalam sebulan penghasilan kotornya Rp 9 juta.
”Kalau pulang, saya membawa pakaian dan kasut (sepatu) bekas untuk dijual kepada tetangga. Sehari atau dua hari dagangan saya habis. Kalau balik ke Malaysia, saya membawa madu. Di sini madu Rp 100.000 sebotol, di sana laku Rp 300.000. Hasil jualan dapat menutup ongkos pulang,” ujarnya.
Pendapatan bersih Rp 3 juta-Rp 7 juta menjadi magnet bagi para pemuda Merbau merantau ke Malaysia. Penghasilan itu sebenarnya tidak terlalu besar, tetapi di Pulau Merbau terasa luar biasa. Menyadap karet milik sendiri paling besar dapat Rp 1,5 juta sebulan.

Meski ribuan warga pulang membawa ringgit, belum mampu mengubah wajah Pulau Merbau. Saat menginjakkan kaki di sana, kondisi pulau terluar yang berbatasan dengan negara tetangga itu lebih menampakkan raut wajah suram.Potret kemiskinan dengan akses transportasi buruk langsung tergambar di hadapan mata. Semakin jauh memasuki pulau, semakin terlihat rumah reyot penduduk, melewati jalan semen yang rusak parah, terkelupas pecah, dan menonjolkan besi cor berkarat. Namun, kehidupan tetap berjalan. Anak-anak tetap bermain di halaman. Mereka tidak pernah tahu bahwa ayahnya membanting tulang di negeri orang untuk dapat menghidupi keluarga.


Sumber : Kompas.id, Kala Negeri Tetangga Lebih Berkilau, 18 Januari 2018


Tidak ada komentar: