Tol Laut
Tanpa Subsidi
Oleh : Doso Agung
Konsep tol laut yang dicanangkan pertama kali oleh Presiden Joko
Widodo pada 2015 merupakan solusi ampuh untuk mengatasi kesenjangan harga
antara wilayah Indonesia bagian barat dan bagian timur. Dengan adanya jalur
distribusi tol laut ini, pelayaran-pelayaran yang selama ini tak menjangkau
wilayah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T) diarahkan untuk dapat melayani
pengiriman barang ke titik-titik itu.
Hingga 2019, inisiatif itu telah melayari 18 trayek yang dilayani
19 armada kapal. Pemerintah memberikan penugasan kepada tiga perusahaan untuk
mengoperasikan trayek ini: 5 trayek oleh PT Pelni, 4 trayek oleh PT Djakarta
Lloyd, dan 2 trayek oleh PT ASDP. Pelayaran swasta juga tak ketinggalan
dilibatkan dengan mekanisme lelang umum untuk mengoperasikan 7 trayek sisanya.
Selama melayari 18 trayek itu, kapal-kapal tol laut akan bersandar di 4
pelabuhan pangkal (hub), yakni Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Perak,
dan Makassar; 6 pelabuhan transshipment; dan 66 pelabuhan singgah.
Sejak diluncurkan 4 November 2015, harga komoditas tertentu di
wilayah Indonesia timur yang selama ini pengirimannya harus dilakukan melalui
udara atau bertumpu pada pelabuhan-pelabuhan besar di timur turun secara
signifikan. Harga barang-barang, seperti semen, BBM, beras, minyak goreng, dan
daging, menurun di sejumlah kawasan di Indonesia timur. Berdasarkan catatan PT
Pelindo IV, harga semen di wilayah Papua menurun signifikan. Di Wamena,
penurunannya mencapai 40 persen dibandingkan dengan sebelum ada tol laut. Di
wilayah lain, persentase penurunannya 12-28 persen. Komoditas beras di beberapa
wilayah Indonesia timur juga menurun signifikan, 13-29 persen, dengan penurunan
tertinggi terjadi di Biak.
Meski demikian, penugasan penyelenggaraan tol laut memerlukan
subsidi dari tahun ke tahun. Jika pada 2016 subsidinya Rp 218 miliar, pada 2017
meningkat menjadi Rp 378 miliar. Pada 2018 memerlukan subsidi Rp 448 miliar,
sedangkan 2019 Rp 222 miliar. Dengan demikian, dalam empat tahun subsidi secara
total adalah Rp 1,266 triliun.
Pada periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo, masyarakat
berharap manfaat program ini kian besar, memeratakan kesejahteraan, dan bisa
mengurangi atau menghapus subsidi APBN di mana muara tujuannya adalah
mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Pertanyaannya, apa mungkin menyelenggarakan program nasional
yang bertujuan mengurangi ketimpangan harga dan mewujudkan keadilan sosial
tanpa mengandalkan subsidi atau sekurang-kurangnya menekan subsidi? Jawabannya
adalah mungkin. Dan, bisa! Bagaimana caranya? Dengan mengubah cara pandang (mindset)
yang diikuti penataan ulang regulasi yang menaunginya. Sebelum mencari jalan
keluar, sebaiknya dipahami terlebih dahulu dua masalah pokok dalam industri
logistik dan pelayaran di Tanah Air.
Ketidakseimbangan kargo
Pertama, sudah menjadi pengetahuan umum di industri pelayaran,
penyebab mahalnya biaya distribusi barang dari Indonesia barat ke Indonesia
timur adalah ketidakseimbangan kargo (imbalance cargo). Barang-barang
yang berasal dan diproduksi dari barat, terutama Jawa dan Sumatera, diangkut ke
timur Indonesia dalam jumlah besar, sementara volume barang dari timur yang
dapat diangkut ke barat volumenya sangat kecil. Persentasenya sekitar 80 persen
muatan ke timur dan hanya 20 persen muatan balik dari timur ke barat.
Dapat dikatakan kapal-kapal barang itu berlayar kembali ke barat
dalam keadaan relatif kosong. Dalam industri pelayaran dan logistik,
ketakefisienan perjalanan kapal akan menjadi beban dan beban itu akan dikenakan
pada harga-harga barang atau kapal-kapal pengangkutnya diberikan subsidi,
sebagaimana terjadi di program tol laut. Kedua, aturan-aturan yang berkaitan
dengan penyediaan angkutan pelayaran belum menempatkan industri pelayaran
nasional sebagai tulang punggung di wilayah perairan Indonesia. Contohnya,
angkutan barang ekspor dari Indonesia ke negara lain menggunakan sistem free
on board (FOB), sementara angkutan barang-barang impor menggunakan
sistem cost insurance and freight (CIF).
Apa konsekuensi penggunaan FOB dan CIF dalam transaksi
ekspor-impor dan kaitannya dengan industri pelayaran domestik? Dalam kontrak
CIF, asuransi dan biaya-biaya lain pengiriman barang ditanggung penjual.
Tanggung jawab penjual juga mencakup pengiriman barang sampai titik pelabuhan
terdekat hingga barang dinaikkan ke kapal, termasuk membayar asuransi dan
pengapalannya. Sementara untuk FOB, tanggung jawab penjual hanya sebatas sampai
barang diangkut ke pelabuhan dan dinaikkan ke kapal tujuan pembeli. Ketika
kapal berlayar, pembeli yang menanggung semua beban biayanya. Jika ada importir
dari Indonesia membeli barang-barang dari luar negeri, meski posisi tawar
sebagai pembeli idealnya lebih kuat, kontraknya menggunakan model CIF sehingga
penjual di luar negerilah yang menentukan kapal mana yang akan mereka gunakan.
Sementara jika ada eksportir dari Indonesia yang akan mengirim
barang ke luar negeri, kontraknya menggunakan sistem FOB sehingga
kapal-kapalnya pun juga ditentukan oleh pembeli dari luar negeri. Dengan
kontrak semacam ini, industri pelayaran Indonesia terpukul dua kali, baik
ketika ekspor maupun impor. Padahal, importir dapat menentukan perjanjian
dengan pola FOB, sementara eksportir menggunakan CIF. Jika eksportir mengikat
kontrak menggunakan FOB, mereka dapat memilih angkutan pelayaran yang tersedia
di dalam negeri untuk mengirimkan barang ke pembeli di luar negeri.
Demikian pula jika importir mengikat kontrak berbasis CIF.
Penjual dari luar negeri akan cenderung memilih angkutan yang lebih murah yang
disediakan angkutan pelayaran Indonesia. Bahkan, pihak Indonesia sebagai
importir dapat menunjuk perusahaan pelayaran untuk mengirimkan barang-barang
dari penjual masuk ke Indonesia. Sebagai ilustrasi, jika kita mengimpor beras
dari Thailand atau Vietnam, selama ini angkutannya juga menggunakan angkutan
pelayaran dari Thailand atau Vietnam karena kontraknya CIF. Padahal, kitalah
yang punya uang untuk membeli beras itu.
Jika menggunakan FOB, importir beras asal Indonesia dapat
menunjuk kapal-kapal berbendera Indonesia untuk mengangkut beras tersebut dari
pelabuhan asal ke pelabuhan tujuan. Apa dampak yang dihasilkan dari perubahan
kontrak dalam ekspor dan impor ini? Tak lain dan tak bukan adalah makin
tingginya arus perpindahan barang di wilayah perairan Indonesia oleh
kapal-kapal berbendera Indonesia. Dengan meningkatnya arus barang, kondisi
ketidakseimbangan kargo yang selama ini terjadi di jalur-jalur tol laut
sehingga memerlukan subsidi dari negara dapat dikurangi atau bahkan
dihilangkan. Wilayah-wilayah di Indonesia timur sangat kaya akan bahan tambang,
pertanian, perkebunan, dan perikanan, juga sebagian besar komoditas ekspor.
Komoditas ekspor itu, karena menggunakan kontrak FOB, diangkut
dengan kapal-kapal asing. Padahal, kapal-kapal asing ini berlayar ke wilayah
timur dalam keadaan kosong. Bayangkan jika barang-barang itu diangkut dengan
kapal Indonesia. Dari barat kapal-kapal ini memuat barang-barang hasil industri
untuk dikirimkan ke wilayah timur dan dari timur juga memuat barang.
Bolak-balik di wilayah Indonesia, kapal-kapal tersebut memuat barang. Dengan
perubahan sistem tersebut, dunia pelayaran di Indonesia akan menjadi kuat.
Armada pelayaran Indonesia dapat melakukan ekspor ke luar negeri yang selama
ini menggunakan kapal-kapal berbendera asing. Sebaliknya, akan mengangkut
komoditas impor kebutuhan negara ke Indonesia.
Selain perkuatan armada pelayaran juga akan dapat menumbuhkan
kekuatan ekonomi baru di bidang asuransi domestik karena baik kegiatan ekspor
maupun impor memakai asuransi dalam negeri.
Peran BUMN dan pengaturan ”hub and spoke”
Kendala pelaksanaan program tol laut saat ini adalah adanya
anggapan bahwa program tol laut lebih dinikmati sebagian kalangan pengusaha
yang bertindak sebagai pengepul komoditas yang mengendalikan distribusi dan
harga di daerah. Untuk menghindari ini, selayaknya sistem
perdagangan dan distribusi tol laut melibatkan BUMN yang berfungsi sebagai
pengendali yang memastikan ketersediaan barang dan harga pada tingkat eceran. Keluhan
pengguna tol laut lainnya adalah lamanya waktu yang diperlukan oleh kapal dalam
melayari pelabuhan-pelabuhan yang dituju (turn round voyage/TRV). TRV
yang tinggi mengakibatkan lamanya komoditas berada di atas kapal dan berisiko
mengalami penurunan, baik dari sisi kualitas maupun kelangkaan barang di daerah
tujuan, yang ujungnya berpengaruh ke harga di pasar tujuan.
Secara tradisional, selama ini hub (pusat)
kegiatan tol laut memanfaatkan empat pelabuhan utama: Belawan, Tanjung Priok,
Tanjung Perak, dan Makassar. Penetapan empat pelabuhan ini sama dengan
penetapan hub untuk perdagangan lain.
Untuk mengurangi waktu TRV, pemerintah lewat Kementerian
Perhubungan dapat menetapkan beberapa hub baru guna melayani
rute tol laut agar lebih menjangkau daerah 3T sebagai sasaran utama. Beberapa
pelabuhan hub baru itu semestinya dapat dilayani dengan
kapal-kapal komersial (nonsubsidi).
Pelayaran tol laut dengan subsidi hanya berlaku di
pelabuhan spoke, suatu pelabuhan di area tertentu yang nantinya
memanfaatkan pelabuhan hub sebagai transhipment area.
Contohnya, di NTT, Pelabuhan Tenau Kupang, dapat dikembangkan sebagai hub tol
laut yang melayani rute-rute spoke, seperti Sabu, Rote, Waingapu,
Kisar, dan Kalabahi. Adapun pelabuhan Ambon sebagai hub melayani
Baubau, Dobo, Tulehu, dan Saparua.
Dengan penataan ulang pelabuhan hub and spoke dimaksud,
subsidi tol laut akan jauh berkurang karena hanya melayani rute-rute pendek
karena rute jarak jauh atau panjang dilayani dengan pelayaran
komersial. Dengan demikian, jalan keluar untuk mengurangi subsidi tol laut
adalah menata ulang sistem perjanjian/kontrak ekspor-impor yang memberikan
ruang bagi industri pelayaran di Tanah Air memanfaatkan kesempatan ini.
Substansi aturannya adalah mewajibkan eksportir menggunakan
kontrak CIF dan importir menggunakan kontrak FOB. Selain melakukan transformasi
penataan hub and spoke tol laut, perubahan sistem pengapalan
dalam perdagangan tak mengubah total biaya yang ditanggung oleh pemilik barang,
hanya mengubah kewajiban dan pola pembayarannya. Demikian pula dengan
transformasi hub and spoke tol laut.
Penataan sistem pengapalan dalam perdagangan ini sekaligus akan
menjadikan embrio Indonesia sebagai poros maritim dunia. Untuk itu, peran
beberapa kementerian diperlukan dengan koordinator menteri yang membidangi
maritim agar tercipta sinergi dan kolaborasi mengatasi masalah tol laut.
Bagaimanapun tol laut merupakan konsepsi brilian dalam
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia di bidang logistik.
Yang kita perlukan sekarang adalah menjadikan konsep atau program ini sebagai
peluang ekonomi baru bagi industri pelayaran di Tanah Air untuk lebih
berkembang dan tumbuh menjadi pemain besar. Peluang itu terbuka lebar.
Sumber : Kompas.id.,
20 Juli 2019; Doso Agung, Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia III
Tidak ada komentar:
Posting Komentar