Selasa, 05 Maret 2019

Pusat Kajian Separatisme Masihkah Relevan ?



Pusat Kajian Separatisme Masihkah Relevan ?
Oleh Harmen Batubara

TNI lahir dari rakyat, tentara Rakyat terbiasa berhadapan dengan para pemberontak. Sudah kenyang menghadapi para pemberontak, dan tidak pernah berhenti menangani kasus separatism.

Setiap kali kita membicara perbatasan, khususnya di Papua maka pikiran kita akan selalu teringat OPM? OPM dalam terminologi hukum RI adalah separatism dan wajib hukumnya untuk di punahkan. Tapi ternyata itu tidak mudah. Dalam hal Saparatisme Kiky Syahnakri mantan Wakasad, mengatakan sesuai pengalaman sendiri dan beberapa negara lain menunjukkan bahwa gerakan separatis tidak pernah berdiri sendiri; selalu ada link antara kaum separatis dan gerakan klandestin lokal, nasional, ataupun internasional. Benar bahwa keadilan politik dan ekonomi yang dirasakan daerah, terutama sebagai warisan sistem yang berlaku pada masa lalu, adalah (salah satu) penyebab separatisme. Namun, kasus Ambon, Aceh, dan Papua tidak hanya karena ketidakpuasan semata, di sana terdapat pula masalah lain yang lebih fundamental, yaitu masalah ideologi dan kepentingan asing.
Pada prinsipnya, separatisme harus ditumpas sampai ke akarnya dalam arti sampai hilangnya niat/hasrat untuk merdeka. Dalam konteks ini penekanannya lebih pada aspek psikologis sebagaimana filosofi perang gerilya “memperebutkan hati dan pikiran rakyat”. Dari perspektif ini, kata “tumpas” sama sekali tidak mengandung arti penindakan dengan menggunakan laras senjata semata; tidak pernah dan tidak mungkin ada penanganan separatisme yang tuntas di ujung bayonet. Separatisme pasti berlatar belakang multi-aspek menyangkut ideologi, politik, ekonomi, dan budaya, sedangkan masalah pertahanan dan keamanan hanyalah akibat.
TNI Mestinya  Sudah Ahli Dalam Penanganan Saparatisme
TNI lahir dari rakyat, tentara Rakyat dan sejak lahirnya sudah terbiasa berhadapan dengan para penjajah, juga para pemberontak.  TNI sudah kenyang menghadapi para pemberontak, dan tidak pernah berhenti menangani kasus separatisme. Kalau semua pengalamannya itu di dokumentasikan, polanya di pelajari, di teliti dan dianalisis serta di tungkan dalam konsep OLI ( Operasi Lawan Insurjensi) serta dilatihkan dan diaflikasikan di lapangan maka sudah pasti hasilnya akan terlihat sangat berbeda. Menakjubkan. Tetapi nyatanya, TNI tidak mempunyai semua upaya yang seperti itu. Tidak ada yang namanya Pusat Kajian, pusat penelitian dan think Tank terkait penangan Saparatisme, baik itu di lingkungan pusat Kesenjataan ataupun Perguruan Tinggi (Unhan).Kalaupun ada, adanya hanya sepotong-sepotong. Sama seperti tradisi penelitian di Indonesia. Tidak fokus. Semangatnya lebih cenderung bagi bagai dana saja.
Masih menurut Kyki Syahnakri, TNI tidak pernah diberi kemampuan untuk menjalankan strategi “merebut hati rakyat” secara sungguh-sungguh. Yang ada baru sebatas “operasi Teritorial” dengan penekanan berbuat baik dan berbaik-baik dengan rakyat. Demikian pula dalam hal Komando. Dipercaya untuk penanganan separatisme harus dengan konsep dan implementasi yang terpadu, meliputi aspek intelijen, pertahanan dan keamanan, hukum, politik, ekonomi, dan juga sosio-budaya. Kegiatan multi-aspek tersebut dapat efektif apabila berada dalam manajemen yang terkoordinasi. Dengan kata lain, berada dalam satu komando; seperti saat Inggris menangani separatisme di Irlandia Utara. Semua kegiatan operasi berada di bawah satu manajemen yang dipimpin Menteri Dalam Negeri. Prinsip “satu komando” sangat penting karena perkembangan satu aspek harus diimbangi dengan aspek lainnya. Sebaliknya, kegagalan salah satu aspek akan berdampak pula terhadap aspek lainnya. Keberhasilan operasi akan menurunkan motivasi separatis. Sebaliknya, kegagalan dapat mendongkrak motivasi mereka.


Siapa Yang Pas Menangani Separatisme?
Apa yang ingin kita katakan adalah, kita ingin kemampuan TNI didukung dalam melakukan upaya merebut hati rakyat. TNI (bersama Kementerian/K/L Lembaga terkait) diberi kemampuan Operasi, Kemampuan Memberdayakan warga maysrakat, serta mengembangkan Pusat Kajian Separatisme. Meski melakukan Operasi terhadap kekuatan bersenjata OPM, tetapi di sisi lain TNI juga tetap memberi jalan  bagi para keluarga OPM untuk memperoleh  kehidupan yang lebih baik. Artinya mesti para suami mereka di perangi, akan tetapi sebaliknya keluarganya tetap diberdayakan. Maksudnya TNI dan Kementerian terkait berkenan membangunkan mereka kehidupan yang lebih baik. Misalnya dengan memberikan mereka berbagai fasilitas yang setara dengan yang diterima oleh para transmigran yang sudah kita kenal selama ini. Misalnya setiap keluarga akan mendapatkan lahan 2 Ha, di lahannya dibuatkan rumah, tanahnya di olah hingga siap tanam, diberikan bibit (terserah mau kopi, sahang, karet, dll yang sesuai dengan jenis tanahnya dan laku di daerah itu), diberikan pupuk, diberikan obat hama dan diberikan tenaga penyuluh yang bisa membimbing mereka bertani. Intinya mereka diberdayakan dan anak-anak mereka di sekolahkan, dan kesehatannya di perhatikan. Idenya adalah membuat warga di daerah saparatis itu jauh lebih sejahtera dan secara nyata.
Pada wilayah atau territorial binaannya praktis TNI memetakan secara telaten dua pola. Pertama terkait pergerakan dan dinamika para anggota separatis itu sendiri, sehingga tahu betul kekuatan dan kemampuan mereka dan secara perlahan “melumpuhkan” kekuatan dan keinginan para separatis itu untuk melakukan perlawanan. Kedua, memastikan keluarga mereka jadi sehatera. Hal itu ditunjukak dengan  keberhasilan usaha pertanian/perkebunan para keluarga separatis itu sendiri. Artinya memastikan bahwa pertanian/perkebunan mereka berhasil dan kegiatan pendidikan atau sekolah anak-anak mereka berjalan dengan baik. Dari hal seperti ini, dipercaya akan ada perubahan yang terjadi di daerah-daerah separatism itu.
Selama ini kita tidak atau belum pernah melihat sesuatu yang khas serta dikemas untuk diperuntukkan bagi penanganan para penggiat separatisme. Polanya hanya sejenis “memadam kebakaran”. Kalau persoalannya lagi “mengendap” maka semua berjalan sebagaimana biasa. Tetapi kalau separatism itu muncul, maka dilakukan pulalah operasi “penumpasan”, begitu seterusnya. Padahal kita percaya, kalau pengalaman TNI dan berbagai elemen bangsa lainnya dimanfaatkan dengan tepat, kita percaya Indonesia mempunyai kemampuan yang tidak terbantahkan dalam hal menangani masalah separatisme. Indonesia punya Universitas Pertahanan, punya pUsat pendidikan Infantri, Pusat Pendidikan Zeni, Pusat Pendidikan Topografi (Informasi Medan) Dll. Sayang kalau potensi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk kebaikan bersama dalam membangun bangsa.
Sumber : http://www.wilayahperbatasan.com/pusat-kajian-separatisme-dibutuhkan-atau-masihkah-relevan/