Diplomasi Indonesia Di Tahun
2019
Oleh : B Josie Susilo Hardianto[1]
Setiap pagi, di tengah dunia
yang diwarnai banyak gejolak dan tarikan kepentingan, Menteri Luar Negeri Retno
LP Marsudi tetap menatap dunia dengan optimis. Dalam wawancara khusus dengan
Kompas di Jakarta, Jumat (21/12/2018), ia yakin, konsistensi diplomasi Indonesia
akan mampu menjawabnya.
Tanya (T): Situasi dunia terus
berubah, ada kecenderungan beberapa negara besar memilih sikap unilateral.
Bagaimana Anda melihatnya?
Jawab (J): Semua orang mulai
paham, dunia saat ini penuh tantangan, setiap hari ada saja kejutan. Terus ada
kecenderungan me first policy, saya duluan. Dari sisi Indonesia memandang, kita
harus konsisten. Konsisten dalam arti begini. Untuk menata satu dunia yang
membuahkan keuntungan bagi semua pihak, tidak mungkin dikelola dengan me first
policy. Karena kalau ‘saya duluan’, keuntungan itu tidak bisa dibagi secara
adil, pasti. Kalau merata baik, tetapi itu tidak mungkin. Setidaknya ada asas
keadilan, karena kalau me first policy, berarti saya duluan, yang lain
belakangan.
Nah, oleh karena itu, kita yakin
bahwa tata kelola dunia memang harus berdasarkan multilateral, di mana semua
negara, semua bangsa memiliki hak untuk bersama-sama memikirkan tata dunia
sebaiknya. Dan setelah kesepakatannya ada, menjadi tugas semua negara untuk
menghormati apa yang sudah disepakati.
Tugas kita bersama-sama
mencari teman sebanyak mungkin agar tata kelola multilateralisme ini dapat
ditegakkan. Karena sekali lagi, saat kita bicara unilateralisme, me first
policy, ukurannya bukan ukuran yang disepakati bersama. Di situlah ada
kecenderungan yang besar akan memaksa yang kecil.
Di dalam sistem multilateral,
ada mekanisme saling membantu, dalam rangka menjadikan dunia ini sebagai tempat
di mana negara-negara di dalamnya dapat hidup lebih baik secara bersama-sama.
Kalau di Perserikatan
Bangsa-Bangsa, ada yang besar, ada yang kecil, tetapi yang kecil ini bisa
berkelompok, berkelompok suaranya dijadikan satu menjadi yang lebih besar,
untuk mengimbangi suara yang besar. Tetapi kalau kemudian, one on one dan yang
diberlakukan me first policy, ya jelas yang akan lebih memetik keuntungan
adalah pihak yang besar.
Oleh karena itu, kita mencoba
mencari teman sebanyak mungkin, sekali lagi, agar tata kelola dunia ini tetap
memperhatikan multilateralisme, agar mementingkan kepentingan semua pihak, yang
besar membantu yang lemah. Karena kalau yang lemah terus menjadi lemah kita
yakini satu saat akan terjadi instabilitas, akan mempengaruhi instabilitas
dunia.
Misalnya, kalau kita
bertetangga di dalam satu wilayah, gapnya terlalu besar, ada negara yang kaya
sekali ada negara yang miskin sekali dengan angka pengangguran tinggi sekali,
dan kita tidak mempedulikan negara itu, akhirnya dengan angka pengangguran
tinggi ini bisa terjadi frustrasi, dan bila muncul situasi tidak ada harapan
akan banyak sekali dampaknya, bisa menjadi migrasi yang irregular, atau bahkan
terjadi konfllik. Oleh karena itu, kalau di dalam sistem multilateral, ada
mekanisme saling membantu, dalam rangka menjadikan dunia ini sebagai tempat di
mana negara-negara di dalamnya dapat hidup lebih baik secara bersama-sama.
(T): Dalam situasi seperti
itu, bagaimana Anda melihat peran asosiasi regional?
(J): Saya kira fungsi
organisasi regional menjadi lebih penting artinya. Kalau ASEAN sudah jelas, 50
tahun kemarin ASEAN telah memperkuat diri menjadi satu organisasi kawasan, 50
tahun ke depan ASEAN harus bisa juga memberikan kontribusi kepada dunia.
Di dalam keanggotaan Indonesia
di Dewan Keamanan PBB, salah satu prioritas adalah bagaimana memperkuat
organisasi-organisasi regional ini. Kita tahu, kalau ada krisis di dalam satu
kawasan, kalau di situ ada organisasi yang kuat yang fungsional, yang berfungsi
dengan baik, organisasi itu akan dapat mengelolanya sebelum masalah itu melebar
ke mana-mana. Oleh karena itu, kita memandang pentingnya organisasi-organisasi
regional itu kuat untuk mendukung sistem yang ada di PBB.
Dalam konteks inilah maka
Indonesia di dalam KTT ASEAN bulan November lalu, kita bahas mengenai Rakhine,
ini menggunakan asumsi bahwa organisasi kawasan harus memiliki peran dalam
menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan, Indonesia kemudian mengusulkan
keterlibatan AHA Centre di Negara Bagian Rakhine. Karena selama ini
keterlibatan AHA Centre masih sangat terbatas, kita tahu ada defisit
kepercayaan antara Myanmar dan dunia internasional yang karena persoalan itu
justru tidak membantu terjadinya pemulihan segera di Rakhine yang memungkinkan
para repatrian kembali. Kita selalu mengatakan, tiga syarat repatriasi, adalah
sukarela, aman, dan bermartabat. Oleh karena itu Presiden mengatakan, mari kita
coba bangun kepercayaan di antara ASEAN, kita satu keluarga, just trust your
family.
Kita bersama Myanmar membuka
pintu bagi AHA Centre, dan Sekretariat ASEAN untuk membuat penilaian dan
kemudian membangun kerja sama dengan dunia internasional dan lembaga-lembaga
PBB.
(T): Anda optimistis dengan
gerakan regional itu?
(J): Saya yakin, untuk ASEAN
saya masih memiliki keyakinan yang tinggi walaupun tantangannya sangat-sangat
berat. Konsekuensi kita menjadi anggota satu organisasi adalah menyeimbangkan
antara kepentingan kita dengan kontribusi kita pada organisasi itu.
Keseimbangan antara memperjuangkan kepentingan nasional dengan memikirkan
lingkungan kita yang lebih luas, berkontribusi pada organisasi regional, sangat
penting.
Tidak ada manfaatnya,
katakanlah, Indonesia stabil, politik kita stabil, ekonomi kita bagus, tetapi
ada sengketa di kawasan. Menjaga rumah, berarti menjaga rumah kita, menjaga
lingkungan kita. Tantangannya berat, tetapi kita harus bisa.
Saya kira tidak ada opsi lain
bagi ASEAN untuk tetap menjadikan ASEAN ini duduk di ‘kursi pengemudi” untuk
mengelola Asia Tenggara untuk tetap menjadi kawasan yang damai dan stabil. 50
tahun telah membuktikan dengan cara ASEAN, ASEAN mampu untuk menjadikan Asia
Tenggara kawasan yang stabil dan damai dengan pertumbuhan ekonomi di atas
rata-rata dunia. Saya kira tidak ada opsi bagi ASEAN untuk memperkuat ikatan di
antara ASEAN.
(T): Untuk menjadi pembangun
jembatan, apa yang bisa diandalkan Indonesia?
(J): Saya bicara dulu di
tingkat ASEAN. Di ASEAN jelas sekali bahwa faktanya kita adalah negara paling
besar, kita harus memberikan kontribusi juga yang besar. Bagusnya Indonesia,
saya harus akui, kita tidak pernah menggunakan kebesaran kita ini untuk
mengambil posisi me first policy pada saat kita bicara dengan ASEAN. Ikatan
ASEAN itu yang jadi pertimbangan.
Ini jangan ditabrakkan dengan
kepentingan nasional. Perjuangan kita untuk kepentingan nasional tetap nomor
satu, tetapi bukan berarti memperjuangkan kepentingan nasional itu kemudian
mengorbankan semuanya. Saya kira, itu tidak akan dilakukan juga oleh banyak
negara.
Saat ASEAN dalam masalah, kita
berusaha untuk menyatukan kembali ASEAN. Ini kelihatan sekali dalam
perjalanannya, kita berusaha tetap menjaga ASEAN sebagai satu organisasi yang
solid. Di tengah segala tantangan yang dihadapi, ASEAN sampai sekarang solid.
Kalau kita lihat, dunia menghargai
Indonesia karena konsistensi politik luar negeri Indonesia yang bermartabat.
Kita tahu kita negara yang besar. Kita tahu kita memiliki aset. Aset itu,
antara lain, menjadi salah satu negara demokrasi terbesar, sebagai negara
dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, ekonomi kita juga bagus, dan
sebagainya. Aset itu kita kapitalisasi untuk memberikan kontribusi bagi dunia.
Jadi, dunia tahu di tengah
tantangan yang membaurkan banyak nilai yang membingungkan semuanya, mereka
melihat bahwa politik luar negeri Indonesia konsisten, terus bersuara, dan
memperjuangkan nilai-nilai universal. Di situlah kita dihormati oleh
negara-negara lain. Saat terjadi krisis kemanusiaan, kita selalu berada di
barisan paling depan, misalnya saat terjadi bencana alam, seperti saat terjadi
bencana alam di Fiji, Vanuatu, kita ada di sana.
Indonesia juga terlibat dalam
upaya kemanusiaan di Rakhine, Palestina, dan Afghanistan. Saat terjadi konflik,
kita selalu berperan untuk selalu menjembatani aneka perbedaan. Konsistensi Indonesia
ini, rekam jejak diplomasi Indonesia membuat negara-negara di dunia menghormati
Indonesia, dan Indonesia bukan bangsa yang mudah ditekan oleh pihak lain.
Jadi, saat saya ditanya,
apakah menerima tekanan? Menerima ya, tetapi apakah posisi kita akan berubah?
Saya sampaikan, posisi politik luar negeri Indonesia akan ditentukan oleh
kepentingan nasional Indonesia. Itu yang membuat kita enak. Bebas aktif, kita
mainkan di situ. Ini kepentingan kita, ini yang akan kita tuju. Alhamdulillah,
kita kokoh, tegak berdiri sebagai bangsa Indonesia yang bermartabat.
(T): Soal konsep Indo-Pasifik,
apa yang Indonesia tawarkan?
(J): Dengan rekam jejak yang
baik dari Indonesia dan rekam jejak yang baik dari ASEAN, kita berusaha menjual
satu konsep, di mana satu isu itu tidak hanya didekati dari eksklusivisme.
Bahwa inclusiveness akan selalu lebih baik daripada exclusiveness.
Oleh karena itu, saat kita
bicara mengenai kawasan Indo-Pasifik, sudah menjadi naturally speaking
negara-negara kunci di Indo-Pasifik harus diajak bicara semua. Karena kalau
kita bicara Indo-Pasifik, kemudian ada negara-negara yang dieksklusi, tidak
masuk akal dong. Indonesia mengeluarkan satu konsep yang mengajak semua pihak
bicara memberikan idenya untuk memperkaya konsep ini. Sehingga nanti pada
akhirnya, saat konsep ini disepakati, hasilnya baik buat semua.
Dengan ASEAN, kita sudah
bicara pada EAS (KTT Asia Timur) kemarin di Singapura. Presiden sudah menyampaikan
konsep itu. Tahun 2014 Presiden mengeluarkan konsep mengenai masalah maritime
fulcrum, konsep maritim Indonesia. Di tahun 2018 di EAS, Presiden menyampaikan
konsep Indo-Pasifik yang salah satu tumpuannya adalah kerja sama maritim
sehingga tergambar satu koneksi yang jelas antara maritime fulcrum Indonesia
dengan konsep Indo-Pasifik ASEAN. Jadi, (konsep Indo-Pasifik) Indonesia sudah
dan sekarang sedang diperkaya oleh ASEAN. Sekali lagi, buat Indonesia tidak ada
me first.
Konsep boleh datang dari
Indonesia dan everybody recognize that tetapi kita ingin, konsep ini menjadi
konsep ASEAN. Dan kita ingin selain aspek keterbukaan dari negara-negara yang
diconsult kita ingin ASEAN tetap berada di driving seat, karena dengan
sentralitas ASEAN maka disinilah mesin balancing ini akan jalan. Selama ini kan
kita memainkan balancing power. Itulah yang kira-kira kita gambarkan mengenai
konsep Indo-Pasifik.
Kita sudah berbicara dengan
semua pihak, ASEAN sudah jelas, kita bicara dengan big power, dengan
negara-negara di kawasan, India, Jepang, Korea Selatan, China dengan Rusia
dengan AS, dengan Australia bahkan dengan Selandia Baru kita bicara dan itulah
keunggulan Indonesia, karena kita dihormati karena kita bermartabat, enak buat
kita berbicara, jadi saya bisa masuk ke sana-sini bisa bicara dengan enak,
penerimaan mereka enak, saat saya bicara mereka tidak suspicious, ini ngapain
Indonesia, no mereka menerima dengan baik, alhamdullilah hubungan saya dengan
hampir semua menteri luar negeri hingga saat ini baik. Sehingga pada saat
masalah-masalah muncul dengan hubungan yang sangat baik itu bisa membantu
menyelesaikan
(T): Apakah itu juga termasuk
untuk isu Palestina, karena beberapa Negara berubah setelah AS menegaskan
memindahkan kedutaan mereka ke Jerusalem?
(J): Jadi untuk Palestina itu
sebenarnya begini, kalau ditanya posisi Indonesia sudah jelas, saya tidak perlu
jelaskan lagi. Pemerintah Indonesia sangat konsisten karena sekali lagi ini
adalah amanat konstitusi. Dan dari pertemuan saya dengan semua elemen bangsa,
elemen masyarakat, bertemu dengan para mahasiswa dalam diplofest, di situ
kelihatan dukungan masyarakat terhadap keberpihakan kita terhadap Palestina
jadi kalau dilihat dari pertanyaan posisi Indonesia saya kira sudah sangat
jelas.
Sekarang mengenai masalah
dunia, kita tahu sudah cukup banyak resolusi Dewan Keamanan (PBB) mengenai
masalah Palestina. Tugas kita adalah bagaimana kita mengajak dunia untuk
konsisten menghormati resolusi-resolusi tersebut. Dan kita ingatkan kepada
dunia masih ada utang yang belum diselesaikan dan utang itu, kita yakin hanya
bisa diselesaikan kalau kita memakai negosiasi yang melibatkan Palestina dan
Israel.
Dengan beberapa butir dari
resolusi, ada enam butir yang harus diselesaikan sehingga kita sangat prihatin
kalau terjadi perkembangan yang keluar dari resolusi Dewan Keamanan PBB. Tugas
kita adalah dan semua pihak tahu, dunia tahu, kita berada di garda depan untuk
tetap mengingatkan dunia mengajak dunia, untuk menghormati resolusi-resolusi DK
PBB mengenai Palestina dan tadi saya bicara tidak hanya oleh pemerintah tetapi
juga masyarakat Indonesia dukungannya sangat kuat bagi Palestina.
Dan kita banyak sekali
melakukan inovasi, seperti misalnya Badan Zakat Nasional untuk membantu
Palestina mereka menandatangani mou dengan UNRWA dan The Jordan Hashemite
Charity Organization for Relief and Development (JHCO) Baznas badan zakat
pertama yang … untuk membantu pengungsi Palestina, pemberdayaan masyarakat kita
untuk Palestina menjadi salah satu prioritas, terakhir kita sampai mendidik
pilot dari Palestina. Belum lagi, pemberdayaan ekonomi kita memberikan zero tariff
untuk beberapa produk.
Jadi, kita betul, selain
dukungan politik yang kita berikan, kita berusaha memberikan dukungan lain yang
sifatnya meng-empower rakyat Palestina sehingga pada satu titik, one day, insya
Allah, Palestina akan mendapatkan haknya penuh. Sebagai negara yang merdeka,
maka masyarakatnya ini sudah kokoh. Tentunya yang akan sangat membantu
perjuangan rakyat Palestina ini adalah kesatuan Palestina. Persatuan Palestina
ini sangat penting artinya untuk mendampingi perjuangan negara-negara yang
membantu Palestina untuk memperjuangkan hak mereka, karena kalau mereka tidak
bersatu akan sulit juga akanmenjadi tantangan tersendiri bagi kemerdekaan
mereka.
(T): Tahun depan akan dibahas
di DK PBB?
(J): Pasti akan masuk dalam
salah satu agenda DK PBB dan Indonesia akan konsisten dengan posisi itu.
(T): Apakah akan menjembatani
faksi-faksi di Palestina untuk bertemu?
Indonesia akan melakukan
apapun untuk mendukung perjuangan Palestina, dan saya kira kita tidak bisa
menegasikan, Negara-negara yang ada disekitarnya misalnya Mesir yang memang
sudah bersusah payah, menjembatani perbedaan antara fatah dan hamas. Itu sudah
dilakukan oleh Mesir jadi bisa saja Indonesia akan mendukung Mesir untuk misi
itu, jadi jangan sampai ada – kayak – rebutan ini sudah jadi dilakukan oleh
Mesir tiba-tiba Indonesia buat baru, tetapi kalau saling memperkuat untuk
tujuan yang sama baik, kita siap.
(T): Bagaimana dengan OKI yang
tampaknya lebih kendor saat ini?
(J): OKI kita terus menerus,
saya kira dalam beberapa resolusi yang terakhir kita melihat soliditas OKI,
karena draf-draf resolusi yang terkait dengan Palestina itu biasanya sponsornya
OKI.
(T): Perubahan geopolitik di Timur Tengah juga
mempengaruhi Palestina?
(J): Sejauh ini terkait
Palestina, OKI dan Negara-negara di timur tengah masih solid. Terakhir itu
September, di Majelis Umum PBB saya bertemu dengan beberapa menteri luar negeri
Timteng dan setiap kali berbicara dengan mereka saya selalu menanyakan mengenai
Palestina saya kira masih solid.
(T): Jadi harapan untuk
proses-proses damai itu masih memungkinkan?
(J): Harus terus didorong,
harus terus didorong. Karena tidak mungkin diselesaikan begitu saja, harus ada
proses perundingan. Karena di dalam perundingan itulah akan dicapai satu titik
tengah yang memang di dalam perundingan itu kan semua pihak akan mendapatkan
hasil yang 100 persen, tetapi di situlah di mana setiap pihak merasa
diuntungkan.
(T): Tahun depan lebih optimis
dengan DK PBB, melihat pertarungan yang masih sengit?
(J): Yang kita janjikan
Indonesia akan melakukan yang terbaik untuk dapat memberikan kontribusi pada
perdamaian dan stabilitas dunia. Pada saat kita masuk di dalam DK PBB kita tahu
tantangannya akan berat tetapi kita ingin—insya Allah—kita berperan di DK PBB.
Tantangannya sudah bisa kita perkirakan tetapi sekali lagi janji Indonesia
adalah kita berusaha berkontribusi semaksimal mungkin.
(T): Tantangan terberat yang
sudah diperkirakan?
(J): Tantangan terberat itu
adalah mengenai masalah lebih banyaknya pendekatan yang dilakukan secara
unilateral. Karena itu dorongan untuk melakukan pendekatan multilateral akan
terus dilakukan.
[1] Wawancara
Khusus Menlu RI, RI Meniti Deru Gelombang Dunia
Oleh : B Josie Susilo Hardianto, Kompas, 23 Desember 2018