Kamis, 31 Desember 2009

Gus Dur Jendela kepada Dunia



Oleh : Moeslim Abdurrahman 

Yang paling berkesan, saya lihat Gus Dur itu menjadi jendela bagi Nahdlatul Ulama (NU) kepada dunia. Karena di awal tahun 1970, dia sebagai orang muda pulang dari Timur Tengah, tiba-tiba bicara soal hak asasi manusia, demokrasi, dan seterusnya. Ini luar biasa. Orang ini bukan pulang dari Amerika Serikat seperti anak-anak muda sekarang ini yang sekolah di sana. Ia lama di Baghdad, pernah di Mesir. Gus Dur ini sangat impresif karena dari rumpun subkultur pesantren, tapi dia bicara dalam wacana yang sang kontemporer, 

Di Gondangdia Lama, Jakarta, tahun 1975, saya kenal dengan Gus Dur. Dikenalkan oleh Cak Nur (Nurcholish Madjid). Sejak itu saya berkawan dengan Gus Dur. Kami bertiga sesama dari Jawa Timur. Gus Dur suka guyon, sementara Cak Nur orangnya serius. Dalam pergaulan selanjutnya saya lebih dekat dengan Gus Dur. Karena Gus Dur itu orangnya memang begitu, gampangan. Yang berkesan lagi, Gus Dur ikut mempromosikan saya. Sehingga saya beberapa waktu disebut sebagai intelektual muda Islam, bila diwawancara oleh berbagai surat kabar. 

Itu salah satu jasa Gus Dur bagi saya. Gus Dur tahu saya seorang dari Muhammadiyah. Akan tetapi, dia tidak pernah melihat itu. Dan banyak pendapat-pendapatnya menakjubkan saya, karena orang ini kemudian—kasarnya—jualan pesantren. Jualan pesantren di dunia masyarakat politik. Sehingga pesantren ini menarik perhatian di dunia, selain menjadi isu nasional. Pesantren sering menjadi bahan penelitian orang-orang luar negeri. Gus Dur ini seperti memasarkan idealisme pesantren. Gus Dur punya karisma di depan para kiai, apalagi di depan umatnya. Umat NU ketika itu sedang mencari tokoh yang menjadi jendela untuk ke dunia modern. 

Ada kebanggaan di kalangan orang NU terhadap Gus Dur. Karena Gus Dur membawa pesantren ke dunia luar yang luas. Dia membuka masyarakat NU untuk sadar bahwa kita hidup dalam dunia global. Gus Dur berdarah biru Akan tetapi, pandai menggunakan bahasa populis. Gus Dur bukan hanya bahasa, Akan tetapi, juga bisa merekonstruksi sehingga tiba-tiba muncul kelompok Kiai Khos Ini kan menata legitimasi. Juga kelompok Kiai Langitan. Jadi kalau ada persoalan-persoalan tertentu, dia bisa merujuk dengan mengatakan, ”Saya ini kan diperintah Kiai Khos.

” Dia saya kagumi bukan karena pemikiran politiknya. Akan tetapi, sebagai pemikir Islam, dia berani pikiran-pikiran Gus Dur seperti pergulatan. Seperti pergulatan hidupnya. Maka di kala orang berdebat soal Islam dan kebangsaan, maka Gus Dur mengatakan, ”Memang kita ini lahir sebagai orang Islam atau sebagai orang Indonesia dulu?” Gus Dur mewakili Islam ketika bangkitnya ilmu sosial di Indonesia. Di sinilah Gus Dur jualan tentang pesantren. 
Dia bilang kepada saya, ”Kang kalau kita bertemu dengan orang- orang pintar ilmu sosial, kita jangan ikut terjun dalam ilmu sosial, kita omong pesantren dong.” Dari dulu Gus Dur konsisten pada tiga hal. Yakni kalau negeri ini sudah memilih demokrasi, maka implikasinya harus tidak ada diskriminasi. Ini sangat mendasar. Dua itu tidak bisa dipisahkan. Kemudian tentang hak asasi manusia. Yang ketiga pluralisme. 

Banyak orang mengklaim soal itu. Akan tetapi, bagi saya, Gus Dur adalah pionirnya. Dia bukan mengantar saya hingga berkenalan dengan banyak orang. Dia betul-betul membuka dan jadi jendela sehingga banyak orang NU melihat demokrasi dari Barat. Dia memberi inspirasi. Dia yang menjamin ketika banyak orang ragu terhadap keragaman. Dia tegas sehingga bisa jadi jendela kaum minoritas untuk melihat ada jaminan di Indonesia.(Sumber: Kompas, 31 Desember 2009 )

Senin, 21 Desember 2009

Membangun Pertahanan Perbatasan Dengan Empati



Dalam pengabdiannya TNI sebagai tentara penjaga perdamaian di pora Internasional selama ini selalu saja mampu merebut simpati masyarakat lokal. Hal itu bisa mereka peroleh karena mereka memang tidak punya agenda lain kecuali sebagai penjaga perdamaian ditambah merebut hati rakyat. Untuk merebut hati rakyat, mereka melakukan semua cara dalam arti kata yang positip. Nah bisakah kita terapkan hal seperti itu di Papua atau daerah lainnya? Dapatkah kita memanfaatkan Satgas pengamanan wilayah perbatasan sebagaimana kita melakukannya di Negara lain? 
Secara teoritis bisa, tetapi secara anggaran rasanya tidak mungkin, atau akan sangat berat sekali. Seperti kita ketahui, pada saat ini TNI kita ada di setiap wilayah perbatasan, baik itu di wilayah darat, maupun di wilayah perbatasan laut. Jumlahnya juga cukup banyak. Selama ini, selain mereka melaksanakan tugas pokoknya menjaga wilayah, mereka juga secara aktif melaksanakan fungsi-fungsi social, yang pada intinya membantu masyarakat dan mempererat hubungan antara masyarakat dengan para petugas, sehingga diharapkan akan muncul semangat kebersamaan dalam menjaga keamanan dan ketentraman wilayahnya masing-masing. 
Tetapi harus diakui, untuk tugas-tugas seperti itu, mereka tidak dibekali dengan bahan kontak yang memadai. Padahal masyarakat kita sesungguhnya belum bisa melakukan banyak hal, kalau hanya berbekalkan “tenaga semata”. Memang selama ini ada juga satuan-satuan TNI dalam program membangun desa, tetapi itu dilakukan bukan di wilayah tugas, tetapi di daerah aman yang tidak bermasalah. Jadi idenya adalah, bagaimana agar TNI ini diberdayakan untuk mempu mengemban “program sivic-action” disamping tugas pokoknya sebagai tentara penjaga wilayah professional. 

 Karena selama ini streotipe penilaian warga lokal terhadap Satgas-satgas yang di gelar di wilayah perbatasan, pada intinya masih berbau provokator keamanan itu sendiri. Lihat misalnya komentar Mama Yosepha Alomang pada saat kematian Kelly Kwalik Mama Yosepha Alomang, menyatakan, Kelly Kwalik bukan seorang teroris. Alomang menyatakan, Kelly Kwalik tidak pernah memprovokasi kekerasan yang selama ini terjadi di Papua. Hal itu disampaikan Mama Yospeha Alomang ketika berorasi di hadapan para pelayat Kelly di Kantor DPRD Kabupaten Mimika. "Kelly Kwalik bukan teroris, Kelly Kwalik bukan penjahat. Kelly Kwalik bukan provokator," kata Mama Yosepha, sapaan keseharian Alomang. 



Mama Yosepha sendiri dikenal sebagai pejuang HAM yang pernah disiksa dengan dikurung di dalam peti kemas oknum aparat keamanan di Papua. Mama Yosepha menyatakan, pengalaman sejarah yang dialami orang asli Papua menunjukkan justru aparat keamanan yang ada di Papua yang acap kali memprovokasi terjadinya kekerasan di tanah Papua. "Mereka memprovokasi, pemerintah juga diprovokasi. Bukan Kelly Kwalik yang memprovokasi," kata Alomang.( Kompas.com, 21/12/2009).
Mereka melihat aparat keamanan itu, hanyalah alat keamanan semata, yang kalau tidak dibunuh, ya membunuh. Padahal kalau saja, aparat penegak pertahanan itu sebagai penjaga wilayah yang selalu siap membantu mereka, tokh pasti akan berbeda jadinya. Tapi itulah masalahnya, disamping kebijakannya juga pada keterbatasan yang ada pada satuan tugas itu sendiri. Yang jelas, warga itu kalau di berdayakan, di orangkan, dan mau membangun wilayah mereka sendiri. Saya percaya, semangat untuk memberontak itu akan pudar dengan sendirinya.

Selasa, 15 Desember 2009

Jual Kerbau ke Sarawak demi Sekolahkan Anak


"Secepatnya mama kirim satu setengah juta rupiah seperti yang kamu minta.” Demikian janji Mince Silas, warga Desa Longlayu, Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, kepada putra sulungnya di Yogyakarta melalui telepon satelit pertengahan November. Sesaat kemudian, perempuan itu juga menjanjikan hal serupa kepada anak bungsunya yang kuliah di Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim). Pembicaraan berlangsung di rumah Sekretaris Kecamatan Krayan Selatan, Helmi Puda, di Desa Longlayu. Untuk percakapan singkat itu, dia membayar Rp 48.000. Itulah telepon satelit satu-satunya di sana. ”Biasalah.... Anak-anak meminta kiriman bulanan sehingga harus jual kerbau lagi,” katanya menjelaskan. 
Mince Silas bukanlah satu-satunya orang yang membiayai kuliah anak-anaknya dengan menjual kerbau. Tindakan seperti itu umum dilakukan warga di Kecamatan Krayan Selatan dan Krayan, perbatasan Kaltim-Serawak, Malaysia Timur. ”Saya juga mau menjual kerbau bah untuk uang sekolah anak di Samarinda. Mungkin laku dua ribu ringgit bah,” kata Wellem, warga Krayan Selatan, yang ditemui terpisah. Hebatnya, kerbau yang akan dijual bukan dibawa ke Nunukan atau Tarakan. Daerah mereka terisolasi. 
Untuk mencapai Nunukan atau Tarakan, mereka harus menggunakan pesawat perintis. Karena itu, dalam menjual kerbau, pilihan mereka adalah Serawak, yang bisa dicapai melalui darat. Di sana harga jual pun relatif baik, bisa mencapai 3.000 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 9 Juta. Memang, untuk mendapatkan harga bagus itu tidak mudah. Dari Krayan Selatan, warga harus membawa jalan ternaknya sejauh sekitar 100 kilometer dengan berjalan kaki selama dua hari melalui Longbawan (ibu kota Kecamatan Krayan), lalu ke perbatasan dan tiba di Bakalalan, Serawak. 
 Beberapa warga menyebutkan, uang hasil penjualan kerbau biasanya dikirimkan kepada anak-anak mereka melalui Kantor Pos Krayan. Tetapi, tak sedikit juga yang menitipkannya kepada warga yang kebetulan bepergian ke Nunukan atau Tarakan. Dari sana, uang itu ditransfer melalui bank. Semangat besar Menurut Camat Krayan Selatan Selutan Tadem, masyarakat di daerahnya memiliki semangat besar menyekolahkan anak-anaknya Faktanya, saat ini yang kuliah di beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta saja tercatat 100 mahasiswa, baik dari Krayan maupun Krayan Selatan.


”Di Samarinda, ada sekitar 150 mahasiswa. Selain itu, ada juga di Jakarta,” katanya. Dua kecamatan tersebut hanya berpendudukan sekitar 11.000 jiwa. Meski mereka hidup dengan biaya tinggi—karena berbagai barang kebutuhan sehari-hari dijual dengan harga yang hampir dua kali lipat dibandingkan dengan di Samarinda—daerah itu memiliki kebanggaan pada populasi kerbaunya yang saat ini mencapai 5.000 ekor. Selain itu, mereka juga bangga dengan produksi beras lokal organiknya. 

Produksi padi adan dari areal 5.850 hektar tiap tahun mencapai 27.000 ton gabah kering giling. ”Tiap tahun surplus beras 19.000 ton. Beras ini juga sebagian besar mereka jual ke Serawak,” demikian penjelasan Selutan. Warga Krayan boleh bangga dengan kerbau dan padinya itu. Sebab, kedua hal itu yang menjadikan anaknya sarjana. (Kompas, 14/12/09, Ambrosius Harto Manuyoso/M Syaifullah/Wahyu Haryo P)

Kamis, 03 Desember 2009

Kesejahteraan Prajurit Di Tapal Batas Perbatasan




Indonesia diakui dunia sebagai negara kepulauan (UNCLOS '82), dengan pulau-pulaunya yang tersebar horizontal dan vertikal dari Rondo (Sabang) hingga ke Komoran (Merauke) dan dari Sebatik (Nunukan) hingga Dana (Rote); serta melintang dari Sekatung (Natuna) hingga Selaru (Yamdena) dan dari Miangas (Sangir Talaud) hingga Enggano (Barat Sumatera). Dari penelitian dan penghitungan oleh Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL, diperoleh sebanyak 92 (sembilan puluh dua) pulau-pulau terdepan yang strategis, karena pulau-pulau tersebut berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga dan laut lepas. Pulau-pulau tersebut secara hukum internasional merupakan hak milik syah Republik Indonesia (mewarisi bekas tanah jajahan Belanda), namun dari sisi pertahanan negara, kita harus memelihara dan mensejahterakan masyarakatnya (pada pulau-pulau yang berpenghuni) melalui pelayanan kesehatan, pendidikan dan ekonomi. 
 Agar Indonesia tidak kehilangan pulau-pulaunya baik secara ekonomi, sosial ataupun politik, maka Departemen Pertahanan RI mempunyai kebijakan bagi pengamanan pulau-pulau terdepan melalui : Berdasarkan Perpres Presiden RI No. 78 tentang Pengelolaan Pulau –Pulau Kecil Terluar, terdapat 92 pulau – pulau kecil terluar, yang nilainya sangat strategis dan sebagian besar berbatasan langsung dengan negara tetangga, dari 92 pulau – pulau kecil terluar tersebut terdapat 13 pulau yang perlu mendapat perhatian khusus, yaitu : P. Rondo , P. Berhala, P. Nipa , P. Sekatung, P. Marore, P. Miangas, P. Marampit , P. Fani, P. Fanildo, P. Bras, P. Batek, P. Dana dan P. Sebatik. Pulau-pulau terluar itu kini, secara fisik di jaga oleh prajurit TNI khususnya dari Marinir. Misalnya di P. Nipa. telah ditempatkan 34 (tiga puluh empat) orang Marinir dari satgas pam pengamanan pulau terluar dan 6 (enam) orang personel Posal dari Lanal Batam. 
Kebutuhan akan air tawar masih tergantung kiriman dari darat atau air hujan. Kebutuhan listrik masih tergantung dari diesel pembangkit tenaga listrik. Terkait dengan kesejahteraan prajurit di Tapal Batas; Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Madya Agus Suhartono berjanji menuntaskan pembahasan tunjangan bagi para prajurit penjaga 12 pulau terluar di Tapal Batas . ”Hal ini menjadi prioritas dalam 100 hari pertama kepemimpinan saya. Semoga tunjangan ini mulai dapat diterapkan bulan Januari 2010,” ujar Agus seusai upacara serah terima jabatan Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) dari Laksamana Tedjo Edhy Purdijatno kepada Laksamana Madya Agus Suhartono di Markas Komando Armada RI Kawasan Timur, Dermaga Ujung, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (13/11). 

Peningkatan kesejahteraan prajurit menjadi salah satu dari lima prioritas Panglima TNI. Empat prioritas lainnya, menurut Agus, pemeliharaan alat utama sistem persenjataan (alutsista), kesiapsiagaan operasional, pendidikan, dan latihan, serta zero accident atau meminimalisasi kecelakaan melalui optimalisasi perawatan alutsista. Selain itu, Agus Suhartono berjanji untuk menuntaskan proses pembelian dua kapal selam yang saat ini sudah memasuki tahap akhir. 

Menurut dia, usulan pembelian dua kapal selam senilai 700 juta dollar AS atau sekitar Rp 7 triliun sudah diterima Departemen Pertahanan sejak beberapa bulan lalu. ”Kami membutuhkan tambahan kapal selam yang minimal berkualitas setara dengan negara tetangga, Malaysia, atau bahkan lebih baik. Hal ini penting untuk meningkatkan posisi tawar dalam menghadapi setiap kasus sengketa kewilayahan,,” khususnya wilayah perbatasan ungkap Agus, yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Asisten Perencanaan KSAL.


Saat ini Indonesia mempunyai dua kapal selam, yakni KRI Cakra dan KRI Nanggala. KRI Cakra baru saja diservis di Korea Selatan, sedangkan KRI Nanggala menunggu tersedianya dana untuk menjalani proses serupa. Meski demikian, kualitas keduanya tertinggal dibandingkan dengan kapal selam kelas Scorpene buatan Perancis yang dibeli Malaysia, beberapa waktu lalu. (Sumber: Wilhan, Kompas,RIZ, 14/11/2009)

Sabtu, 28 November 2009

Konsep Minapolitan Fadel Muhammad



Pembangunan Pulau-pulau Kecil Di Wilayah Perbatasan Kapal pinisi Cinta Laut memulai pelayaran Ekspedisi Garis Depan Nusantara, Minggu (15/11). Ekspedisi yang diberangkatkan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad dari Pantai Losari Makassar, Sulawesi Selatan, itu akan mendata 28 pulau wilayah timur Indonesia. Ketua Dewan Penasihat Ekspedisi Garis Depan Nusantara, Sarwono Kusumaatmadja, memaparkan, ekspedisi yang diprakarsai Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri dan komunitas budaya Rumah Nusantara itu merupakan kelanjutan ekspedisi serupa yang menjelajahi pulau terluar di wilayah barat dan tengah Indonesia.

”Secara keseluruhan, ekspedisi tersebut akan mengunjungi 92 pulau di perairan Nusantara yang merupakan titik pangkal garis teritorial NKRI,” tutur Sarwono. Menurut Sarwono, dalam tim ada sejumlah peneliti yang akan meneliti masalah sosial, ekonomi, dan budaya 28 pulau terluar di wilayah perbatasan timur Indonesia. Hasil penelitian akan disusun menjadi buku, sebagaimana hasil Ekspedisi Garis Depan Nusantara di kawasan barat Indonesia yang dibukukan dengan judul Tepian Tanah Air. Dalam pidato pelepasan tim ekspedisi, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad menyatakan, pengelolaan pulau kecil di wilayah perbatasan merupakan arah baru kebijakan pengelolaan kelautan nasional.
 ”Paradigma pembangunan yang berorientasi daratan harus diubah ke paradigma baru, berorientasi pada sektor kelautan dan perikanan,” katanya. Ia menyatakan bahwa pengembangan 92 pulau terluar di Indonesia membutuhkan kebijakan khusus yang mengintegrasikan pertahanan dan keamanan, peningkatan keterampilan masyarakat, serta perlindungan dan pengawasan pulau terluar. Indonesia masih menghadapi masalah dalam mendata ribuan pulau di Indonesia. ”Kondisi masing-masing pulau kecil berbeda-beda. 
Ada berbagai kendala, misalnya belum tertib administrasi kependudukan, kurang data dan informasi. Presiden telah meminta inventarisasi semua pulau untuk diberi nama dan didaftarkan ke PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Inventarisasi seluruh pulau kecil akan selesai 2010. Pada 2011 pulau-pulau itu akan didaftarkan ke PBB agar kasus Sipadan dan Ligitan tidak terulang lagi,” ungkap Fadel. Minapolitan Fadel menyatakan, untuk memperbaiki kondisi, ia mengembangkan konsep kawasan minapolitan agar pulau kecil dan terluar menjadi sumber ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan.

 ”Dalam pertanian ada agropolitan, yaitu kawasan yang berbasis pertanian. Kita akan perkenalkan minapolitan, suatu kawasan yang dibantu infrastrukturnya, airnya, dan lainnya agar tumbuh dengan bertumpu kepada sektor perikanan. Pada 17 November saya akan bertemu dengan Menteri Pekerjaan Umum dan membicarakan pembangunan minapolitan,” tutur Fadel. 


Terkait dengan kemudahan usaha sektor kelautan dan perikanan, Fadel menyatakan bahwa mulai 1 Januari 2010 seluruh peraturan daerah (perda) yang dianggap memberatkan nelayan akan dihapus. Kabupaten/kota dan provinsi yang memiliki perda seperti itu akan diberi kompensasi berupa dana alokasi khusus yang proporsional. Inventarisasi perda yang memberatkan merupakan bagian dari prioritas program 100 hari Fadel sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan di Kabinet Indonesia Bersatu II. (Sumber: Kompas, 16/11/09/row/nar/bdm)

Rabu, 18 November 2009

Program 100 hari, kebijakan penyelesaian masalah wilayah perbatasan.




program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu ke-2, terkait penajaman konsep kebijakan penyelesaian masalah wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar. Departemen stack holder telah melakukan serangakaian kunjungan kerja ke wilayah perbatasan, dalam upaya mengidentifikasi prioritas kerja dan penajaman konsep kebijakan penyelesaian wilayah perbatasan dalam upaya mendorong terwujudnya Badan Nasional Pengelola Wilayah Perbatasan.

Dari kegiatan kunjungan tersebut, beberapa hal yang dijadikan atensi diantaranya adalah persoalan tapal batas, infrastruktur dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan.

Pertama, persoalan tapal batas.

Wilayah Darat.

Perbatasan RI – Malaysia di Pulau Kalimantan
Panjang garis batas :  2004 km, terdiri dari sektor barat (Kalimantan Barat - Sarawak) dan sektor timur (Kalimantan Timur - Sabah). Penegasan batas bersama dimulai sejak tahun 1975. Jumlah tugu batas ada 19.328 buah lengkap dgn koordinatnya. Pada tahun 2000 pekerjaan demarkasi telah selesai, tetapi masih terdapat sepuluh lokasi yang bermasalah (Outstanding Boundary Problems) atau kedua negara belum sepakat tentang batas negara di lokasi tersebut.
Kesepuluh masalah batas tersebut adalah sebagai berikut, untuk Sektor Barat meliputi ; Tanjung Datu; Gunung Raya ; Batu Aum ; Gunung Jagoi dan Titik D. 400. Untuk Sektor Timur meliputi ; Titik B. 2700 – B. 3100; Titik C.500 – C. 600;,S. Sinapad, Sungai Semantipal dan Pulau Sebatik.

Batas RI – PNG.
Panjang garis batas  770 km, darat 663 km, ikut thalweg Sungai Fly  107 km, penegasan batas dimulai tahun 1966. jumlah tugu MM sebanyak 52 buah.
Permasalahan batas antara RI – PNG, pada umumnya terbatasnya dana dari masing-masing pihak, sehingga praktis tidak banyak yang bisa dilakukan untuk melanjutkan penyelesaian tegas batas. Sebagai contoh sejak tahun 2000, program yang ada hanya sebatas, rapat atau pertemuan tahunan.

Batas RI - Timor Leste.

Panjang batas  268,8 km, terdiri dari sektor Timur  149,1 km dan sektor Barat  119,7 km. Telah disepakati 907 tugu dari rencana + 5.000, disepakati 5 dari 8 daerah yg semula ada permasalahan (terutama kesulitan implementasi karena masalah adat, yakni Permasalahan. di Noel Besi, Manusasi, dan Dilumil/Memo.

Wilayah Laut. Indonesia mempunyai perbatasan laut (meliputi atau terdiri dari laut territorial, ZEE dan Zona Tambahan) dengan sepuluh negara tetangga yakni India, Thailand,Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, Kepulauan Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste. Dalam hal penegasan batas di laut pengorganisasiannya relative sederhana karena lebih fokus pada masalah-masalah teknis tegas batas. Masalah batas yang menonjol adalah dengan Malaysia khususnya di selat Malaka, dan Blok Ambalat di laut Sulawesi.

Perbatasan di sekitar Pulau-Pulau Kecil Terluar

Dari hasil penelitian dan penghitungan di wilayah NKRI terhadap 17.504 pulau. Dari jumlah sebanyak itu terdapat 92 Pulau Terluar yang dinilai sangat strategis, 67 diantaranya berbatasan langsung dengan negara tetanngga; dari 67 pulau itu hanya 28 pulau yang berpenduduk sementara 39 lagi masih kosong; Dan dari sejumlah itu terdapat 12 pulau diantaranya yang paling menghawatirkan, hal ini terkait dengan posisinya dan tidak adanya air tawar dan kehidupan di pulau-pulau tersebut.
12 Pulau yang membutuhkan perhatian khusus, yakni : Pulau Rondo (Sabang,NAD). Pulau Sekatung (Natuna,Kepri). Pulau Nipa (Batam, Kepri). Pulau Berhala (Deli Serdang,Sumut). Pulau Marore (Sangihe,Sulut), Pulau Miangas (Kep.Talaud,Sulut), Pulau Marampit (Kep.Talaud,Sulut), Pulau Batek (Kupang,NTT), Pulau Dana ( Kupang, NTT), Pulau Fani (Raja Ampat, Papua), Pulau Fanildo (Biak Numfor, Papua) dan Pulau Brass ( Biak Numfor,Papua).
Khusus pulau-pulau yang berbatasan dengan Singapura seperti Pulau Nipa, Sekatung rawan terhadap kegiatan penjualan pasir ilegal. Contohnya pulau Nipa, pemerintah RI telah mengeluarkan biaya reklamasi lebih dari 300 milyar, untuk mempertahankan keberadaan pulau, karena merupakan titik dasar tegas batas laut antara Ri-Singapura.

Kedua, persoalan terbatasnya infrastruktur. Terbatasnya infrastruktur seperti jalan, jembatan dan sarana transportasi yang dapat menghubungkan antar wilayah di perbatasan. Pada dasarnya disebabkan belum singkronnya antara kebijakan dan strategi pengembangan wilayah perbatasan di lapangan. Kebijakan menghendaki wilayah perbatasan sebagai halaman depan bangsa, tetapi konsep pengembangannya masih mengambang antara Pemda dan Pusat. Baik pusat maupun Pemda belum mampu menyelesaikan Rencana Tata Ruang yang berwawasan regional, yang dapat mengakomodasikan pembangunan wilayah perbatasan dengan negara tetangganya. Yang ada baru sebatas semangat membangun daerah tertinggal dengan terpaksa mengikuti pola ”inward looking” (lebih realistis), pembangunan lebih cenderung ke pusat-pusat pertumbuhan di kota provinsi / Kabupaten/Kota yang pada umumnya di wilayah pantai, sementara perbatasan darat ada di wilayah pegunungan dan terisolir, dan menyebar dengan jarak hingga ribuan kilometer. Karenanya wilayah perbatasan akan selalu kalah prioritas, terlebih lagi dengan terbatasnya jumlah penduduk, dan lokasinya yang menyebar....

persoalan kehidupan sosial ekonomi. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat perbatasan masih sangat memprihatinkan. Tingkat pendidikan, penghasilan dan kesehatan yang rendah, demikian pula dengan lokasi Pulau-Pulau Kecil Terluar pada umumnya terpencil, jauh dari pusat kegiatan ekonomi. sulit dijangkau, demikian pula dengan kondisi alamnya ada yang sama sekali tidak berpenghuni dan tidak mempunyai sumber air tawar.

Pengamanan Wilayah Perbatasan. Pengamanan wilayah perbatasan masih bersifat tradisional, yakni dengan menempatkan Pos-pos pengamanan, baik yang sifatnya bersama (jumlahnya sangat terbatas) maupun atas inisiatif masing-masing pihak dengan sepengetahuan negara tetangga, adapun gambarannya adalah sebagai berikut;

Di wilayah perbatasan RI- Malaysia, terdapat sebanyak 55 Pos, dua diantaranya PPLB (pos pengamanan lintas batas, bersama) dan selebihnya PLB (pos lintas batas, sepihak). Di wilayah perbatasan RI-PNG terdapat sebanyak 114 pos, 17 PLB permanen dan selebihnya pos mobil dan untuk di wilayah RI-RDTL sebanyak 38 PLB (14 permanen dan 12 Pos Teritorial dan 10 pos mobil).
Untuk di pulau-pulau kecil terluar dilakukan penempatan pasukan TNI khususnya marinir - AL dengan prioritas pulau terluar yaitu di Pulau : Rondo, Berhala, Nipa, Natuna, Miangas, Marore, Marampit, Fani, Fanildo, Brass, Batek dan Dana.
Pengelolaan Wilayah Perbatasan. Sekarang ini belum ada badan yang secara khusus dalam menangani wilayah perbatasan, tetapi sebaliknya terdapat 25 Instansi/lembaga, 71 setingkat eselon satu dan 35 program terkait wilayah perbatasan dan pada kenyataannya sulit dalam hal koordinasi serta upaya mensinergikan program. Sesuai amanat UU no.43 tahun 2009 tentang Wilayah telah mengamanatkan pembentukan Badan Nasional Pengelola Perbatasan, sampai saat ini belum terbentuk, namun demikian untuk tingkat daerah sudah terbentuk.

Ada tiga bidang utama yang harus dituntaskan secara terintegrasi, yakni peningkatan keamanan, ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat di perbatasan. Selama ini semua mekanisme penyelesaian masalah perbatasan berjalan linier. Tidak ada simpul yang mengintegrasikan kebijakan dan implementasi kebijakan di lapangan. Idealnya masalah perbatasan sebaiknya disinergikan oleh kementerian Polhukam, Menko Perekonomian, Menko Kesra secara terintegrasi. Tetapi faktanya tidak bisa optimal. Sebagai tindak lanjut diharapkan adanya perumusan kebijakan, minimal ada semacam Instruksi Presiden, lebih tepat lagi dengan mewujudkan Badan nasional perbatasan.

Jumat, 13 November 2009

Pulau Nipa, Patriotisme di Wilayah Perbatasan



Catatan Blogger
Pulau Nipa. Pulau nipa titik batas yang nyaris tandas, Pulau Nipa termasuk ProvinsiRiau Kepulauan, berhadapan dengan negara Singgapura kurang lebih berjarak 5 mil/8 km arah Barat Daya dari Singgapura, nama lain dari pulau Nipa adalah Pulau Angup termasuk daerah administrative provinsi Riau. Pulau ini luas daratannya ± 60 ha tetapi ketika air laut surut dan kalau air laut pasang hanya 6 Ha.
Pulau ini hampir tenggelam karena pulau yang berada disebelah selat Philip, wilayah ini mengalami abrasi akibat penambangan pasir laut. Penambangan pasir illegal dijual ke Singgapura untuk reklamasi pantai Singgapura. Pasirnya di jual seharga Sin-$5/kubik, sementara untuk keperluan reklamasinya pemerintah RI sudah mengeluarkan lebih dari 300 milyar rupiah. Dipulau Nipa ada pos penjagaan prajurit Marinir TNI-AL yang menjaga pulau ini.




Pada saat kita memperingati hari Pahlawan tahun ini. Kita seperti kehilangan roh kepahlawanan. Pejabat hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat kehilangan semangat membela kebenaran, keadilan, dan kepentingan bangsa yang lebih luas.

Di balik sikap pesimistis masyarakat terhadap wajah penegakan hukum dan perilaku penegak hukum, setidaknya masih ada aparatur negara yang tetap tulus dan setia membela kebenaran dan menjaga kepentingan bangsa yang lebih luas.

Mereka setia membela ”negara” dan berkorban meninggalkan keluarga. Mereka menerima gaji yang kecil, jauh dari kemungkinan korupsi atau menerima suap, untuk sebuah tugas negara....

Di Pulau Nipah, Provinsi Kepulauan Riau, hadir sosok yang melaksanakan tugas berat dengan jiwa patriot, tanpa banyak berkoar-koar. Mereka adalah anggota Marinir TNI Angkatan Laut (AL) yang bertugas menjaga pulau di perbatasan Indonesia itu.

Pulau Nipah adalah salah satu pulau terdepan dan strategis sebagai penanda kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebelum direklamasi tahun 2004, luas pulau ini tinggal 1,4 hektar. Kini, setelah direklamasi, luasnya mencapai 60 hektar.

Tidak ada seorang warga sipil pun yang tinggal di sini. Pohon baru segelintir. Beberapa tanaman, seperti semangka dan kacang, ditanam anggota Marinir yang bertugas. ”Bulan lalu kami baru tanam 3.300 pohon ketapang,” kata Komandan Pos TNI AL Pulau Nipah Letnan Satu (P) Agus Tuslian.

Pengorbanan yang diberikan anggota TNI AL di Pulau Nipah memang tidak kecil. Apalagi fasilitas di pulau itu, seperti air bersih dan listrik, hampir tidak ada. Listrik mengandalkan genset. Air bersih mengandalkan air hujan yang tergenang di permukaan tanah.

Padahal, tanggung jawab TNI AL sangat besar, yaitu menjaga kedaulatan NKRI. Untuk itu, TNI AL hanya dilengkapi dengan senapan mesin ringan, perahu fiber, dan perahu karet.

”Kalau ada apa-apa, risiko kami paling rendah cacat, paling tinggi, ya, mati,” kata Komandan Satuan Tugas (Satgas) Marinir VII Pulau Nipah Letnan Satu (Mar) Alex Zulkarnaen. ”Pokoknya, kalau ada ancaman, kami sebagai pasukan tempur yang di depan harus bertahan dan lapor,” paparnya lagi.

Satgas ini diganti enam bulan sekali. Selama enam bulan itu prajurit tidak boleh meninggalkan pulau. Prajurit Satu (Mar) Rahman (27) dan Prajurit Dua (Mar) Faturohman (24) adalah 2 dari 34 anggota Marinir yang menjaga Pulau Nipah.

Sebulan yang lalu putra kedua Rahman, Azka Hurina, lahir. Rahman yang tak boleh pulang hanya bisa gundah gulana sepanjang hari sambil terus berusaha mencari sinyal telepon seluler yang meredup seiring angin kencang yang datang. Akhirnya, pukul 02.30, setelah menghabiskan Rp 100.000 untuk pulsa, ia mendengar tangisan Azka untuk pertama kali.

Tidak bisa bertemu keluarga hanya satu dari sekian tantangan yang harus dihadapi. Sehari-harinya mereka harus bergulat dengan suasana pulau yang gersang dan tiupan angin yang kencang pada malam hari.

Meskipun dengan segala keterbatasan, anggota TNI AL itu tetap dapat mensyukuri apa yang diterima. Mereka tetap setia bertugas meski dengan gaji yang tidak besar.

Dengan uang makan yang terdiri dari uang makan operasi, uang saku, dan uang lauk-pauk rata-rata sebesar Rp 34.000 sehari, mereka harus membeli air minum galon dan bahan makanan di Pulau Batam dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam dengan perahu nelayan, pompong. Menu utama mereka, mi instan yang ditumis dengan kol ditambah telor.

”Kami tak ada tunjangan dengan bertugas di pulau terluar karena kondisi ini dianggap tugas biasa,” kata Alex. Padahal, biaya angkut dengan perahu masyarakat itu sekitar Rp 500.000 sekali jalan, belum lagi harga kebutuhan pokok di Batam yang mahal karena didatangkan dari luar Batam.

Di televisi, prajurit TNI kerap melihat tingkah birokrat dan anggota parlemen di Jakarta, termasuk rencana permintaan untuk naik gaji. Saat ditanya apakah ingin naik gaji, Rahman dan Faturohman terdiam. Tak sepatah kata pun keluar.

”Kami tidak ingin meminta. Terserah atasan saja. Tetapi, kalau dikasih, ya, kami bersyukur,” kata Alex.

Tambahan gaji bagi prajurit yang bertugas, apalagi harus meninggalkan keluarga, memang patut dipertimbangkan. Daripada uang negara dikorupsi atau uang publik digunakan untuk menalangi bank bermasalah yang kini kian tidak jelas. Kompas, Selasa, 10 November 2009 Oleh :Edna C Pattisina dan Ferry Santoso)

Minggu, 08 November 2009

193 Titik Dasar, 92 Pulau Terluar 12 Perlu Perhatian Khusus



Oleh Gesit Ariyanto
 ”Berbuatlah sesuatu sebelum perkara muncul” (Hasjim Djalal). Menjaga kedaulatan negara bukan hanya perkara diplomasi politik, melainkan harus diterjemahkan di lapangan. Sebagai sebuah negara kepulauan, menentukan titik dasar terluar adalah sebuah langkah awal. Dari sejumlah negara kepulauan di dunia, Indonesia adalah salah satu yang terbesar—menurut United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1992. Konsekuensinya, penetapan titik-titik pangkal terluar juga merupakan kerja cukup berat dan tidak mudah. Menurut hukum laut internasional, jarak dua titik berdekatan—jika ditarik garis lurus—maksimal 100 mil laut. Pekerjaan besar itu harus melibatkan para ahli untuk memastikan posisi titik-titik tersebut. 
Proses selanjutnya, mendaftarkannya ke sekretariat PBB untuk memenuhi asas publisitas dengan publikasi di situs resmi. Di situs itulah pekerjaan para ahli diuji: diteropong negara tetangga apakah penetapan titik pangkal yang akan menjadi dasar batas wilayah dan kedaulatan itu bermasalah. ”Dari 193 titik pangkal yang didepositkan di PBB, tidak satu pun yang disengketakan negara tetangga,” kata Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional Sobar Sutisna, yang juga anggota Tim Perunding Batas Maritim. Sebelum menentukan 193 titik pangkal itu, tim yang di antaranya melibatkan Bakosurtanal dan Dinas Hidro-Oseanografi TNI Angkatan Laut menyurvei lebih dari 300 titik sepanjang tahun 1996-1999.
Sebagai dasar survei, tim memanfaatkan data Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Sebelum sempat didaftarkan di sekretariat PBB, data direvisi karena sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan, yang keduanya akhirnya diputuskan menjadi milik Malaysia. Akibatnya, tiga titik pangkal di Sipadan dan Ligitan diganti di Pulau Sebatik dan Karang Unarang.... Keputusan itu memberi wilayah laut lebih besar karena titik dasar di Pulau Bunyu diganti di Pulau Maratua, yang tarikan garis penghubungnya dari Karang Unarang menjadi lebih panjang memotong laut. 
Berdasarkan kesepakatan UNCLOS, titik pangkal ada di titik terluar pulau terluar sebuah negara. Indonesia memiliki 92 pulau terluar yang berbatasan langsung dengan 10 negara. Surut terendah Posisi titik pangkal disepakati pada posisi air surut terendah. Titik koordinat ditetapkan di sana. Menurut Sobar, terjadinya air surut terendah itu memiliki siklus 18,6 tahun. Artinya, tidak sewaktu-waktu titik pangkal dapat dilihat langsung. Bahkan, sangat sulit. Menurut ahli hukum laut internasional Hasjim Djalal, penetapan titik pangkal sangat penting karena merupakan elemen penting perundingan batas wilayah kedaulatan sebuah negara. 
Dari titik-titik itulah, wilayah kedaulatan RI ditentukan. Oleh karena itu, pascapenetapan titik pangkal negara perlu terus memantau atau mengidentifikasi keberadaannya. Sesuai dengan namanya, titik pangkal menjadi dasar penarikan garis batas. Berjarak 12 mil ke arah laut lepas merupakan kawasan laut teritorial, sejauh 24 mil merupakan zona tambahan. Lalu, 200 mil merupakan zona ekonomi eksklusif (ZEE), dengan bagian dasarnya merupakan batas landas kontinen. Atas kesepakatan internasional itu, kehilangan pulau terluar karena tenggelam tidak memengaruhi wilayah kedaulatan sebuah negara. ”Sebagai daratan memang hilang, tetapi hak kedaulatan atas laut tidak,” kata Hasjim.

Pasalnya, hukum laut internasional mengakui lima hal, yakni kedaulatan darat, laut, dasar laut, udara, dan semua sumber daya yang ada di dalamnya. Seluruh kandungan sumber daya alam dalam batas landas kontinen adalah milik RI. Seluruh aktivitas di kawasan itu harus seizin Pemerintah RI. Pengawasan efektif Faktor utama dan penting terkait kedaulatan negara adalah pengawasan efektif. Kunjungan berkala ke kawasan perbatasan dan pulau-pulau terluar, meski tak berpenghuni, amat dianjurkan. 
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Sarwono Kusumaatmadja berkisah. Saat masih menjabat ia berkunjung ke sebuah pulau di Kalimantan Barat. Seorang bapak tua di sana mengaku tidak tahu nama gubernurnya. Presiden yang ia kenal pun Soekarno. Namun, ia kenal baik nama-nama nakhoda kapal nelayan Thailand berikut nomor lambung kapalnya karena sering mengangkut warga yang sakit. Oleh karena itu, kehadiran nyata pemerintah di wilayah perbatasan mutlak adanya.


Berpenghuni atau tidak, selama ada pengawasan berkala, tak perlu khawatir pencaplokan pulau oleh negara lain. ”Ada persepsi salah, seakan-akan kepemilikan sebuah pulau tergantung dari ada-tidaknya penduduk,” kata Sobar. Soal pengawasan yang membuat Sipadan dan Ligitan jatuh ke tangan Malaysia. Pemerintah Inggris saat menguasai Malaysia tercatat beraktivitas di dua pulau itu, sementara Hindia Belanda tidak. Adapun Pulau Miangas yang secara geografis lebih dekat dengan Filipina tetap menjadi wilayah Indonesia karena Hindia Belanda memiliki bukti aktivitas di sana. Berkaca pada pengalaman, Hasjim mengingatkan, pemantauan efektif di pulau-pulau terluar dan batas-batas wilayah RI harus dilakukan intensif. ”Berbuatlah sesuatu sebelum perkara muncul”. Sabtu, 7 November 2009

Sabtu, 31 Oktober 2009

Sengketa Perbatasan, Warga Timor Leste Pakai Tanah RI

Kupang, Kompas - Pemerintah Republik Indonesia diminta segera menangani masalah tapal batas antara Republik Indonesia dan Timor Leste. Saat ini, sudah ribuan hektar lahan warga Indonesia di perbatasan digunakan dan dimasuki warga Timor Leste.
Warga Republik Indonesia di perbatasan sudah melakukan berbagai upaya termasuk berbicara dengan warga Timor Leste, tetapi tidak menemukan penyelesaian akhir. Mereka juga sudah melapor ke camat dan polsek setempat, tetapi belum ditanggapi.
Warga Timor Leste bersikeras mengklaim Desa Detemnanu masuk dalam wilayah Timor Leste. Padahal, pada masa integrasi dan sampai hari ini, desa itu masuk wilayah administrasi Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Raja Amfoang Kabupaten Kupang Robi Manoh, Rabu (23/9), mengatakan, sekitar 1.062 hektar lahan milik warga Desa Detemnanu, Kecamatan Amfoang Timur, dikuasai warga Oekusi, Timor Leste. ”Kasus ini terjadi sejak tahun 1999 saat Timor Timur lepas dari NKRI. Mereka terus bergeser masuk sampai menguasai sekitar 1.062 hektar lahan milik warga RI di perbatasan,” tutur Manoh.
Amfoang berbatasan langsung dengan Timor Leste. Konflik horizontal sangat potensial terjadi di wilayah ini, apalagi Amfoang Timur termasuk daerah terpencil di Kabupaten Kupang karena sulit dilalui kendaraan.
Ia meminta pemerintah segera mengatasi masalah tanah milik warga RI di perbatasan. Jika kasus ini dibiarkan berlarut-larut, tidak tertutup kemungkinan terjadi konflik horizontal antara warga kedua negara.
Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya mengatakan, masalah tapal batas negara RI dengan Timor Leste dibicarakan kedua negara secara damai. Persoalan batas wilayah RI yang diserobot warga Timor Leste sedang dipelajari dan dilaporkan kepada pemerintah pusat.
”Kami akan minta informasi dari Bupati Kupang soal penyerobotan tanah di Detemnanu itu. Kasus ini sudah menjadi tanggung jawab pemerintah kedua negara, bukan Pemprov NTT saja,” ujarnya. (KOR/SEM, 24 September 2009)

Selasa, 27 Oktober 2009

Spratly, Perbatasan Tak Punya Solusi


Manila, selasa - China menyatakan tidak melihat ada solusi di depan mata dalam penyelesaian perselisihan soal Kepulauan Spratly. Guna menghindari konfrontasi, China menawarkan pembahasan proyek bersama dengan negara-negara pengklaim lainnya. Pernyataan itu dikemukakan Duta Besar China untuk Filipina Liu Jianchao, Selasa (22/9) di Manila, Filipina. ”Saya kira penyelesaian isu ini akan memakan waktu sangat lama,” kata Liu, sambil mencontohkan persoalan perbatasan China-Rusia yang baru selesai setelah 50 tahun. 
Brunei, China, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam mengklaim semua atau sebagian dari sekitar 100 pulau kecil, karang, dan atol di Spratly yang diyakini menyimpan cadangan minyak dan gas alam melimpah. Pulau-pulau yang sebagian besar tak berpenghuni dan perairan di sekitarnya dikelilingi jalur laut yang sibuk dan kaya ikan. Liu menambahkan, China ingin membuat proyek bersama dengan negara-negara pengklaim guna membangun kepercayaan dan melangkah maju. Akan tetapi, Liu mengakui proyek seperti itu akan sulit diwujudkan. 
Studi seismik bersama oleh Philippine National Oil Co, China national Offshore Oil Corp, dan Vietnam Oil and Gas Corp terhenti tahun lalu saat beberapa anggota parlemen Filipina menduga kesepakatan itu melanggar konstitusi Filipina dan meminta Mahkamah Agung Filipina menghentikannya. Hubungan dengan Filipina Tahun lalu, Filipina meloloskan undang-undang yang menegaskan klaim negara itu atas sebagian Spratly. Liu mengatakan, undang-undang itu menimbulkan dampak negatif dalam hubungan China-Filipina karena dianggap melanggar kedaulatan China. 


Undang-undang Filipina itu juga dianggap melanggar aturan bertindak yang diadopsi semua negara pengklaim guna menghindari langkah sepihak. Liu mengatakan, China masih mengupayakan penyelesaian damai soal Kepulauan Spratly dan menegaskan penolakan terhadap campur tangan pihak lain, seperti Amerika Serikat dan ASEAN. Situasi kembali tegang pada awal tahun ini saat media China melaporkan China telah mengirim kapal patroli sipil ke perairan Kepulauan Spratly. (ap/afp/fro, kompas,, 23 September 2009)

Selasa, 20 Oktober 2009

Perbatasan Kamboja -Thailand, Sengketa Tugu Batas


Usul Sengketa Wilayah Candi Preah Vihear Dibahas di KTT ASEAN Phnom Penh, Senin - Kamboja mengajak tetangganya, Thailand, untuk membawa sengketa perbatasan kedua negara terkait wilayah Candi Preah Vihear dimasukkan ke Konferensi Tingkat Tinggi Ke-15 ASEAN di Hua Hin, Thailand, 21-25 Oktober. Thailand sebelumnya juga telah mengusulkan agar ASEAN segera menghasilkan mekanisme penyelesaian sengketa, sehingga bisa segera digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah perbatasan di antara sesama negara anggota ASEAN. 
 Ajakan Kamboja itu disampaikan dalam surat diplomatik yang dikirim Menteri Luar Negeri Kamboja Hor Namhong kepada mitranya, Menteri Luar Negeri Thailand Kasit Piromya, Senin (12/10). ”Dalam hal ini, saya ingin mengusulkan sengketa antara Kamboja dan Thailand di wilayah sekitar Candi Preah Vihear dimasukkan ke dalam agenda KTT ASEAN di Hua Hin,” ungkap Hor Namhong. Fokus sengketa perbatasan kedua negara ASEAN bertetangga itu adalah wilayah di sekitar candi abad ke-11, Preah Vihear. 
Akibat sengketa perbatasan itu, militer kedua negara terlibat baku tembak sehingga menewaskan tujuh prajurit dari kedua pihak. Sengketa perbatasan itu sebenarnya sudah berumur beberapa dekade, tetapi ketegangan memanas menjadi aksi kekerasan pada Juli tahun lalu, ketika candi tersebut dianugerahi UNESCO status warisan dunia.... Pengadilan Dunia pada tahun 1962 memutuskan wilayah candi itu milik Kamboja. Perdana Menteri Kamboja Hun Sen bulan lalu mengatakan, telah memerintahkan tentaranya untuk menembak siapa pun dari Thailand yang secara ilegal melintasi tanah di sekitar Preah Vihear. 
Pernyataan itu disampaikan seminggu lebih setelah para pemrotes Thailand melakukan aksi rapat umum dekat candi tua itu. ”Setiap kali dia wawancara dengan media asing, dia selalu menyampaikan sikap seperti itu ketika dia ingin membuat headline,” ungkap Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva membalas pernyataan Hun Sen. PM Thailand itu menambahkan, Hun Sen ingin membatasi aksi protes rakyat Thailand pada 19 September. Akan tetapi dia menegaskan, Thailand tetap ingin mencari penyelesaian damai atas sengketa tersebut. Abhisit menambahkan, dia telah menyampaikan sengketa kepada Sekjen PBB Ban Ki-moon di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB di New York, pekan lalu, dan mengungkapkan bahwa UNESCO telah memperburuk ketegangan Thailand dengan Kamboja. Tentara-tentara dari Kamboja dan Thailand terus melakukan patroli di sekitar wilayah yang disengketakan itu. 
 Hun Sen hadir Menlu Thailand, pekan lalu, mengharapkan mekanisme penyelesaian konflik ASEAN bisa membantu penyelesaian sengketa perbatasan Thailand-Kamboja. KTT ASEAN dan KTT ASEAN dengan enam mitra dialognya (China, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, dan Selandia Baru) akan diselenggarakan pekan depan. PM Kamboja Hun Sen, yang sebelumnya mengancam tidak akan datang, telah memastikan akan hadir. Kasit mengatakan, pemerintah telah merundingkan kerangka-kerangka kerja yang mengarah kepada pendekatan-pendekatan damai dan menghindari penggunaan kekerasan.

 ”Saya bertemu Tuan Hun Sen pekan lalu dan semuanya berlangsung baik. Saya mengklarifikasi isu-isu dengan semua pihak terkait,” kata Menlu Thailand seperti dikutip kantor berita Thailand, TNA. Pekan lalu, Komisi Nasional anti-Korupsi Thailand mengungkapkan, mantan Perdana Menteri Samak Sundaravej dan mantan Menteri Luar Negeri Noppadon Pattama harus ditindak karena mengabaikan tugas dan kecerobohannya. Disebutkan, sebuah keputusan kabinet Thailand, tahun lalu, mendorong Kamboja mendaftarkan Preah Vihear sebagai sebuah situs warisan dunia.


 ”Sebagai kepala pemerintahan pada saat ini, Samak seharusnya tahu bahwa masalah itu sangat sensitif dan tampaknya akan memiliki konsekuensi, baik hukum maupun sosial,” kata juru bicara komisi, Klanarong Jantik. Pengadilan Dunia pada tahun 1962 menganugerahkan candi tersebut kepada Kamboja, tetapi kedaulatan atas lahan di sekitarnya tidak pernah jelas diselesaikan. Pengadilan konstitusi Thailand, tahun lalu, memutuskan bahwa komunike bersama yang ditandatangani Noppadon dengan pihak Kamboja, yang mendukung pengajuan kepada UNESCO oleh Kamboja itu, melanggar konstitusi dan Thailand menarik lagi dukungannya. (AP/AFP/OKI, Kompas, selasa, 13 Oktober 2009)

Jumat, 16 Oktober 2009

Perang Perbatasan dengan Malaysia Mungkinkah ?


Susanto Pudjomartono Pada awal tahun 1950-an ada lelucon. Jika ada sejumlah orang sedang berselisih, datanglah seseorang yang akan memisah dengan mengatakan, ”Sudahlah jangan bertengkar. Itu tentara Belanda akan datang menyerang.” Ajaibnya, konon, pertikaian berakhir karena semua siap menghadapi musuh. Inti lelucon itu adalah bangsa Indonesia akan bersatu bila ada musuh bersama. Lelucon ini menyakitkan karena kita dianggap baru bersatu bila ada musuh bersama. Gampang tersulut Tampaknya, itulah yang terjadi. Ketika kasus Ambalat muncul dan konon Malaysia akan menyerobot pulau Indonesia itu, orang menyerukan untuk mengganyang Malaysia. 
Saat lagu ”Rasa Sayange”, kain batik, dan reog ponorogo didaku milik Malaysia, masyarakat menggusari Malaysia. Bumbu kemarahan lain adalah nasib tenaga kerja Indonesia yang kabarnya di sana banyak dizalimi. Terakhir, saat tari pendet masuk program pariwisata Malaysia, orang siap mengamuk melawan jiran serumpun itu. Di sisi lain, kasus itu menunjukkan sampai tahap tertentu, rasa cinta tanah air dan semangat nasionalisme masih kuat pada bangsa Indonesia. Namun, kasus itu juga mengungkap, kemarahan gampang disulut dan kita mudah terpancing untuk bertindak irasional. Seruan-seruan untuk mengganyang Malaysia, yang dulu pernah didengungkan saat Trikora dideklarasikan, merupakan contoh irasionalitas itu. 
Namun, kita juga disadarkan. Ingatan kolektif bangsa tentang masa konfrontasi dengan Malaysia ternyata masih ada dan kuat. Sentimen anti-Malaysia mudah disulut meski generasi sudah berganti. Apa yang terjadi pada kita? Bila mawas diri, soul searching, kita merasa, kekesalan kepada Malaysia sebenarnya tercampur perasaan lain, di antaranya perasaan tersinggung karena merasa dilecehkan saudara serumpun yang lebih muda. Juga ada rasa iri dan cemburu karena kini Malaysia lebih maju dan lebih makmur dibandingkan dengan Indonesia, padahal kita merdeka lebih dulu. Dan pada awal kemerdekaan, mereka ”berguru” kepada Indonesia. Juga ada rasa kecewa karena Malaysia dianggap kurang tenggang rasa dan menganggap enteng saudara tua, Indonesia. 
 Selama ini, banyak di antara kita merasa lebih unggul dibandingkan dengan Malaysia karena Indonesia merebut kemerdekaan dengan darah dan keringat? Sedangkan Malaysia ”diberi” kemerdekaan oleh bekas penjajahnya Mendadak, kita disadarkan, kini dunia sepertinya memakai parameter berbeda, bagaimana cara suatu negara merdeka kurang diperhatikan. Yang lebih penting dan diperhitungkan adalah kemajuan dan kesejahteraan rakyat negara itu.... Kita masih bisa berbangga diri, Indonesia adalah negara demokrasi nomor tiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Sedangkan Malaysia dan Singapura bukan negara demokratis. 
Apalagi di dua negara itu masih berlaku ketentuan seperti Internal Security Act yang memungkinkan orang ditangkap dan ditahan sewenang-wenang. Namun, apakah hal itu dapat membuat kita lebih unggul? Sedang galau Hati kita sebagai bangsa sedang galau. Kita seperti menggapai-gapai dan mencari-cari apa yang dapat mengangkat martabat bangsa. Kemiskinan dan pengangguran terserak di mana-mana. Korupsi di Indonesia masih bertengger di papan atas. Prestasi bidang olahraga yang memungkinkan atlet kita meraih medali emas hingga lagu ”Indonesia Raya” dikumandangkan tak juga kunjung tiba. Olahraga kita sedang jeblok. 
Karena itu, kini kita cenderung menjulangtinggikan prestasi-prestasi ”anak bangsa” yang lumayan tetapi tak terlalu tinggi, seperti medali emas di lomba fisika internasional atau kemenangan penyanyi di festival. Kita juga gusar jika ada suara-suara yang mau mengecilkan atau meniadakan kebanggaan nasional seperti Candi Borobudur atau komodo dari daftar keajaiban dunia. Singkat kata, sebagai bangsa, kita sedang gampang tersinggung. 
Dalam hati, sebenarnya kita ingin tinggi menjulang dengan prestasi-prestasi besar, tetapi realitas menyadarkan, kita belum mampu. Meniadakan orang antre minyak tanah pun belum mampu, apalagi menghapus korupsi. Perjalanan masih jauh. Dalam keterbatasan, apakah kita malu karena tidak bisa menepuk dada? Tidak. Seperti bayi belajar berjalan, kita masih tertatih-tatih, harus puas dan bangga dengan prestasi-prestasi ”kecil”. Untuk mencapai prestasi besar, kita harus lebih banyak belajar dan bekerja lebih keras. 
 Kita juga harus becermin. Setelah beberapa jenis produk budaya Indonesia di klaim Malaysia, kita baru sadar selama ini telah melalaikan harta pusaka budaya. Dalam arus globalisasi dan pendewaan materi yang kini makin bersimaharajalela, secara setengah sadar kita telah mencampakkan kebudayaan nasional. Celakanya, tampaknya kita juga masih melakukan kealpaan yang sama dengan retorika yang juga sama. 




Sekadar contoh, kita membanggakan diri, wayang kulit sejak 2003 diakui Unesco sebagai warisan budaya Indonesia. Kenyataannya, wayang kulit kita sebagai seni pertunjukan sudah bertahun-tahun sekarat dan kalau dibiarkan akan makin remuk. Mengajak perang dengan Malaysia jelas bukan solusi. Agaknya yang perlu dilakukan adalah menyerukan kepada seluruh bangsa untuk kembali ke akal sehat dan lebih memelihara warisan budaya. Mungkin seraya memekikkan, ”Awas, itu Malaysia sudah mulai mengiklankan produk budaya kita!”(Kompas, Sabtu, 5 September 2009) Susanto PudjomartonoWartawan Senior

Sabtu, 10 Oktober 2009

Ketika Lahan Perbatasan Jadi Sengketa


Masalah penggunaan lahan seluas 1.062 hektar di Kecamatan Amfoang Timur, Kupang, Nusa Tenggara Timur, oleh warga Timor Leste saat ini sudah ditangani pemerintah melalui Departemen Luar Negeri. Dalam kaitan itu, warga diminta bersabar dan tidak bertindak anarki karena dapat mengganggu hubungan kedua negara. ”Kawasan itu memang di daerah sengketa karena status tanahnya status quo. Namun, perlu saya tegaskan, negara kita berpegang pada hukum yang berlaku. Kita hadapi secara baik, tidak emosional. Jadi, jangan sampai terpancing,” kata Panglima Komando Daerah Militer IX/Udayana Mayor Jenderal Hotmangaradja Pandjaitan, Senin (5/10) di Denpasar, Bali, seusai memimpin upacara HUT Ke-64 TNI. ”Secara teknis, persoalan itu sudah diketahui dan ditangani langsung oleh Departemen Luar Negeri. Tujuan utama penanganan masalah adalah tercapainya solusi secara hukum. TNI selaku penjaga kawasan perbatasan berusaha mencegah warga di kawasan itu tidak terpancing dan secara emosional membalas aksi yang dilakukan warga Timor Leste itu,” kata Hotmangaradja. Selama ini, warga Timor Leste bersikeras mengklaim Desa Detemnanu masuk dalam wilayah Timor Leste. Padahal, pada masa integrasi dan sampai hari ini, desa itu masuk wilayah administrasi Kecamatan Amfoang Timur. Menurut Raja Amfoang Kabupaten Kupang, Robi Manoh, sekitar 1.062 hektar lahan milik warga Desa Detemnanu, Kecamatan Amfoang Timur, itu dikuasai warga Oekusi, Timor Leste. Amfoang berbatasan langsung dengan Timor Leste. Konflik horizontal sangat berpotensi terjadi, apalagi Amfoang Timur termasuk daerah terpencil di Kabupaten Kupang karena sulit dilalui kendaraan. 



Hotmangaradja kemarin juga menekankan, pasukan TNI tetap mengawasi kawasan perbatasan kedua negara itu. ”Salah satu tugas utama TNI di kawasan perbatasan, selain mencegah adanya pelintas batas, juga mencegah timbulnya masalah yang dapat mengganggu hubungan Indonesia dengan negara lain, dalam hal ini, Timor Leste,” ujarnya. Dalam konteks itu, lanjut Hotmangaradja, TNI akan berupaya keras mencegah warga Amfoang Timur membalas tindakan warga Timor Leste yang secara sporadis menggunakan lahan di sana sebagai kawasan beternak mereka.(BEN, Kompas 6, oktober 2009)

Sabtu, 03 Oktober 2009

Memandang NKR Indonesia dari Merauke



Oleh ARIFIN PANIGORO 
 Saat mendapat gelar adat Warku Gebze dan dianggap Namek (saudara laki-laki) bagi masyarakat adat suku Malind Marori di Kampung Wasur, Merauke, Papua, pertengahan Agustus lalu, saya ”ditikam” sebuah kesadaran baru. Memandang Indonesia dari Merauke ternyata lebih nyata ketimbang dari Jakarta dan kota besar lain. Hamparan tanah seluas 11 juta hektar di Papua selatan, Kabupaten Merauke, Asmat, Mappi, Boven Digoel, itu belum banyak tersentuh tangan pertanian, misalnya, mengingatkan penulis akan sempitnya sawah petani saat ini. Luas sawah di republik tinggal sekitar 12 juta hektar. Jika tanah yang idle di Merauke itu disentuh tangan-tangan produktif, ketahanan pangan kita akan menggeliat dan sangat kuat. Lebih dari itu, hasil pertanian itu juga bisa diolah menjadi energi terbarukan (biofuel) untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. 
Pendeknya, dari kesunyian dan ”keperawanan” Merauke, saya bisa lebih memahami pemikiran Thomas L Friedman (2008) tentang realitas dunia kekinian yang panas, datar, dan kumuh. Juga keinginannya untuk sebuah revolusi hijau di seluruh dunia agar kelangsungan hidup bumi tetap terjaga. Untuk itu semua, kita butuh pangan, pendidikan, dan energi. Segitiga pertahanan Fenomena dunia yang datar, sama seperti gejala yang lain, selalu merupakan pedang bermata dua. Di satu sisi, ia membuka peluang bagi siapa pun untuk maju dan berkembang tanpa adanya ganjalan diskriminatif. Di sisi lain, ia juga mengancam siapa pun yang tak bisa bertahan dalam pertempuran tanpa batas wilayah itu. 
Dunia begitu sempit dan mereka yang tak berkemampuan pasti akan terjepit dan tertinggal. Dilihat dari Merauke, terasa sekali Indonesia masih perlu kerja keras dan persiapan sistemik dalam menyongsong tekanan dunia yang semakin panas, datar, dan kumuh tersebut. Perasaan bening seperti itu, selama ini sering terhalang tingginya gedung-gedung mewah, hotel-hotel berbintang, dan fasilitas teknologi informasi canggih yang tersedia di Jakarta dan kota besar lainnya. Padahal, di balik itu, sejatinya kita masih lemah. Tiga pilar yang menjadi segitiga pertahanan, yaitu pangan, pendidikan, dan energi, masih kurang berdaya. Dalam produksi pangan, misalnya, saat ini kita masih jauh dari perkasa. 

Kecuali beras, hampir semua bahan pangan masih impor. Sementara itu, sumber pangan alternatif sejauh ini belum dikembangkan. Mengikuti logika dunia yang datar, kegagalan panen akan berubah menjadi hantu menakutkan apabila sekuen waktunya bersamaan dengan kelangkaan produksi pangan dunia. Bukan saja harga bahan dan produk pangan menjadi mahal, tetapi suhu politik domestik bisa berubah memanas seketika. Energi dan pendidikan Sementara itu, dalam hal energi, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa cadangan minyak yang kita miliki semakin menipis, jika tidak boleh disebut habis. Tekanan dunia yang datar, bukan saja memaksa pemerintah mengambil kebijakan untuk mengikuti harga minyak dunia, tetapi juga memaksa para pelaku bisnis energi berusaha untuk menemukan sumur baru dan sumber energi alternatif.... 
Pergumulan untuk menemukan sumber-sumber energi itu dan mengembangkan energi yang terbarukan kini sedang berlangsung. Sama seperti pilar pangan dan energi, pilar pendidikan juga masih lemah. Padahal, ia adalah titik keseimbangan dalam model segitiga pertahanan menghadapi dunia yang datar. Jika China sudah mempunyai lebih dari 30.000 doktor dalam bidang sains dan teknologi, Indonesia diduga baru mempunyai sepersepuluhnya. Karena itu, lompatan yang luar biasa perlu dilakukan untuk mengejar ketertinggalan di ranah pendidikan, khususnya menyangkut pengembangan nanoteknologi, bioteknologi, teknologi informasi, dan neurosains. 
 Integrasi keempat bidang tersebut dalam pilar pangan, pendidikan, dan energi akan memperkokoh soliditas segitiga pertahanan dalam menghadapi dunia yang panas, datar, dan kumuh. Tanpa penguatan tersebut, pertempuran yang kita lakukan di dunia yang datar adalah semu. Kita sudah kalau dari semula. Mendatarkan Indonesia Dari Merauke, terlihat jelas bahwa di antara lintasan dunia yang datar, keadaan Indonesia sendiri justru masih diwarnai lembah-lembah curam dan bukit-bukit berbatu. Ilustrasi itu merupakan suatu analogi bahwa selain segitiga pertahanan (pangan, pendidikan, energi) yang belum kuat, banyak praktik bisnis di negeri ini masih jauh dari efisiensi dan rasionalitas. 

Segmentasi pasar domestik masih begitu memprihatinkan. Untuk ongkos angkut kontainer, misalnya, jarak dari Jakarta ke Batam biayanya hampir dua kali lipat dibandingkan dengan jarak Singapura ke California. Padahal, ukuran kontainer itu sama besar. Hal yang sama juga terjadi pada ongkos angkut dan harga buah-buahan. Harga buah impor bisa jadi lebih murah daripada buah lokal karena mahalnya ongkos angkut antarpulau dan pungutan lain yang harus dibayar. Adalah tugas kita bersama untuk mendatarkan Indonesia. Tanpa lalu lintas barang dan pelayanan yang bebas (free movement of goods and services) serta kuatnya segitiga pertahanan (pangan, pendidikan, energi) di republik, dunia yang panas dan datar akan melibas kita. Dari Merauke, ketika mendapatkan gelar adat Warku Gebze, saya meyakini bangkitnya optimisme Indonesia, dalam waktu sesingkat-singkatnya.(Kompas,Sabtu, 29 Agustus 2009) | ARIFIN PANIGORO Seorang Pelaku Usaha dan Peminat Masalah Sosial-Politik

Selasa, 29 September 2009

Resume Pengelolaan Wilayah Perbatasan, Dephan



1. Seminar Perumusan Kebijakan Pengelolaan terpadu wilayah Perbatasan telah dilaksanakan 28 Juni 2008 dengan baik dan memberikan hasil yang cukup positif bagi Perumusan Kebijakan Wilayah Perbatasan, utamanya dalam memecahkan permasalahan-permasalahan tentang pembangunan wilayah perbatasan, yang meliputi instansi Departemen/Nondepartemen dan Lembaga terkait. Diharapkan solusi yang dihasilkan dapat dilaksanakan secara lebih konkrit dalam mendukung percepatan pembangunan di wilayah perbatasan. Meski seminarnya sudah dilaksanakan setahun yang lalu. Tetapi isinya masih tetap relevan.


2. Perbatasan Negara merupakan manifestasi kedaulatan wilayah Negara (sovereignty’s boundary) yang harus ditegakkan, namun juga sebagai “frontier” atau garda terdepan yang mempunyai peran penting dalam penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan Sumber Kekayaan Alam (SKA), penyelenggaraan pertahanan dan keamanan Negara, serta mempertahankan keutuhan wilayah. Oleh karenanya anggapan daerah perbatasan sebagai “Serambi Belakang” hendaknya dirubah menjadi “Halaman Muka” suatu Negara. Dengan adanya perubahan tersebut tentunya ada suatu konsekwensi logis yang harus dilakukan, yaitu dengan berusaha memprioritaskan pembangunan yang terintegrasi di daerah perbatasan.
3. Pembangunan wilayah perbatasan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang sangat berpengaruh kepada integritas dan ketahanan nasional suatu Negara, hal ini menjadi sangat strategis karena penataan wilayah perbatasan terkait erat dengan proses “Nation State Building” terhadap munculnya potensi konflik internal maupun konflik dengan Negara lain yang berbatasan langsung. Penanganan wilayah perbatasan pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya perwujudan ruang wilayah Nusantara sebagai “Satu Kesatuan” Geografi, Politik, Ekonomi, Sosial Budaya dan Pertahanan Keamanan.

4. Kondisi wilayah perbatasan Indonesia umumnya merupakan wilayah tertinggal, terisolasi dari pusat-pusat pertumbuhan dan masih mengandung celah-celah kerawanan yang mengakibatkan masyarakat di wilayah perbatasan umumnya tergolong masyarakat yang miskin dengan tingkat pendidikan dan kesejahteraan berada pada kategori rendah. Ketertinggalan wilayah perbatasan juga berimplikasi terhadap pengelolaan sumber daya alam yang dimilikinya menjadi tidak terkontrol, rentan terhadap penyalahgunaan dan kegiatan illegal baik yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia maupun oleh aktor dari negara lain. Kerawanan dan ketertinggalan tersebut, harus segera diatasi melalui pembangunan dengan usaha-usaha yang langsung dirasakan hasilnya oleh masyarakat perbatasan serta menitik beratkan pada pembukaan isolasi daerah perbatasan dari daerah-daerah lainnya di Indonesia sehingga mereka yang ada di perbatasan merasa merupakan bagian integral dari bangsa dan wilayah Indonesia. Ditinjau dari kepentingan dan strategi pertahanan Negara, wilayah yang masyarakatnya tertinggal dalam pembangunan serta berada jauh dari sentra-sentra pertumbuhan akan menjadi titik lemah pertahanan Negara. Oleh karena itu ketertinggalan pembangunan di wilayah perbatasan tetap menjadi konsern dari pembangunan sector pertahanan Negara....


5. Ruang Wilayah Negara yang mencakup ruang darat, ruang laut dan ruang
udara termasuk ruang di dalam bumi merupakan kesatuan wadah yang menentukan keberhasilan misi pertahanan Negara. Karena itu perlu dikelola secara benar dan berkesinambungan, salah satu upaya dalam pengelolaan wilayah adalah melalui penataan ruang wilayah nasional yang diselenggarakan secara terencana, terpadu oleh pemerintah dengan melibatkan segenap masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat. Penataan Ruang Wilayah Nasional pada hakekatnya mencakup dua aspek yang saling terkait yakni aspek kesejahteraan dan aspek pertahanan.

6. Penataan Ruang Kawasan Pertahanan baik pada masa damai maupun dalam situasi perang, kedepan akan semakin penting untuk di tangani, hal tersebut akan tercermin baik apabila penanganannya dilaksanakan secara lintas sektoral. Persoalan tata ruang pertahanan di masa datang akan semakin kompleks. Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat serta pembangunan sarana prasarana yang berkembang pesat berimplikasi terhadap kebutuhan ruang yang meningkat pula. Akibat kapasitas wilayah yang terus menurun akan berkembang menjadi problematika serius yang dihadapi di masa datang.

7. Penataan ruang kawasan pertahanan merupakan bagian integral
pengembangan postur pertahanan Negara/TNI, yang meliputi Kekuatan,Kemampuan dan Gelar Kekuatan pertahanan. Dalam hal ini, konteks kebijakan pertahanan diarahkan untuk solusi tentang Bagaimana format dan seberapa besar Postur Pertahanan/TNI yang harus disiapkan guna melaksanakan tugas operasi militer perang (OMP) dan operasi militer selain perang (OMSP). Penataan ruang kawasan pertahanan mencakup perumusan kebijakan dan strategi penataan ruang kawasan pertahanan, perencanaan ruang kawasan pertahanan, penggunaan ruang kawasan pertahanan serta pengendalian dan pengawasan pertahanan.

8. Rencana Umum Tata Ruang Pertahanan Wilayah disusun berdasarkan perkembangan kondisi geografi, demografi, kondisi sosial dan SDA/B yang berlaku, dalam upaya menyiapkan Rencana Umum Tata Ruang, Alat dan Kondisi juang yang memenuhi aspek kesejahteraan dan aspek keamanan, maka perlu adanya penyesuaian antara Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pembangunan daerah perbatasan denga RUTR Pertahanan. Dengan demikian pembangunan daerah perbatasan dengan RUTR Pertahanan. Dengan demikian pembangunan aspek kesejahteraan dan aspek keamanan dapat saling mendukung sehingga akan terwujud suatu kesatuan wilayah pembangunan sebagai RAK Juang yang tangguh.

9. Prioritas pembangunan pertahanan yang dikembangkan saat ini dimulai dari pembangunan pertahanan non militer (Non Military Defence) dan pembangunan pertahanan militer (Military Defence), prioritas tersebut harus diikuti oleh kemampuan yang ada di dalam negeri, antara lain seperti sistem pendidikan dalam rangka penguasaan teknologi dan industri utamanya yang berkaitan dengan pertahanan Negara.

10. Belum adanya kelembagaan yang mempunyai otonomi yang jelas dalam rangka mengelola perbatasan secara integral dan terpadu, sehingga perlu dibentuk lembaga/badan khusus yang menangani daerah perbatasan secara terpadu (lintas peran dan lintas pendanaan) guna mempercepat pembangunan dan penegakan hukum di daerah perbatasan serta penyelesaian kesepakatan garis batas negara dengan negara tetangga secara menyeluruh, dan penyelesaian pembangunan patok-patok garis batas permanent di wilayah perbatasan.

Jumat, 25 September 2009

Merauke, Kota Perbatasan Yang Terlupakan


Tanah Papua, tanah yang kaya. Surga kecil jatuh ke bumi. Itu adalah petikan syair lagu berjudul ”Aku Papua”. Merauke adalah bagian dari surga itu. Sebuah kabupaten di bagian selatan Papua seluas 4,5 juta hektar dan berpenduduk sekitar 300.000 orang. Pertengahan Agustus 2009 lalu, rombongan yang dipimpin pimpinan perusahaan Medco, Arifin Panigoro, datang ke tanah ini atas undangan Bupati Merauke Johanes Gluba Gebze. Di antara rombongan ada Duta Besar Amerika Serikat Cameron R. Hume, pejabat politik (political officer) Kedutaan Besar AS di Indonesia Matthew A Cencer, Direktur Bank Rakyat Indonesia Bambang Soepeno, serta wartawan senior Fikri Jufri dan Aristides Katopo. Di kawasan Nilam Wasur, sebuah tempat jauh dari kota Merauke, Arifin Panigoro diangkat sebagai salah seorang warga marga Gebze dengan sebuah upacara sakral suku besar di tanah Merauke, Marind Anim. Dalam pidatonya, Johanes Gebze mengatakan, kini roh Marind Anim telah merasuk dalam diri Arifin Panigoro. Pengusaha besar dari Jakarta itu diberi nama Namek Arifin Warfuk Gebze. Anggrek wangi Dalam pidatonya, Arifin mengatakan, upacara ini sudah pasti dengan restu alam dan Yang Maha Transenden. ”Buktinya, di tepi jalan sepanjang jalan menuju tempat itu bunga-bunga anggrek yang beraneka ragam jenisnya mekar. Mengherankan sekali, anggrek ini menebarkan aroma wangi bagaikan melati. Hanya di Merauke ada bunga anggrek wangi,” ujarnya. Arifin juga mengatakan, upacara kekeluargaan ini tidak boleh berhenti di sini saja, tapi harus berlanjut dengan menolong membangun Merauke. Johanes Gebze mengatakan, pembangunan di Merauke harus memerhatikan lingkungan alam keragaman hayati yang ada. Arifin juga mengakui, Papua termasuk Merauke adalah tanah yang sakral dan magis. Untuk membangun kawasan ini tidak bisa sembarangan. Dari Johanes Gebze selaku pengusaha pemerintahan tanah Merauke, Medco yang dipimpin Arifin Panigoro mendapat konsesi mengelola tanah dan hutan seluas 350.000 hektar. Tanah yang sudah digarap sampai kini antara lain sekitar 160.000 hektar berupa penanaman padi dan berbagai macam tanaman seperti pohon minyak kayu putih (tanaman asli setempat). Proyek Medco berada di tepi Sungai Bian, sekitar 20 menit dengan pesawat dari Merauke. Di kawasan itu telah dibangun sebuah base camp yang telah ditempati oleh sekitar 500 karyawan, termasuk 100 orang dari berbagai suku asli Papua. Setelah upacara adat, rombongan berkumpul di Bandar Udara Mopah, Merauke. Sebelum makan malam, menyanyi, dan menari, rombongan berdiskusi tentang strategi membangun Merauke. Dubes AS Cameron R. Hume berbicara soal menjaga kelestarian alam dalam menghadapi perubahan iklim, sementara Arifin bicara soal keistimewaan tanah Merauke yang bisa dinikmati banyak orang dari luar Merauke. Di tanah ini bisa dibangun pusat wisata. Merauke adalah sebuah wilayah tanah datar. 


Di Merauke ada kanguru, ribuan rumah semut seperti pondok-pondok rumah manusia, ribuan buaya, rusa, dan pantai yang amat luas. Selain itu, juga terdapat puluhan sungai besar yang bisa dilayari dengan perahu-perahu besar. Dalam diskusi itu, dua pejabat Conservation International (lembaga penjaga kelestarian alam internasional) untuk Indonesia, Jatna Supriatna dan Neville Kemp (orang Inggris yang pernah hidup 15 tahun di pedalaman Papua), mengingatkan, Merauke punya keunikan yang tiada tara. Menurut Kemp, pendekatan sosial dan menghormati adat setempat juga bagian dari pembangunan Merauke. ”Kesalahan pendekatan dan penghinaan terhadap adat bisa menimbulkan kerugian dahsyat,” ujarnya. Kehadiran Dubes AS tanpa pengawalan petugas keamanan menunjukkan Merauke adalah tanah yang aman dan damai. Namun, keamanan dan kedamaian itu bisa terusik bila tidak memerhatikan peringatan Neville Kemp. Mindiptana, sebuah kecamatan di Kabupaten Boven Digoel, tetangga Merauke yang berbatasan dengan Papua Niugini, hingga kini masih bergolak. Berkaitan dengan kelekatan dengan NKRI ini, Mindiptana masih rentan karena keunikan setempat yang tidak dihormati sejak masa Orde Baru dulu. (Kompas,J Osdar)

Minggu, 20 September 2009

Semangat Pembangunan Wilayah Perbatasan

Pendekatan Holistik Pembangunan Perbatasan

 Oleh HM Lukman Edy   Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal 

Sesuai dengan perencanaan Strategis Nasional Kementrian Negara Pembangunan daerah Tertinggal ( KPDT) yang mengacu pada RPJM 2004-2009, telah ditetapkan ada 26 Kabupaten di wilayah perbatasan yang mencakup 12 provinsi baik itu perbatasan darat maupun laut yang termasuk kategori daerah etrtinggal. Untuk itu KPDT memiliki kepedulian yang besar terkait dengan percepatan pembangunan di wilayah perbatasan. Harus disadari percepatan pembangunan di perbatasan menjadi amat penting karena perbatasan memiliki beberapa nilai-nilai strategis yang meliputi :
• Potensi sumber daya yang besar pengaruhnya terhadap aspek ekonomi, demografi, politis dan hankam juga pengembangan ruang wilayah disekitarnya.
• Mempunyai dampak yang sangat penting terhadap kegiatan yang sejenis maupun kegiatan lainnya 
• Merupakan factor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat baik diwilayah yang bersangkutan maupun diwilayah sekitarnya
• Mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan yang di laksanakan diwilyah lainnya yang berbatasan baik itu dalam lingkup nasional maupunregional.
• Mempunayi dampak terhadap kondisi politik dan pertahanan keamanan nasional dan regional.

Berdasarkan data yang dimilki KPDT tahun 2006 total jumlah penduduk yang ada dikabupaten-kabupaten di daerah perbatasan adalah 4,4 juta jiwa atau rata-rata perkabupaten perbatasan sekitar 174.018 jiwa dengan persebaran penduduk rata-rata 51 jiwa per 1 km. Hal ini menunjukan bahwa jumlah penduduk di daerah perbatasan relatif kecil/kurang sebanding dengan luas wilayahnya. Secara lebih jauh kondisi masyarakat di daerah perbatasan sangatlah miskin. Percepatan pembangunan wilayah perbatasan harus mampu mendorong empat nilai penting yakni ; Kontribusi wilayah perbatasan terhadap pembangunan nasional, mengingat fakta menunjukan bahwa kontribusi nilai tambah satu kabupaten perbatasan secara nasional tidak sebanding dengan luas daerah dan proporsi penduduk diwilayah tsb.Sementara itu harus uang yang keluar dari wilayah perbatasan Indonesia ke negara tetangga biasanya lebih besar. Fakta itu banyak terjadi didddddaerah-daerah perbatsan darat, seperti yang terjadi di kabupaten-kabupaten di Pulau Kalimantan.... 

Selain itu pengembangan daya tarik daerah perbatasan di Indonesia terlihat dari arus tenaga kerja dan sumber daya alam, persoalan unofficial economy, baik dari arus sumber daya alam maupun tenaga kerja yang keluar dari Indonesia. Pada sisi lain dominasi kemiskinan diderah perbatasan banyak diakibatkan kecilnya arus investasi kendala structural serta asumsi tentang kewenangan di daerah perbatasan yang masih terpusat pada pemerintah pusat (Jakarta). Secara sosial ekonomi daerah perbatasan memang memiliki karakteristik yang lambat untuk berkembang.. 
Hal ini disebabkan antara lain karena lokasi yang terisolir/terpencil dengan tingkat aksesibilitas yang rendah, tingkat pendidikan dan kesehatan maaasyarakat yang belum memadai, rendah nya tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan (jumlah penduduk miskin dan desa tertinggal), langkanya informasi tentang pemerintahan di daerah perbatasan (blank spots). Untuk itu pendekatan yang holistis di perlukan dalam rangka melakukan percepatan pembangunan daerah perbatasan. Tentunya dengan melibatkan semua stakeholders, baik itu pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta maupun masyarakat itu sendiri. Salah satu gagasan yang bisa dikembangkan adalah menghadirkan sebuah kerjasama atau aliansi antara daerah perbatasan, atau dengan istilah mengembangkan aliansi strategis pembangunan yang berbasis pada kawasan, yaitu perbatasan. Hal ini sangat mungkin dilakukan mengingat daerah tsb secara geografis adalah berbatasan antar negara. Aliansi strategis berbasis kawasan perbatasan akan menguntungkan karena adanya kesamaan latar belakang kultur, geografis, geopolitik termasuk geoekonomi. 

Pola aliansi yang sangat mungkin dikembangkan adalah kopetisi yang berbasiskan potensi SDA, baik industri perkebunan, pertanian serta perikanan. Meskipun demikian cakupan dalam aliansi strategis daerah perbatasan tsb tetap harus mempertimbangkan aspek special economic. Ditambah fakta bahwa biaya ekonomi bagi sektor industri di Indonesia masih sangat tinggi seperti, tingginya tingkat suku bunga yang mencapai 15-20% dan mahalnya biaya transportasi di pelabuhan membuat biaya produksi dan biaya ekspor menjadi sangat tinggi. Hal ini sangat menyulitkan bagi industri skala kecil dan menengah utnuk bersaing, belum lagi terjadinya peningkatan harga bahan bakar minyah (BBM) yang kesemuanya berakumulasi pada biaya tinggi. 

Beberapa keuntungan yang didapatkan antara lain efisiensi dan efektifitas biaya industri karene letak yang berdekatan sehingga dalam pengelolaan industri yang berseifat komplementer dilajukan dengan biaya yang lebih murah ketimbang berkongsi dengan darah lain yang secara geografis berjauhan, meskipun berada dalam satu negara. Hal lain yang perlu sangat ditekankan disini dalam percepatan pembangunan daerah perbatasan adalah landasan dan payung hukum dalam pengelolaan kelembagaan masyarakat serta penataan ruang daerah perbatasan. Perlu aturan main yang jelas dari pihak pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Oleh sebab itu status hukum kawasan dan pembentukan badan pengelolaan perlu ditetapkan. Selain itu pendekatan kesejahteraan yang berjalan simultandengan pendekatan keamanann perlu diterapkan dalam membangunn kawasan perbatasan. 

Dari aspek masyarakat juga perlu pengembangan sikap berpikir masyarakat agar dapat memanfaatkan ekonomi perbatasan ke arah keuntungan masyarakat lokal atau melalui pendidikan kewirausahaandi darah perbatsan. Hal ini bisa dilakukan dengan :
• Memfungsikan wilayah-wilayah potensial dikawasan perbatasan, menentukan sektor dan komoditas unggulan serta menciptakan iklim yang kondusif bagimasuknya investasi.
• Menerapkan wawasan kebangsaan kepada masyarakat di peratasan
• Mengembangkan lembaga –lembaga keuangan lokal (bank dan non bank) yang diatur secara propesional agar dana dari daerah itu tidak keluar dan dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk mendorong pembangunan ekonomi lokal. 
Dengan begitu proses pembangunan daerah perbatasan diharapkan mampu membalikkan arus keuntungan kepada masyarakat perbatasan sehingga masyarakat perbatasan dapat menjadi pusat pertahanan yang tangguh untuk mebangun kawasan perbatasan itu sendiri.( RI /MI/4/02/2008)



Rabu, 16 September 2009

RRI Memberdayakan Masyarakat Perbatasan


Wilayah perbatasan mendapat dukungan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia atau LPP RRI, Jumat (11/9), mulai mengoperasikan RRI Boven Digul guna mendukung program Sabuk Pengaman Informasi. Tahun 2010, seluruh wilayah perbatasan NKRI akan mendapat siaran RRI. Program ini ”Bertujuan menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), program Sabuk Pengaman Informasi telah diawali dengan peresmian studio produksi siaran RRI di Entikong, perbatasan Kalimatan Barat dengan Malaysia Timur, 15 Juli 2009. RRI memulai siaran daerah perbatasan di Morotai, Maluku Utara, tahun 2006,” papar Direktur Utama LPP RRI Parni Hadi, Jumat (11/9) di Jakarta. 




Oleh Harmen Batubara 
Wilayah perbatasan mendapat dukungan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia atau LPP RRI, Jumat (11/9), mulai mengoperasikan RRI Boven Digul guna mendukung program Sabuk Pengaman Informasi. Tahun 2010, seluruh wilayah perbatasan NKRI akan mendapat siaran RRI. Program ini ”Bertujuan menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), program Sabuk Pengaman Informasi telah diawali dengan peresmian studio produksi siaran RRI di Entikong, perbatasan Kalimatan Barat dengan Malaysia Timur, 15 Juli 2009. RRI memulai siaran daerah perbatasan di Morotai, Maluku Utara, tahun 2006,” papar Direktur Utama LPP RRI Parni Hadi, Jumat (11/9) di Jakarta. 

 Pada kesempatan itu juga diresmikan pemancar relai Programa 1 di Bukit Langkisau, Kabupaten Pesisir Selatan dan Pemancar Relai Programa 3 di Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat. Bulan Juni lalu, diresmikan pemancar masing-masing 10 KW bantuan Japan International Cooperation Agency untuk RRI Tarakan dan Toli-Toli juga penambahan daya pancar dan perbaikan sarana produksi untuk RRI di sejumlah daerah. Masalah di wilayah perbatasan Indonesia ditandai oleh minim dan lemahnya kondisi infrastruktur, prasarana dan sarana publik mulai dari tingkat sama sekali tidak dibangun, sampai operasinya yang buruk di bawah standar, hingga kondisi terbengkalai, Di beberapa daerah, infrastruktur dan fasilitas publik itu tertinggal karena kurang pasnya dalam menetapkan prioritas dan tidak cermat dalam memahami investasi kunci, yang mana yang seharusnya didahulukan. Terbatasanya pembangunan jaringan listrik, jalan raya lintas kabupaten, air bersih, rumah sakit, hal seperti ini masih dominan temukan di Kalimantan, NTT, Papua dan Sulawesi. Jika prasarana-prasarana itu tersedia dengan standar minimal saja, sektor-sektor lain akan dapat bersinergi sehingga peran negara yang menjamin, melindungi, dan akhirnya menyejahterakan bangsa itu riil. Dalam kesempatan itu Parni menjelaskan, memberdayakan berarti mengubah potensi yang dimiliki masyarakat menjadi kompetensi dalam berbagai aspek kehidupan melalui beragam kegiatan sosial, seperti aksi menanam pohon, pemberian bantuan, mencegah dan menangkal terorisme, dialog interaktif, seminar/sarasehan, gelar seni budaya, dan berbagai bentuk program siaran. 

 Terkait pemberdayaan masyarakat di daerah perbatasan, juga ditandatangani nota kesepahaman antara Dirut LPP RRI Parni Hadi dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal (KSAD) TNI Agustadi Sasongko Purnomo, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Tedjo Edhy Purdijatmo, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta Swasono. Kemudian RRI mengelar dialog interaktif menyapa masyarakat perbatasan bersama KSAD, KSAL, Menneg Pemberdayaan Perempuan, Menteri Komunikasi dan Informasi Mohammad Nuh, dan tokoh-tokoh lain secara audio, video, dan teks. Pada kesempatan ini kita hanya ingin mengingatkan bahwa; permasalahan besar bagi pengelolaan wilayah perbatasan adalah, bagaimana menciptakan suatu sistem pengelolaan yang dapat mensinergikan berbagai stakeholder terkait dalam pembangunan dan pengembangan wilayah perbatasan ke depan. Salah satu kelemahan atau permasalahan mendasar dari upaya pengelolaan wilayah perbatasan pada waktu-waktu sebelumnya adalah semua mekanisme penyelesaian masalah perbatasan berjalan linier. Tidak ada simpul yang mengintegrasikan kebijakan dan implementasi kebijakan di lapangan, sehingga masih belum sinergis atau masing-masing stakeholder belum berjalan dalam suatu kesatuan yang sinergis, fokus dan sistematis.