Sejak saya masih kuliah saya sudah tertarik mencari model pembangunan yang cocok untuk masyarakat pedalaman atau perbatasan. Pada tahun 60-70an negara kita memperkenalkan program transmigrasi. Secara konsep program ini tidak ada celanya dan lagi pula disamping kegagalannya yang massif; sebenarnya cukup banyak juga yang berhasil. Mereka ada dimana-mana. Kelemahan program itu, karena tidak dilaksanakan dengan sepenuh hati dan belakangan dikorupsi oleh para pengelolanya sendiri.
Pemberdayaan
Masyarakat Wilayah Perbatasan Perlu Empati
Oleh harmen batubara
Sejak saya masih
kuliah saya sudah tertarik mencari model pembangunan yang cocok untuk
masyarakat pedalaman atau perbatasan. Pada tahun 60-70an negara kita
memperkenalkan program transmigrasi. Secara konsep program ini tidak ada
celanya dan lagi pula disamping kegagalannya yang massif; sebenarnya cukup
banyak juga yang berhasil. Mereka ada dimana-mana. Kelemahan program itu,
karena tidak dilaksanakan dengan sepenuh hati dan belakangan dikorupsi oleh
para pengelolanya sendiri.
Kelemahannya itu mulai
dari penyiapan lahan, perekrutan dan pembinaannya banyak yang dikerjakan asal
saja, dan disalah gunakan dan juga warga lokal ikut cemburu. Padahal mereka
juga rakyat sederhana, tetapi tidak ada bantuan sama sekali untuk mereka.
Belakangan memang ada, tetapi program itu sudah terlanjur muspro. Korupsi
menggerogotinya.
Pada tahun 76 an,
sebagai surveyor dan peneliti pada
persawahan pasang surut (Kerja sama UGM-KemenPU) saya mendapat daerah tugas di
Ketapang, tepatnya di daerah transmigrasi sepanjang pantai Ketapang-Suka Mara,
Kalimantan Barat. Saya melihat bagaimana perkampungan trans itu begitu
menggenaskan, sawah mereka tidak bisa diapa-diapakan-pengairannya tidak
berfungsi, bibit dan makanan yang dijanjikan tidak kunjung datang. Tidak ada
jalan lain kecuali mereka harus jadi kuli serabutan untuk menyambung hidup. Ada
yang pindah entah kemana, ada juga yang terpaksa kembali pulang ke Jawa.
Ternyata penyebabnya dan yang terjadi, adalah korupsi massal yang dilakukan
oleh pengelolanya.
Malaysia sebenarnya
belajar dari pola transmigrasi ini, tetapi mereka lakukan dengan
sungguh-sungguh, dan ternyata hasilnya luar biasa. Mereka justeru mampu
mengentaskan kemiskinan warganya dengan nyata. Kini Indonesia ingin sekali
belajar dari sukses Malaysia. Apa ini tidak kebalik-balik? Tapi itulah nyatanya.
Sampai sekarang Indonesia belum menemukan cara bagaimana “memberdayakan warga
miskinnya” terutama yang ada diperbatasan. Padahal warga miskin kita itu
sebenarnya ada di kantong-kantong kehidupan itu sendiri. Di perkotaan, di
pedalaman, di pesisir dll. Memberdayakannya juga tidak susah, yang sering
terjadi itu justeru program bagus yang dikaorupsi.
Di tengah kenyataan
seperti itu. Mari kita lihat wilayah perbatasan/pedalaman. Cita-cita untuk
menjadikannya menjadi halaman depan bangsa, ternyata hal itu akal bulus semata.
Maaf agak keterlaluan, tetapi itu nyata. Sebelum era pemerintahan Jokowi-JK, bayangkan
di pemerintah Pusat itu ada 25 Kementerian/Lembaga, ada 72 pejabat setingkat
eselon satu yang mencoba ambil peran dan bagian untuk mewujudkan wilayah
perbatasan/ pedalaman/ desa tertinggal menjadi halaman depan bangsa.
Nyatanya mereka hanya
memanfaatkan dananya saja. Faktanya di perbatasan atau di pedalaman tidak ada
yang berubah sama sekali. Sekali lagi system kita sudah keburu banyak bocornya,
di grogoti oleh mereka yang dipercaya jadi pengelolanya. Dana pembangunan itu
tidak pernah sampai di wilayah perbatasan / pedalaman, tetapi habis di
hotel-hotel bintang lima di mana saja; mereka seminar, koordinasi, rapat,
sosialisasi dll untuk membicarakan cara membangunan wilayah perbatasan atau
wilayah pedalaman. Tidak lebih.
Kembangkan Kebun Rakyat
Saya kemudian teringat
pengalaman Pastor Corneliss (Kompas,19 Maret 2011). ”Tanaman karet paling cocok
dengan tanah Papua. Karet juga paling cocok untuk orang Papua,” ungkap Pastor
Cornelis JJ de Rooij. Ia meyakini, tanaman karet bisa membantu masyarakat asli
Papua dari keterbelakangan dan kemiskinan. Menurutnya ”ada empat alasan kenapa
karet cocok untuk Papua, yaitu sesuai dengan kondisi tanah Papua, tidak perlu
pupuk, tidak ada hama, dan sepanjang tahun masyarakat bisa memetik hasilnya,”
kata Pastor Kees, sapaannya.
Semua itu berawal pada
1987, saat Gereja menjalankan misi mengangkat perekonomian masyarakat pedalaman
di Kabupaten Boven Digoel dan Distrik Kepi, Kabupaten Mappi. Caranya,
menghidupkan kembali perkebunan karet. Kees, yang tertarik pada bidang
pertanian, sempat ikut kursus singkat tentang budidaya karet. Dia bertugas
memimpin misi itu.
Mengapa memilih
tanaman karet? ”Tahun 1960 Belanda menanam karet di pedalaman Papua setelah
melakukan penelitian. Hasilnya, tanah Papua memang cocok untuk karet. Mereka
kemudian, membuka berhektar-hektar perkebunan karet,” katanya. Penanaman karet
diikuti pelatihan penyadapan karet untuk penduduk asli Papua, yang dirintis
tahun 1971 oleh Pastor Joseph Nuy MSC. Mereka mendatangkan orang Jawa dan
mendirikan rumah sadap, pengolahan, serta pengasapan. Namun, tahun 1980
penyadapan karet terhenti.
”Tahun 1987-1988 kami
mendatangkan ribuan bibit pohon karet dari Salatiga (Jawa Tengah) ke Distrik
Kepi, Distrik Bade (Kabupaten Mappi), dan Distrik Getentiri (Kabupaten Boven
Digoel),” katanya.Untuk percontohan, Gereja membuka kebun karet seluas 2,5
hektar. Setelah itu, warga pedalaman mulai mengikuti dengan menanami sekitar 1
hektar lahan. Pohon karet yang ditanam warga mulai 70 batang sampai 100 batang.
Bersamaan dengan itu,
Kees yang menjalani tugas di pedalaman Distrik Mindiptana, Kabupaten Boven
Digoel, sejak tahun 1969 terus berkelana ke pedalaman memberi penyadaran,
penyuluhan, dan pelatihan budidaya karet kepada masyarakat Suku Muyu, Auyu, dan
Mandobo. ”Kami melatih mereka merawat karet. Sebagai contoh, cabang pohon besar
harus dipangkas agar sadapan lebih baik,” katanya.
Kerja keras itu
menunjukkan hasil saat karet dapat disadap tahun 2003. ”Awalnya kami bisa
mendapat 4 ton (per bulan) sadapan karet dengan harga (jualnya) Rp 3.500 per
kilogram (kg). Pada tahun-tahun berikutnya hasil menyadap karet warga semakin
banyak dan harga terus naik, Rp 4.700 per kg, lalu Rp 5.200 per kg, sampai
sekarang Rp 25.000 per kg. Produksinya pun bertambah menjadi sekitar 10 ton per
bulan,” katanya.
Perkebunan karet
rakyat rintisan Kees berkembang pesat. Di Distrik Getentiri dan Distrik Waroko,
Kabupaten Boven Digoel, misalnya, terdapat 300 hektar kebun rakyat. Di Distrik
Bade, Kabupaten Mappi, sekitar 1.000 hektar dan di Kepi sekitar 1.000 hektar.
Ratusan keluarga dari Suku Mappi, Muyu, Auyu, dan Mandobo terlibat dalam
perkebunan karet itu.”Masyarakat menikmati hasilnya. Mereka bisa menyekolahkan
anak sampai perguruan tinggi di Merauke, bahkan ada yang mampu mengangkat anak
asuh dan membiayai sekolah mereka,” katanya.
Memberdayakan Masyarakat Perbatasan-Pedalaman
Pembangunan wilayah
perbatasan atau di pedalaman, tanpa mengaitkannya dengan pertumbuhan regional, dengan pembangunan
wilayah disekitarnya adalah sesuatu yang mahal dan nyaris sia-sia. Tetapi bagaimanapun terintegrasinya pola
pembangunan itu dibuat, kalau warganya tidak mempunyai penghasilan yang bisa
membuat mereka hidup. Ya, tidak akan ada maknanya. Artinya perlu dicarikan pola
yang tepat bagi masyarakat setempat untuk bisa mereka terlibat langsung dalam
prosesnya.
Dalam konstek seperti
itulah maka gagasan Pastor Kees di Papua itu jadi sangat relevan. Kita perlu
memberikan bantuan dan kemudahan bagi
warga kita di pedalaman/ perbatasan untuk bisa mendapatkan kebun karet, bisa
kebun lada/ kebun coklat atau kebun sawit; sesuai dengan karakter warga dan
daerahnya.
Secara organisasi Indonesia
punya Kementerian Daerah Tertinggal, punya Badan Nasional Pengelola Perbatasan
( Pusat dan Daerah), dll. Tanah kita luas, tenaga praktisi kita banyak. Artinya
program seperti itu sangat logis bisa diwujudkan. Artinya pembangunan wilayah
perbatasan di pedalaman diyakini akan bisa optimal, kalau kepada warganya yang
tinggal di sana diberi kemampuan untuk bertani budidaya yang sesuai dengan
budaya masyarakatnya.
Kalau dahulu
pemerintah kita mampu mencanangkan penyediaan lahan 2 ha, rumah dan tanah siap
tanam; dan kemudian diberi bekal hidup selama enam bulan yang kita sebut
program Transmigrasi. Mengapa tidak kita coba program serupa bagi warga
pedalaman/perbatasan. Dengan jalan memberikan kebun Karet per 2 ha, bisa berupa
kebun lada,coklat, atau sawit bagi warga yang siap rawat. Di bantu pula tenaga
Penyuluh lapangannya, dibantu bibit, pupuk dan anti hamanya dan bahkan
kehidupan mereka sebelum kebunnya menghasilkan. Ingat satu keluarga yang
berhasil akan melahirkan keluarga yang berhasil pula kelak.
Memang kalau melihat
hal seperti itu dari kacamata birokrasi sekarang, artinya birokrasi yang penuh
korupsi memang ada keraguan dalam hati. Program seperti ini, hanya akan jadi
bancaan para pengelolanya. Mulai dari saat peng-anggaran, sampai dengan aparat
pengawasan di lapangan. Semua ambil bagian dan peran; hanya saja sayangnya
dalam segi yang merugikan. Yakni ikut mengkorupsinya. Tetapi kalau kita mau
membangun negara kita dengan hati. Ya kita harus mau membantu warga kita
sendiri. Dan sama sekali tidak untuk mengkorupsinya.
Tapi apakah itu
mungkin? Buat saat ini nampaknya sudah waktunya. Meski masih ada korupsinya
tetapi pengawasannya juga sudah semakin nyata. Terlebih lagi dengan adanya Dana
Desa saat ini. Harapan kita Pemda dan para perencana Dana Desa itu bisa
mengembangkan bagi tumbuhnya perkebunan Rakyat di Perbatasan. Desa kini akan menjadi
lebih kuat setelah pemerintah juga memberikan Dana Desa lewat instrumen “dana
transfer” ke desa, yang disebut dana desa (DD). Desa yang telah memiliki
otoritas menjadi lebih bertenaga karena bisa mengelola anggaran sendiri
(anggaran pendapatan dan belanja desa/APBDesa) dengan salah satu sumbernya dari
DD (di samping enam sumber lain).
Dana Desa pemerintah
yang diberikan ke Desa jumlahnya juga luar biasa. Pada 2015 total DD Rp 20,7
triliun (dibagi ke 74.093 desa); 2016 sebanyak Rp 46,9 triliun (dibagi ke
74.754 desa); dan pada 2017 ini akan disalurkan Rp 60 triliun (dibagi ke 74.910
desa). Penyerapan DD tergolong fantastis. Tahun pertama terserap 82,72 persen
dan tahun kedua 97,65 persen, di tengah situasi regulasi yang belum terlalu
mapan, sosialisasi yang dikendalai waktu, dan persebaran desa yang sedemikian
luas.
Bisa dibayangkan apa
yang terjadi ? Hasilnya luar biasa. Berbagai perubahan kini muncul minimal dalam dua tahun
pelaksanaan program DD ini, sekurangnya LIMA HAL POKOK[1] telah dirasakan di
lapangan, yakni :
Pertama, desa
berdenyut kembali dalam kegairahan pembangunan aneka ikhtiar pembangunan dan
pemberdayaan, seperti inisiasi pasar desa atau pembentukan badan usaha milik
desa (BUMDesa).
Kedua, transparansi
anggaran menjadi keniscayaan baru sebagai bagian dari akuntabilitas
penyelenggara pemerintahan desa.
Ketiga, keswadayaan
dan gotong royong terlihat kokoh karena seluruh program harus dijalankan secara
swakelola, tak boleh diberikan kepada pihak ketiga.
Keempat, ongkos
pembangunan menjadi amat murah karena dikerjakan oleh warga desa dengan
semangat keguyuban tanpa harus mengorbankan kualitas. Pada 2016 saja telah
terbangun hampir 67.000 kilometer (km) jalan, jembatan 511,9 km, MCK 37.368
unit, air bersih 16.295 unit, dan PAUD 11.926 unit. DD juga dimanfaatkan untuk
posyandu 7.524 unit, polindes 3.133 unit, dan sumur 14.034 unit. DD juga
digunakan untuk membangun tambatan perahu 1.373 unit, pasar desa 1.819 unit,
embung 686 unit, drainase 65.998 unit, irigasi 12.596 unit, penahan tanah
38.184 unit, dan ribuan BUMDesa (PPMD, 2017). Dengan menggunakan ukuran apa
pun, efisiensi DD sangat mengagumkan.
Kelima, munculnya
aneka upaya untuk memperkuat kapasitas warga dan pemberdayaan lestari dengan
basis budaya dan pengetahuan lokal. Banyak desa yang menginisiasi munculnya
sekolah desa, sekolah perempuan, Dll
Kini Presiden Joko
Widodo disamping memperkuat kemampuan Desa, presiden Jokowi merencanakan akan
melakukan peremajaan terhadap kebun rakyat. Kebun yang selama ini tidak pernah
teremajakan. Sebagai langkah awal presiden Jokowi akan meremajakan kelapa sawit
kebun Rakyat. Setelah kelapa sawit, peremajaan perkebunan rakyat juga akan
dilakukan untuk kebun KARET, KOPI, KAKAO DAN PALA. Suatu program yang belum
pernah terbayangkan sebelumnya. Presiden sudah melakukan penanaman perdana
peremajaan kebun kelapa sawit rakyat seluas 4.400 hektare di kabupaten Musi
Banyuasin, Sumatra Selatan.
Kita hanya berharap
agar BNPP, Pemda perbatasan benar-benar mau melihat peluang ini dan ikut
berbenah serta berperan serta dalam mewujutkan Perbatasan sebagai Halaman Depan
Bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar