Kasus
Papua Gagal Masuk Sidang Umum PBB
Separatisme
kian tersudut. Dunia kini berubah, dan
juga semakin keras dengan berbagai persoalan yang berbau separatisme. Hal itu
terlihat pada saat penyelengaraan Sidang Umum PBB pada bulan September 2019 di
New York Amerika. Benny Wenda yang mengklaim dirinya sebagai tokoh perjuangan
Papua Merdeka dan kini bermukim di Oxford Inggris, nyatanya gagal masuk ke ruang sidang umum PBB di New
York, Amerika Serikat. Pria yang diduga menjadi dalang dibalik aksi kerusuhan
yang terjadi di Papua itu tidak diijinkan masuk ke ruang sidang umum PBB. PBB
saat ini memiliki peraturan baru. Benny Wenda awalnya berupaya masuk ke ruang
sidang, ketika sidang Majelis Umum PBB yang diikuti perwakilan ratusan negara
seluruh dunia sedang berlangsung.
“Kini PBB punya aturan baru, hanya warga
negara resmi dari negara peserta yang bisa masuk dan hadir dalam Sidang Umum
PBB,” kata Delegasi RI asal Papua, Nick Messet[1],
27/9/2019 malam. Menurutnya Benny Wenda
sebelumnya mencoba masuk ke ruang sidang melalui delegasi Vanuatu. Hal seperti
itu pernah dia lakukan dan berhasil. Tapi kini jadi beda; “Benny Wenda cs mau
masuk ruang sidang PBB dengan ikut delegasi Vanuatu tapi tidak diijinkan,
karena peraturan PBB kali ini cukup keras,” ungkap Messet. Sehingga, Benny
Wenda tidak lagi bisa ikut delegasi Vanuatu seperti sebelum-sebelumnya.
Uni Eropa (UE) Juga Menolak
Separatisme
Penangkapan
Puigdemont dan pernyataan Schinas adalah gambaran sikap UE terhadap gerakan
separatis. UE dan anggotanya tidak mendukung separatis, walau beberapa politisi
dari negara tetangga Spanyol mendukung kemerdekaan Catalan.Penangkapan
Puigdemont dan pernyataan Schinas adalah gambaran sikap UE dan anggotanya yang
tidak mendukung gerakan separatis. Masalah separatisme tidak hanya dihadapi
Spanyol. Bersama Spanyol, Perancis pernah puluhan tahun berhadapan dengan
separatis Basque, etnis yang mendiami perbatasan kedua negara. Madrid dan Paris
sama-sama menetapkan ETA, kelompok bersenjata Basque, sebagai organisasi
teroris. Sebab, ETA terlibat sejumlah serangan bersenjata di Perancis dan
Spanyol. Demikian juga dengan , IRA. Kelompok yang melancarkan serangan
bersenjata, termasuk pengeboman selama puluhan tahun. Semua demi meminta
kemerdekaan Irlandia Utara dari Inggris Raya. Kini jadi buntu.
Hal
yang sama juga muncul di Indonesia. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan
Keamanan Wiranto menolak usulan yang menghendaki adanya dialog antara
pemerintah dan kelompok separatis di Papua sebagai cara untuk mengatasi konflik
yang tak kunjung usai di Papua. Aspirasi itu disampaikan oleh DPRD
kota/kabupaten di Papua dan Papua Barat. ”Mereka minta pemerintah untuk membuka
dialog antara pemerintah pusat dan tokoh-tokoh Papua, khususnya tokoh-tokoh
Papua yang dipandang memiliki ideologi yang konfrontatif atau berseberangan,”
Kelompok atau tokoh yang dimaksud adalah United Liberation Movement for West
Papua (ULMWP) dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Kelompok tersebut
teridentifikasi sebagai separatis yang menginginkan Papua berpisah dari
Indonesia.
Hal
yang sama juga disampaikan oleh Guru
Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai,
pemerintah tidak boleh menyerah dengan tuntutan apa pun, termasuk bertemu
dengan kelompok separatis. Menurut Hikmahanto, kelompok separatis adalah
pemberontak dan musuh negara. ”Jangan pernah mau bernegosiasi dengan
pemberontak. Akan jadi blunder kalau pemerintah menuruti ajakan untuk bertemu
ULMWP,” ujarnya.
Bagi
Indonesia, Papua adalah bagian utuh dari NKRI. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
telah memutuskan Papua merupakan bagian dari Indonesia yang tidak bisa diganggu
gugat. Bagi NKRI itu sudah harga mati. Tidak diperlukan Dialog untuk masalah
itu. Soal bagaimana membangun Papua agar hasilnya bisa dinikmati warga Papua,
hal itulah yang perlu terus dicarikan solusinya. Sebagai langkah “mengingatkan
kembali” maka pada 10 September 2019 Wakil Tetap RI untuk PBB di New York, Dian
Triansyah Djani bertemu dengan Sekjen PBB, António Guterres. Hasil pertemuan mengingatkan
kembali bahwa :
• PBB
mendukung Kedaulatan dan Integritas wilayah Indonesia dan Isu Kedaulatan bukan
suatu pertanyaan bagi PBB. Status Final Papua di dalam Indonesia berdasarkan
UTI POSSIDETI IURIS, NY Agreement 1962, Act of Free Choice 1969, dan resolusi
GA PBB 2504 (XXIV) 1969.
• PBB
melihat hasil dan upaya dari pembangunan Pemerintah pada era Presiden Jokowi di
wilayah Papua dan Papua Barat. Namun, perlu diperkuat dengan hal-hal simbolis.
PBB memahami adanya kelompok separatis yang terus-menerus membuat berita hoax
dan demo anarkis dan tindak kekerasan. Terkait Vanuatu pihaknya menyadari bahwa
sering mengangkat isu Papua dalam beberapa agenda internasional.
Sosok Nick Messet
Nick
Messet adalah mantan Menteri Luar Negeri
Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang memilih pulang setelah 40 tahun berjuang
demi Papua Merdeka dan menjadi warga negara Swedia. Sebagai putra asli Papua,
Nick Messet adalah seorang pilot berdarah Papua pertama, lulusan Cessnock, New
South Wales, Australia yang bekerja untuk maskapai Papua Nugini. Ayahnya adalah
Bupati Jayapura periode 1976-1982.
Kelebihannya
sebagai pilot tak membuatnya bangga dan status sebagai anak pejabat tak membuat
Nick Messet betah bersama Indonesia. Setelah kembali ke NKRI, Nick Messet
ditugasi membangun hubungan antara Indonesia dan negara-negara di Pasifik.Peran
Nick Messet dahulu sebagai Menlu OPM dalam merangkul negara-negara di kawasan
Pasifik kini diminta untuk mendukung kepentingan
diplomasi Indonesia. Tak heran sejak pertengahan 2018, Nick Messet ditetapkan
sebagai Konsul Kehormatan dari Indonesia untuk Nauru.
Selama
ini negara-negara di Pasifik seperti Nauru, Kepulauan Marshall, Solomon,
Vanuatu, Tuvalu dan Tonga serta Papua Nugini dipandang menjadi target untuk
meraih dukungan bagi ide kemerdekaan Papua melalui referendum karena kesamaan
ras yakni Melanesia. Dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, Nick Messet
melontarkan alasannya kembali ke NKRI.
Nick
Messet meninggalkan Papua di tahun 1960-an ketika dia merasakan kehadiran orang
Indonesia di wilayah itu adalah sebuah kesalahan."Saya tinggalkan Papua
untuk pergi keluar negeri selama lebih dari 40 tahun tapi hasilnya tidak ada. Setiap
Negara yang saya minta dukungannya untuk Papua Merdeka. Mereka selalu bilang
kalau Papua itu bagian yang sah dari Indonesia. Lalu saya kembali ke Indonesia
dan membangun Papua di dalam bingkai
NKRI. Karena saya lihat hal seperti itu sudah jalan. Satu-satunya itu harus
kerjasama dengan Indonesia untuk memperbaiki kehidupan, kesejahteraan sosial
Papua," kata Nicholas Messet.
Messet
tahun ini ikut mendampingi Wakil
Presiden Yusuf Kalla tahun 2019 ini terkait masalah Papua di PBB. Menurutnya
kini peraturan dan tata aturan Sidang sudah semakin baik dan tertib. “Saya kira
ini bagus sekali, peraturan PBB cukup ketat bagi setiap peserta Sidang Umum
PBB,” ungkap Messet.Bahkan, lanjut Messet, dirinya yang menjadi Konsulat
Kehormatan Negara Nauru di Jakarta tidak diperbolehkan masuk. “Saya sendiri
juga tidak diperbolehkan masuk ikut delegasi Nauru, meskipun saya Konsulat kehormatan
mereka di Indonesia. Saya bisa masuk melalui delegasi Indonesia kalau
diperlukan,” ujar Messet.
Messet
menambahkan, saat ini dirinya berada di ruang sidang umum PBB melalui delegasi
RI.“Tadi Pak Roy Sumirat menghubungi kami dan menyampaikan pesan dari bu
Menteri Luar Negeri RI agar Pak Nick, Pak John dan Pak Manufandu dapat
mendampingi Wapres RI masuk duduk resmi dalam SU PBB dan ikut mendengarkan
pidato Wapres RI,” kata Messet penuh haru. Alasannya, hal tersebut bagi dirinya
merupakan sejarah, orang asli Papua mendampingi Wapres RI mengikuti sidang umum
PBB.”Ini baru pertama kali dalam sejarah RI bahwa ada tiga orang Papua yang
mendampingi Wapres RI di sidang PBB,”ujarnya.
Nick
Messet adalah mantan Menlu Organisasi Papua Merdeka yang lama bermukim di
Eropa.Ia bahkan sempat membuka perwakilan OPM di Senegal dan Swedia. Namun, ia kemudian
kembali kepangkuan RI. Sebelumnya Nick Messet mengatakan, situasi SU PBB
terkait nasib Papua termasuk apa yang terjadi belakangan ini tidak banyak
negara yang menanggapi. Negara-negara peserta Sidang Umum PBB mengikuti
perkembangan situasi dan kondisi Papua melalui media. Setiap negara punya persoalannya masing-masing
yang harus mendapat perhatian dari SU PBB dan waktu untuk bicara di atas mimbar
SU PBB juga sangat terbatas hanya 10 menit. Sehingga, banyak negara besar tidak
ingin mencampuri negara lain. Mereka lebih fokus menyampaikan persoalan di
negaranya sendiri.
"They
can only say, Sorry and have sympathi to the Papuans! Apart from that, nothing
else (Mereka hanya bisa berkata, Maaf dan bersimpati pada orang Papua! Selain
itu, tidak ada yang lain)," katanya. Menurut dia, hanya negara-negara
kecil yang selalu ingin mengangkat permasalahan Papua di Sidang Umum PBB. “Hanya
negara-negara kecil di Pacific yang selalu mau angkat soal Papua di SU PBB
tahun ganti tahun. Tetapi tidak pernah ada perubahan, jalan ditempat terus,”
kata Nick. Nicolas Meset yakin, pada saatnya negara-negara tersebut bakal bosan
membawa isu Papua dalam SU PBB.
“Negara-negara
seperti, Vanuatu, Palau, Marshall Island yang selalu mengangkat isu Papua di
dalam SU PBB pasti satu waktu akan jadi bosan sendiri. Soalnya topik yang
mereka bawakan sudah kadaluarsa untuk negara-negara anggota PBB. Bosan untuk mendengar, The same old story
again and again, Self determination and freedom for West Papua (Kisah lama yang
sama berulang kali, Penentuan nasib sendiri dan kebebasan untuk Papua Barat),”
kata Meset.
Sumber : Wilayahpertahanan
[1] https://banjarmasin.tribunnews.com/2019/09/28/diusir-dari-ruang-sidang-umum-pbb-benny-wenda-gagal-angkat-kasus-papua-ini-kesaksian-delegasi-ri?page=all
Tidak ada komentar:
Posting Komentar