Kedaulatan itu lahir dari pertarungan memperebutkan pengaruh dan kekuasaan. Pertarungan itu berupa perang selama 30 tahun (1618-1648) antara kaum Protestan dan kaum Katolik Roma berakhir di meja perundingan. Sekilas[1], perang ini adalah perang keyakinan. Namun, sesungguhnya perang di Eropa tersebut adalah perang tentang perebutan pengaruh dan kekuasaan. Lantaran itulah, perang ini melibatkan banyak negara. Sebutlah Swedia, Belanda, Jerman, Denmark, dan Italia. Perang yang menelan banyak korban tersebut diakhiri dengan perundingan damai Osnabruck dan Munster di Provinsi Westphalia, Jerman. Perjanjian damai ini dikenal dengan nama Perjanjian Westphalia.
d
Oleh harmen batubara
Kedaulatan itu
lahir dari pertarungan memperebutkan pengaruh dan kekuasaan. Pertarungan itu
berupa perang selama 30 tahun (1618-1648) antara kaum Protestan dan kaum
Katolik Roma berakhir di meja perundingan. Sekilas[1], perang ini adalah perang
keyakinan. Namun, sesungguhnya perang di Eropa tersebut adalah perang tentang
perebutan pengaruh dan kekuasaan. Lantaran itulah, perang ini melibatkan banyak
negara. Sebutlah Swedia, Belanda, Jerman, Denmark, dan Italia. Perang yang
menelan banyak korban tersebut diakhiri dengan perundingan damai Osnabruck dan
Munster di Provinsi Westphalia, Jerman. Perjanjian damai ini dikenal dengan
nama Perjanjian Westphalia.
Salah satu isi perjanjian Westphalia, yang jadi
tonggak sejarah dan praktik hubungan dan hukum internasional, ialah adanya
pengakuan kedaulatan negara tanpa campur tangan negara lain. Ini yang kita
sebut SOVEREIGNTY OF STATE. Konsep kedaulatan negara inilah yang mengubah
konstelasi politik global dan meneguhkan prinsip kesederajatan bangsa-bangsa
yang ada di dunia ini.
Kedaulatan negara memiliki dua unsur utama: (1)
pemegang kedaulatan (negara) secara mutlak memiliki otoritas dan (2) kedaulatan
negara ditandai dengan adanya teritori, di mana otoritas mutlak itu dijalankan
secara penuh. Kedua unsur ini acapkali dipostulatkan secara hukum dengan
istilah supreme authority within a territory. Bagi filosof RP Wolff, otoritas
adalah ”The right to command and correlatively the right to be obeyed.”
Jabaran dari perjanjian damai Westphalia mengenai
kedaulatan negara ini diabadikan dalam Piagam PBB, khususnya dalam Pasal 2
(4), yang jelas menegaskan, semua anggota PBB (negara) dalam hubungan
internasional mereka menjauhkan diri dari tindakan mengancam atau menggunakan
kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara lain atau
dengan cara apa pun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan PBB. Kedaulatan
suatu negara terkandung di dalamnya adalah otoritas penuh menjalankan hukum
yang dibuat oleh negara tersebut. Membuat dan menjalankan hukum dalam wilayah
dan teritori negara adalah kebebasan mutlak negara tersebut dan tidak boleh
dicampuri negara lain.
Baca Juga : Membaca Strategi Perbatasan Jokowi
Dalam hal hubungan Internasional, masalah teritorial
merupakan salah satu penyebab klasik munculnya konflik antar negara dan menjadi
ancaman abadi bagi perdamaian serta keamanan internasional Ketidakjelasan batas
teritorial, salah satunya, menjadi faktor laten penyebab munculnya sengketa
perbatasan yang akan mengganggu stabilitas hubungan antarnegara. Hal seperti
itu sudah bukan lagi rahasia umum, boleh dikatakan 85% Negara di Dunia ini
mempunyai permasalahan perbatasan dengan Negara tetangganya. Apalagi kalau hal
itu kita lihat dibelahan Asia, hampir semua Negara punya masalah perbatasan
dengan Negara tetangganya. Sebut saja nama negarnya, misalnya China atu
Tiongkok, Negara ini punya permasalahan batas dengan India, dengan Jepang,
dengan Korea Selatan, dengan Malaysia, dengan Brunai, dengan Vietnam, dengan
Filipina. Indonesia sendiri mempunyai masalah perbatasan dengan sepuluh (10)
Negara tetangganya.
Hal lain yang menentukan bagaimana bangsa lain
melihat dan menaruh respek terhadap kedaulatan perbatasan suatu Negara, adalah
dengan melihat kemampuan Negara itu dalam hal pengelolaan Ekonomi negaranya.
Sulit untuk menghargai kedaulatan sebuah bangsa, kalau ternyata Negara itu
tidak mempunyai kedaulatan dalam mengelola ekonomi negaranya. Seperti halnya
dalam penegasan perbatasan, ternyata Indonesia juga mempunyai masalah serius
dalam mengelola perekonomiannya. Minimal selama pemerintahan Orde Lama sampai
jatuhnya Orde Baru.
Pada Era Reformasi pertumbuhan
ekonomi Indonesia mencapai -13% (minus 13%). Namun, perlahan tapi pasti ekonomi
Indonesia semakin menunjukan pemulihan. Pada tahun 1999 ekonomi Indonesia naik
menjadi 0,7%, jauh dari angka sebelumnya -13%. Ini sebenarnya belum maksimal
dikarenakan investor masih belum percaya kepada ekonomi Indonesia kala itu,
ditambah krisis politik Timor Timur pada 1999 yang menyebabkan lepasnya Timor
Timur Indonesia. Inflasi Indonesia yang sebelumnya menembus angka 75%, akibat
dari depresiasi mata uang dan krisis ekonomi mampu ditekan hingga menjadi 14%
pada 1999. Hal ini tidak terlepas dari
bantuan keuangan oleh lembaga perbankan dunia seperti IMF yang nilanya mencapai
40 Milliar $ AS sehingga mampu membantu
Indonesia untuk mengatasi krisis. Tercatat pada tahun 1998 hutang indonesia
mencapai 70% dari total PDB.
Kemudian ekonomi mulai
stabil sejak tahun 2000an. Bahkan sejak 2000 – 2014 ekonomi Indonesia stabil
dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi 5%. Dari sisi inflasi, inflasi paling
tinggi hanya pada tahun 2000 yang mencapai 20%. Dan kembali tinggi pada 2005,
2008, dan 2010 yang disebabkan oleh kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak).
Namun pada tahun 2012 hingga 2015 inflasi stabil bahkan dibawah 11% dan kini
jauh lebih kecil lagi dibawah 4%.
Dari sisi konstribusi PDB
sektor pertanian, industri, dan jasa masih mendominasi. Bisa dituliskan ekonomi
Indonesia setelah krisis yaitu sejak 2000 – 2014 berada dalam keadaan stabil.
Dan pemerintah mampu mengatasi krisis dan menciptakan kondisi ekonomi dan
politik yang stabil. Bahkan Indonesia berhasil menyelenggarakan pemilu pertama
yaitu pada 2004 dengan sukses yang secara tidak langsung membuktikan kepada
para investor bahwa Indonesia masih merupakan negara yang aman dalam hal
ekonomi maupun politik. Walaupun hutang pemerintah Indonesia meningkat. Artinya
secara ekonomi Negara kita masih jauh dari Negara-negara tetangga kita. Tetapi
satu hal kita percaya Negara kita secara ekonomi sudah jauh lebih bagus dan
sudah berada pada jalur yang benar.
Hal lain yang membuat
orang lain menaruh respek pada perbatasan Negara adalah dilihat dari segi Pertahanan.
Seperti apa Negara itu menjaga kedaulatan pertahanannya. Karena itu saya ingin
memperlihatkan sisi pertahanan kita sebagai sebuah Negara kepulauan. Pada hari kebangkitan Nasional di tahun 2015
Indonesia memperlihatkan pada dunia ada 40an kapal illegal pencuri ikan yang
ditenggelamkan. Sebuah pengalaman nyata memperlihatkan bahwa ke depan Indonesia
akan bertekad untuk mengamankan wilayah perairannya dari illegal apapun juga.
Meski harus diakui, apa yang dilakukan itu barulah aksi yang sesungguhnya
tergolong kecil, bila dikaitkan dengan besarnya jumlah illegal fishing yang
menjarah kekayaan laut Nusantara yang jumlahnya lebih dari 7000 kapal. Tetapi
dengan hal itu setidaknya Indonesia telah berani mencanangkan dan bertekad
secara sungguh-sungguh untuk menjalankan amanat UU nya untuk melindungi segenap
bangsa di seluruh wilayah tumpah darahnya.
Sejatinya UU telah
mengamanatkan bahwa Negara wajib melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia. Negara yang berada di pertemuan dua samudra
(Hindia dan Fasifik) dan dua benua ( Asia dan Australia). Strategi pertahanan
NKRI minimal, harus mampu memperhatikan realita geografi; bahwa (i) wilayah
negeri ini terdiri dari rangkaian pulau besar dan kecil, dengan luas perairan 5
juta km², termasuk ZEEI serta daratan 2 juta km² (ii) ada tiga perbatasan
darat, dengan seluruh rangkaian pulau dan kepulauan negeri yang terbuka dan
berbatasan dengan sepuluh negara yang memiliki FIRE POWER yang berbeda beda,
(iii) negeri dengan kewajiban menyiapkan 3 ALKI bagi dunia. Strategi pertahanan
NKRI haruslah strategi pertahanan yang mampu manangkal, menindak dan
memulihkan.
Baca Pula : Tapal Batas Melihat Profil Perbatasan
Kini kita sadar bahwa TNI
AL kita harus kuat. Tetapi bagaimana menjadikan AL kuat kalau keadaan ekonomi
nasionalnya masih dalam perjuangan? Di satu sisi kita memang harus sadar bahwa
negara kita itu penuh hutang, dan pertahanan negara kita itu hanya dilakukan
dengan alut sista bekas dan dengan tentara yang digaji ala kadarnya. Kalau kita
bisa “nyadar” dan mau menyadari sebagai bangsa, barulah kita sadar alangkah
“lembeknya” negeri ini yang masih memberi pengampunan bagi para koruptor yang
merusak sendi-sendi kehidupan bernegara. Karen Mingst (Mingst,199:120)
mengatakan, geografi bukan sekedar penghias peta, dan konfirmasi fisik bukan
sekedar data. Memiliki letak geografi yang strategis tidak cukup menjadikan
suatu negara berpengaruh, tapi yang lebih utama lagi adalah bagaimana negara
itu memanfaatkan elemen geografic ini secara efektif dalam mencapai kepentingan
nasionalnya, adalah yang terpenting. Jika tidak, ini hanya akan menjadi sebatas
fakta saja.
Harapannya, Indonesia
dapat memanfaatkan potensi maritimnya untuk menggerakkan perekonomian nasional,
sehingga dapat meningkatkan pengaruh Indonesia di tingkat internasional. Namun,
pertumbuhan ekonomi akan selalu sejalan
dengan peningkatan kekuatan Angkatan Lautnya. Sangatlah mustahil mengembangkan
perekonomian maritim tanpa adanya kemampuan untuk mengamankan wilayah
perairannya, jalur perdagangannya, rangkaian pelabuhannya serta semua kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya. Indonesia juga perlu mengawasi perairannya
dan menyelesaikan berbagai persoalan penegasan perbatasannya serta memastikan
tegaknya hokum di wilayahnya.
Secara sederhana sebenarnya Indonesia sudah
mempunyai kemampuan untuk mempersenjatai negaranya sendiri. Indonesia telah
memulai industri pertahanannya sejak tahun 1958. Hanya saja para pimpinan
kitalah yang kurang menghargai kemampuan bangsanya sendiri. Lihatlah negara
India, dan perhatikan pula China, kemampuan dua bangsa itu tidak ada yang istimewa,
tetapi mereka mampu membangun negaranya dengan cara mereka sendiri. Kemudian
lihat kita di Indonesia, semua kita punya, tetapi Negaranya sibuk dengan semua
urusan yang bukan menjadi urusan demi kejayaan bangsanya, masih disibukkan
dengan urusan demi golongan dan urusan demi partai. Dalam kondisi seperti itulah
kita menjaga Marwah Perbatasan kita. Entah seperti apa bangsa lain melihat
kita, biarlah itu mereka saja yang tahu. Harapan kita, semoga bangsa kita bisa
sadar dan kukuh untuk mau memajukan bangsa dan Negara sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar