BumDes
& BUMNas Sinergis, BerBisnis Di Desa Kian Semarak
Oleh Harmen Batubara
Sejatinya
semua pihak sudah sangat paham dan bahkan sudah akrab dengan semua permasalahan
Urbanisasi. URBANISASI[1]
sebenarnya fenomena yang jamak terjadi pada hampir seluruh kota besar di
seluruh dunia. Tak terkecuali di negara-negara maju sekalipun, kota-kota
metropolitan atau ibu kota selalu menjadi primadona tenaga kerja dari seluruh
penjuru dunia. Sebut saja Tokyo, New York, Shanghai, Hong Kong, Seoul, dan New
Delhi yang menjadi pusat bisnis pasti juga menjadi primadona bagi para tenaga
kerja. Tingkat kepadatan kota-kota tersebut juga melampaui kota-kota lainnya.
Artinya, sebenarnya urbanisasi merupakan suatu fenomena yang wajar dan bahkan
merupakan keniscayaan dari sebuah kompetisi pasar tenaga kerja. Tak dapat
dimungkiri, kota-kota besar juga membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah yang
banyak guna mendukung berbagai sektor yang diberkembangkan.
Urbanisasi
menjadi persoalan yang serius bagi Indonesia ketika hanya ada satu kota yang
mendominasi tujuan para urban. Ibu kota Jakarta seolah menjadi kota impian dari
seluruh penjuru Tanah Air. Para pencari kerja dari Sabang sampai Merauke hampir
semuanya berkiblat pada kesuksesan kerja di Jakarta. Hal itu wajar karena
Jakarta tidak hanya ibu kota, tapi juga pusat bisnis sekaligus pusat
administrasi pemerintahan dan kekuasaan politik. Tidak hanya para tenaga kerja
profesional dan terdidik yang menyerbu Kota Jakarta, sebagian besar bahkan
justru tenaga kerja tidak memiliki bekal pendidikan dan keterampilan sama
sekali.
Biro
Pusat Statistik (BPS) mencatat laju urbanisasi di Indonesia per tahun mencapai
sekitar 4%. Jika fenomena ini terus berlanjut, diperkirakan pada 2025 sekitar
68% penduduk Indonesia berada di perkotaan. Bagi Indonesia urbanisasi yang
terjadi di berbagai kota justru menimbulkan permasalahan di keduanya, baik di
kota tujuan maupun desa yang mereka tinggalkan. Secara makro hal tersebut
dikonfirmasi data BPS. Tingkat kemiskinan di perdesaan tetap jauh lebih tinggi
(13,96%) daripada di perkotaan (7,73%). Sebaliknya, urbanisasi hanya
menciptakan beban perkotaan jauh lebih tinggi (0,42) jika dibandingkan dengan
perdesaan (0,33). Artinya, dua indikator kesejahteraan makro tersebut
menunjukkan Urbanisasi memang membuat permasalahan.
Urbanisasi Karena Minimnya Peluang di Desa
Selama
ini urbanisasi selalu distigmakan bahwa orang akan cenderung mencari kehidupan
di kota karena upah di perdesaan sangat rendah. Kini kondisi di perdesaan,
terutama di Jawa, justru terbalik. Sebagai dampak dari masifnya urbanisasi
tenaga kerja muda, terdidik, dan terampil ke kota, tenaga yang tersisa di
perdesaan tinggal tenaga kerja berusia tua. Konsekuensinya hukum permintaan dan
penawaran tenaga kerja terjadi, upah buruh tani melejit. Di beberapa daerah
pertanian di Jawa Tengah dan Jawa Timur upah buruh tani bisa mencapai Rp80
ribu-Rp100 ribu hari. Bahkan, jika musim tanam maupun musim panen berbarengan,
akan sangat sulit mendapatkan tenaga kerja. Sementara harga jual komoditas
pertanian tidak mengalami kenaikan yang berarti. Dengan demikian, pemilik lahan
yang sempit, semakin tidak memiliki insentif ekonomi untuk berusaha tani.
Strategi
umum dan baku guna meminimalisasi terus merebaknya arus urbanisasi tentu dengan
menambah pusat pertumbuhan ekonomi di pedesaan yang diharapkan akan mampu menarik
sumber daya yang terdidik dan terampil dari kota atau mereka diharapkan tidak lagi
meninggalkan desa. Komitmen pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko
Widodo dan Wapres Jusuf Kalla untuk mengangkat masyarakat dari lilitan
kemiskinan tak diragukan lagi. Setidaknya itu dibuktikan dengan sembilan agenda
prioritas yang lebih dikenal program Nawacita[2].
Program Nawacita itu digagas untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju
Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan
berkepribadian dalam kebudayaan. Program dana desa yang dilaksanakan sejak
tahun 2015 merupakan salah satu implementasi dari program Nawacita, yakni
membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa
dalam kerangka negara kesatuan. Sejak itu setiap tahun pemerintah mengucurkan
DANA DESA (DD) mencapai puluhan triliun. Masyarakat dan pemerintah desa
sebelumnya tak pernah bermimpi untuk mengelola dana pembangunan ratusan juta
bahkan miliaran rupiah.
Beberapa
tahun sebelummya Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) sangat kecil,
sehingga tidak banyak yang bisa diperbuat untuk mengembangkan desanya. Karena
itu kehadiran dana desa telah mengubah wajah desa. Kini desa mulai menggeliat,
terutama dengan dibangunnya infrastruktur dasar, seperti pemenuhan kebutuhan
air bersih baik di perkampungan maupun di perkotaan, pelayanan listrik dan program
peningkatan jalan-jalan di kecamatan dan perkampungan.
Dana
desa tersebut juga telah mampu menggerakkan perekonomian desa, karena selain
untuk pembangunan infrastruktur desa, dana yang bersumber dari APBN itu juga
diprioritaskan untuk membuka Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) atau menambah
modal kerja. BUMDes telah terbukti mampu menggerakkan perekonomian masyarakat
desa. Sektor usaha yang dikelola BUMDes mulai menunjukkan perkembangan yang
cukup menggembirakan, hal seperti itu
bisa kita lihat dimana-mana dan tak terkecuali di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Kini Berbisnis Di Desa Kian Semarak
Tahun
2017 total alokasi dana desa yang dikucurkan untuk desa di seluruh Indonesia
mencapai Rp60 triliun, mengalami kenaikan tiga kali lipat dari tahun anggaran
2015 dan mengalami kenaikan 28 persen dari dana desa tahun 2016 yang sebesar
Rp49,96 triliun. Khusus untuk Provinsi NTB mendapatkan dana desa sebesar Rp860 miliar lebih tahun 2017 untuk 995 desa,
meningkat dari tahun 2016 sebesar Rp677 miliar lebih. Besarnya dana desa untuk
masing-masing desa bervariasi antara Rp800 juta hingga Rp1,1 miliar. Ini
tergantung dari luas wilayah, jumlah penduduk dan tipologi desa.Kepala Dinas
Pemberdayaan Masyarakat, Pemerintahan Desa, Kependudukan dan Pencatatan Sipil
(PMPD-Dukcapil) NTB H Rusman menilai program dana desa tersebut merupakan
strategi yang paling tepat untuk menggerakkan perekonomian masyarakat
desa."Kita berharap semua dana itu berputar di desa dan untuk
kebermanfaatan masyarakat desa. Strateginya kita harus sepakat BUMDes menjadi
solusi alternatif, karena BUMDes bisa membuka berbagai unit usaha mulai dari
unit usaha jasa, pertokoan hingga simpan pinjam. Jadi tergantung dari potensi
desa," katanya waktu itu (20 Maret 2017)
Bahkan,
kata dia, BUMDes juga bisa mengelola objek wisata, dengan sedikit sentuhan,
maka akan memberikan keuntungan cukup besar bagi desa. Rusman berharap ke depan
BUMDes bisa menjadi "holding company" (perusahaan induk) di desa dan
semua diharapkan kepada seluruh masyarakat jika membeli kebutuhan mulai dari
yang terkecil hingga besar memanfaatkan BUMDes."Ini proses yang harus
dikawal bersama. Kini saya berupaya 'membakar' semangat masyarakat desa agar
semakin bersemangat dalam mengembangkan dan memajukan usaha BUMDes," kata
Rusman. Ia mengakui saat ini sejumlah BUMDes di NTB mulai menapaki kemajuan.
Sebagai contoh BUMDes Lentera atau Lendang Nangka Sejahtera di Desa Lendang
Nangka, Kecamatan Masbagik, Kabupaten Lombok Timur.
BUMDes
Lentera mengelola sejumlah unit usaha, antara lain perusahaan air minum (PAM)
Desa, mengolah sampah, pertokoan, jasa penyewaan alat dan unit pengelolaan
tempat rekreasi atau wisata. Dalam pengelolaan unit usaha PAM Desa (PAMDes),
BUMDes Lentera berhasil mengukir prestasi tingkat nasional. PAMDes Asih Tigasa,
yang merpakan unit usaha di bawah BUMDes Lentera yang mengelola usaha air
minum. BUMDes Lentera meraih predikat BUMDes terbaik nasional untuk kategori
inovatif, karena dinilai berhasil mengelola perusahaan air minum dengan tarif
relatif kecil, yakni hanya Rp200 untuk 1 meter kubik air. Menurut Rusman, BUMDes
berprestasi di NTB tidak hanya BUMDes Lentera, tetapi juga BUMDes Calabai di
Kabupaten Dompu yang berhasil mengelola unit usaha pasar desa, sehingga
berkembang cukup baik. Selain itu juga unit usaha pertokoan dan menyalurkan
pupuk kepada para petani.
"Saya
menilai unit usaha pupuk ini cukup potensial, karena BUMDes bisa menyetok dan
melayani para petani di desanya, sehingga mereka tidak mengalami kesulitan
memperoleh sarana produksi (saprodi) pada saat musim tanam," kata Rusman.
Untuk unit usaha pariwisata, Rusman mencontohkan objek wisata di Bilabante,
Kabupaten Lombok Tengah, yang dikelola oleh BUMDes dan cukup berhasil. Di objek
wisata itu pengunjung bisa bersepeda mengelilingi areal persawahan, kemudian
masuk kampung untuk membeli kerajinan dan di lokasi itu tersedia homestay
tempat istirahat. Untuk menikmati objek wisata ini wisatawan harus membayar
antara Rp150.000 hingga Rp225.000. "Dana tersebut masuk ke desa. Karena
itu kalau tempat wisata dikelola dengan baik maka akan menghasilkan keuntungan
untuk BUMDes dan masyarakat sekitarnya," kata Rusman.
Impian
Pemerintah Provinsi NTB untuk menjadikan BUMDes sebagai "holding
company" bak gayung bersambut dengan kebijakan pemerintah pusat melalui
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (KemenDes PDTT)
yang telah membentuk holding company BUMDes skala nasional pada Juni 2017.
Menteri
Desa Eko Putro Sandjojo mengatakan pembentukan holding BUMDes ini untuk
mendorong pengembangan ekonomi desa secara merata. "BUMDes ini, supaya
bisa berkembang, maka perlu adanya “holding” di tingkat nasional. Supaya bisa
mendapatkan pendampingan yang sama. Karena BUMDes yang sukses punya resources
(sumber daya)," ujarnya waktu itu. BUMDes merupakan badan usaha di mana
seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki desa melalui penyertaan secara
langsung dari kekayaan desa yang dipisahkan. Undang-undang Nomor 6 tahun 2014
tentang desa menyebutkan fungsi BUMDes adalah mengelola aset, jasa pelayanan
maupun usaha lain untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa.
Pemerintah pusat menyarankan kepada pemerintah tingkat desa agar tidak hanya
menggunakan dana desa yang dikucurkan langsung dari pusat untuk pembangunan
infrastruktur, tapi juga untuk membentuk dan mengembangkan BUMDes.
Khusus
untuk BUMDes, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
(Mendes PDTT) Eko Putro Sandjojo menjelaskan, BUMDes sejatinya sudah ada
sebelum pemerintahan Joko Widodo. Tapi dulu jumlahnya baru sekitar 2.000-an dan
sekarang menjadi 18.000 BUMDes dengan segala dorongan yang dilakukan
pemerintah. Namun tidak semua BUMDes telah terhasil dengan baik. Dari 18
ribu-an BUMDes hanya sekitar 4 ribuan yang benar-benar aktif dan membukukan
keuntungan puluhan juta sampai yang di atas Rp 10 miliar. “Banyak desa yang
tidak mempunyai sumber daya manusia yang mampu mengelola BUMDes sehingga banyak
yang belum berjalan dengan baik,” kata Eko. Untuk mengatasi persoalan tersebut
pemerintah pun lanjutnya membentuk PT. Mitra BUMDes Nusantara (MBN) yang
bertujuan menjadi mitra pendamping BUMDes di desa-desa. MBN sendiri dimiliki
oleh beberapa perusahaan BUMN yang mempunyai produk yang di jual ke desa
seperti Pertamina, Pupuk Indonesia, Bulog, Danareksa, RNI, Perhutani dan
sebagainya.
MBN
sedianya akan membentuk PT. Mitra BUMDes desa (MBD) di setiap desa. MBD
kepemilikannya adalah 51% milik MBN. Kemudian BUMDes dengan Rp 49 juta dapat
memiliki 49% saham MBD. Eko menuturkan, selain untuk pendampingan di semua
desa, keberadaan MBN juga untuk mencegah terjadinya moral hazard karena negara
melalui MBN memiliki saham mayoritas. Selanjutnya, ada tujuan afirmasi
nantinya, karena semua produk subsidi yang diproduksi oleh perusahaan-perushaan
BUMN akan disalurkan ke desa-desa melalui MBD. “Sehingga MBD mempunyai bisnis
utama yang dapat dijadikan bread and butter nya untuk survive dan mengembangkan
usaha lainnya,” lanjutnya.
Eko
mengharapkan nantinya MBD bisa berkembang membantu koperasi-koperasi, seperti
koperasi distribusi, koperasi angkutan, koperasi paska panen dan sebagainya.
MBD juga dapat dimanfaatkan untuk menunjang program-program lain seperti
prukades, pengelolaan embung, pengelolaan sarana olah raga dan pengelolaan
sarana lainnya yang dibutuhkan oleh desa. Menurutnya, dengan fungsi-fungsi
tersebut, tidak sulit bagi setiap MBD membukukan keuntungam Rp 100 juta per
bulan atau Rp 1.2 miliar pertahun. Artinya, jika MBN berhasil membentuk MBD di
75 ribu desa di Indonesia, maka MBN akan membukukan keuntungan bersih secara
konsolidasi sebesar Rp 75 trilun.“Sampai saat ini belum ada BUMN dan perusahaan
swasta nasional yang membukukan keuntungan sebesar itu. Ini membuktikan karena
Indonesia negara besar, usaha desa kalau dikonsolidasikan bisa besar juga,”
jelas Eko.
Sekiranya
nanti MBN menghasulkan net profit Rp 75 triliun, jalan untuk go public bisa
lebih lebar. “Kalau PER-nya (Price to Earning Ratio) 20 maka kapitalisasi
marketnya akan sekitar Rp 1500 triliun. Jadi desa juga bisa memiliki perusahaan
kelas dunia,” imbuhnya Dengan kapitalisasi market Rp 1500 triliun pun, MBN bisa
melakukan right issue (penerbitan saham kembali) sampai Rp 750 triliun. Hasil
right issue tersebut bisa dikembalikan ke desa sebagai tambahan dana desa.
Artinya, jika sampai senilai Rp 750 triliun, itu berarti 12 kali lipat dari
dana desa tahun ini yang dianggarkan sebesar Rp 60 triliun.
[1] Enny
Sri Hartati. Direktur Institute for Development of Economics and Finance
(Indef) dalam tulisannya pada-
http://www.mediaindonesia.com/news/read/111195/jurus-mengikis-urbanisasi-permanen/2017-07-03
[2] https://www.wartaekonomi.co.id/read134601/membangun-bumdes-menuju-holding-company-usaha-desa.html