Prospek
Kesejahteraan Tanah Papua
Oleh : Rikard Bagun
Kegaduhan dan aksi
kekerasan yang sempat bereskalasi di Tanah Papua sudah semakin jauh mereda.
Tantangannya, bagaimana menciptakan kondisi aman dan nyaman yang lebih permanen
dengan terus menjaga martabat, harga diri, dan semangat persaudaraan bagi
seluruh pemangku kepentingan.
Sangat diperlukan
langkah tepat dan cepat, ibarat besi ditempa selagi panas, agar persoalan Tanah
Papua dengan segala kompleksitasnya tidak menjadi berlarut-larut, tidak mudah
masuk angin yang ditiupkan pihak asing.
Sudah sering
disebut-sebut, penyelesaian melalui pendekatan kesejahteraan merupakan solusi
terbaik untuk mengatasi frustrasi sosial, bahkan bisa memutus mata rantai
kekerasan seperti dialami beberapa negara Amerika Latin.
Segera terbayang,
program tunjangan kesejahteraan dalam bidang pangan, pendidikan, kesehatan, dan
usaha mikro bisa dijadikan instrumen efektif untuk mengatasi persoalan Tanah
Papua, lebih-lebih setelah pengoperasian Palapa Ring.
Kehadiran Palapa Ring
diharapkan tidak hanya membuka cakrawala baru dalam bidang komunikasi dan jasa
perdagangan, tetapi juga memberikan kemudahan bagi upaya mengurangi kemiskinan
dan keterbelakangan di Tanah Papua, Indonesia timur, dan wilayah Indonesia
lainnya.
Sekadar ilustrasi,
program tunjangan kesejahteraan seperti Bolsa Familia (Pundi Keluarga) di
Brasil dan Oportunidades (Peluang) di Meksiko atau Solidario (Kesetiakawanan)
di Chile relatif berhasil karena penggunaan teknologi digital dalam bentuk
kartu anjungan tunai mandiri (ATM).
Secara umum, kartu ATM
diserahkan kepada kaum ibu rumah tangga yang dinilai lebih mampu mengatur
kehidupan keluarga sehari-hari ketimbang kaum pria yang cenderung boros. Sudah
saatnya juga ibu-ibu rumah tangga di Tanah Papua diberikan kartu ATM untuk
menarik uang tunai yang perlu dialokasikan dari dana Otonomi Khusus (Otsus)
Tanah Papua.
Sejauh ini, triliunan
rupiah dana Otsus sudah dikucurkan selama 15 tahun terakhir, tapi kurang
dirasakan secara langsung oleh warga masyarakat asli Tanah Papua. Kiranya dana
Otsus perlu dibagi secara proporsional untuk kepentingan operasional birokrasi
dan proyek pembangunan ataupun untuk tunjangan kesejahteraan bagi rakyat asli
Tanah Papua.
Bukan hanya
kesejahteraan ekonomi yang akan mendapat perbaikan, melainkan pendidikan pun
diperkirakan akan meningkat. Lebih-lebih kalau uang tunjangan langsung
dikurangi jika anak-anak tidak datang ke sekolah. Orangtua dipastikan akan
terus mendorong anak-anaknya bersekolah agar uang tunjangan tidak dipotong.
Menurut pengalaman
Brasil, pengiriman uang dengan teknologi digital ternyata dapat membantu
mengurangi praktik korupsi dan penyelewengan sekaligus mencegah politisi dan
partai-partai politik menggunakan berbagai program tunjangan kesejahteraan
untuk alat kampanye atau diselewengkan.
Tantangan besar bagi
Tanah Papua dan wilayah Indonesia lainnya bagaimana mendata secara akurat para
penerima tunjangan kesejahteraan. Sekali lagi, Brasil mengembangkan portal
khusus, Portal da Transparencia, untuk memuat secara terbuka daftar nama,
identitas lengkap, jenis tunjangan yang diperoleh, termasuk jumlah uang yang
diterima.
Segera terbayang
program-program kesejahteraan terhadap masyarakat di Tanah Papua dan di wilayah
lain di Indonesia dapat dilakukan dengan penggunaan teknologi digital,
lebih-lebih setelah kehadiran Palapa Ring.
Spiral kekerasan
Program tunjangan
kesejahteraan bagi warga asli Tanah Papua, termasuk alokasi dari dana Otsus,
diharapkan akan meningkatkan kualitas hidup dalam bidang ekonomi, pendidikan,
kesehatan, dan usaha.
Sekadar perbandingan,
program Bolsa Familia, Oportunidades, ataupun Solidario telah menekan secara
dramatis, bukan hanya angka kemiskinan dan putus sekolah, melainkan juga
mengurangi frustrasi sosial, termasuk kekerasan.
Sangat diharapkan
pendekatan kesejahteraan di Tanah Papua ataupun di wilayah lain Indonesia akan
meningkatkan kualitas hidup sekaligus menghalau berbagai frustrasi sosial yang
telah mendorong agresivitas dan kekerasan. Penyelesaian melalui pendekatan
keamanan tentu saja diperlukan untuk penyelesaian kondisi ekstrem jangka
pendek, tapi tidak bisa digunakan untuk kepentingan jangka panjang. Pendekatan
keamanan, apalagi dengan metode kekerasan, justru menjadi kontraproduktif
seperti pernah disoroti secara tajam oleh pejuang hak sipil terkenal Dom Helder
Camara dari Amerika Latin.
Bahkan Camara
beranggapan, pendekatan keamanan tidak menyelesaikan persoalan jika tidak
dibereskan isu keadilan sosial sebagai penyebab utama dan pertama, causa
prima, dari apa yang disebutnya spiral kekerasan. Lebih jauh ia menegaskan,
ketidakadilan merupakan kekerasan nomor wahid! Ketidakadilan menciptakan
ketimpangan sosial, penderitaan, bahkan kematian.
Kondisi ketidakadilan
menciptakan frustrasi orang perseorangan yang mendorong agresivitas dan memicu
pergolakan sosial. Secara dialektis, negara menghadapi agresivitas personal dan
pergolakan sosial dengan cara represi. Sebagai pejuang kemanusiaan, Camara
menegaskan, spiral kekerasan yang terbentuk oleh kekerasan yang bersifat
personal, komunal, dan negara itu harus dihentikan dengan mengakhiri
ketidakadilan.
Gagasan Camara ikut
menciptakan kesadaran baru di kawasan Amerika Latin tentang pentingnya gerakan
pemerataan ekonomi untuk mengakhiri ketidakadilan, kemiskinan, dan kekerasan
sekaligus menjaga harga diri. Gerakan pemerataan tidak boleh hanya bersifat
teknis dengan mengandalkan teknologi tinggi, high technology pada
level distribusi secara digital. Jauh lebih penting proses pendampingan dan
sentuhan kehangatan, high touch, yang lahir dari semangat
kepedulian terhadap orang yang bernasib kurang beruntung, the
preferential option for the poor.
Bagi bangsa Indonesia,
semangat kepedulian sebenarnya berakar jauh dalam nilai budaya seperti gotong
royong dan telah diikat sebagai komitmen nasional pada dasar negara, Pancasila,
khususnya dalam sila kelima, Keadilan Sosial.
Sumber : Kompas.id.,
17 Oktober 2019