Jumat, 31 Januari 2020

Buku Perbatasan : Batas Negara Indonesia



Dalam hal perbatasan, Indonesia berbatasan dengan 10 (sepuluh) negara  sahabat yaitu  India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, Kepu lauan Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste dan di Darat berbatasan dengan 3 (tiga) Negara yaitu ; Malaysia, Papua Nugini dan RDTL. Selain itu terdapat 92 (sembilan puluh dua) buah pulau kecil terluar yang merupakan halaman Negara dan tiga belas diantaranya membutuhkan perhatian khusus.

Batas Negara Indonesia

ISBN-978-602-1062-54-8
Jumlah Halaman : 362 hal

Batas Negara mempertegas batas-batas SOVERE IGNTY OF STATE  suatu negara. Kedaulatan negara memiliki dua unsur utama Yakni Pemegang Kedaulatan secara mutlak memiliki otoritas dan Kedaulatan Negara ditandai dengan adanya Teritori, di mana otoritas mutlak itu dijalankan secara penuh. Kedua unsur ini dipostulatkan secara hukum dengan istilah supreme authority within a territory. Batas dan Wilayah perbatasan memiliki nilai strategis baik sebagai kedaulatan, sebagai pangkal pertahanan, sebagai halaman depan kebanggaan juga sebagai titik dasar dalam penetapan garis batas wilayah territorial,  Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen Indonesia. Sebagai halaman depan bangsa ia sekaligus jadi pusat interaksi perekonomian, sosial budaya dengan negara tetangga dalam suatu masyarakat Asean dan Dunia.  Karena itu tidak diragukan lagi Garis Batas Negara mempunyai arti penting dalam pembangunan kedaulatan negara. Kita Perlu Tahu Bagaimana Batas Di Penegasan kan.
Buku ini menjelaskan perbatasan Indonesia dengan 10 negara  sahabat yaitu  India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, Kepu lauan Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste dan di Darat berbatasan dengan 3  Negara yaitu ; Malaysia, Papua Nugini dan RDTL. Selain itu terdapat 92 (sembilan puluh dua) buah pulau kecil terluar yang merupakan halaman Negara dan tiga belas diantaranya membutuhkan perhatian khusus. 
Dalam hal perbatasan, Indonesia berbatasan dengan 10 (sepuluh) negara  sahabat yaitu  India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, Kepu lauan Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste dan di Darat berbatasan dengan 3 (tiga) Negara yaitu ; Malaysia, Papua Nugini dan RDTL. Selain itu terdapat 92 (sembilan puluh dua) buah pulau kecil terluar yang merupakan halaman Negara dan tiga belas diantaranya membutuhkan perhatian khusus.
Sulit untuk menghargai kedaulatan sebuah bangsa, kalau ternyata Negara itu tidak mampu melakukan penegasan perbatasan negaranya dengan Negara-negara tetangganya. Dalam hal hubungan Internasional, masalah teritorial merupakan salah satu penyebab klasik munculnya konflik antar negara dan menjadi ancaman abadi bagi perdamaian serta keamanan internasional. Ketidakjelasan batas teritorial, salah satunya, menjadi faktor laten penyebab munculnya sengketa perbatasan yang akan mengganggu stabilitas hubungan antar negara. Hal seperti itu sudah bukan lagi rahasia umum, boleh dikatakan 85% Negara di Dunia ini mempunyai permasalahan perbatasan dengan Negara tetangganya. Apalagi kalau hal itu kita lihat di belahan Asia, hampir semua Negara punya masalah perbatasan dengan Negara tetangganya. Sebut saja nama negaranya, misalnya China atu Tiongkok, Negara ini punya permasalahan batas dengan India, dengan Jepang, dengan Korea Selatan, dengan Malaysia, dengan Brunai, dengan Vietnam, dengan Filipina. Indonesia sendiri mempunyai masalah perbatasan dengan sepuluh (10) Negara tetangganya.
Secara administratip garis perbatasan darat mempunyai 3200 km, melewati 5 Kabupaten[1] di Kalimantan Barat ( Sanggau, Kapuas Hulu, Sambas, Sintang dan Bengkayang) berbatasan dengan Sarawak Malaysia sepanjang 966 km; tiga (3) kabupaten di  Kalimantan Utara ( Nunukan, Malinau)  dan satu di Kalimantan Timur yakni Kutai Barat yang berbatasan dengan Sabah, Malaysia sepanjang 1038 km. Terhitung ada Lima (5) Kabupaten/Kota di Papua (Jayapura, Keerom, Pegunungan Bintang, Boven Digul dan Merauke) berbatasan dengan Papua Nugini sepanjang 820 km ; dan Tiga(3)  kabupaten di Nusatenggara Timur (Belu, Kupang dan Timor Tengah Utara) berbatasan dengan Timor Leste sepanjang 300km.


Garis perbatasan laut meliputi 10 provinsi yang bagian wilayah lautnya berhadapan langsung dengan negara lain, termasuk pulau-pulau kecil terluar dan laut disekitarnya. Wilayah Provinsi berbatasan dengan India yaitu  Nangru Aceh Darussalam, berbatasan dengan Thailand juga termasuk provinsi NAD, dan Sumut; berbatasan dengan Malaysia yaitu Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur;  berbatasan dengan Singapura yaitu provinsi Kepulauan Riau; berbatasan dengan Filipina dengan provinsi Sulawesi Utara, Maluku Utara; berbatasan dengan Australia yaitu provinsi Nusa Tenggara Timur, dan Maluku; serta berbatasan dengan Papua Nugini yakni dengan provinsi Papua; berbatasan dengan Timor Leste yaitu dengan Provinsi NTT, termasuk juga 67 pualau-pulau kecil terluar dan 13 diantaranya memerlukan perhatian khusus. 
Penegasan batas darat  RI selama ini ditangani oleh beberapa Kementerian dan Lembaga (K/L) serta departemen dan  instansi teknis terkait baik dari jajaran Kementerian Pertahanan (Kemhan), TNI, Topografi AD, Dishidroa-AL dan Kodam Wilayah Perbatasan maupun Kementerian/Lembaga sipil khususnya Kemdagri dan Kemlu, dan Badan Informasi Geospasial Indonesia (Badan Koordinasi Survei dan pemetaan Nasional). Batas negara terdiri dari batas darat, batas laut dan batas udara. Batas darat dan batas udara merupakan batas teritorial yang memiliki kedaulatan penuh (full sovereignty), sementara batas laut tidak hanya teritorial, akan tetapi juga mencakup batas zona tambahan (contiguous zone), batas zona ekonomi eksklusif (economic exclusive zone), dan batas landas kontinen (continental shelf)[2]. Oleh karena batas laut tidak hanya batas teritorial, maka terminologi yang digunakan untuk laut adalah batas maritim yang memuat batas kedaulatan penuh dan batas hak berdaulat (sovereign right).
Wilayah perairan Indonesia memiliki potensi sengketa/konflik batas maritim dengan 10 negara tetangga. Batas maritim yang menjadi pembahasan antara Indonesia dengan negara tetangga adalah batas Laut Teritorial, ZEE, dan Landas Kontinen. Sementara batas Zona Tambahan tidak pernah dijadikan bahan permasalahan dalam perundingan batas maritim Indonesia dengan negara tetangga. Permasalahan-permasalahan yang kerap terjadi di perbatasan dan kawasan dapat disebabkan oleh beberapa kondisi, antara lain : belum adanya batas yang disepakati, belum tuntasnya proses perundingan batasnya, dan adanya kesalahan penafsiran terhadap batas yang sudah disepakati[3]. Dari seluruh batas wilayah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga, batas terpanjang memang dengan Malaysia. Baik perbatasan darat, begitu juga dengan batas lautnya.  Perundingan batas wilayah maritim Indonesia-Malaysia mencakup  semua batas wilayah laut yang belum disepakati yang terdiri atas Zona Ekonomi Eksklusif, Batas Laut Teritorial, dan Landas Kontinen. Saat ini sebagian besar Batas Laut Teritorial dan Landas Kontinen telah disepakati, baik oleh Indonesia maupun Malaysia. Persetujuan Batas Laut Teritorial telah mencapai lebih dari 80 persen, yang belum disepakati masih tersisa 20 persen, yaitu sepanjang hampir 50 mil laut atau 92,6 kilometer.
Di bagian barat, daerah ”yang belum jelas ” itu berada di selatan Selat Malaka, daerah antara Johor dan Pulau Bintan, serta perairan dekat Batu Puteh[4]  di timur Singapura. Di perairan Kalimantan batas yang belum disepakati ada di Tanjung Datuk yang berhadapan dengan Laut China Selatan dan di Pulau Sebatik di Laut Sulawesi. Landas Kontinen yang sudah disepakati mencapai lebih dari 95 persen, atau masih menyisakan batas 5 % atau berjarak kurang dari 100 mil atau 185,2 kilometer, yaitu di Ambalat Laut Sulawesi. Namun, hingga kini Zona Ekonomi Eksklusif di perbatasan kedua negara belum ada satu pun yang disepakati. Padahal, kawasan ini memiliki arti penting bagi aspek ekonomi karena Zona Ekonomi Eksklusif mengandung potensi perikanan dan nilai strategis dari aspek transportasi laut.
Perundingan Batas Laut Teritorial dan Landas Kontinen dilaksanakan setelah keluarnya UNCLOS I tahun 1958. Perundingan Indonesia-Malaysia untuk dua batas itu dilaksanakan sejak tahun 1969 hingga 1972. Adapun ketetapan tentang Zona Ekonomi Eksklusif, baru dikeluarkan pada UNCLOS III tahun 1982. Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia mencapai total 1.200 mil atau 2.222 kilometer. ”Zona sepanjang ini belum ada yang disepakati.  Zona itu meliputi garis sepanjang 300 mil laut di Selat Malaka, 800 mil laut di Laut China Selatan, dan sekitar 100 mil laut di Laut Sulawesi.



”Di antara perbatasan Zona Ekonomi Eksklusif tersebut yang sering menimbulkan konflik ada di Selat Malaka. Karena Malaysia menarik garis masuk ke dalam wilayah Zona Ekonomi Eksklusif yang ditetapkan Indonesia hingga sejauh 9 mil”   
Garis batas laut wilayah antara Indonesia dengan Malaysia adalah garis yang menghubungkan titik-titik koordinat yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama di Kuala Lumpur, pada 17 Maret 1977. Berdasarkan UU No 4 Prp tentang Parairan tahun 1960, Indonesia telah menentukan titik dasar batas wilayah lautnya sejauh 12 mil. Sebagai implementasi dari UU tersebut, beberapa bagian perairan Indonesia yang jaraknya kurang dari 12 mil laut, menjadi laut wilayah Indonesia. Termasuk wilayah perairan yang ada di Selat Malaka.
Pada Agustus 1969, Malaysia juga mengumumkan bahwa lebar laut wilayahnya menjadi 12 mil laut, diukur dari garis dasar yang ditetapkan menurut ketentuan-ketentuan konvensi Jenewa 1958 (mengenai Laut Wilayah dan Contigous Zone). Sehingga timbul persoalan, yaitu letak garis batas laut wilayah masing-masing negara di Selat Malaka (di bagian yang sempit) atau kurang dari 24 mil laut.
Adapun batas Landas Kontinen antara Indonesia dan Malaysia ditentukan berdasarkan garis lurus yang ditarik dari titik bersama ke titik koordinat yang disepakati bersama pada 27 Oktober 1969. Atas pertimbangan tersebut, dilaksanakan perundingan (Februari-Maret 1970) yang menghasilkan perjanjian tentang penetapan garis Batas Laut Wilayah kedua negara di Selat Malaka. Penentuan titik koordinat tersebut ditetapkan berdasarkan Garis Pangkal masing-masing negara. Dengan diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, maka penentuan titik dasar dan garis pangkal dari tiap-tiap negara perlu diratifikasi berdasarkan aturan badan internasional yang baru. Selama ini penarikan batas Landas Kontinen Indonesia dengan Malaysia di Perairan Selat Malaka berpedoman pada Konvensi Hukum Laut 1958.
MOU RI dengan Malaysia yang ditandatangani pada 27 Oktober 1969 yang menetapkan Pulau Jarak dan Pulau Perak sebagai acuan titik dasar dalam penarikan Garis Pangkal jelas jelas merugikan pihak Indonesia, karena median line yang diambil dalam menentukan batas landas kontinen kedua negara tersebut cenderung mengarah ke perairan Indonesia.
Indonesia juga belum ada kesepakatan dengan pihak Malaysia tentang ZEE-nya. Penentuan ZEE ini sangat penting dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan masing-masing negara. Akibat belum adanya kesepakatan ZEE antara Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka, sering terjadi penangkapan nelayan oleh kedua belah pihak. Hal ini disebabkan karena Malaysia menganggap batas Landas Kontinennya di Selat Malaka, sekaligus merupakan batas laut dengan Indonesia. Hal ini tidak benar, karena batas laut kedua negara harus ditentukan berdasarkan perjanjian bilateral.
Berdasarkan kajian Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL, batas laut Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka seharusnya berada di median line antara garis pangkal kedua negara yang letaknya jauh di sebelah utara atau timur laut batas Landas Kontinen. Berdasarkan ketentuan UNCLOS-82, sebagai coastal state, Malaysia tidak diperbolehkan menggunakan Pulau Jarak dan Pulau Perak sebagai base line yang jarak antara kedua pulau tersebut lebih dari 100 mil laut. Jika ditinjau dari segi geografis, daerah yang memungkinkan rawan sengketa perbatasan dalam pengelolaan sumber-sumber perikanan adalah di bagian selatan Laut Andaman atau di bagian utara Selat Malaka.


[1] Jumlah kabupaten ini tentu akan selalu berubah tergantung dengan pemekaran Provinsi, Kabupaten atau Kota yang terjadi
[2] UNCLOS 1982, pasal 2, pasal 3, pasal 15, pasal 33, pasal 48, bagian V pasal 55
[3] Problematika Batas Maritim Indonesia ditinjau dari Aspek Teknis dan Hukum, Makalah utama pada Simposium Nasional Geomatika di ITS 2010, 18 Maret 2010.
[4] Pada tanggal 23 Mei 2008 International Court of Justice ( ICJ) telah memutuskan kasus sengketa kedaulatan atas Pedra Branca atau Pulau Batu Puteh, Middle Rocks dan South Ledge antara Malaysia dan Singapura, dengan rincian sebagai berikut : Bahwa kedaulatan atas Pedra Branca atau Pulau Batu Puteh adalah milik Republik Singapura. Bahwa kedaulatan atas Middle Rocks adalah milik Malaysia.
Bahwa kedaulatan atas South Ledge “belongs to the State in the territorial waters of which it is located” Komplikasi garis batas menjadi semakin bertambah karena terdapat LTE South Ledge. “Pemilik” laut territorial di kawasan South Ledge berarti memiliki kedaulatan atas LTE tersebut. Dalam hal ini, meskipun Mahkamah “hanya” menyebutkan overlapping territorial waters Malaysia dan Singapura, namun perairan tersebut juga terletak dalam jarak 12 mil laut dari baselines Indonesia. Secara  yuridis  ketiga negara memiliki  peluang  yang sama untuk “memiliki” South Ledge, dan keputusannya akan tergantung konfigurasi garis batas berdasarkan perundingan.


Senin, 13 Januari 2020

KKP Penjaga Marwah ZEE dan Traditional Fishing Rights



Perbatasan Natuna, KKP Penjaga ZEE dan Traditional Fishing Rights


Tiongkok sepertinya hanya peka dengan kepentingan nasionalnya, dan sebagai Negara terbesar di kawasan sama sekali tidak memperlihatkan uanggah unggih yang semestinya. Faktanya Tiongkok tidak mengindahkan hak berdaulat atau hak-hak negara lain. Padahal kedua negara bersahabat erat. Hal ini terkait dengan penangkapan ikan secara illegal di perairan Natuna, Indonesia. Faktanya bisa dilihat pada saat Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP) berhasil menangkap basah pelaku illegal fishing dari Tiongkok yang menggunakan KM Kway Fey 10078 di Perairan Natuna Indonesia. Penangkapan kapal ini sempat dihalangi oleh Kapal Penjaga Pantai (coastguard) Tiongkok. KP Hiu 11 hanya berhasil menangkap awal kapal tersebut, sementara itu KM Kway Fey 10078 dipertahankan oleh Coastguard Tiongkok pada tanggal 19 Maret 2016. Hal yang sama terulang lagi pada tanggal 17 Juni 2016, kali ini dengan KRI Imam Bonjol-383 dari 12 Kapal hanya berhasil menangkap Satu Kapal berikut awaknya. Sebelumnya KRI Oswald Siahaan-354 juga telah berhasil menangkap kapal nelayan China yang juga melakukan aksi pencurian ikan di wilayah perairan yang sama.

China ternyata masih punya agenda lain. Pada tanggal 3 Januari 2020  terdeteksi sekitar 30 kapal nelayan China yang dikawal tiga kapal coast guard atau penjaga pantai. Berada di wilayah ZEE Indonesia. Saat itu, belum ada kapal nelayan Indonesia ataupun kapal perang RI (KRI) di lokasi. Pada hari berikutnya, kapal-kapal China sudah bergeser ke selatan, makin mendekati Ranai. Pelanggaran ini telah jauh melewati batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yang merentang dari garis pangkal pantai hingga 200 mil ke arah laut. Tiongkok memang punya niat yang kurang baik, atau arogansinya jauh dari basa-basi sesame Negara di kawasan.



Untungnya kita sudah punya Kogabwilahan. Kogabwilhan merupakan organisasi yang mendapat mandat kendali utama dari Panglima TNI untuk melaksanakan operasi gabungan darat, laut, dan udara di wilayahnya. Kogabwilhan posisi dan tupoksinya jelas, mereka punya mandat kendali utama untuk melakukan operasi yang melibatkan komando utama TNI AL, yaitu Armada I dan Komando Operasi TNI AU (Koopsau) I. Cara kerjanya tentu sesuai kebutuhan. Pesawat intai strategis TNI melakukan operasi pengamatan dan pengintaian; Armada I mengerahkan kapal perang. Kendali operasi ada di masing-masing Panglima Armada I dan Pangkoops I. Panglima Armada I Laksamana Muda Muhammad Ali mengatakan, selain dua KRI yang sudah tiba di Laut Natuna Utara, didatangkan pula KRI John Lie, KRI Usman Harun, KRI Karel Satsuit Tubun, dan KRI Tarakan.

Masalahnya Tiongkok mendatangkan 30 Kapal pencuri ikan serta tiga kapala pengawalnya dari Coast Guard atau penjaga Pantai yang secara resmi diawaki oleh petugas-petugas sipil. Dalam kondisi seperti ini, tentu Kogabwilhan tidak bisa berbuat banyak kecuali melakukan langkah-langkah persuasip, sipatnya hanya sekedar menghalang-halangi. Idealnya itu kapal KKP yang maju, dengan atau tanpa perlindungan KRI Kogabwilhan di situ, KKP bisa langsung menangkapi kapala-kapal pencuri ikan itu. Kemudian membawanya untuk kemudian di proses secara hokum yang berlaku di Indonesia. Faktanya pada tahun 2016 KKP ternyata mampu melakukannya dengan baik. Meski tangkapannya terbatas. Jadi kedepannya perlu dilakukan dengan memperkuat kemampuan KKP untuk mengkapi kapal-kapal pencuri Ikan itu serta dibantu oleh Kogabwilhan secara terukur.

ZEE dan Traditional Fishing Ground

Dilihat dari UU, khususnya UU UNCLOS 1982, dimana Indonesia dan Tiongkok mengakuinya jelas Tiongkok melakukan “pelecehan” atau tidak menghormati “hak berdaulat” RI atas wilayah tersebut. Tiongkok memakai alasan karena wilayah itu merupakan “traditional fishing ground” mereka sejak dahulu kala. Padahal UU UNCLOS sama sekali tidak mengenal “istilah” traditional fishing ground seperti itu. Lalu Apa sebenarnya MAUNYA Tiongkok?
Sesuai UU, konsep Traditional Fishing Grounds tidak dikenal dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS) di mana Tiongkok dan Indonesia adalah negara anggota. Dalam konvensi yang dikenal adalah konsep Traditional Fishing Rights (bukan Grounds) sebagaimana diatur dalam Pasal 51 UNCLOS. Menurut ketentuan Pasal 51 keberadaan Traditional Fishing Rights harus didasarkan pada perjanjian bilateral. Hingga saat ini Indonesia hanya memiliki perjanjian bilateral terkait Traditional Fishing Rights dengan Malaysia.

Lalu apa yang menjadi dasar bagi Traditional Fishing Grounds? Dasarnya tidak lain adalah klaim Sembilan Garis Putus. Pemerintah Indonesia sejak lama, saat Ali Alatas  menjabat Menteri Luar Negeri, mempertanyakan kepada Pemerintah Tiongkok apa yang dimaksud dengan Sembilan Garis Putus-Putus. Namun, hingga saat ini jawaban atas pertanyaan tersebut belum pernah diberikan oleh Pemerintah Tiongkok.  Secara sepihak, Presiden Joko Widodo pada saat berada di Jepang hendak berkunjung ke Tiongkok (22/3/2015) menyatakan bahwa Tiongkok tidak memiliki dasar hukum internasional apa pun atas Sembilan Garis Putus.
Dalam tradisi klaim wilayah, sebenarnya caranya sangat sederhana. Kalau ada wilayah yang tidak bertuan atau sesaat setelah berhasil direbut kemudian di “declare” atau ditegaskan bahwa wilayah dengan batas-batas nya menjadi dibawah kekuasaannya. Maka mereka berhak atas pengusaan wilayah itu selama tidak ada yang membantah atau menyanggah. Kalau ada sanggahan mereka bisa selesaikan sendiri, bisa dgn cara damai atau cara perang. Terserah, yang penting ada pengakuan. Hal itu dilakukan oleh Jerman di Papua. Mereka men declare, bahwa wilayah yang tidak termasuk penguasaan Inggeris dan Belanda di Papua adalah wilayahnya Jerman. Ketiga Negara itu menjadi pemilik wilayah di pulau Papua.

Hal seperti itu pulalah yang dilakukan China. Masalah Nine dash line pada awalnya muncul di peta China sebagai garis 11-garis (sebelas garis) pada tahun 1947 ketika angkatan laut Republik China kala itu menguasai beberapa pulau di Laut China Selatan yang sebelumnya diduduki Jepang di saat perang dunia kedua. Setelah negara Republik Rakyat China berdiri pada tahun 1949, pemerintah komunis China menyatakan diri sebagai satu-satunya perwakilan sah China dan mewarisi semua klaim maritim di wilayah tersebut. Dalam perjalanan waktu, dua buah “garis” telah dihapus pada awal 1950-an di kawasan Teluk Tonkin, sehingga tinggal sembilan garis. Garis ini sangat penting bagi China karena berfungsi sebagai dasar klaim China untuk “hak historis” di wilayah tersebut.
Beijing bersikukuh dan berpendapat bahwa sembilan garis putus-putus muncul dalam tatanan dunia setelah perang dunia kedua dan terbentuk jauh sebelum UNCLOS 1982. Beijing beralasan China menerima penyerahan Jepang dan merebut kembali kawasan itu dengan dukungan hukum dan otorisasi negara-negara Sekutu. Menurut China, saat itu negara-negara di wilayah itu dan AS tidak menyatakan keberatan pada klaim China.

Dalam hal tradisi penegasan perbatasan Negara. Perbatasan diakui kalau ada kesepakatan, tanpa kesepakatan itu maka perbatasan tidaklah bermakna. Hal itu bisa kita lihat dari berbagai putusan Mahkamah Internasional tentang polemik perbatasan atau perairan.  Boleh dikatakan,selama ini Mahkamah Internasional selalu menghindari putusan yang bersifat mengatur kewenangan teritorial perairan negara-negara yang bersengketa. Artinya, persoalan mendasar soal garis batas mana yang paling sah secara hukum internasional tidak mereka kukuhkan secara jelas.



Masalahnya kenapa China hanya berpatokan kepada “nine dash Line” nya saja, sementara mereka tidak peka dengan batas-batas Negara yang telah melekat pada masing-masing Negara lewat berbagai UU, termasuk UU UNCLOS 1982?  Secara geografis, dan positioning “nine dash Line” itu perlu di uji ke akuratan posisinya secara ilmiah, atau cara-cara yang bisa diterima berbagai pihak. Sehingga posisi yang dikehendaki oleh “nine dash line” china itu bisa diketahui secara pasti, untuk kemudian di jadikan referensi yang semestinya. Sampai saat ini, keberadaan, posisi dan akurasi “nine dash line” itu tidak diakui oleh UNCLOS 1982. UU yang dimana China dan Negara tetangganya justeru mengakui UU tersebut.
Sesuai dengan kaidah bernegara yang baik. Pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi telah tepat melakukan protes diplomatik atas insiden di Natuna. Protes tidak sekadar ditujukan karena tindakan dari penjaga pantai Tiongkok yang tidak mendukung Pemerintah Indonesia dalam memberantas penangkapan ikan tanpa izin di ZEE RI, tetapi juga dalam rangka protes atas hendak ditegaskannya Sembilan Garis Putus oleh Pemerintah Tiongkok yang disamarkan sebagai Traditional Fishing Grounds. Suatu hal yang sama sekali tidak punya dasar hokum yang bisa diterima oleh pemerintah Indonesia.

Ketegasan dan Kerja Sama

Kini Indonesia mau tidak mau harus berbenah diri, memperkuat kemampuan pertahanannya.  Sesuai amanat UU harus memperkuat kemampuan aparatnya untuk menjaga dan mengawal kedaulatan dan hak berdaulatnya di manapun itu adanya. Tiongkok sebagai negara sahabat, kita harapkan sebenarnya berkenan dan mau menghormati hak berdaulat  Indonesia atas ZEE kita di wilayah tersebut. Kalau Kogabwilhan tidak bisa melakukan sesuatu atas pelanggaran Negara lain karena mereka sebagai petugas sipil. Maka posisi yang pas untuk menegakkan kedaulatan kita di wilayah ZEE itu adalah KKP. Bisa jadi kita membuat perangkat KKP kita lengkapi dengan atribut sebagai petugas sipil (bukan militer), tetapi kemampuan dan kekuatannya setara dengan yang bisa dilakukan oleh petugas prajurit. Sasarannya jelas, tangkap para pencuri ikan di wilayah ZEE.
Kalau Tiongkok mau mengendors konsep 9 Garis Putus-putusnya, maka Tiongkok harus jelas posisinya. Yakni dengan menjawab pertanyaan Indonesia terkait konsep tersebut dan konsekwensinya terhadap wilayah laut ke dua negara. Kalau semuanya jelas, Indonesia dapat mengajak negara itu untuk melakukan Kerja Sama penangkapan Ikan di wilayah tersebut dan membuat perusahaan pabrikan pengelolaan ikan bersama di Natuna dan sekitarnya. Hal seperti ini malah akan mendatangkan kemaslahatan bagi kepentingan bersama.
Kalau hal seperti ini ternyata tidak juga di Indahkan oleh Tiongkok. Maka ada baiknya Indonesia melakukan evaluasi atas keberadaannya sebagai mediator yang tidak berpihak di konflik Laut Tiongkok Selatan. Indonesia harus berani menyatakan diri sebagai negara yang bersengketa dengan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan, seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei. Namun demikian Indonesia harus tetap konsisten dengan bagian lainnya yakni tetap mempertahankan kerja sama ekonomi, khususnya dalam pembangunan infrastruktur, antara Tiongkok dan Indonesia. Kedekatan secara ekonomi dengan Tiongkok perlu tetap dipelihara. Tidak jadi masalah kalau suatu saat kapal TNI dan Tiongkok baku hantam di perairan Natuna, tetapi hubungan baik yang ada tetap dipelihara. Untuk itu TNI AL perlu didukung dengan kapal yang lebih kuat dan modern serta buatan sendiri. Kita ingin jadi suatu negara yang tegas, tetapi juga tidak emosional.