Kamis, 17 Oktober 2019

Prospek Kesejahteraan Tanah Papua



Prospek Kesejahteraan Tanah Papua
Oleh : Rikard Bagun

Kegaduhan dan aksi kekerasan yang sempat bereskalasi di Tanah Papua sudah semakin jauh mereda. Tantangannya, bagaimana menciptakan kondisi aman dan nyaman yang lebih permanen dengan terus menjaga martabat, harga diri, dan semangat persaudaraan bagi seluruh pemangku kepentingan.
Sangat diperlukan langkah tepat dan cepat, ibarat besi ditempa selagi panas, agar persoalan Tanah Papua dengan segala kompleksitasnya tidak menjadi berlarut-larut, tidak mudah masuk angin yang ditiupkan pihak asing.
Sudah sering disebut-sebut, penyelesaian melalui pendekatan kesejahteraan merupakan solusi terbaik untuk mengatasi frustrasi sosial, bahkan bisa memutus mata rantai kekerasan seperti dialami beberapa negara Amerika Latin.
Segera terbayang, program tunjangan kesejahteraan dalam bidang pangan, pendidikan, kesehatan, dan usaha mikro bisa dijadikan instrumen efektif untuk mengatasi persoalan Tanah Papua, lebih-lebih setelah pengoperasian Palapa Ring.
Kehadiran Palapa Ring diharapkan tidak hanya membuka cakrawala baru dalam bidang komunikasi dan jasa perdagangan, tetapi juga memberikan kemudahan bagi upaya mengurangi kemiskinan dan keterbelakangan di Tanah Papua, Indonesia timur, dan wilayah Indonesia lainnya.
Sekadar ilustrasi, program tunjangan kesejahteraan seperti Bolsa Familia (Pundi Keluarga) di Brasil dan Oportunidades (Peluang) di Meksiko atau Solidario (Kesetiakawanan) di Chile relatif berhasil karena penggunaan teknologi digital dalam bentuk kartu anjungan tunai mandiri (ATM).
Secara umum, kartu ATM diserahkan kepada kaum ibu rumah tangga yang dinilai lebih mampu mengatur kehidupan keluarga sehari-hari ketimbang kaum pria yang cenderung boros. Sudah saatnya juga ibu-ibu rumah tangga di Tanah Papua diberikan kartu ATM untuk menarik uang tunai yang perlu dialokasikan dari dana Otonomi Khusus (Otsus) Tanah Papua.

Sejauh ini, triliunan rupiah dana Otsus sudah dikucurkan selama 15 tahun terakhir, tapi kurang dirasakan secara langsung oleh warga masyarakat asli Tanah Papua. Kiranya dana Otsus perlu dibagi secara proporsional untuk kepentingan operasional birokrasi dan proyek pembangunan ataupun untuk tunjangan kesejahteraan bagi rakyat asli Tanah Papua.
Bukan hanya kesejahteraan ekonomi yang akan mendapat perbaikan, melainkan pendidikan pun diperkirakan akan meningkat. Lebih-lebih kalau uang tunjangan langsung dikurangi jika anak-anak tidak datang ke sekolah. Orangtua dipastikan akan terus mendorong anak-anaknya bersekolah agar uang tunjangan tidak dipotong.
Menurut pengalaman Brasil, pengiriman uang dengan teknologi digital ternyata dapat membantu mengurangi praktik korupsi dan penyelewengan sekaligus mencegah politisi dan partai-partai politik menggunakan berbagai program tunjangan kesejahteraan untuk alat kampanye atau diselewengkan.
Tantangan besar bagi Tanah Papua dan wilayah Indonesia lainnya bagaimana mendata secara akurat para penerima tunjangan kesejahteraan. Sekali lagi, Brasil mengembangkan portal khusus, Portal da Transparencia, untuk memuat secara terbuka daftar nama, identitas lengkap, jenis tunjangan yang diperoleh, termasuk jumlah uang yang diterima.
Segera terbayang program-program kesejahteraan terhadap masyarakat di Tanah Papua dan di wilayah lain di Indonesia dapat dilakukan dengan penggunaan teknologi digital, lebih-lebih setelah kehadiran Palapa Ring.
Spiral kekerasan
Program tunjangan kesejahteraan bagi warga asli Tanah Papua, termasuk alokasi dari dana Otsus, diharapkan akan meningkatkan kualitas hidup dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan usaha.
Sekadar perbandingan, program Bolsa Familia, Oportunidades, ataupun Solidario telah menekan secara dramatis, bukan hanya angka kemiskinan dan putus sekolah, melainkan juga mengurangi frustrasi sosial, termasuk kekerasan.
Sangat diharapkan pendekatan kesejahteraan di Tanah Papua ataupun di wilayah lain Indonesia akan meningkatkan kualitas hidup sekaligus menghalau berbagai frustrasi sosial yang telah mendorong agresivitas dan kekerasan. Penyelesaian melalui pendekatan keamanan tentu saja diperlukan untuk penyelesaian kondisi ekstrem jangka pendek, tapi tidak bisa digunakan untuk kepentingan jangka panjang. Pendekatan keamanan, apalagi dengan metode kekerasan, justru menjadi kontraproduktif seperti pernah disoroti secara tajam oleh pejuang hak sipil terkenal Dom Helder Camara dari Amerika Latin.
Bahkan Camara beranggapan, pendekatan keamanan tidak menyelesaikan persoalan jika tidak dibereskan isu keadilan sosial sebagai penyebab utama dan pertama, causa prima, dari apa yang disebutnya spiral kekerasan. Lebih jauh ia menegaskan, ketidakadilan merupakan kekerasan nomor wahid! Ketidakadilan menciptakan ketimpangan sosial, penderitaan, bahkan kematian.
Kondisi ketidakadilan menciptakan frustrasi orang perseorangan yang mendorong agresivitas dan memicu pergolakan sosial. Secara dialektis, negara menghadapi agresivitas personal dan pergolakan sosial dengan cara represi. Sebagai pejuang kemanusiaan, Camara menegaskan, spiral kekerasan yang terbentuk oleh kekerasan yang bersifat personal, komunal, dan negara itu harus dihentikan dengan mengakhiri ketidakadilan.
Gagasan Camara ikut menciptakan kesadaran baru di kawasan Amerika Latin tentang pentingnya gerakan pemerataan ekonomi untuk mengakhiri ketidakadilan, kemiskinan, dan kekerasan sekaligus menjaga harga diri. Gerakan pemerataan tidak boleh hanya bersifat teknis dengan mengandalkan teknologi tinggi, high technology pada level distribusi secara digital. Jauh lebih penting proses pendampingan dan sentuhan kehangatan, high touch, yang lahir dari semangat kepedulian terhadap orang yang bernasib kurang beruntung, the preferential option for the poor.
Bagi bangsa Indonesia, semangat kepedulian sebenarnya berakar jauh dalam nilai budaya seperti gotong royong dan telah diikat sebagai komitmen nasional pada dasar negara, Pancasila, khususnya dalam sila kelima, Keadilan Sosial.
Sumber : Kompas.id., 17 Oktober 2019

Selasa, 01 Oktober 2019

Kasus Papua Gagal Masuk Sidang Umum PBB



Kasus Papua Gagal Masuk Sidang Umum PBB
Separatisme kian tersudut. Dunia kini berubah,  dan juga semakin keras dengan berbagai persoalan yang berbau separatisme. Hal itu terlihat pada saat penyelengaraan Sidang Umum PBB pada bulan September 2019 di New York Amerika. Benny Wenda yang mengklaim dirinya sebagai tokoh perjuangan Papua Merdeka dan kini bermukim di Oxford Inggris, nyatanya  gagal masuk ke ruang sidang umum PBB di New York, Amerika Serikat. Pria yang diduga menjadi dalang dibalik aksi kerusuhan yang terjadi di Papua itu tidak diijinkan masuk ke ruang sidang umum PBB. PBB saat ini memiliki peraturan baru. Benny Wenda awalnya berupaya masuk ke ruang sidang, ketika sidang Majelis Umum PBB yang diikuti perwakilan ratusan negara seluruh dunia sedang berlangsung.
 “Kini PBB punya aturan baru, hanya warga negara resmi dari negara peserta yang bisa masuk dan hadir dalam Sidang Umum PBB,” kata Delegasi RI asal Papua, Nick Messet[1], 27/9/2019 malam.  Menurutnya Benny Wenda sebelumnya mencoba masuk ke ruang sidang melalui delegasi Vanuatu. Hal seperti itu pernah dia lakukan dan berhasil. Tapi kini jadi beda; “Benny Wenda cs mau masuk ruang sidang PBB dengan ikut delegasi Vanuatu tapi tidak diijinkan, karena peraturan PBB kali ini cukup keras,” ungkap Messet. Sehingga, Benny Wenda tidak lagi bisa ikut delegasi Vanuatu seperti sebelum-sebelumnya.
Uni Eropa (UE) Juga Menolak Separatisme
Penangkapan Puigdemont dan pernyataan Schinas adalah gambaran sikap UE terhadap gerakan separatis. UE dan anggotanya tidak mendukung separatis, walau beberapa politisi dari negara tetangga Spanyol mendukung kemerdekaan Catalan.Penangkapan Puigdemont dan pernyataan Schinas adalah gambaran sikap UE dan anggotanya yang tidak mendukung gerakan separatis. Masalah separatisme tidak hanya dihadapi Spanyol. Bersama Spanyol, Perancis pernah puluhan tahun berhadapan dengan separatis Basque, etnis yang mendiami perbatasan kedua negara. Madrid dan Paris sama-sama menetapkan ETA, kelompok bersenjata Basque, sebagai organisasi teroris. Sebab, ETA terlibat sejumlah serangan bersenjata di Perancis dan Spanyol. Demikian juga dengan , IRA. Kelompok yang melancarkan serangan bersenjata, termasuk pengeboman selama puluhan tahun. Semua demi meminta kemerdekaan Irlandia Utara dari Inggris Raya. Kini jadi buntu.
Hal yang sama juga muncul di Indonesia. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menolak usulan yang menghendaki adanya dialog antara pemerintah dan kelompok separatis di Papua sebagai cara untuk mengatasi konflik yang tak kunjung usai di Papua. Aspirasi itu disampaikan oleh DPRD kota/kabupaten di Papua dan Papua Barat. ”Mereka minta pemerintah untuk membuka dialog antara pemerintah pusat dan tokoh-tokoh Papua, khususnya tokoh-tokoh Papua yang dipandang memiliki ideologi yang konfrontatif atau berseberangan,” Kelompok atau tokoh yang dimaksud adalah United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Kelompok tersebut teridentifikasi sebagai separatis yang menginginkan Papua berpisah dari Indonesia.
Hal yang sama juga disampaikan  oleh Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai, pemerintah tidak boleh menyerah dengan tuntutan apa pun, termasuk bertemu dengan kelompok separatis. Menurut Hikmahanto, kelompok separatis adalah pemberontak dan musuh negara. ”Jangan pernah mau bernegosiasi dengan pemberontak. Akan jadi blunder kalau pemerintah menuruti ajakan untuk bertemu ULMWP,” ujarnya.
Bagi Indonesia, Papua adalah bagian utuh dari NKRI. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memutuskan Papua merupakan bagian dari Indonesia yang tidak bisa diganggu gugat. Bagi NKRI itu sudah harga mati. Tidak diperlukan Dialog untuk masalah itu. Soal bagaimana membangun Papua agar hasilnya bisa dinikmati warga Papua, hal itulah yang perlu terus dicarikan solusinya. Sebagai langkah “mengingatkan kembali” maka pada 10 September 2019 Wakil Tetap RI untuk PBB di New York, Dian Triansyah Djani bertemu dengan Sekjen PBB, António Guterres. Hasil pertemuan mengingatkan kembali bahwa :
           PBB mendukung Kedaulatan dan Integritas wilayah Indonesia dan Isu Kedaulatan bukan suatu pertanyaan bagi PBB. Status Final Papua di dalam Indonesia berdasarkan UTI POSSIDETI IURIS, NY Agreement 1962, Act of Free Choice 1969, dan resolusi GA PBB 2504 (XXIV) 1969.
           PBB melihat hasil dan upaya dari pembangunan Pemerintah pada era Presiden Jokowi di wilayah Papua dan Papua Barat. Namun, perlu diperkuat dengan hal-hal simbolis. PBB memahami adanya kelompok separatis yang terus-menerus membuat berita hoax dan demo anarkis dan tindak kekerasan. Terkait Vanuatu pihaknya menyadari bahwa sering mengangkat isu Papua dalam beberapa agenda internasional.

Nick Messet adalah  mantan Menteri Luar Negeri Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang memilih pulang setelah 40 tahun berjuang demi Papua Merdeka dan menjadi warga negara Swedia. Sebagai putra asli Papua, Nick Messet adalah seorang pilot berdarah Papua pertama, lulusan Cessnock, New South Wales, Australia yang bekerja untuk maskapai Papua Nugini. Ayahnya adalah Bupati Jayapura periode 1976-1982.
Kelebihannya sebagai pilot tak membuatnya bangga dan status sebagai anak pejabat tak membuat Nick Messet betah bersama Indonesia. Setelah kembali ke NKRI, Nick Messet ditugasi membangun hubungan antara Indonesia dan negara-negara di Pasifik.Peran Nick Messet dahulu sebagai Menlu OPM dalam merangkul negara-negara di kawasan Pasifik kini diminta  untuk mendukung kepentingan diplomasi Indonesia. Tak heran sejak pertengahan 2018, Nick Messet ditetapkan sebagai Konsul Kehormatan dari Indonesia untuk Nauru.
Selama ini negara-negara di Pasifik seperti Nauru, Kepulauan Marshall, Solomon, Vanuatu, Tuvalu dan Tonga serta Papua Nugini dipandang menjadi target untuk meraih dukungan bagi ide kemerdekaan Papua melalui referendum karena kesamaan ras yakni Melanesia. Dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, Nick Messet melontarkan alasannya kembali ke NKRI.
Nick Messet meninggalkan Papua di tahun 1960-an ketika dia merasakan kehadiran orang Indonesia di wilayah itu adalah sebuah kesalahan."Saya tinggalkan Papua untuk pergi keluar negeri selama lebih dari 40 tahun tapi hasilnya tidak ada. Setiap Negara yang saya minta dukungannya untuk Papua Merdeka. Mereka selalu bilang kalau Papua itu bagian yang sah dari Indonesia. Lalu saya kembali ke Indonesia dan  membangun Papua di dalam bingkai NKRI. Karena saya lihat hal seperti itu sudah jalan. Satu-satunya itu harus kerjasama dengan Indonesia untuk memperbaiki kehidupan, kesejahteraan sosial Papua," kata Nicholas Messet.
Messet tahun ini  ikut mendampingi Wakil Presiden Yusuf Kalla tahun 2019 ini terkait masalah Papua di PBB. Menurutnya kini peraturan dan tata aturan Sidang sudah semakin baik dan tertib. “Saya kira ini bagus sekali, peraturan PBB cukup ketat bagi setiap peserta Sidang Umum PBB,” ungkap Messet.Bahkan, lanjut Messet, dirinya yang menjadi Konsulat Kehormatan Negara Nauru di Jakarta tidak diperbolehkan masuk. “Saya sendiri juga tidak diperbolehkan masuk ikut delegasi Nauru, meskipun saya Konsulat kehormatan mereka di Indonesia. Saya bisa masuk melalui delegasi Indonesia kalau diperlukan,” ujar Messet.
Messet menambahkan, saat ini dirinya berada di ruang sidang umum PBB melalui delegasi RI.“Tadi Pak Roy Sumirat menghubungi kami dan menyampaikan pesan dari bu Menteri Luar Negeri RI agar Pak Nick, Pak John dan Pak Manufandu dapat mendampingi Wapres RI masuk duduk resmi dalam SU PBB dan ikut mendengarkan pidato Wapres RI,” kata Messet penuh haru. Alasannya, hal tersebut bagi dirinya merupakan sejarah, orang asli Papua mendampingi Wapres RI mengikuti sidang umum PBB.”Ini baru pertama kali dalam sejarah RI bahwa ada tiga orang Papua yang mendampingi Wapres RI di sidang PBB,”ujarnya.
Nick Messet adalah mantan Menlu Organisasi Papua Merdeka yang lama bermukim di Eropa.Ia bahkan sempat membuka perwakilan OPM di Senegal dan Swedia. Namun, ia kemudian kembali kepangkuan RI. Sebelumnya Nick Messet mengatakan, situasi SU PBB terkait nasib Papua termasuk apa yang terjadi belakangan ini tidak banyak negara yang menanggapi. Negara-negara peserta Sidang Umum PBB mengikuti perkembangan situasi dan kondisi Papua melalui media.  Setiap negara punya persoalannya masing-masing yang harus mendapat perhatian dari SU PBB dan waktu untuk bicara di atas mimbar SU PBB juga sangat terbatas hanya 10 menit. Sehingga, banyak negara besar tidak ingin mencampuri negara lain. Mereka lebih fokus menyampaikan persoalan di negaranya sendiri.
"They can only say, Sorry and have sympathi to the Papuans! Apart from that, nothing else (Mereka hanya bisa berkata, Maaf dan bersimpati pada orang Papua! Selain itu, tidak ada yang lain)," katanya. Menurut dia, hanya negara-negara kecil yang selalu ingin mengangkat permasalahan Papua di Sidang Umum PBB. “Hanya negara-negara kecil di Pacific yang selalu mau angkat soal Papua di SU PBB tahun ganti tahun. Tetapi tidak pernah ada perubahan, jalan ditempat terus,” kata Nick. Nicolas Meset yakin, pada saatnya negara-negara tersebut bakal bosan membawa isu Papua dalam SU PBB.
“Negara-negara seperti, Vanuatu, Palau, Marshall Island yang selalu mengangkat isu Papua di dalam SU PBB pasti satu waktu akan jadi bosan sendiri. Soalnya topik yang mereka bawakan sudah kadaluarsa untuk negara-negara anggota PBB.  Bosan untuk mendengar, The same old story again and again, Self determination and freedom for West Papua (Kisah lama yang sama berulang kali, Penentuan nasib sendiri dan kebebasan untuk Papua Barat),” kata Meset.
Sumber : Wilayahpertahanan


[1] https://banjarmasin.tribunnews.com/2019/09/28/diusir-dari-ruang-sidang-umum-pbb-benny-wenda-gagal-angkat-kasus-papua-ini-kesaksian-delegasi-ri?page=all

Kamis, 15 Agustus 2019

Papua Segregasi Etnis dan Potensi Konflik



Papua Segregasi Etnis dan Potensi Konflik

Oleh : Vidhyandika D Perkasa 

Dalam Pemilu Presiden 2019, Presiden Joko Widodo menang mutlak di Papua. Ada dua faktor utama yang berkontribusi terhadap kemenangannya. Pertama, ”karakter” Jokowi yang rendah hati dengan gaya blusukan yang merakyat telah menarik simpati masyarakat. Selain itu, dibandingkan para presiden terdahulu, hanya Jokowi yang paling sering  mengunjungi Papua. Kedua, aspek kinerja. Jokowi telah dianggap berhasil dalam pembangunan infrastruktur, khususnya di bidang jalan, bandara, pasar, serta fasilitas publik lain, termasuk Stadion Papua Bangkit di Jayapura yang dinilai termegah di Indonesia timur.
Terlepas dari prestasi ini, masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan di era Jokowi, seperti penanganan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia dan upaya-upaya lebih intensif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat asli Papua. Menariknya, dari hasil studi CSIS, khususnya pada generasi muda Papua, masalah ”pendatang” yang kian memarjinalkan masyarakat asli dilihat sebagai isu utama yang tak kalah penting dengan masalah klasik di Papua.
Menariknya, dari hasil studi CSIS, khususnya pada generasi muda Papua, masalah ”pendatang” yang kian memarjinalkan masyarakat asli dilihat sebagai isu utama yang tak kalah penting dengan masalah klasik di Papua.
Dampak migrasi
Migrasi di mata masyarakat di Papua dilihat sebagai upaya ”sistematis” untuk membuat masyarakat asli Papua ”punah”. Dari hasil studi CSIS, kinerja pembangunan positif Jokowi tak selalu dinilai positif karena ada kekhawatiran yang dapat mengambil manfaat justru pendatang. Masalah ini menjadi potensi konflik yang sangat besar jika tak cepat diselesaikan. Kasus Wamena berdarah pada 2003 menjadi salah satu contoh letupan konflik dengan nuansa polarisasi etnis yang melibatkan pendatang.
Secara sederhana, migrasi dalam konteks Papua berdimensi ekonomi, politik, dan sosio-kultural. Secara ekonomi terjadi ekstraksi SDA dan kesempatan kerja yang menguntungkan pendatang karena perbedaan kapasitas dan kemampuan dibandingkan masyarakat asli Papua. Kapasitas SDM masyarakat asli Papua secara umum masih memprihatinkan sehingga belum dapat berkompetisi dengan pendatang dan hal ini cenderung mengakibatkan rasa rendah diri.

Aspek politik menyangkut jabatan publik dan representasi.

Dari studi CSIS, banyak keluhan dalam pemilu legislatif kemarin anggota legislatif mayoritas adalah pendatang. Sementara dari aspek sosio-kultural dapat dipersepsikan sebagai  kekhawatiran akan kepunahan kultural maupun hilangnya dominasi agama ”mayoritas”. Secara umum, dampak dari migrasi ini telah mengakibatkan proses ”dislokasi” atau marjinalisasi masyarakat asli Papua di tanahnya sendiri.

Mereka merasa keberlanjutan mereka secara kultural (cultural survival) terancam dengan kian meningkatnya pendatang. Hal ini yang menguatkan ”nasionalisme” Papua (McGibbon, 2004) di mana dikotomi antara ”kita” dan ”kamu” yang didukung perbedaan tampilan secara fisik jadi kian signifikan.

Keberagaman etnis

Melihat potensi konflik karena migrasi masif ini, mendesak untuk melakukan studi tentang etnisitas di Papua. Tak dimungkiri aspek historis di zaman kolonial dan kebijakan transmigrasi era Orde Baru serta perkembangan pembangunan dan  investasi yang  progresif telah memicu keberagaman etnis di Papua.  Situasi ini coba dipotret Ananta, et al (2016). Dengan menggunakan data sensus 2010 dipotret fraksionalisasi etnis dan polarisasi etnis di Papua.
Fraksionalisasi etnis menunjukkan heterogenitas etnis, sedangkan polarisasi etnis  menunjukkan keberadaan  kelompok etnis dengan ukuran yang sama, misalnya antara etnis Jawa dan suku Dani. Menurut Ananta, tanpa penanganan yang tepat, baik fraksionalisasi maupun polarisasi etnis dapat memicu antagonisme dan konflik berbasis etnis, tak saja antara pendatang dan masyarakat asli, tetapi juga antar sesama etnis atau suku asli Papua, misalnya antara masyarakat pantai dan pegunungan.
Observasi serupa dilakukan Elmslie (2017) yang  memotret transisi demografi. Disimpulkan, persentase masyarakat asli Papua di Papua dan Papua Barat cenderung kian menurun karena migrasi. Kota besar mayoritas dihuni masyarakat bukan asli Papua. Angkanya, Merauke 62,73 persen, Nabire 52,46 persen, Mimika 57,49 persen, Keerom 58,68 persen, Kota Jayapura 65 persen. Kontribusi etnis terbesar dari studi Ananta, et al, adalah etnis Jawa.
Jika dipetakan secara teritorial, daerah pesisir atau pantai cenderung didominasi pendatang, daerah pegunungan masih didominasi masyarakat asli. Pendatang dianggap lebih berhasil mengambil manfaat fasilitas perkotaan, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan, dibandingkan masyarakat asli Papua.
Secara garis besar, migrasi dan segala dampaknya tak terhindarkan. Anggapan bahwa migrasi upaya ”sistematis” untuk membuat punah masyarakat asli Papua tentu suatu konsepsi yang salah dan membahayakan. Perlu memberikan perhatian khusus pada masyarakat asli supaya punya kemampuan untuk bersaing dengan pendatang, dilandasi prinsip keadilan.
Tak dapat dimungkiri ada permasalahan karakter dan mentalitas di sini yang mengentalkan sebuah stigma dan menghambat proses interaksi lintas etnis di Papua. Hal yang berkontribusi terhadap situasi ini adalah kurangnya penelitian ilmiah untuk memahami budaya Papua sehingga menumbuhkan prasangka antaretnis (Mansoben, 1995).

Pendatang dianggap lebih dapat diandalkan, rajin dan bertanggung jawab dalam melakukan suatu pekerjaan dibandingkan masyarakat asli yang dianggap lebih ”santai” dan kurang tanggung jawab. Ini yang menyebabkan keengganan pendatang, khususnya yang memiliki usaha ekonomi, mempekerjakan masyarakat asli Papua.

Observasi penulis di Kota Jayapura kian nyata  menunjukkan terjadinya segregasi antara masyarakat asli dan pendatang dari aspek pekerjaan dan tempat tinggal. Langkah afirmasi yang selama ini digembar-gemborkan untuk meningkatkan posisi tawar masyarakat asli belum sepenuhnya bisa dilihat hasil positifnya.
Solusi
Ada empat solusi mendesak untuk segera diwujudkan. Pertama, berdasarkan diskusi Kelompok Kerja Papua, CSIS, perlu dilakukan Sensus Penduduk (SP) Papua yang lebih akurat, khususnya dengan fokus di aspek etnisitas. Hal ini berguna untuk membidik program dan kebijakan supaya lebih tepat sasaran.

Data SP 2010 dianggap kurang akurat karena dihambat sulitnya demografi dan aspek keamanan sehingga banyak penduduk tak terdata. Ketaktersediaan data akurat berpotensi disalahgunakan elite politik Papua untuk kepentingan elektoral maupun mendapatkan keuntungan secara ekonomi yang rawan diselewengkan.

Kedua, melihat kompleksitas masalah di provinsi ini, masyarakat asli harus diperlakukan secara khusus. Diperlukan standardisasi kapasitas dan kecakapan masyarakat asli Papua yang tak bisa disamaratakan dengan daerah lain. Dengan demikian, masyarakat asli Papua akan mendapat ”kesempatan” yang sama untuk bernaung dalam suatu ruang kerja yang mendukung interaksi lintas etnis meski dengan kapasitas berbeda.

Ketiga, pelatihan untuk meningkatkan kapasitas dan rasa percaya diri masyarakat asli Papua harus dilakukan secara kontinu dan sistematis, apalagi terkait upaya mengubah mentalitas dan cara berpikir mereka yang tidak kondusif terhadap perubahan zaman. Mengubah suatu mentalitas memerlukan waktu yang lama.

Keempat, dari hasil penelitian CSIS diidentifikasi suatu perasaan keterasingan (alienated) karena masyarakat asli merasa bukan bagian dari Indonesia selain karena perbedaan secara fisik juga kurang ”diperkenalkan” kepada masyarakat lain di luar Papua. Untuk itu, perlu suatu kebijakan yang memberikan kesempatan yang adil bagi masyarakat asli Papua untuk bekerja di luar Papua dalam berbagai sektor.

Sumber : Kompas.id., 9 Agustus 2019
(Vidhyandika D Perkasa Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Jakarta)


Sabtu, 20 Juli 2019

Tol Laut Tanpa Subsidi Mungkinkah



https://www.tokopedia.com/bukuperbatasan/batas-laut-profil-perbatasan-indonesia

Tol Laut Tanpa Subsidi
Oleh :  Doso Agung

Konsep tol laut yang dicanangkan pertama kali oleh Presiden Joko Widodo pada 2015 merupakan solusi ampuh untuk mengatasi kesenjangan harga antara wilayah Indonesia bagian barat dan bagian timur. Dengan adanya jalur distribusi tol laut ini, pelayaran-pelayaran yang selama ini tak menjangkau wilayah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T) diarahkan untuk dapat melayani pengiriman barang ke titik-titik itu.
Hingga 2019, inisiatif itu telah melayari 18 trayek yang dilayani 19 armada kapal. Pemerintah memberikan penugasan kepada tiga perusahaan untuk mengoperasikan trayek ini: 5 trayek oleh PT Pelni, 4 trayek oleh PT Djakarta Lloyd, dan 2 trayek oleh PT ASDP. Pelayaran swasta juga tak ketinggalan dilibatkan dengan mekanisme lelang umum untuk mengoperasikan 7 trayek sisanya. Selama melayari 18 trayek itu, kapal-kapal tol laut akan bersandar di 4 pelabuhan pangkal (hub), yakni Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Makassar; 6 pelabuhan transshipment; dan 66 pelabuhan singgah.
Sejak diluncurkan 4 November 2015, harga komoditas tertentu di wilayah Indonesia timur yang selama ini pengirimannya harus dilakukan melalui udara atau bertumpu pada pelabuhan-pelabuhan besar di timur turun secara signifikan. Harga barang-barang, seperti semen, BBM, beras, minyak goreng, dan daging, menurun di sejumlah kawasan di Indonesia timur. Berdasarkan catatan PT Pelindo IV, harga semen di wilayah Papua menurun signifikan. Di Wamena, penurunannya mencapai 40 persen dibandingkan dengan sebelum ada tol laut. Di wilayah lain, persentase penurunannya 12-28 persen. Komoditas beras di beberapa wilayah Indonesia timur juga menurun signifikan, 13-29 persen, dengan penurunan tertinggi terjadi di Biak.
Meski demikian, penugasan penyelenggaraan tol laut memerlukan subsidi dari tahun ke tahun. Jika pada 2016 subsidinya Rp 218 miliar, pada 2017 meningkat menjadi Rp 378 miliar. Pada 2018 memerlukan subsidi Rp 448 miliar, sedangkan 2019 Rp 222 miliar. Dengan demikian, dalam empat tahun subsidi secara total adalah Rp 1,266 triliun.
Pada periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo, masyarakat berharap manfaat program ini kian besar, memeratakan kesejahteraan, dan bisa mengurangi atau menghapus subsidi APBN di mana muara tujuannya adalah mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Pertanyaannya, apa mungkin menyelenggarakan program nasional yang bertujuan mengurangi ketimpangan harga dan mewujudkan keadilan sosial tanpa mengandalkan subsidi atau sekurang-kurangnya menekan subsidi? Jawabannya adalah mungkin. Dan, bisa! Bagaimana caranya? Dengan mengubah cara pandang (mindset) yang diikuti penataan ulang regulasi yang menaunginya. Sebelum mencari jalan keluar, sebaiknya dipahami terlebih dahulu dua masalah pokok dalam industri logistik dan pelayaran di Tanah Air.
https://www.tokopedia.com/bukuperbatasan/batas-laut-profil-perbatasan-indonesia

Ketidakseimbangan kargo
Pertama, sudah menjadi pengetahuan umum di industri pelayaran, penyebab mahalnya biaya distribusi barang dari Indonesia barat ke Indonesia timur adalah ketidakseimbangan kargo (imbalance cargo). Barang-barang yang berasal dan diproduksi dari barat, terutama Jawa dan Sumatera, diangkut ke timur Indonesia dalam jumlah besar, sementara volume barang dari timur yang dapat diangkut ke barat volumenya sangat kecil. Persentasenya sekitar 80 persen muatan ke timur dan hanya 20 persen muatan balik dari timur ke barat.
Dapat dikatakan kapal-kapal barang itu berlayar kembali ke barat dalam keadaan relatif kosong. Dalam industri pelayaran dan logistik, ketakefisienan perjalanan kapal akan menjadi beban dan beban itu akan dikenakan pada harga-harga barang atau kapal-kapal pengangkutnya diberikan subsidi, sebagaimana terjadi di program tol laut. Kedua, aturan-aturan yang berkaitan dengan penyediaan angkutan pelayaran belum menempatkan industri pelayaran nasional sebagai tulang punggung di wilayah perairan Indonesia. Contohnya, angkutan barang ekspor dari Indonesia ke negara lain menggunakan sistem free on board (FOB), sementara angkutan barang-barang impor menggunakan sistem cost insurance and freight (CIF).
Apa konsekuensi penggunaan FOB dan CIF dalam transaksi ekspor-impor dan kaitannya dengan industri pelayaran domestik? Dalam kontrak CIF, asuransi dan biaya-biaya lain pengiriman barang ditanggung penjual. Tanggung jawab penjual juga mencakup pengiriman barang sampai titik pelabuhan terdekat hingga barang dinaikkan ke kapal, termasuk membayar asuransi dan pengapalannya. Sementara untuk FOB, tanggung jawab penjual hanya sebatas sampai barang diangkut ke pelabuhan dan dinaikkan ke kapal tujuan pembeli. Ketika kapal berlayar, pembeli yang menanggung semua beban biayanya. Jika ada importir dari Indonesia membeli barang-barang dari luar negeri, meski posisi tawar sebagai pembeli idealnya lebih kuat, kontraknya menggunakan model CIF sehingga penjual di luar negerilah yang menentukan kapal mana yang akan mereka gunakan.
Sementara jika ada eksportir dari Indonesia yang akan mengirim barang ke luar negeri, kontraknya menggunakan sistem FOB sehingga kapal-kapalnya pun juga ditentukan oleh pembeli dari luar negeri. Dengan kontrak semacam ini, industri pelayaran Indonesia terpukul dua kali, baik ketika ekspor maupun impor. Padahal, importir dapat menentukan perjanjian dengan pola FOB, sementara eksportir menggunakan CIF. Jika eksportir mengikat kontrak menggunakan FOB, mereka dapat memilih angkutan pelayaran yang tersedia di dalam negeri untuk mengirimkan barang ke pembeli di luar negeri.
Demikian pula jika importir mengikat kontrak berbasis CIF. Penjual dari luar negeri akan cenderung memilih angkutan yang lebih murah yang disediakan angkutan pelayaran Indonesia. Bahkan, pihak Indonesia sebagai importir dapat menunjuk perusahaan pelayaran untuk mengirimkan barang-barang dari penjual masuk ke Indonesia. Sebagai ilustrasi, jika kita mengimpor beras dari Thailand atau Vietnam, selama ini angkutannya juga menggunakan angkutan pelayaran dari Thailand atau Vietnam karena kontraknya CIF. Padahal, kitalah yang punya uang untuk membeli beras itu.
Jika menggunakan FOB, importir beras asal Indonesia dapat menunjuk kapal-kapal berbendera Indonesia untuk mengangkut beras tersebut dari pelabuhan asal ke pelabuhan tujuan. Apa dampak yang dihasilkan dari perubahan kontrak dalam ekspor dan impor ini? Tak lain dan tak bukan adalah makin tingginya arus perpindahan barang di wilayah perairan Indonesia oleh kapal-kapal berbendera Indonesia. Dengan meningkatnya arus barang, kondisi ketidakseimbangan kargo yang selama ini terjadi di jalur-jalur tol laut sehingga memerlukan subsidi dari negara dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan. Wilayah-wilayah di Indonesia timur sangat kaya akan bahan tambang, pertanian, perkebunan, dan perikanan, juga sebagian besar komoditas ekspor.

Komoditas ekspor itu, karena menggunakan kontrak FOB, diangkut dengan kapal-kapal asing. Padahal, kapal-kapal asing ini berlayar ke wilayah timur dalam keadaan kosong. Bayangkan jika barang-barang itu diangkut dengan kapal Indonesia. Dari barat kapal-kapal ini memuat barang-barang hasil industri untuk dikirimkan ke wilayah timur dan dari timur juga memuat barang. Bolak-balik di wilayah Indonesia, kapal-kapal tersebut memuat barang. Dengan perubahan sistem tersebut, dunia pelayaran di Indonesia akan menjadi kuat. Armada pelayaran Indonesia dapat melakukan ekspor ke luar negeri yang selama ini menggunakan kapal-kapal berbendera asing. Sebaliknya, akan mengangkut komoditas impor kebutuhan negara ke Indonesia.
Selain perkuatan armada pelayaran juga akan dapat menumbuhkan kekuatan ekonomi baru di bidang asuransi domestik karena baik kegiatan ekspor maupun impor memakai asuransi dalam negeri.

Peran BUMN dan pengaturan  ”hub and spoke”
Kendala pelaksanaan program tol laut saat ini adalah adanya anggapan bahwa program tol laut lebih dinikmati sebagian kalangan pengusaha yang bertindak sebagai pengepul komoditas yang mengendalikan distribusi dan harga di daerah.  Untuk menghindari ini, selayaknya sistem perdagangan dan distribusi tol laut melibatkan BUMN yang berfungsi sebagai pengendali yang memastikan ketersediaan barang dan harga pada tingkat eceran. Keluhan pengguna tol laut lainnya adalah lamanya waktu yang diperlukan oleh kapal dalam melayari pelabuhan-pelabuhan yang dituju (turn round voyage/TRV). TRV yang tinggi mengakibatkan lamanya komoditas berada di atas kapal dan berisiko mengalami penurunan, baik dari sisi kualitas maupun kelangkaan barang di daerah tujuan, yang ujungnya berpengaruh ke harga di pasar tujuan.
Secara tradisional, selama ini hub (pusat) kegiatan tol laut memanfaatkan empat pelabuhan utama: Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Makassar. Penetapan empat pelabuhan ini sama dengan penetapan hub untuk perdagangan lain.
Untuk mengurangi waktu TRV, pemerintah lewat Kementerian Perhubungan dapat menetapkan beberapa hub baru guna melayani rute tol laut agar lebih menjangkau daerah 3T sebagai sasaran utama. Beberapa pelabuhan hub baru itu semestinya dapat dilayani dengan kapal-kapal komersial (nonsubsidi).
Pelayaran tol laut dengan subsidi hanya berlaku di pelabuhan spoke, suatu pelabuhan di area tertentu yang nantinya memanfaatkan pelabuhan hub sebagai transhipment area. Contohnya, di NTT, Pelabuhan Tenau Kupang, dapat dikembangkan sebagai hub tol laut yang melayani rute-rute spoke, seperti Sabu, Rote, Waingapu, Kisar, dan Kalabahi. Adapun pelabuhan Ambon sebagai hub melayani Baubau, Dobo, Tulehu, dan Saparua.
Dengan penataan ulang pelabuhan hub and spoke dimaksud, subsidi tol laut akan jauh berkurang karena hanya melayani rute-rute pendek karena rute jarak jauh atau panjang dilayani dengan pelayaran komersial. Dengan demikian, jalan keluar untuk mengurangi subsidi tol laut adalah menata ulang sistem perjanjian/kontrak ekspor-impor yang memberikan ruang bagi industri pelayaran di Tanah Air memanfaatkan kesempatan ini.
Substansi aturannya adalah mewajibkan eksportir menggunakan kontrak CIF dan importir menggunakan kontrak FOB. Selain melakukan transformasi penataan hub and spoke tol laut, perubahan sistem pengapalan dalam perdagangan tak mengubah total biaya yang ditanggung oleh pemilik barang, hanya mengubah kewajiban dan pola pembayarannya. Demikian pula dengan transformasi hub and spoke tol laut.
Penataan sistem pengapalan dalam perdagangan ini sekaligus akan menjadikan embrio Indonesia sebagai poros maritim dunia. Untuk itu, peran beberapa kementerian diperlukan dengan koordinator menteri yang membidangi maritim agar tercipta sinergi dan kolaborasi mengatasi masalah tol laut.
Bagaimanapun tol laut merupakan konsepsi brilian dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia di bidang logistik. Yang kita perlukan sekarang adalah menjadikan konsep atau program ini sebagai peluang ekonomi baru bagi industri pelayaran di Tanah Air untuk lebih berkembang dan tumbuh menjadi pemain besar. Peluang itu terbuka lebar.
http://bisnisusahareseller.blogspot.com/2019/07/belajar-camtasia-buat-video-bisnis-jadi.html


Sumber : Kompas.id., 20 Juli 2019; Doso Agung, Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia III

Selasa, 05 Maret 2019

Pusat Kajian Separatisme Masihkah Relevan ?



Pusat Kajian Separatisme Masihkah Relevan ?
Oleh Harmen Batubara

TNI lahir dari rakyat, tentara Rakyat terbiasa berhadapan dengan para pemberontak. Sudah kenyang menghadapi para pemberontak, dan tidak pernah berhenti menangani kasus separatism.

Setiap kali kita membicara perbatasan, khususnya di Papua maka pikiran kita akan selalu teringat OPM? OPM dalam terminologi hukum RI adalah separatism dan wajib hukumnya untuk di punahkan. Tapi ternyata itu tidak mudah. Dalam hal Saparatisme Kiky Syahnakri mantan Wakasad, mengatakan sesuai pengalaman sendiri dan beberapa negara lain menunjukkan bahwa gerakan separatis tidak pernah berdiri sendiri; selalu ada link antara kaum separatis dan gerakan klandestin lokal, nasional, ataupun internasional. Benar bahwa keadilan politik dan ekonomi yang dirasakan daerah, terutama sebagai warisan sistem yang berlaku pada masa lalu, adalah (salah satu) penyebab separatisme. Namun, kasus Ambon, Aceh, dan Papua tidak hanya karena ketidakpuasan semata, di sana terdapat pula masalah lain yang lebih fundamental, yaitu masalah ideologi dan kepentingan asing.
Pada prinsipnya, separatisme harus ditumpas sampai ke akarnya dalam arti sampai hilangnya niat/hasrat untuk merdeka. Dalam konteks ini penekanannya lebih pada aspek psikologis sebagaimana filosofi perang gerilya “memperebutkan hati dan pikiran rakyat”. Dari perspektif ini, kata “tumpas” sama sekali tidak mengandung arti penindakan dengan menggunakan laras senjata semata; tidak pernah dan tidak mungkin ada penanganan separatisme yang tuntas di ujung bayonet. Separatisme pasti berlatar belakang multi-aspek menyangkut ideologi, politik, ekonomi, dan budaya, sedangkan masalah pertahanan dan keamanan hanyalah akibat.
TNI Mestinya  Sudah Ahli Dalam Penanganan Saparatisme
TNI lahir dari rakyat, tentara Rakyat dan sejak lahirnya sudah terbiasa berhadapan dengan para penjajah, juga para pemberontak.  TNI sudah kenyang menghadapi para pemberontak, dan tidak pernah berhenti menangani kasus separatisme. Kalau semua pengalamannya itu di dokumentasikan, polanya di pelajari, di teliti dan dianalisis serta di tungkan dalam konsep OLI ( Operasi Lawan Insurjensi) serta dilatihkan dan diaflikasikan di lapangan maka sudah pasti hasilnya akan terlihat sangat berbeda. Menakjubkan. Tetapi nyatanya, TNI tidak mempunyai semua upaya yang seperti itu. Tidak ada yang namanya Pusat Kajian, pusat penelitian dan think Tank terkait penangan Saparatisme, baik itu di lingkungan pusat Kesenjataan ataupun Perguruan Tinggi (Unhan).Kalaupun ada, adanya hanya sepotong-sepotong. Sama seperti tradisi penelitian di Indonesia. Tidak fokus. Semangatnya lebih cenderung bagi bagai dana saja.
Masih menurut Kyki Syahnakri, TNI tidak pernah diberi kemampuan untuk menjalankan strategi “merebut hati rakyat” secara sungguh-sungguh. Yang ada baru sebatas “operasi Teritorial” dengan penekanan berbuat baik dan berbaik-baik dengan rakyat. Demikian pula dalam hal Komando. Dipercaya untuk penanganan separatisme harus dengan konsep dan implementasi yang terpadu, meliputi aspek intelijen, pertahanan dan keamanan, hukum, politik, ekonomi, dan juga sosio-budaya. Kegiatan multi-aspek tersebut dapat efektif apabila berada dalam manajemen yang terkoordinasi. Dengan kata lain, berada dalam satu komando; seperti saat Inggris menangani separatisme di Irlandia Utara. Semua kegiatan operasi berada di bawah satu manajemen yang dipimpin Menteri Dalam Negeri. Prinsip “satu komando” sangat penting karena perkembangan satu aspek harus diimbangi dengan aspek lainnya. Sebaliknya, kegagalan salah satu aspek akan berdampak pula terhadap aspek lainnya. Keberhasilan operasi akan menurunkan motivasi separatis. Sebaliknya, kegagalan dapat mendongkrak motivasi mereka.


Siapa Yang Pas Menangani Separatisme?
Apa yang ingin kita katakan adalah, kita ingin kemampuan TNI didukung dalam melakukan upaya merebut hati rakyat. TNI (bersama Kementerian/K/L Lembaga terkait) diberi kemampuan Operasi, Kemampuan Memberdayakan warga maysrakat, serta mengembangkan Pusat Kajian Separatisme. Meski melakukan Operasi terhadap kekuatan bersenjata OPM, tetapi di sisi lain TNI juga tetap memberi jalan  bagi para keluarga OPM untuk memperoleh  kehidupan yang lebih baik. Artinya mesti para suami mereka di perangi, akan tetapi sebaliknya keluarganya tetap diberdayakan. Maksudnya TNI dan Kementerian terkait berkenan membangunkan mereka kehidupan yang lebih baik. Misalnya dengan memberikan mereka berbagai fasilitas yang setara dengan yang diterima oleh para transmigran yang sudah kita kenal selama ini. Misalnya setiap keluarga akan mendapatkan lahan 2 Ha, di lahannya dibuatkan rumah, tanahnya di olah hingga siap tanam, diberikan bibit (terserah mau kopi, sahang, karet, dll yang sesuai dengan jenis tanahnya dan laku di daerah itu), diberikan pupuk, diberikan obat hama dan diberikan tenaga penyuluh yang bisa membimbing mereka bertani. Intinya mereka diberdayakan dan anak-anak mereka di sekolahkan, dan kesehatannya di perhatikan. Idenya adalah membuat warga di daerah saparatis itu jauh lebih sejahtera dan secara nyata.
Pada wilayah atau territorial binaannya praktis TNI memetakan secara telaten dua pola. Pertama terkait pergerakan dan dinamika para anggota separatis itu sendiri, sehingga tahu betul kekuatan dan kemampuan mereka dan secara perlahan “melumpuhkan” kekuatan dan keinginan para separatis itu untuk melakukan perlawanan. Kedua, memastikan keluarga mereka jadi sehatera. Hal itu ditunjukak dengan  keberhasilan usaha pertanian/perkebunan para keluarga separatis itu sendiri. Artinya memastikan bahwa pertanian/perkebunan mereka berhasil dan kegiatan pendidikan atau sekolah anak-anak mereka berjalan dengan baik. Dari hal seperti ini, dipercaya akan ada perubahan yang terjadi di daerah-daerah separatism itu.
Selama ini kita tidak atau belum pernah melihat sesuatu yang khas serta dikemas untuk diperuntukkan bagi penanganan para penggiat separatisme. Polanya hanya sejenis “memadam kebakaran”. Kalau persoalannya lagi “mengendap” maka semua berjalan sebagaimana biasa. Tetapi kalau separatism itu muncul, maka dilakukan pulalah operasi “penumpasan”, begitu seterusnya. Padahal kita percaya, kalau pengalaman TNI dan berbagai elemen bangsa lainnya dimanfaatkan dengan tepat, kita percaya Indonesia mempunyai kemampuan yang tidak terbantahkan dalam hal menangani masalah separatisme. Indonesia punya Universitas Pertahanan, punya pUsat pendidikan Infantri, Pusat Pendidikan Zeni, Pusat Pendidikan Topografi (Informasi Medan) Dll. Sayang kalau potensi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk kebaikan bersama dalam membangun bangsa.
Sumber : http://www.wilayahperbatasan.com/pusat-kajian-separatisme-dibutuhkan-atau-masihkah-relevan/