Selasa, 29 Desember 2020

Buku Perbatasan : Seleksi Seskoad Ketat & Melelahkan

 


Seleksi Masuk Seskoad: Ketat & Melelahkan

Oleh harmen Batubara

Lulus Seskoad bukanlah sebuah jaminan bahwa seorang perwira akan jadi seorang jenderal berbintang. Tetapi harus diakui bahwa bisa menjadi perwira siswa (Pasis) pendidikan reguler Sekolah Staf dan Komando TNI AD (Dikreg Seskoad) merupakan dambaan setiap Perwira TNI AD. Karena pendidikan Seskoad merupakan Jenjang karier kritis yang harus dilalui untuk pengembangan karier selanjutnya. Tanpa melalui pendidikan Seskoad, peluang perwira untuk mengembangkan karier di TNI AD khususnya maupun TNI umumnya menjadi sangat terbatas.

Kegiatan tahapan seleksi dilaksanakan secara ketat didasarkan pada penilaian secara bertingkat dan berjenjang untuk menjamin ketelitian dan ketepatan pemilihan calon. Ada 3 (tiga) tingkat seleksi yang dilakukan;Tingkat I. Diselenggarakan oleh Panitia Seleksi Daerah, yakni Satuan Admnistrasi Pangkalan (Satminkal) sampai dengan Pejabat yang Diberi Wewenang (PDW), berupa seleksi administrasi yang dibagi menjadi 2 tahap. Tahap 1 Tingkat I berupa seleksi administrasi oleh Satminkal hingga PDW di tingkat Komando Utama (Kotama) AD, termasuk diantaranya tes kesegaran jasmani dan Pemeriksaan Kesehatan atau Rikkes.

Tahap 2 Tingkat I adalah seleksi akhir tingkat daerah (Kotama) yang hasilnya dilaporkan ke Mabesad. Yang lulus dari seleksi ini berhak mengikuti seleksi berikutnya dengan catatan nama-namanya akan diumumkan melalui Sprin Kasad.

Tingkat II. Diselenggarakan oleh Panitia Seleksi Pusat yang dibagi menjadi 2 tahap.Tahap 1 Tingkat II berupa seleksi/ ujian tertulis akademik dan pemeriksan psikologi, dilaksanakan tersebar pada rayon-rayon ujian yang telah ditentukan.

Tahap 2 Tingkat II  (Oral). Seleksi pada tahapan ini diikuti para calon yang dinyatakan lulus seleksi tahap sebelumnya, yang juga ditetapkan melalui Sprin Kasad. Materi seleksi berupa pembuatan Karmil/ essay bebas dan lisan akademik (Oral), pendalaman psikologi, Rikkes dan test kesegaran jasmani yang dilaksanakan terpusat di Seskoad Bandung.

Materi akademik berupa pembuatan Karmil dan ujian lisan. Karmil yang dibuat tidak dinilai seperti halnya pada seleksi tahap II/1, namun akan dijadikan pegangan penguji dalam ujian lisan akademik. Karena itu dalam membuat Karmil, substansi yang akan dibahas sebaiknya merupakan materi yang telah dikuasai oleh Casis sendiri. Misalnya dalam Karmil membahas tentang personel, kepemimpinan dan binsat, maka pertanyaan penguji akan mengarah pada personel, kepemimpinan dan binsat. Selain substansi karmil, casis juga agar menyiapkan pengetahuan umum baik nasional dan internasional, khususnya isu-isu aktual, hal berkaitan dengan TNI, termasuk bahasa Inggris. Secara umum ujian lisan akademik dilaksanakan selama 70 menit. 5 menit persiapan; 15 menit paparan; 45 menit tanya jawab; dan 5 menit pengakhiran. Selain penguasaan pengetahuan juga akan dinilai sikap penampilan dan kemampuan berbicara.



Pada penilaian akhir akademik, nilai oral memberikan andil sebesar 40 % sedangkan nilai akademik tahap II/1 sebesar 60 %. Rata-rata dari kedua nilai tersebut menjadi nilai akhir yang menentukan apakah casis masuk alokasi atau tereleminasi.

Tingkat III, berupa seleksi akhir oleh Dewan Penentu Akhir (Wantukhir) yaitu Dewan Seleksi Tingkat Mabesad, biasanya rapat ini dipimpin oleh Wakasad yang hasilnya kemudian dilaporkan ke Kasad untuk mendapatkan persetujuan. Penentuan akhir kelulusan oleh Kasad berdasar peringkat peserta dan kebutuhan organisasi.

Banyak yang menyatakan masuk Seskoad itu ‘sulit’ dan melelahkan. Tapi itu semua tergantung dari posisi mana Anda menilainya. Kalau persiapannya hanya ala kadarnya saja, ya sudah lebih baik nggan usah ikutan. Tapi kalau anda mempersiapkan diri dengan baik, maka semuanya bisa berbeda. Karena kalau anda mempersiapkan diri dengan baik dan benar maka untuk lulus tes Seskoad adalah sesuatu yang biasa. Ya biasa saja. Begitu juga kalau Yang Maha Kuasa menghendaki maka semua jalan seolah terbuka dan anda bisa lolos dengan mudahnya. Tetapi di luar itu, maka semua jalan seolah buntu. Sebab kalau dengan uang, kemampuannya hanya bisa meloloskan anda sampai kebatas tertentu. Begitu juga dengan Katabelece, ia hanya akan didengar kalau hasil ujian anda memang bisa memenuhi standar kualitas tertentu; bahkan kalau lagi sial katabelece malah bisa jadi bumerang bagi diri anda sendiri. Karena bisa di klassifikasi sebagai menghina panitia seleksi sebuah lembaga pendidikan “terbaik” di Angkatan Darat negeri ini.

Dalam rangka peningkatan SDM, idealnya TNI AD memberikan kesempatan bagi setiap perwira yang telah memenuhi syarat (administrasi) untuk mengikuti pendidikan Seskoad. Namun terbatasnya alokasi  pendidikan membuat  tidak semua perwira yang telah memenuhi syarat administrasi dapat mengikuti pendidikan ini. Karena itulah maka harus dilakukan lewat seleksi. Hanya perwira yang berhasil melalui seleksi yang dapat mengikuti pendidikan. Terbatasnya alokasi   serta  demikian pentingnya  pendidikan ini membuat persaingan dalam mengikuti seleksi ini menjadi sangat bergengsi.

Bisa dipastikan setiap perwira akan berusaha maksimal dan ALL OUT untuk mempersiapkan  diri untuk menghadapi seleksi Seskoad ini. Karena itu setiap informasi akan menjadi sangat penting dan berharga. Ketatnya persaingan dalam seleksi Seskoad membuat orang berpikir dengan berbagai cara, termasuk dengan memanfaatkan KKN dan Uang. Berbagai pendapat miring terkait seleksi Seskoad ini sering juga mengemuka khususnya dikalangan mereka yang selalu gagal dalam seleksi. Karena menurut beberapa pendapat, khususnya mereka yang sedang kesal,  bahwa Seleksi Seskoad bisa diatur dengan uang. Tetapi apakah itu masuk akal atau apakah hal seperti itu bisa diterima akal sehat? Terpulang pada penilaian anda.

Dari pengalama penulis ini kalau dihadapkan dengan soal-soal aplikasi pada waktu itu, maka penulis sangat yakin akan banyak para casis (calon siswa) yang bakal kesulitan. Terlebih lagi bagi mereka yang buta tentang peta Topografi, apa lagi bagi mereka yang tidak bisa membaca peta. Maksudnya bagi seorang perwira yang sudah terlatih dengan peta, maka sesungguhnya sudah bisa melihat dimana gunung, dimana aliran sungai dll sama halnya kalau anda melihat bentang alam itu secara langsung. Jadi kalau anda mengenal medan dan tahu teori taktik maka akan dengan mudah bagi anda untuk menentukan apakah pasukan anda akan menyerang atau bertahan. Anda akan mudah menentukan dimana garis pangkal serta melakukan berbagai taktik lainnya pada saat bertahan atau menyerang. Artinya dengan mengenal medan dan tahu teori taktik maka berbagai kemungkinan anda bisa lakukan terkait kondisi yang ada. Saya bisa bayangkan rekan-rekan dari korps keuangan, dari kesehatan dll yang tidak terbiasa dengan peta, apa lagi buta peta maka bisa dipastikan nilai aplikasi mereka akan jeblok.

Baca Bukunya, Kuasai Teorinya

Demikian juga dengan teori Taktik, saya menyarankan agar anda bisa menguasai taktik dan prosedur operasi mulai dari tingkat Danru sampai dengan Dan Brigif. Terus terang pada waktu itu saya melakukan hal itu. Karenanya saya masih hapal betul teori taktik dan SOP mulai dari menggerakkan satuan setingkat Regu sampai dengan Batalyon. Anda juga harus hati-hati. Anda juga perlu tahu cara membuat dan mengirimkan Berita, buat Telegram dll lewat Radio. Intinya anda harus benar-benar jadi seorang perwira cerdas berpangkat Mayor. Kenapa hal ini penulis lakukan? Pertama karena saya prajurit Korps Topografi. Saya tahu Seskoad itu sekolahnya Infantri. Saya juga tahu kalau saya seorang perwira Militer wajib yang bukan dari Akademi. Artinya, kalau nilai saya hanya sama dengan nilai rekan perwira dari Infantri maka secara logika mereka akan memilih yang Infantri. Kecuali mereka memang dari awal mau mencari seorang Casis Topografi.




Dalam buku ini Anda juga diberikan ketrampilan Menempa KUO atau Konsep Umum Operasi menjadi Perintah Operasi. Bagaimana anda mengkonsepkan Serangan atau Pertahanan secara tertulis dalam bentuk PERINTAH OPERASI. Anda dilihatkan visualisasinya; apa yang anda lakukan sebagai seorang Danyon sejak menerima  Perintah Operasi kemudian anda juga diberikan Pamhaman dan bagaimana cara Menuliskan Karmil yang benar; serta cara menulis Essay serta artikrl yang baik, benar dan menarik.

Dengan buku ini Anda akan tahu  seperti apa sih seleksi Seskoad itu, seperti apa penilaiannnya? Juga diberi tahu cara mudah memahami Psiko Tes; Buku ini juga memberi tahu anda tentang Jati Diri YNI; tentang UUD 1945, kenapa ada Amendemen UU 1945;  Kapan bisa menggunakan Kekuatan TNI dan bagaimana PEMBINAAN LATIHANNYA ( BinLat) Sebuah Buku yang perlu anda baca kalau mau Ikutan Seleksi Seskoad. 




Sabtu, 31 Oktober 2020

Buku Perbatasan : Pertahanan Kedaulatan Di Perbatasan

 


Indonesia yang menawan, zamrud khatulistiwa, sebuah negara kepulauan dan sering disebut sebagai benua maritim. Hamparan lautannya yang luas, terdiri dari belasan ribu pulau dengan panjang pantai lebih dari 81 ribu km serta berada diantara dua samudra Hindia dan Pasifik serta dua benua Australia dan Asia. Lokasi yang strategis, kalau saja bisa memanfaatkannya dengan baik maka semua akan datang dan akan  jadi pusat bisnis dunia yang menjanjikan. Bila diumpamakan, bagai sebuah RESORT tempat persinggahan bagi para pelintas batas, pelaku bisnis  dua benua, dua samudra. Sesungguhnya, dengan membangun infrastruktur yang fungsional dan bagus, menyediakan berbagai fasilitas perdagangan, produksi serta layanan kelas dunia serta biaya pajak yang kompetitip,  percayalah semua orang akan singgah, dan bahkan datang serta memberikan semangat kerjasama. Indonesia mestinya, bisa dan mampu menjadikan wilayah zamrud khatulistiwa ini menjadi sesuah ”RESORT” yang menarik untuk didatangi,  bukan saja karena keindahannya, kaya dalam budaya, kaya dalam  sumber daya alam, hayati dan masyara katnya ramah serta menghargai.

Sayangnya baru sekarang inilah, di era Jokowi hal seperti itu mulai dilakukan, berbagai infrastruktur dibangun dan hasilnya sudah mulai terlihat. Kapal kapal Kargo ukuran besar yang tadinya hanya sampai di pelabuhan Singapura atau Malaysia kini sudah melaju ke Jakarta, bahkan Kalimantan Barat sendiri sudah punya pelabuhan yang bisa di datangi kapal-kapal raksasa kargo itu.   Kawasan perlintasan perdagangan dunia yang begitu strategis, sampai saat ini baru bisa dimanfaatkan oleh negara Singapura dan sebentar lagi Malaysia, dua negara tetangga  yang mampu menyuguhkan layanan, sarana dan prasarana  kelas dunia dengan cita rasa dan keramah tamahan dari timur. Padahal dari segi apapun, kalau Indonesia bisa menata diri, dan bersolek rupa maka dibandingkan dengan negara manapun di sekitarnya pastilah tetap jauh lebih unggul. Dalam kondisi seperti itulah maka penulisan buku ini. Buku dengan judul “PERTA HANAN KEDAULATAN DI PERBATASAN. dilakukan. Pembangunan kekuatan dan kemampuan pertahanan negara diselenggarakan secara terpadu dan bertahap sesuai dengan kemampuan negara serta diarahkan untuk mewujudkan pertahanan yang professional,  modern yang mampu menindak dan menanggulangi setiap ancaman. Selama ini pembangunan pertahanan negara dilakukan, dengan memberi prioritas kepada pembangunan Ekonomi Nasional. Tetapi kini ada suasana baru, pertama karena ekonomi Indonesia diyakini akan terus membaik; kemudian produk industri pertahanan nasional kita juga ternyata kian diminati di negara tetangga. Karena itu sudah saatnya negara membenahi gelar kekuatan pertahanan kita secara keseluruhan termasuk di wilayah perbatasan.

Sebagai pertahanan dia diwajibkan punya kemampuan memonitor di wilayah terluar perbatasan nasional kita. Pada lokasi-lokasi tertentu di perbatasan kita harus mempunyai Lapangan Terbang yang mampu dimanfaatkan pesawat tempur. Di perbatasan semestinya ada gelar meriam batas atau meriam pantai yang bisa menjangkau posisi strategis yang diperkirakan jadi masuknya agresi musuh. Kodam perbatasan dan Polda perbatasan harus diperkuat dengan kemampuan sesuai dengan kebutuhan realitas dan prediksi ancaman yang ada. Mereka harus mempunyai kemampuan patroli dan menindak berbagai kegiatan illegal yang merugikan kepentingan nasional. Itulah sejatinya ide-ide yang ada pada saat penulisan Buku ini. Semoga bisa menjadi sesuatu yang bermakna bagi pemerhati pertahanan di Perbatasan.

Seperti apakah gelar kekuatan pertahanan kita dalam menjaga kedaulatan di perbatasan? Sejauh manakah aparat keamanan kita mampu mengontrol pergerakan barang dan orang di perbatasan? Hal hal itulah yang menjadi sasaran pengamatan dan menjadi Catatan seorang prajurit perbatasan ini.  Membaca buku ini secara perlahan akan terlihat betapa kadang ketidak mampuan dalam menjaga kedaulatan negara kita diperbatasan. Sehingga sering terjadi berbagai pemberitaan yang menyuguhkan keprihatinan terkait payahnya managemen pengelolaan perbatasan kedaulatan negara kita. Tapi setelah berita itu reda, ya kembali lagi ke pola biasa, dan juga tidak akan mampu melakukan perubahan apalagi perbaikan. Itulah yang terjadi hari demi hari. Perbatasan jadi menarik semua pihak, karena mereka mencoba mencari kepentingan  sektornya masing-masing di sana.



Pertahanan suatu Negara atau seperti apa pertahanan kedaulatan di Perbatasan juga harus dilihat sebagai fungsi-fungsi yang bersifat permanen, selama eksistensi negara ada. Yang selalu akan berubah dan mengalami penyesuaian adalah, “Analisis ANCAMAN (THREAT ASSESSMENT) yang mempengaruhi besaran sumber daya dan kekuatan yang diperlukan dan bagaimana sumber daya dan kekuatan itu diorganisir untuk keperluan pengelolaan dan pertahanan, termasuk di wilayah perbatasan.” Analisis Ancaman-Lah Yang Menentukan Apakah Ancaman Tersebut Bersifat Internal Atau Eksternal Serta Apakah Penanganannya Bersifat Defensif Atau Ofensif. Termasuk apakah penanganan pengelolaan dan pertahanan wilayah perbatasan akan lebih dititikberatkan pada kawasan tertentu dengan memperhatikan derajat ancaman atau optensi ancaman berdasarkan kondisi geografis sebuah negara.

Buku ini ibarat memungut kembali intisari tulisan-tulisan yang pernah ada di terbitkan di Web Wilayapertahanan.com dan menyajikannya demikian rupa agar ia tetap menarik meski apa adanya. Kadang diutarakan secara fulgar dan menohok meski secara umum sudah diupayakan agar tulisannya bisa diterima dalam norma kepenulisan biasa. Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas partisifasi berbagai pihak yang tidak bisa kami sampaikan satu persatu di sini. Tetapi Buku dengan rangkaian pemikiran ini tidak akan bisa selesai tanpa bantuan mereka. Mereka bisa ada di Kemhan, biasa ada di Kodam terkait, Kemdagri, Kemlu dan Pemda terkait, Perguruan Tinggi Perbatasan terkait dan para pemerhati pertahanan perbatasan. Semoga bermanfaat.



Harmen Batubara

Jumat, 17 Juli 2020

Konflik Perbatasan, India-China Berebut Pengaruh




Konflik Perbatasan, India-China Berebut Pengaruh
Oleh Harmen Batubara

Bentrokan tentara China dan India di daerah perbatasan Lembah Galwan, Ladakh, Himalaya, hingga menewaskan 20 tentara India. Bentrokan, Senin (15/6/2020) malam.  "sesuai kesepakatan bersama"  kalau terjadi perang di perbatasan, hanya boleh  berperang dengan bersenjatakan batu, tongkat,dan sejenisnya. Kedua pihak saling menyalahkan atas insiden itu dan saling klaim sebagai pemilik Lembah Galwan yang sah. India menuding China memicu perselisihan karena membangun infrastruktur di wilayah sengketa. Sebaliknya, China tidak merasa salah karena berkeyakinan Lembah Galwan masuk wilayah China.
Kedua Negara tidak mempunyai kesepakatan terkait perbatasan. Mereka saling tidak mengakui hak Negara tetangganya.  Ketika India di jajah oleh Inggeris, pernah melakukan kesepakatan batas dengan Tibet yang dikenal dengan Mc Mahon Line. Tetapi garis batas itu tidak diakui oleh China, karena menurut mereka Tibet sebagai bagian dari China tidak punya hal untuk itu. Garis McMahon adalah garis perbatasan antara India Timur Laut dan Tibet yang diusulkan oleh administrator kolonial Britania Henry McMahon (India adalah Negara jajahan Inggeris) dalam Konvensi Simla 1914.  Garis ini merupakan perbatasan efektif antara Tiongkok dan India. Garis ini dinamakan sesuai nama Henry McMahon, menteri luar negeri India Britania dan juru runding utama konvensi di Simla. Konvensi tersebut ditandatangani oleh McMahon dan Lonchen Satra atas nama Pemerintah Tibet. Garis ini membentang sepanjang 550 mil (890 km) dari Bhutan di barat hingga 160 mil (260 km) di timur dari tikungan besar Sungai Brahmaputra di sebelah timur, sebagian besar di sepanjang puncak Pegunungan Himalaya. Konvensi ini tidak diakui oleh China.
Yang membuat perbatasan kedua Negara ini jadi lebih rumit, karena kedua Negara  memanfaatkan pengaruhnya untuk mendapatkan dukungan dari Negara-negara yang juga berbatasan dengan India dan China. Buthon memihak India, Pakistan memilih China dan Tibet menjadi bagian dari China.
Dalam hal perbatasan India-China dikenal juga adanya Garis Kontrol Aktual. Garis Kontrol Aktual (LAC) adalah sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah yang dikuasai India dengan wilayah yang dikuasai oleh Tiongkok di bekas negara  Jammu dan Kashmir. Ada dua cara umum di mana istilah "Garis Kontrol Aktual" digunakan. Dalam pengertian sempit, garis ini hanya mengacu pada garis kontrol di sektor barat perbatasan antara kedua negara. Dalam pengertian itu, LAC membentuk batas efektif antara kedua negara, bersamaan dengan Garis McMahon di timur dan bagian kecil yang tidak bersengketa di antaranya. Dalam pengertian yang lebih luas, garis ini dapat digunakan untuk mengacu pada garis kontrol bagian barat dan Garis MacMahon, di mana garis ini merupakan perbatasan efektif antara India dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Tetapi sekali lagi. Tiongkok tidak mengakui Garis Kontrol Aktual yang hampir menyerupai sebagian besar "yang disebut garis McMahon tersebut"

Pemicu Terjadinya Perang Perbatasan.
Ada beberapa alasan. Namun kedua negara, mencari keunggulan strategis masing-masing demi keunggulannya dan kedua belah pihak saling menyalahkan. Merekatidak mengenal jalan kompromi.

Sungai Galwan yang secara tradisional selama ini damai sekarang menjadi wilayah konflik. China melihat, di daearh itu, daerah yang paling dekat dengan  LAC[1] atau Garis Kontrol Aktual India membangun jalan baru dari Leh ke Murgo, sepanjang Sungai Shyok menuju Daulet Beg Oldi (DBO), daerah terpencil sepanjang LAC di Ladakh. Tindakan India untuk meningkatkan infrastruktur di perbatasan tampaknya membuat marah China. Menurut China  Wilayah Lembah Galwan adalah wilayah China, dan situasi kontrol perbatasan ada pada mereka. “Menurut militer China, India telah memaksa mereka masuk ke lembah Galwan. India mengubah status quo di sepanjang LAC dengan membangun jalan, yang membuat marah China,” jelas Dr Long Xingchun, presiden Chengdu Institute of World Affairs (CIWA), kepada BBC. Jalan Baru itu bisa meningkatkan kemampuan India untuk memindahkan pasukan dan materialnya  dengan cepat jika terjadi konflik. Gesekan itu juga dipicu oleh  India yang secara kontroversial memutuskan untuk mengakhiri otonomi terbatas Jammu dan Kashmir pada Agustus tahun lalu, dan sekaligus India juga membuat ulang peta wilayah itu.Ladakh, yang dikelola pemerintah federal yang baru, mencakup daerah Aksai Chin, wilayah yang diklaim India tetapi dikendalikan dan diduki oleh China.
Pemerintah India juga telah berbicara tentang merebut kembali Kashmir yang dikelola Pakistan. Jalan raya Karakoram yang strategis melewati area ini, menghubungkan China dengan sekutunya Pakistan. China telah menginvestasikan sekitar US$60 miliar dalam infrastruktur Pakistan, yang disebut Koridor Ekonomi China Pakistan, atau China Pakistan Economic Corridor (CPEC). Proyek itu merupakan bagian dari Inisiatif Sabuk dan Jalan (OBR). Jalan raya tersebut merupakan kunci untuk mengangkut barang ke dan dari pelabuhan Gwadar di Pakistan selatan. Pelabuhan itu memberi China pijakan di Laut Arab. Selain itu, China tidak senang ketika India pada awalnya melarang semua ekspor peralatan medis dan pelindung untuk menopang stoknya segera setelah pandemi virus corona dimulai awal tahun ini.
Dari sisi India, mereka juga melihat China terus membangun infrastrukturnya di sekitar perbatasan. China membangun jalan yang langsung menghubungkan  provinsi Xinjiang dengan bagian barat Tibet di wilayah Doklam yang menurut China merupakan bagian dari wilayahnya, bukan milik Bhutan apalagi India. Mereka berpendapat tak ada pelanggaran yang dilakukan.“Itu adalah fakta yang tak terbantahkan yang didukung oleh bukti historis dan yurisprudensi,” kata juru bicara kementerian luar negeri China Lu Kang. Bhutan sendiri berharap China mematuhi kesepakatan bersama dan tetap mempertahankan status quo di wilayah tersebut.
Wilayah yang menjadi pemicu sengketa itu berada di persimpangan antara India, China, dan Bhutan[2]. Wilayah itu sesungguhnya menjadi sengketa antara China dan Bhutan. India hadir atas permintaan Bhutan untuk menghadapi China. Sudah lebih dari 30 tahun sengketa itu berlangsung, tapi hingga saat ini belum ditemukan jalan keluar yang tepat untuk semua pihak.
Bagi India, meski dataran tinggi itu bukan wilayahnya, tapi jelas jalan tersebut akan sangat merugikan strategi pertahanannya, karena jalan itu berada di dataran tinggi Doklam itu sangat menguntungkan bagi mobiliasi pasukan China, terlebih lagi jalan raya itu menghubungkan provinsi Xinjiang dengan bagian barat Tibet. Pembangunan jalan raya di dataran tinggi itu akan memberi akses bagi China untuk bisa menuju daerah yang sering disebut “chicken's neck”, yakni sebuah wilayah di timur laut. Wilayah itu dapat menjadi salah satu pintu masuk menuju teritori India yang sekaligus bisa menjangkau beberapa negara bagian di India.
“Pembangunan infrastruktur tambahan dapat mengurangi keseimbangan kekuatan lokal yang akan menguntungkan China, yang pada dasarnya akan membuat India lebih rentan terhadap invasi jika terjadi konfrontasi militer dengan Beijing,” Kata peneliti senior di Royal United Services Institute (RUSI) London, Shashank Joshi, kepada CNN.
Kedua Negara sebenarnya mempunyai trauma tentang sengketa perbatasan mereka pada tahun 1962. China menuding adanya persiapan khusus  pasukan India di perbatasan, di atas ketinggian 5.000 meter di Himalaya. Untuk itu China juga mempersiapkan pasukannya dan menggelar latihan militer sebagai ujicoba bagi pasukan gerak cepatnya. Mereka dilengkapi dengan navigasi digital, rudal anti-pesawat, dan peluncur roket. Selain itu, sejumlah pejabat India juga mengatakan bahwa kini terdapat 300 tentara dari kedua negara di wilayah perbatasan itu yang hanya berjarak 150 meter.
Pasukan India dan China yang berhadapan di wilayah perbatasan itu seperti membuka memori lama. Bukan kali ini saja India dan China berhadapan lewat pasukan di wilayah perbatasan. Pada tahun 1962, setelah 13 tahun Mao Zedong memproklamasikan negara Republik Rakyat China, kedua negara itu terlibat dalam perang hebat terkait perbatasan yang dikenal dengan Sino–Indian War tahun 1962.
Pada perang tersebut, pasukan China masuk menyerang melalui dua jalur perbatasan yang berbeda yakni melalui Ladakh dekat Kashmir dan McMohan Line yang berada di Arunachal Pradesh yang hingga kini masih disengketakan oleh kedua negara. Perang tersebut menewaskan 1.383 tentara India dan 722 tentara China. Jumlah yang terluka mencapai 1.047 dari pihak India dan 1.697 dari pihak China. Korban kebanyakan berjatuhan karena kondisi ekstrem karena berada di ketinggian ribuan kaki dan tak mendapat perawatan medis. Perang ini menjadi catatan kelabu bagi hubungan diplomatik antara kedua negara.
Militer India dan China juga pernah bertempur di Nathu La sebuah jalur perdagangan kuno melalui Himalaya yang merupakan bagian dari Jalur Sutra. Wilayah itu terpaksa ditutup dan dibuka kembali pada 2006. Setelah Insiden Nathu La, China dan India juga terlibat dalam pertempuran di Cho La. Wilayah yang tak jauh dari Nathu La.
Ketegangan juga mewarnai perbatasan China dan India di Arunachal Pradesh. Kehadiran dan provokasi China di wilayah tersebut, membuat India mengirim tentara ke wilayah itu. Kini India memasukkan Arunachal Pradesh sebagai salah satu negara bagian dan masuk dalam teritorinya bahkan pada bulan Mei lalu meresmikan jembatan sepanjang 9 kilometer yang menghubungkan Arunachal Pradesh dengan utara Assam.

Dipercaya masalah perbatasan antara India dan China dipercaya masih akan berlangsung lama. Terlebih lagi kalau kita melihat cara-cara penyelesaian pertiakain perbatasan antara kedua Negara itu dengan Negara-negara yang berbatasan dengan mereka. Misalnya China, mereka mempunyai masalah perbatasan dengan beberapa Negara seperti Jepang, dengan Korea Selatan, bahkan dengan beberapa Negara Asean di Laut China Selatan dan belum ada yang bisa terselesaikan dengan baik. Begitu juga dengan India, mereka bersengketa dengan hampir semua Negara yang berbatasan dengan negaranya dan juga tidak mampu menyelesaikannya dengan baik.


[1] https://www.matamatapolitik.com/sebab-detail-kenapa-konflik-memanas-di-perbatasan-china-india-analisis/
[2] https://tirto.id/perselisihan-antara-cina-dan-india-yang-tak-kunjung-usai-ct8E

Minggu, 31 Mei 2020

Gelar Kekuatan TNI di Wilayah Perbatasan


Gelar Kekuatan TNI di Wilayah Perbatasan
Dalam dua tahun terakhir, kita sudah melihat pemerintah Jokowi – JK  terus melakukan dan fokus untuk mempercepat pembangunan dari pinggiran, membangun kawasan timur, kawasan perbatasan dan pulau-pulau terluar Indonesia. Idenya adalah, pemerintah ingin pembangunan dilakukan lebih merata, sehingga mengatasi kesenjangan antar wilayah, terutama kawasan barat dengan kawasan timur Indonesia. Hal seperti itu dikatakan Presiden Jokowi dalam pengantarnya pada Rapat Terbatas tentang Sinkronisasi Gelar TNI dengan Pembangunan, di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (12/1/2017) siang. Presiden meyakini, dengan pemerataan pembangunan antar wilayah, maka daerah-daerah di wilayah pinggiran, seperti Kepulauan Natuna di bagian barat, Kepulauan Miangas di utara, Biak-Merauke di sebelah timur, sampai Pulau Rote dan sekitarnya di sebelah selatan, akan tumbuh menjadi sentra-sentra ekonomi baru, sentra-sentra pertumbuhan ekonomi.
Apa yang menjadi pemikiran Presiden terkait “gelar kekuatan TNI”, khususnya di daerah perbatasan dan pulau-pulau terluar mengingatkan saya akan tulisan Pa Wiranto[1] . Menurut beliau, TNI dibentuk tahun 1945, sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Dalam catatan sejarah, pada saat pembentukannya, kondisi keuangan negara masih serba kekurangan. Konsep pembentukan dan penataan TNI juga belum memiliki pola yang cukup jelas. Orientasi saat itu adalah sesegera mungkin mengorganisasi tentara pejuang kemerdekaan dalam unit-unityang lebih teratur, sebagaimana tentara reguler.
Dalam kondisi seperti itu, Pemerintah Indonesia terpaksa mengambil langkah-langkah paling logis, yakni mengambil alih seluruh persenjataan dan perlengkapan pasukan penjajah. Demikian pula seluruh barak, asrama, dan markas komando yang dibangun pemerintahan penjajah Belanda dan Jepang langsung diambil alih dan dijadikan milik pemerintah, untuk kemudian dijadikan aset TNI. Itulah mengapa pada awal keberadaan negara Indonesia, peta kekuatan militer TNI terpusat di kota-kota besar di Jawa. Pada kondisi keuangan negara yang tak kunjung menguat, pembangunan fasilitas militer yang baru bukan jadi prioritas. Gelar pasukan darat di Pulau Jawa yang tadinya dilakukan dengan terpaksa, bersifat sementara, menjadi suatu kondisi permanen yang tak terelakkan. Dari tahun ke tahun dislokasi pasukan angkatan darat yang terpusat di kota-kota besar di Jawa menjadi sesuatu kewajaran yang menggiring kita pada pemikiran yang tak lagi rasional.

Komando daerah militer (kodam) di Jawa dibangun sebagai kodam kelas I dengan jumlah pasukan sangat besar, sedangkan kodam di luar Jawa hanya kelas II dengan sedikit pasukan. Pasukan Kostrad sebagai pasukan cadangan strategis sebagian besar berlokasi di Jawa, dilatih, dilengkapi, dan dipersiapkansetiap saat dikirim ke luar Jawa, membantu pasukan setempat. Tanpa disadari, konsep operasi yang dianut benar-benar mengulangi apa yang dilakukan tentara kolonial. Tentara yang terpusat di Pulau Jawa dikirim guna menumpas pemberontakan ke daerah-daerah yang bergolak.
Dari catatan sejarah operasi TNI, pada 1958-1959 pasukan dari Jawa dikirimke Sumatera dan Sulawesi melawan PRRI/Permesta. Pada 1968-1969 pasukan dari Jawa dikirim ke Kalimantan menumpas pemberontakan PGRS/Paraku. Dari tahun 1960-an sampai sekarang masih ada pasukan dikirim ke Irian Jaya (sekarang Papua) untuk menumpas berbagai aksi pemberontakan. Tahun 1976 sampai 1999 mengirim pasukan ke Timor Timur. Tahun 1990-1998, melalui Operasi Jaring Merah, pasukan dari Jawa dikerahkan ke Aceh guna menumpas Gerakan Aceh Merdeka, dan masih banyak lagi operasi serupa yang ternyata banyak menuai masalah.
Pertama, biaya menjadi sangat mahal. Kedua, ada kesan dominasi pemerintah pusat (Jawa) digunakan untuk menindas daerah (luar Jawa) dengan kekerasan. Ketiga, mental pasukan yang dikirim tidak prima, jauh dari keluarga dalam jangka waktu yang cukup lama. Keempat, banyak tuduhan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang terus dipermasalahkan sampai saat ini sebagai akibat dari pola operasi semacam itu.
Pertahanan di Perbatasan Jauh Dari Memadai?
Catatan saya terkait “kesigapan TNI” di perbatasan memang banyak yang menghawatirkan. Salah satunya ya terkait perbatasan negara kita dengan Malaysia. Tetangga kita ini sering melakukan pelanggaran ke wilayah kita, khususnya di Ambalat. Memang wilayah itu masih dalam kondidi abu-abu, kedua negara masih belum bisa menyepakati batas di wilayah tersebut. Dalam penglihatan kita, semestinya mereka bisa menahan diri dan tidak melakukan profokasi. Bayangkan sejak januari – Juni 2015, sudah ada 7 Nota Protes Indonesia ke Malaysia. Soal profokasi mereka ke wilayah sengketa itu; tetapi sama sekali tidak ditanggapi pihak tetangga itu. Mereka tidak menjawabnya, adalah bagian strategi “penanganan perbatasan”, sehingga kelak mereka tidak pernah mengakui” adanya protes seperti itu.
Kala itu, juru bicara Arrmanatha Nasir mengaku Kemlu telah mengirimkan nota protes kepada Pemerintah Malaysia sebanyak tujuh kali. Nota protes itu dikirim terhitung sejak Januari lalu. Hal itu disampaikan oleh Arrmanatha ketika dikonfirmasi VIVA.co.id melalui telepon pada Rabu, 17 Juni 2015. Kemudian kita bisa melihat “insiden pendaratan tanpa izin helikopter Malaysia” yang membawa Menteri Dalam Negeri negara itu di Pulau Sebatik, Kalimantan Utara, pada Minggu, 29 Juni 2015. Helikopter itu bebas pergi karena personel TNI yang bertugas di sana tidak siap. Meskipun kejadian itu murni “insiden” salah identifikasi lokasi. Tetapi tetap saja, pertahanan kita di sana masih belum bisa berbuat yang sepantasnya. Berikut juga fakta yang bisa memperlihatkan seperti apa porsi yang diberikan oleh kekuatan pertahanan kita di perbatasan.
Fakta pada pukul 11.40 WITA, Jumat 26 Juni 2015. Mesin pesawat yang baru mendarat setelah melakukan PATROLI DI PERBATASAN itu tiba-tiba mati sebelum berhasil masuk ke dalam taxy way. Pesawat TNI AL itu kemudian ditarik secara manual oleh petugas bandara dan anggota TNI masuk ke area parkir pesawat. Butuh waktu sekitar 12 menit untuk bisa menarik badan pesawat ke area parkir pesawat. Untunglah kejadian tersebut tidak mengganggu jadwal penerbangan di Bandara Juwata Tarakan,” kata Kepala Bandara Juwata Tarakan, Syamsul Bandri waktu itu. Belum ada informasi resmi penyebab kejadian terhentinya pesawat TNI AL di landasan pacu Bandara Juwata. Namun diduga, mesin pesawat tersebut mengalami gangguan teknis. Dalam bahasa pertahanan, gangguan teknis itu bisa terjadi karena system perawatannya, jauh dari memadai.
Ada juga secuil kebanggan, takkala TNI AU berhasil memaksa turun pesawat asing yang dipiloti seorang perwira Amerika Serikat (AS) di Tarakan, Kalimantan Utara (Kaltara) pada Senin (9/11/2015). Namun, Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu mengaku adanya kealpaan, untuk segera menempatkan penjagaan di perbatasan negara di Tarakan, Kaltara.“Kalau orang melihat ada yang JAGA pasti tidak akan lewat situ. Jadi ada kesalahan juga selama ini kita tidak ada efek detterence (pencegahan) begitu. Kalau ditaruh (penjaga) di ujung-ujung kan kalau mau lewat pasti ngomong dia ‘kulo nuwun’. Kalau enggak ada orang (jaga) bagaimana mau kulo nuwun,” aku Ryamizard Ryacudu, di Jakarta, Rabu (11/11/2015). Menhan waktu itu, akan menempatkan  satu flight atau 4-5 pesawat pesawat tempur bakal ditempatkan di wilayah itu. Menhan juga mengungkapkan, selain di Tarakan juga bakal dilakukan di Natuna, Kepulauan Riau, dan Papua. Daerah-daerah perbatasan itu merupakan daerah yang masih minim penempatan ALUTSISTA.

Kehadiran TNI di Perbatasan, Flash Point dan Jalur ALKI
Kalau kita melihat pembangunan pola Nawacita, maka yang terlihat adalah pembangunan yang dimulai dari daerah perbatasan dari pulau-pulau terluar, lokasi-lokasi Flash Point pertahanan, termasuk jalau-jalur ALKI. Setelah pemerintah membuka isolasi perbatasan, dengan membangun jalan paralel perbatasan di Kalimantan, membuka jalur isolasi di perbatasan Papua, dan perbatasan Timor Leste, demikian juga dengan pulau-pulau terluar seperti pulau Miangas, termasuk dengan membangun kembali 9 PLBN yang akan jadi pintu ekspor-impor di kawasan perbatasan, maka semakin jelas pada penglihatan kita bahwa perlu segera adanya kehadiran kekuatan pertahanan di lokasi-lokasi tersebut, khususnya bagian dari “gelar kekuatan TNI”. Kita tahu, bahwa dareah-daerah tersebut sebenarnya adalah bagian dari wilayah Kodam, Polda, Armada dan Koops AU., tetapi ternyata “mereka” tidak hadir di sana. Kalaupun ada banyak pos-pos TNI di perbatasan, ternyata keberadaan Pos-pos itu, masih merupakan bagian dari masalah itu sendiri. Mereka sama sekali tidak punya kemampuan “deteksi” dan kemampuan “pemaksa” sama sekali. Apalagi adanya komando “real time” antara wilayah perbatasan dengan Pusat Komado TNI di Jakarta.
Kita bisa bayangkan apa yang akan terjadi di Miangas? Siapa yang melakukan “monitoring” kekuatan asing di wilayah tersebut? Sementara cakupan Radar belum sampai, sementara Kodamnya ada di Makassar, Poldanya ada di Sulawesi Utara dan Armada dan Koops AU nya ada di Makassar. Hal yang sama dengan Natuna? Kodam nya ada di Medan, Poldanya ada di Kepri, Armadanya dan KoopsAUnya ada di Jakarta. Begitu juga kalau ada apa-apa di pulau Sebatik atau Nunukan? Kodam dan Poldanya ada di Balikpapan, Armada dan Koopsnya ada di Makassar. Begitu juga kalau ada apa-apa dengan Merauke? Kodam dan Poldanya ada di Jayapura, Armada dan Koops Aunya ada di Makassar. Padahal gelar kekuatan Trimatra TNI dengan gelar komandonya masih berjalan sendiri-sendiri.
Intinya adalah, kita ingin mengatakan bahwa Kaji Ualng Gelar Kekuatan TNI seperti yang jadi wacana pa Wiranto adalah sesuatu yang perlu dan harus. Hal itu bukan permasalahan yang sederhana, karena ia mencakup gelar kekuatan TRI MATRA dan juga gelar Komando bagi kekuatan yang mengawakinya. Pada era SBY dahulu sempat muncul adanya ide Komando Gabungan Wilayah untuk mengurai dan membantu Panglima TNI dalam mengoptimalkan Komandonya. Tetapi kemudian meredup seiring dengan pergantian presiden. Kita hanya ingin menyampaikan, bahwa keinginan presiden Jokowi untuk menghadirkan kekuatan pertahanan di daerah pinggiran, di daerah perbatasan, dan pulau-pulau terluar adalah sesuatu yang sederhana. Tetapi untuk bisa memenuhinya memerlukan kaji ulang yang mendasar.
[1] Kaji Ulang Gelar Pasukan TNI, oleh Wiranto, mantan Panglima TNI; wilayahperbatasan.com February 25th, 2016


Selasa, 31 Maret 2020

Makna Sebuah Kedaulatan


Makna Sebuah Kedaulatan         
Oleh Hamid Awaluddin
Perang selama 30 tahun (1618-1648) antara kaum Protestan dan kaum Katolik Roma berakhir di meja perundingan. Sekilas, perang ini adalah perang keyakinan. Namun, sesungguhnya perang di Eropa tersebut adalah perang tentang perebutan pengaruh dan kekuasaan. Lantaran itulah, perang ini melibatkan banyak negara. Sebutlah Swedia, Belanda, Jerman, Denmark, dan Italia. Perang yang menelan banyak korban tersebut diakhiri dengan perundingan damai di kota Osnabruck dan Munster di Provinsi Westphalia, Jerman. Perundingan dan diplomasi yang melahirkan perjanjian damai ini dikenal hingga kini dengan nama Perjanjian Westphalia.
Salah satu isi perjanjian Westphalia, yang jadi tonggak sejarah dan praktik hubungan dan hukum internasional, ialah adanya pengakuan kedaulatan negara tanpa campur tangan negara lain. Ini yang kita sebut sovereignty of state. Konsep kedaulatan negara inilah yang mengubah konstelasi politik global dan meneguhkan prinsip kesederajatan bangsa-bangsa yang ada di dunia ini. Kedaulatan negara memiliki dua unsur utama: (1) pemegang kedaulatan (negara) secara mutlak memiliki otoritas dan (2) kedaulatan negara ditandai dengan adanya teritori, di mana otoritas mutlak itu dijalankan secara penuh. Kedua unsur ini acapkali dipostulatkan secara hukum dengan istilah supreme authority within a territory. Bagi filosof RP Wolff, otoritas adalah ”The right to command and correlatively the right to be obeyed.”
Masalah kedaulatan negara ini telah menyita perhatian Thomas Hobbes dan Jean Bodin. Mereka malah dengan tegas mengatakan, kedaulatan negara adalah absolut. Mereka berprinsip bahwa kedaulatan negara ”Extending all matters within the territory, unconditionally.” Jabaran dari perjanjian damai Westphalia mengenai kedaulatan negara ini diabadikan dalam Piagam PBB, khususnya dalam Pasal 2 (4), yang jelas menegaskan, semua anggota PBB (negara) dalam hubungan internasional mereka menjauhkan diri dari tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara lain atau dengan cara apa pun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan PBB.
Kedaulatan suatu negara terkandung di dalamnya adalah otoritas penuh menjalankan hukum yang dibuat oleh negara tersebut. Membuat dan menjalankan hukum dalam wilayah dan teritori negara adalah kebebasan mutlak negara tersebut dan tidak boleh dicampuri negara lain.

Kehormatan bangsa
Soal kedaulatan negara ini kembali mengemuka di republik kita sekarang ini karena dua negara anggota PBB, Brasil dan Australia, meradang karena warga negara mereka dihukum mati di Indonesia. Protes mereka sudah melampaui tata krama hubungan internasional yang selalu mengutamakan cara-cara damai dan bersahabat. Tindakan Pemerintah Brasil pada 20 Januari lalu yang menolak Duta Besar RI untuk menyerahkan surat kepercayaan Pemerintah Indonesia yang sudah hadir bersama sejumlah duta besar lainnya adalah penamparan atas kedaulatan negara. Penyerahan surat kepercayaan seorang duta besar kepada pemerintah tempat ia ditugasi adalah bagian terpenting atas pengakuan negara yang diwakilinya, bukan hanya di negara ia bertugas, melainkan juga dalam pergaulan internasional.
Seorang duta besar tidak bisa secara leluasa menjalankan tugas-tugas diplomatnya sebelum ia menyerahkan surat kepercayaan kepada pemerintah yang ditempatinya. Semua ini sudah diatur dalam Konvensi Vienna tentang Hubungan Diplomatik, di mana Brasil adalah penanda tangan konvensi tersebut. Seorang duta besar yang dikirim oleh negaranya ke satu negara, secara de juredan de facto, mewakili totalitas negaranya. Karena itu, sebutan duta besar selalu berbunyi, ”Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh”. Itu pula sebabnya semua surat kepercayaan yang dibawa oleh duta besar ke tempat ia bertugas pasti selalu berbunyi, ”Dengan ini kami mengirim putra-putri terbaik dan terhormat kami”.
Maka, penolakan Pemerintah Brasil atas Dubes RI untuk menyerahkan surat kepercayaan adalah penolakan Brasil terhadap kehormatan Indonesia. Jelas, penolakan tersebut berkaitan langsung dengan penegakan hukum Indonesia atas warganya, yang sekaligus berarti bahwa Brasil tidak menghargai prinsip-prinsip kedaulatan negara lain.
Sikap Australia
Hal yang sama juga terjadi buat Australia, yang memang dari masa ke masa selalu menunjukkan gelagat kurang bersahabat dengan Indonesia. Lebih ironis lagi, protes Australia atas Indonesia yang berdaulat untuk menjalankan hukumnya itu diekspresikan dengan cara mengungkit bantuan Australia terhadap korban tsunami di Aceh 10 tahun silam.
Seiring sejalan dengan ini, kita perlu memahami bahwa bantuan dunia terhadap korban tsunami tersebut adalah bantuan kesemestaan. Negara-negara lain, tanpa diminta, datang berduyun-duyun mengulurkan tangan dengan motif tunggal: demi kemanusiaan! Ketika itu, saya selaku Menteri Hukum dan HAM yang bertanggung jawab mengenai keimigrasian membuka selebar mungkin pintu Indonesia bagi siapa pun yang datang dengan misi kemanusiaan. Tak perlu mereka menggunakan visa. Banyak negara telah menunjukkan komitmen kemanusiannya, tanpa dasar perhitungan untung-rugi. Nah, sekarang Australia telah menunjukkan bahwa apa pun yang dilakukannya ternyata selalu dimotivasi oleh kalkulasi untung-rugi. Artinya, motif kemanusiaan yang semestinya melebur sekat-sekat motif politik, sosial, dan ekonomi, tidak berlaku bagi Australia.
Untung Wakil Presiden RI M Jusuf Kalla menunjukkan kedaulatan negeri ini dengan cara ingin mengembalikan seluruh bantuan Australia tersebut. Pada masa silam, Bung Karno pernah berteriak, ”Go to hell with your aid.” Mungkin sekarang ini, demi tegaknya harga diri bangsa ini, ada pemimpin kita yang berkata ke Australia: ”Get lost and get your aid back.” Australia perlu memahami betul bagaimana Indonesia membantunya tanpa batas waktu. Jika bukan Indonesia, Australia sudah lama disesaki oleh imigran gelap, khususnya yang berasal dari Asia Selatan dan sejumlah negara di kawasan Asia. Indonesia berperan vital mencegah imigran-imigran gelap tersebut melalui operasi penangkapan dan penangkalan. Ke Australia, ada baiknya bangsa ini berkata, ”Get this?”
Beberapa tahun silam, tatkala keluar dari penjara yang mengurung badannya selama 28 tahun, Nelson Mandela mengatakan bahwa manusia yang bermartabat adalah manusia yang memiliki kedaulatan dan kedaulatan itu adalah kebebasan dan ”Freedom is to master my way and to be captain of myself.” Indonesia adalah negara yang berdaulat karena itu Indonesia adalah master untuk jalannya dan kapten bagi dirinya sendiri. Bukan negara lain. Hamid Awaluddin Mantan Duta Besar RI Di Rusia Dan Belarus (Sumber : Kompas, 26 Januari 2016)
Tulisan ini Juga pernah dimuat di www.wilayahpertahanan.com


Jumat, 31 Januari 2020

Buku Perbatasan : Batas Negara Indonesia



Dalam hal perbatasan, Indonesia berbatasan dengan 10 (sepuluh) negara  sahabat yaitu  India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, Kepu lauan Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste dan di Darat berbatasan dengan 3 (tiga) Negara yaitu ; Malaysia, Papua Nugini dan RDTL. Selain itu terdapat 92 (sembilan puluh dua) buah pulau kecil terluar yang merupakan halaman Negara dan tiga belas diantaranya membutuhkan perhatian khusus.

Batas Negara Indonesia

ISBN-978-602-1062-54-8
Jumlah Halaman : 362 hal

Batas Negara mempertegas batas-batas SOVERE IGNTY OF STATE  suatu negara. Kedaulatan negara memiliki dua unsur utama Yakni Pemegang Kedaulatan secara mutlak memiliki otoritas dan Kedaulatan Negara ditandai dengan adanya Teritori, di mana otoritas mutlak itu dijalankan secara penuh. Kedua unsur ini dipostulatkan secara hukum dengan istilah supreme authority within a territory. Batas dan Wilayah perbatasan memiliki nilai strategis baik sebagai kedaulatan, sebagai pangkal pertahanan, sebagai halaman depan kebanggaan juga sebagai titik dasar dalam penetapan garis batas wilayah territorial,  Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen Indonesia. Sebagai halaman depan bangsa ia sekaligus jadi pusat interaksi perekonomian, sosial budaya dengan negara tetangga dalam suatu masyarakat Asean dan Dunia.  Karena itu tidak diragukan lagi Garis Batas Negara mempunyai arti penting dalam pembangunan kedaulatan negara. Kita Perlu Tahu Bagaimana Batas Di Penegasan kan.
Buku ini menjelaskan perbatasan Indonesia dengan 10 negara  sahabat yaitu  India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, Kepu lauan Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste dan di Darat berbatasan dengan 3  Negara yaitu ; Malaysia, Papua Nugini dan RDTL. Selain itu terdapat 92 (sembilan puluh dua) buah pulau kecil terluar yang merupakan halaman Negara dan tiga belas diantaranya membutuhkan perhatian khusus. 
Dalam hal perbatasan, Indonesia berbatasan dengan 10 (sepuluh) negara  sahabat yaitu  India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, Kepu lauan Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste dan di Darat berbatasan dengan 3 (tiga) Negara yaitu ; Malaysia, Papua Nugini dan RDTL. Selain itu terdapat 92 (sembilan puluh dua) buah pulau kecil terluar yang merupakan halaman Negara dan tiga belas diantaranya membutuhkan perhatian khusus.
Sulit untuk menghargai kedaulatan sebuah bangsa, kalau ternyata Negara itu tidak mampu melakukan penegasan perbatasan negaranya dengan Negara-negara tetangganya. Dalam hal hubungan Internasional, masalah teritorial merupakan salah satu penyebab klasik munculnya konflik antar negara dan menjadi ancaman abadi bagi perdamaian serta keamanan internasional. Ketidakjelasan batas teritorial, salah satunya, menjadi faktor laten penyebab munculnya sengketa perbatasan yang akan mengganggu stabilitas hubungan antar negara. Hal seperti itu sudah bukan lagi rahasia umum, boleh dikatakan 85% Negara di Dunia ini mempunyai permasalahan perbatasan dengan Negara tetangganya. Apalagi kalau hal itu kita lihat di belahan Asia, hampir semua Negara punya masalah perbatasan dengan Negara tetangganya. Sebut saja nama negaranya, misalnya China atu Tiongkok, Negara ini punya permasalahan batas dengan India, dengan Jepang, dengan Korea Selatan, dengan Malaysia, dengan Brunai, dengan Vietnam, dengan Filipina. Indonesia sendiri mempunyai masalah perbatasan dengan sepuluh (10) Negara tetangganya.
Secara administratip garis perbatasan darat mempunyai 3200 km, melewati 5 Kabupaten[1] di Kalimantan Barat ( Sanggau, Kapuas Hulu, Sambas, Sintang dan Bengkayang) berbatasan dengan Sarawak Malaysia sepanjang 966 km; tiga (3) kabupaten di  Kalimantan Utara ( Nunukan, Malinau)  dan satu di Kalimantan Timur yakni Kutai Barat yang berbatasan dengan Sabah, Malaysia sepanjang 1038 km. Terhitung ada Lima (5) Kabupaten/Kota di Papua (Jayapura, Keerom, Pegunungan Bintang, Boven Digul dan Merauke) berbatasan dengan Papua Nugini sepanjang 820 km ; dan Tiga(3)  kabupaten di Nusatenggara Timur (Belu, Kupang dan Timor Tengah Utara) berbatasan dengan Timor Leste sepanjang 300km.


Garis perbatasan laut meliputi 10 provinsi yang bagian wilayah lautnya berhadapan langsung dengan negara lain, termasuk pulau-pulau kecil terluar dan laut disekitarnya. Wilayah Provinsi berbatasan dengan India yaitu  Nangru Aceh Darussalam, berbatasan dengan Thailand juga termasuk provinsi NAD, dan Sumut; berbatasan dengan Malaysia yaitu Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur;  berbatasan dengan Singapura yaitu provinsi Kepulauan Riau; berbatasan dengan Filipina dengan provinsi Sulawesi Utara, Maluku Utara; berbatasan dengan Australia yaitu provinsi Nusa Tenggara Timur, dan Maluku; serta berbatasan dengan Papua Nugini yakni dengan provinsi Papua; berbatasan dengan Timor Leste yaitu dengan Provinsi NTT, termasuk juga 67 pualau-pulau kecil terluar dan 13 diantaranya memerlukan perhatian khusus. 
Penegasan batas darat  RI selama ini ditangani oleh beberapa Kementerian dan Lembaga (K/L) serta departemen dan  instansi teknis terkait baik dari jajaran Kementerian Pertahanan (Kemhan), TNI, Topografi AD, Dishidroa-AL dan Kodam Wilayah Perbatasan maupun Kementerian/Lembaga sipil khususnya Kemdagri dan Kemlu, dan Badan Informasi Geospasial Indonesia (Badan Koordinasi Survei dan pemetaan Nasional). Batas negara terdiri dari batas darat, batas laut dan batas udara. Batas darat dan batas udara merupakan batas teritorial yang memiliki kedaulatan penuh (full sovereignty), sementara batas laut tidak hanya teritorial, akan tetapi juga mencakup batas zona tambahan (contiguous zone), batas zona ekonomi eksklusif (economic exclusive zone), dan batas landas kontinen (continental shelf)[2]. Oleh karena batas laut tidak hanya batas teritorial, maka terminologi yang digunakan untuk laut adalah batas maritim yang memuat batas kedaulatan penuh dan batas hak berdaulat (sovereign right).
Wilayah perairan Indonesia memiliki potensi sengketa/konflik batas maritim dengan 10 negara tetangga. Batas maritim yang menjadi pembahasan antara Indonesia dengan negara tetangga adalah batas Laut Teritorial, ZEE, dan Landas Kontinen. Sementara batas Zona Tambahan tidak pernah dijadikan bahan permasalahan dalam perundingan batas maritim Indonesia dengan negara tetangga. Permasalahan-permasalahan yang kerap terjadi di perbatasan dan kawasan dapat disebabkan oleh beberapa kondisi, antara lain : belum adanya batas yang disepakati, belum tuntasnya proses perundingan batasnya, dan adanya kesalahan penafsiran terhadap batas yang sudah disepakati[3]. Dari seluruh batas wilayah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga, batas terpanjang memang dengan Malaysia. Baik perbatasan darat, begitu juga dengan batas lautnya.  Perundingan batas wilayah maritim Indonesia-Malaysia mencakup  semua batas wilayah laut yang belum disepakati yang terdiri atas Zona Ekonomi Eksklusif, Batas Laut Teritorial, dan Landas Kontinen. Saat ini sebagian besar Batas Laut Teritorial dan Landas Kontinen telah disepakati, baik oleh Indonesia maupun Malaysia. Persetujuan Batas Laut Teritorial telah mencapai lebih dari 80 persen, yang belum disepakati masih tersisa 20 persen, yaitu sepanjang hampir 50 mil laut atau 92,6 kilometer.
Di bagian barat, daerah ”yang belum jelas ” itu berada di selatan Selat Malaka, daerah antara Johor dan Pulau Bintan, serta perairan dekat Batu Puteh[4]  di timur Singapura. Di perairan Kalimantan batas yang belum disepakati ada di Tanjung Datuk yang berhadapan dengan Laut China Selatan dan di Pulau Sebatik di Laut Sulawesi. Landas Kontinen yang sudah disepakati mencapai lebih dari 95 persen, atau masih menyisakan batas 5 % atau berjarak kurang dari 100 mil atau 185,2 kilometer, yaitu di Ambalat Laut Sulawesi. Namun, hingga kini Zona Ekonomi Eksklusif di perbatasan kedua negara belum ada satu pun yang disepakati. Padahal, kawasan ini memiliki arti penting bagi aspek ekonomi karena Zona Ekonomi Eksklusif mengandung potensi perikanan dan nilai strategis dari aspek transportasi laut.
Perundingan Batas Laut Teritorial dan Landas Kontinen dilaksanakan setelah keluarnya UNCLOS I tahun 1958. Perundingan Indonesia-Malaysia untuk dua batas itu dilaksanakan sejak tahun 1969 hingga 1972. Adapun ketetapan tentang Zona Ekonomi Eksklusif, baru dikeluarkan pada UNCLOS III tahun 1982. Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia mencapai total 1.200 mil atau 2.222 kilometer. ”Zona sepanjang ini belum ada yang disepakati.  Zona itu meliputi garis sepanjang 300 mil laut di Selat Malaka, 800 mil laut di Laut China Selatan, dan sekitar 100 mil laut di Laut Sulawesi.



”Di antara perbatasan Zona Ekonomi Eksklusif tersebut yang sering menimbulkan konflik ada di Selat Malaka. Karena Malaysia menarik garis masuk ke dalam wilayah Zona Ekonomi Eksklusif yang ditetapkan Indonesia hingga sejauh 9 mil”   
Garis batas laut wilayah antara Indonesia dengan Malaysia adalah garis yang menghubungkan titik-titik koordinat yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama di Kuala Lumpur, pada 17 Maret 1977. Berdasarkan UU No 4 Prp tentang Parairan tahun 1960, Indonesia telah menentukan titik dasar batas wilayah lautnya sejauh 12 mil. Sebagai implementasi dari UU tersebut, beberapa bagian perairan Indonesia yang jaraknya kurang dari 12 mil laut, menjadi laut wilayah Indonesia. Termasuk wilayah perairan yang ada di Selat Malaka.
Pada Agustus 1969, Malaysia juga mengumumkan bahwa lebar laut wilayahnya menjadi 12 mil laut, diukur dari garis dasar yang ditetapkan menurut ketentuan-ketentuan konvensi Jenewa 1958 (mengenai Laut Wilayah dan Contigous Zone). Sehingga timbul persoalan, yaitu letak garis batas laut wilayah masing-masing negara di Selat Malaka (di bagian yang sempit) atau kurang dari 24 mil laut.
Adapun batas Landas Kontinen antara Indonesia dan Malaysia ditentukan berdasarkan garis lurus yang ditarik dari titik bersama ke titik koordinat yang disepakati bersama pada 27 Oktober 1969. Atas pertimbangan tersebut, dilaksanakan perundingan (Februari-Maret 1970) yang menghasilkan perjanjian tentang penetapan garis Batas Laut Wilayah kedua negara di Selat Malaka. Penentuan titik koordinat tersebut ditetapkan berdasarkan Garis Pangkal masing-masing negara. Dengan diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, maka penentuan titik dasar dan garis pangkal dari tiap-tiap negara perlu diratifikasi berdasarkan aturan badan internasional yang baru. Selama ini penarikan batas Landas Kontinen Indonesia dengan Malaysia di Perairan Selat Malaka berpedoman pada Konvensi Hukum Laut 1958.
MOU RI dengan Malaysia yang ditandatangani pada 27 Oktober 1969 yang menetapkan Pulau Jarak dan Pulau Perak sebagai acuan titik dasar dalam penarikan Garis Pangkal jelas jelas merugikan pihak Indonesia, karena median line yang diambil dalam menentukan batas landas kontinen kedua negara tersebut cenderung mengarah ke perairan Indonesia.
Indonesia juga belum ada kesepakatan dengan pihak Malaysia tentang ZEE-nya. Penentuan ZEE ini sangat penting dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan masing-masing negara. Akibat belum adanya kesepakatan ZEE antara Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka, sering terjadi penangkapan nelayan oleh kedua belah pihak. Hal ini disebabkan karena Malaysia menganggap batas Landas Kontinennya di Selat Malaka, sekaligus merupakan batas laut dengan Indonesia. Hal ini tidak benar, karena batas laut kedua negara harus ditentukan berdasarkan perjanjian bilateral.
Berdasarkan kajian Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL, batas laut Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka seharusnya berada di median line antara garis pangkal kedua negara yang letaknya jauh di sebelah utara atau timur laut batas Landas Kontinen. Berdasarkan ketentuan UNCLOS-82, sebagai coastal state, Malaysia tidak diperbolehkan menggunakan Pulau Jarak dan Pulau Perak sebagai base line yang jarak antara kedua pulau tersebut lebih dari 100 mil laut. Jika ditinjau dari segi geografis, daerah yang memungkinkan rawan sengketa perbatasan dalam pengelolaan sumber-sumber perikanan adalah di bagian selatan Laut Andaman atau di bagian utara Selat Malaka.


[1] Jumlah kabupaten ini tentu akan selalu berubah tergantung dengan pemekaran Provinsi, Kabupaten atau Kota yang terjadi
[2] UNCLOS 1982, pasal 2, pasal 3, pasal 15, pasal 33, pasal 48, bagian V pasal 55
[3] Problematika Batas Maritim Indonesia ditinjau dari Aspek Teknis dan Hukum, Makalah utama pada Simposium Nasional Geomatika di ITS 2010, 18 Maret 2010.
[4] Pada tanggal 23 Mei 2008 International Court of Justice ( ICJ) telah memutuskan kasus sengketa kedaulatan atas Pedra Branca atau Pulau Batu Puteh, Middle Rocks dan South Ledge antara Malaysia dan Singapura, dengan rincian sebagai berikut : Bahwa kedaulatan atas Pedra Branca atau Pulau Batu Puteh adalah milik Republik Singapura. Bahwa kedaulatan atas Middle Rocks adalah milik Malaysia.
Bahwa kedaulatan atas South Ledge “belongs to the State in the territorial waters of which it is located” Komplikasi garis batas menjadi semakin bertambah karena terdapat LTE South Ledge. “Pemilik” laut territorial di kawasan South Ledge berarti memiliki kedaulatan atas LTE tersebut. Dalam hal ini, meskipun Mahkamah “hanya” menyebutkan overlapping territorial waters Malaysia dan Singapura, namun perairan tersebut juga terletak dalam jarak 12 mil laut dari baselines Indonesia. Secara  yuridis  ketiga negara memiliki  peluang  yang sama untuk “memiliki” South Ledge, dan keputusannya akan tergantung konfigurasi garis batas berdasarkan perundingan.