Kamis, 17 Oktober 2019

Prospek Kesejahteraan Tanah Papua



Prospek Kesejahteraan Tanah Papua
Oleh : Rikard Bagun

Kegaduhan dan aksi kekerasan yang sempat bereskalasi di Tanah Papua sudah semakin jauh mereda. Tantangannya, bagaimana menciptakan kondisi aman dan nyaman yang lebih permanen dengan terus menjaga martabat, harga diri, dan semangat persaudaraan bagi seluruh pemangku kepentingan.
Sangat diperlukan langkah tepat dan cepat, ibarat besi ditempa selagi panas, agar persoalan Tanah Papua dengan segala kompleksitasnya tidak menjadi berlarut-larut, tidak mudah masuk angin yang ditiupkan pihak asing.
Sudah sering disebut-sebut, penyelesaian melalui pendekatan kesejahteraan merupakan solusi terbaik untuk mengatasi frustrasi sosial, bahkan bisa memutus mata rantai kekerasan seperti dialami beberapa negara Amerika Latin.
Segera terbayang, program tunjangan kesejahteraan dalam bidang pangan, pendidikan, kesehatan, dan usaha mikro bisa dijadikan instrumen efektif untuk mengatasi persoalan Tanah Papua, lebih-lebih setelah pengoperasian Palapa Ring.
Kehadiran Palapa Ring diharapkan tidak hanya membuka cakrawala baru dalam bidang komunikasi dan jasa perdagangan, tetapi juga memberikan kemudahan bagi upaya mengurangi kemiskinan dan keterbelakangan di Tanah Papua, Indonesia timur, dan wilayah Indonesia lainnya.
Sekadar ilustrasi, program tunjangan kesejahteraan seperti Bolsa Familia (Pundi Keluarga) di Brasil dan Oportunidades (Peluang) di Meksiko atau Solidario (Kesetiakawanan) di Chile relatif berhasil karena penggunaan teknologi digital dalam bentuk kartu anjungan tunai mandiri (ATM).
Secara umum, kartu ATM diserahkan kepada kaum ibu rumah tangga yang dinilai lebih mampu mengatur kehidupan keluarga sehari-hari ketimbang kaum pria yang cenderung boros. Sudah saatnya juga ibu-ibu rumah tangga di Tanah Papua diberikan kartu ATM untuk menarik uang tunai yang perlu dialokasikan dari dana Otonomi Khusus (Otsus) Tanah Papua.

Sejauh ini, triliunan rupiah dana Otsus sudah dikucurkan selama 15 tahun terakhir, tapi kurang dirasakan secara langsung oleh warga masyarakat asli Tanah Papua. Kiranya dana Otsus perlu dibagi secara proporsional untuk kepentingan operasional birokrasi dan proyek pembangunan ataupun untuk tunjangan kesejahteraan bagi rakyat asli Tanah Papua.
Bukan hanya kesejahteraan ekonomi yang akan mendapat perbaikan, melainkan pendidikan pun diperkirakan akan meningkat. Lebih-lebih kalau uang tunjangan langsung dikurangi jika anak-anak tidak datang ke sekolah. Orangtua dipastikan akan terus mendorong anak-anaknya bersekolah agar uang tunjangan tidak dipotong.
Menurut pengalaman Brasil, pengiriman uang dengan teknologi digital ternyata dapat membantu mengurangi praktik korupsi dan penyelewengan sekaligus mencegah politisi dan partai-partai politik menggunakan berbagai program tunjangan kesejahteraan untuk alat kampanye atau diselewengkan.
Tantangan besar bagi Tanah Papua dan wilayah Indonesia lainnya bagaimana mendata secara akurat para penerima tunjangan kesejahteraan. Sekali lagi, Brasil mengembangkan portal khusus, Portal da Transparencia, untuk memuat secara terbuka daftar nama, identitas lengkap, jenis tunjangan yang diperoleh, termasuk jumlah uang yang diterima.
Segera terbayang program-program kesejahteraan terhadap masyarakat di Tanah Papua dan di wilayah lain di Indonesia dapat dilakukan dengan penggunaan teknologi digital, lebih-lebih setelah kehadiran Palapa Ring.
Spiral kekerasan
Program tunjangan kesejahteraan bagi warga asli Tanah Papua, termasuk alokasi dari dana Otsus, diharapkan akan meningkatkan kualitas hidup dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan usaha.
Sekadar perbandingan, program Bolsa Familia, Oportunidades, ataupun Solidario telah menekan secara dramatis, bukan hanya angka kemiskinan dan putus sekolah, melainkan juga mengurangi frustrasi sosial, termasuk kekerasan.
Sangat diharapkan pendekatan kesejahteraan di Tanah Papua ataupun di wilayah lain Indonesia akan meningkatkan kualitas hidup sekaligus menghalau berbagai frustrasi sosial yang telah mendorong agresivitas dan kekerasan. Penyelesaian melalui pendekatan keamanan tentu saja diperlukan untuk penyelesaian kondisi ekstrem jangka pendek, tapi tidak bisa digunakan untuk kepentingan jangka panjang. Pendekatan keamanan, apalagi dengan metode kekerasan, justru menjadi kontraproduktif seperti pernah disoroti secara tajam oleh pejuang hak sipil terkenal Dom Helder Camara dari Amerika Latin.
Bahkan Camara beranggapan, pendekatan keamanan tidak menyelesaikan persoalan jika tidak dibereskan isu keadilan sosial sebagai penyebab utama dan pertama, causa prima, dari apa yang disebutnya spiral kekerasan. Lebih jauh ia menegaskan, ketidakadilan merupakan kekerasan nomor wahid! Ketidakadilan menciptakan ketimpangan sosial, penderitaan, bahkan kematian.
Kondisi ketidakadilan menciptakan frustrasi orang perseorangan yang mendorong agresivitas dan memicu pergolakan sosial. Secara dialektis, negara menghadapi agresivitas personal dan pergolakan sosial dengan cara represi. Sebagai pejuang kemanusiaan, Camara menegaskan, spiral kekerasan yang terbentuk oleh kekerasan yang bersifat personal, komunal, dan negara itu harus dihentikan dengan mengakhiri ketidakadilan.
Gagasan Camara ikut menciptakan kesadaran baru di kawasan Amerika Latin tentang pentingnya gerakan pemerataan ekonomi untuk mengakhiri ketidakadilan, kemiskinan, dan kekerasan sekaligus menjaga harga diri. Gerakan pemerataan tidak boleh hanya bersifat teknis dengan mengandalkan teknologi tinggi, high technology pada level distribusi secara digital. Jauh lebih penting proses pendampingan dan sentuhan kehangatan, high touch, yang lahir dari semangat kepedulian terhadap orang yang bernasib kurang beruntung, the preferential option for the poor.
Bagi bangsa Indonesia, semangat kepedulian sebenarnya berakar jauh dalam nilai budaya seperti gotong royong dan telah diikat sebagai komitmen nasional pada dasar negara, Pancasila, khususnya dalam sila kelima, Keadilan Sosial.
Sumber : Kompas.id., 17 Oktober 2019

Selasa, 01 Oktober 2019

Kasus Papua Gagal Masuk Sidang Umum PBB



Kasus Papua Gagal Masuk Sidang Umum PBB
Separatisme kian tersudut. Dunia kini berubah,  dan juga semakin keras dengan berbagai persoalan yang berbau separatisme. Hal itu terlihat pada saat penyelengaraan Sidang Umum PBB pada bulan September 2019 di New York Amerika. Benny Wenda yang mengklaim dirinya sebagai tokoh perjuangan Papua Merdeka dan kini bermukim di Oxford Inggris, nyatanya  gagal masuk ke ruang sidang umum PBB di New York, Amerika Serikat. Pria yang diduga menjadi dalang dibalik aksi kerusuhan yang terjadi di Papua itu tidak diijinkan masuk ke ruang sidang umum PBB. PBB saat ini memiliki peraturan baru. Benny Wenda awalnya berupaya masuk ke ruang sidang, ketika sidang Majelis Umum PBB yang diikuti perwakilan ratusan negara seluruh dunia sedang berlangsung.
 “Kini PBB punya aturan baru, hanya warga negara resmi dari negara peserta yang bisa masuk dan hadir dalam Sidang Umum PBB,” kata Delegasi RI asal Papua, Nick Messet[1], 27/9/2019 malam.  Menurutnya Benny Wenda sebelumnya mencoba masuk ke ruang sidang melalui delegasi Vanuatu. Hal seperti itu pernah dia lakukan dan berhasil. Tapi kini jadi beda; “Benny Wenda cs mau masuk ruang sidang PBB dengan ikut delegasi Vanuatu tapi tidak diijinkan, karena peraturan PBB kali ini cukup keras,” ungkap Messet. Sehingga, Benny Wenda tidak lagi bisa ikut delegasi Vanuatu seperti sebelum-sebelumnya.
Uni Eropa (UE) Juga Menolak Separatisme
Penangkapan Puigdemont dan pernyataan Schinas adalah gambaran sikap UE terhadap gerakan separatis. UE dan anggotanya tidak mendukung separatis, walau beberapa politisi dari negara tetangga Spanyol mendukung kemerdekaan Catalan.Penangkapan Puigdemont dan pernyataan Schinas adalah gambaran sikap UE dan anggotanya yang tidak mendukung gerakan separatis. Masalah separatisme tidak hanya dihadapi Spanyol. Bersama Spanyol, Perancis pernah puluhan tahun berhadapan dengan separatis Basque, etnis yang mendiami perbatasan kedua negara. Madrid dan Paris sama-sama menetapkan ETA, kelompok bersenjata Basque, sebagai organisasi teroris. Sebab, ETA terlibat sejumlah serangan bersenjata di Perancis dan Spanyol. Demikian juga dengan , IRA. Kelompok yang melancarkan serangan bersenjata, termasuk pengeboman selama puluhan tahun. Semua demi meminta kemerdekaan Irlandia Utara dari Inggris Raya. Kini jadi buntu.
Hal yang sama juga muncul di Indonesia. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menolak usulan yang menghendaki adanya dialog antara pemerintah dan kelompok separatis di Papua sebagai cara untuk mengatasi konflik yang tak kunjung usai di Papua. Aspirasi itu disampaikan oleh DPRD kota/kabupaten di Papua dan Papua Barat. ”Mereka minta pemerintah untuk membuka dialog antara pemerintah pusat dan tokoh-tokoh Papua, khususnya tokoh-tokoh Papua yang dipandang memiliki ideologi yang konfrontatif atau berseberangan,” Kelompok atau tokoh yang dimaksud adalah United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Kelompok tersebut teridentifikasi sebagai separatis yang menginginkan Papua berpisah dari Indonesia.
Hal yang sama juga disampaikan  oleh Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai, pemerintah tidak boleh menyerah dengan tuntutan apa pun, termasuk bertemu dengan kelompok separatis. Menurut Hikmahanto, kelompok separatis adalah pemberontak dan musuh negara. ”Jangan pernah mau bernegosiasi dengan pemberontak. Akan jadi blunder kalau pemerintah menuruti ajakan untuk bertemu ULMWP,” ujarnya.
Bagi Indonesia, Papua adalah bagian utuh dari NKRI. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memutuskan Papua merupakan bagian dari Indonesia yang tidak bisa diganggu gugat. Bagi NKRI itu sudah harga mati. Tidak diperlukan Dialog untuk masalah itu. Soal bagaimana membangun Papua agar hasilnya bisa dinikmati warga Papua, hal itulah yang perlu terus dicarikan solusinya. Sebagai langkah “mengingatkan kembali” maka pada 10 September 2019 Wakil Tetap RI untuk PBB di New York, Dian Triansyah Djani bertemu dengan Sekjen PBB, António Guterres. Hasil pertemuan mengingatkan kembali bahwa :
           PBB mendukung Kedaulatan dan Integritas wilayah Indonesia dan Isu Kedaulatan bukan suatu pertanyaan bagi PBB. Status Final Papua di dalam Indonesia berdasarkan UTI POSSIDETI IURIS, NY Agreement 1962, Act of Free Choice 1969, dan resolusi GA PBB 2504 (XXIV) 1969.
           PBB melihat hasil dan upaya dari pembangunan Pemerintah pada era Presiden Jokowi di wilayah Papua dan Papua Barat. Namun, perlu diperkuat dengan hal-hal simbolis. PBB memahami adanya kelompok separatis yang terus-menerus membuat berita hoax dan demo anarkis dan tindak kekerasan. Terkait Vanuatu pihaknya menyadari bahwa sering mengangkat isu Papua dalam beberapa agenda internasional.

Nick Messet adalah  mantan Menteri Luar Negeri Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang memilih pulang setelah 40 tahun berjuang demi Papua Merdeka dan menjadi warga negara Swedia. Sebagai putra asli Papua, Nick Messet adalah seorang pilot berdarah Papua pertama, lulusan Cessnock, New South Wales, Australia yang bekerja untuk maskapai Papua Nugini. Ayahnya adalah Bupati Jayapura periode 1976-1982.
Kelebihannya sebagai pilot tak membuatnya bangga dan status sebagai anak pejabat tak membuat Nick Messet betah bersama Indonesia. Setelah kembali ke NKRI, Nick Messet ditugasi membangun hubungan antara Indonesia dan negara-negara di Pasifik.Peran Nick Messet dahulu sebagai Menlu OPM dalam merangkul negara-negara di kawasan Pasifik kini diminta  untuk mendukung kepentingan diplomasi Indonesia. Tak heran sejak pertengahan 2018, Nick Messet ditetapkan sebagai Konsul Kehormatan dari Indonesia untuk Nauru.
Selama ini negara-negara di Pasifik seperti Nauru, Kepulauan Marshall, Solomon, Vanuatu, Tuvalu dan Tonga serta Papua Nugini dipandang menjadi target untuk meraih dukungan bagi ide kemerdekaan Papua melalui referendum karena kesamaan ras yakni Melanesia. Dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, Nick Messet melontarkan alasannya kembali ke NKRI.
Nick Messet meninggalkan Papua di tahun 1960-an ketika dia merasakan kehadiran orang Indonesia di wilayah itu adalah sebuah kesalahan."Saya tinggalkan Papua untuk pergi keluar negeri selama lebih dari 40 tahun tapi hasilnya tidak ada. Setiap Negara yang saya minta dukungannya untuk Papua Merdeka. Mereka selalu bilang kalau Papua itu bagian yang sah dari Indonesia. Lalu saya kembali ke Indonesia dan  membangun Papua di dalam bingkai NKRI. Karena saya lihat hal seperti itu sudah jalan. Satu-satunya itu harus kerjasama dengan Indonesia untuk memperbaiki kehidupan, kesejahteraan sosial Papua," kata Nicholas Messet.
Messet tahun ini  ikut mendampingi Wakil Presiden Yusuf Kalla tahun 2019 ini terkait masalah Papua di PBB. Menurutnya kini peraturan dan tata aturan Sidang sudah semakin baik dan tertib. “Saya kira ini bagus sekali, peraturan PBB cukup ketat bagi setiap peserta Sidang Umum PBB,” ungkap Messet.Bahkan, lanjut Messet, dirinya yang menjadi Konsulat Kehormatan Negara Nauru di Jakarta tidak diperbolehkan masuk. “Saya sendiri juga tidak diperbolehkan masuk ikut delegasi Nauru, meskipun saya Konsulat kehormatan mereka di Indonesia. Saya bisa masuk melalui delegasi Indonesia kalau diperlukan,” ujar Messet.
Messet menambahkan, saat ini dirinya berada di ruang sidang umum PBB melalui delegasi RI.“Tadi Pak Roy Sumirat menghubungi kami dan menyampaikan pesan dari bu Menteri Luar Negeri RI agar Pak Nick, Pak John dan Pak Manufandu dapat mendampingi Wapres RI masuk duduk resmi dalam SU PBB dan ikut mendengarkan pidato Wapres RI,” kata Messet penuh haru. Alasannya, hal tersebut bagi dirinya merupakan sejarah, orang asli Papua mendampingi Wapres RI mengikuti sidang umum PBB.”Ini baru pertama kali dalam sejarah RI bahwa ada tiga orang Papua yang mendampingi Wapres RI di sidang PBB,”ujarnya.
Nick Messet adalah mantan Menlu Organisasi Papua Merdeka yang lama bermukim di Eropa.Ia bahkan sempat membuka perwakilan OPM di Senegal dan Swedia. Namun, ia kemudian kembali kepangkuan RI. Sebelumnya Nick Messet mengatakan, situasi SU PBB terkait nasib Papua termasuk apa yang terjadi belakangan ini tidak banyak negara yang menanggapi. Negara-negara peserta Sidang Umum PBB mengikuti perkembangan situasi dan kondisi Papua melalui media.  Setiap negara punya persoalannya masing-masing yang harus mendapat perhatian dari SU PBB dan waktu untuk bicara di atas mimbar SU PBB juga sangat terbatas hanya 10 menit. Sehingga, banyak negara besar tidak ingin mencampuri negara lain. Mereka lebih fokus menyampaikan persoalan di negaranya sendiri.
"They can only say, Sorry and have sympathi to the Papuans! Apart from that, nothing else (Mereka hanya bisa berkata, Maaf dan bersimpati pada orang Papua! Selain itu, tidak ada yang lain)," katanya. Menurut dia, hanya negara-negara kecil yang selalu ingin mengangkat permasalahan Papua di Sidang Umum PBB. “Hanya negara-negara kecil di Pacific yang selalu mau angkat soal Papua di SU PBB tahun ganti tahun. Tetapi tidak pernah ada perubahan, jalan ditempat terus,” kata Nick. Nicolas Meset yakin, pada saatnya negara-negara tersebut bakal bosan membawa isu Papua dalam SU PBB.
“Negara-negara seperti, Vanuatu, Palau, Marshall Island yang selalu mengangkat isu Papua di dalam SU PBB pasti satu waktu akan jadi bosan sendiri. Soalnya topik yang mereka bawakan sudah kadaluarsa untuk negara-negara anggota PBB.  Bosan untuk mendengar, The same old story again and again, Self determination and freedom for West Papua (Kisah lama yang sama berulang kali, Penentuan nasib sendiri dan kebebasan untuk Papua Barat),” kata Meset.
Sumber : Wilayahpertahanan


[1] https://banjarmasin.tribunnews.com/2019/09/28/diusir-dari-ruang-sidang-umum-pbb-benny-wenda-gagal-angkat-kasus-papua-ini-kesaksian-delegasi-ri?page=all