Selasa, 30 Juni 2009

Pengelolaan Wilayah Perbatasan (2)




PENGELOLAAN WILAYAH PERBATASAN NASIONAL(2) 
Oleh : Harmen Batubara 


 b. Wilayah Laut. Masalah Batas laut RI dengan negara tetangga menggunakan dasar hukum UNCLOS ’82; boleh jadi secara defakto wilayah itu masih masuk dan menjadi kepemilikan RI akan tetapi secara budaya dan ekonomi mereka lebih dekat dengan negara tetangga dengan permasalahannya sebagai berikut : 1) RI - India. UNCLOS 1982, perjanjian garis batas landas kontinen tahun 1974 dan tahun 1977, Sesui dengan Keppres 51/74 tanggal 25 September 1974 dan Keppres 26/77 tanggal 4 April 1977. Sejauh ini belum ada masalah yang muncul. 2) RI - Thailand. UNCLOS 1982, perjanjian garis batas landas kontinen tahun 1971, persetujuan garis batas dasar laut tahun 1971, Keppres 21/72 tanggal 11 Maret 1972 dan Keppres 1/77 tanggal 11 Desember 1975. Secara sepihak Thailand mengumumkan ZEE berdasarkan Royal Proclamation tanggal 23 Pebruari 1981 berjarak 200 NM dari baselines Thailand dan mengusulkan landas kontinen dengan ZEE berhimpit. RI berpendapat ZEE mempunyai rejim hukum yang berbeda dengan landas kontinen sesuai UNCLOS 82. 3) RI - Malaysia. UNCLOS 1982, perjanjian baris batas landas kontinen tahun 1969 (menggunakan Konvensi Geneva 58) dan penetapan garis laut wilayah diselat Malaka tahun 1970, Keppres 89/69 tanggal 15 November 1969 dan UU No. 2/71 tanggal 10 Maret 1971. Malaysia mengklaim Blok Ambalat dilaut Sulawesi, dan tidak konsisten dengan UNCLOS 1982, meskipun ZEE belum ditetapkan. RI berpendapat Blok Ambalat yang berada di Laut Sulawesi masuk dalam wilayah NKRI. 4) RI - Singapura. UNCLOS 1982, perjanjian garis batas laut wilayah tahun 1973, UU No. 7/73 tanggal 8 Desember 1973 (Lembar Negara RI No. 3018). Perjanjian ini dilakukan sebelum UNCLOS 82. Pasir dari Indonesia telah merubah bentuk asli geografi Singapura, sehingga wilayah Singapura kian menjorok ke perairan Indonesia. UNCLOS 82 memungkinkan negara memanfaatkan harbour work sebagai titik dasar. Sampai saat ini ekspor pasir masih berjalan terus, minimal dalam bentuk pasar gelap.... 5) RI - Vietnam. UNCLOS 1982, perundingan penetapan batas landas kontinen tahun 2003. RI belum meratifikasi perjanjian tahun 2003, perairan Laut Cina Selatan mengandung minyak bumi dan gas. 6) RI - Philipina. UNCLOS 1982, penjajakan perundingan tingkat teknis (1994) dan pertemuan informal (2000), pertemuan teknis lanjutan forum Joint Commision Bordering Committee/JCBC (2001). Treaty Of Paris 1898. Belum ada ketetapan untuk penentuan batas maritim, dimana Indonesia mengusulkan diterapkannya prinsip proporsionalitas panjang pantai, dan median line bagi kawasan yang sempit. Philipina pertimbangkan masalah perikanan sebagai faktor yang relevan untuk mencari solusi yang equitable. 7) RI - Palau . UNCLOS 82, Konstitusi Palau tahun 1979. Belum pernah melakukan perundingan karena belum ada hubungan diplomatik antar kedua negara. Dalam masalah kedaulatan AS bertanggung jawab atas pertahanan Palau dan kemungkinan Palau dibantu oleh AS dalam perundingan penetapan batas maritim. 8) RI - PNG. UNCLOS 1982, perjanjian garis batas tertentu (1973) dan persetujuan batas maritim (1982), UU No. 6/73 dan Keppres No. 21/82. Meskipun masalah penangkapan ikan di wilayah hukum tradisional tidak mempunyai masalah akan tetapi luas wilayah daerah hukum tradisional nelayan dan bentuk/sifat kegiatannya belum ditetapkan secara tuntas. 9) RI - Timor Leste. UNCLOC 82, pertemuan Bali (Desember 2004). ALKI yang melintas perairan Timor Leste, akses laut untuk Ocussi ke Timor Leste dan kemungkinan tumpang tindih batas yuridiksi ke dua negara di laut masih belum tuntas. 10) RI - Australia. UNCLOS 1982, perjanjian garis batas landas kontinen (1971), perjanjian penetapan batas dasar laut tertentu (1971), hak perikanan tradisional nelayan RI (1974), Keppres No. 42/71 dan Keppres No. 66/72. Australia ingin memberlakukan perundingan anti terorisme baru dengan memeriksa semua kapal sampai jauh dari batas yurisdiksinya. d. Permasalahan Perbatasan di sekitar Pulau-Pulau Kecil Terluar Dari hasil penelitian dan penghitungan terhadap 17.499 pulau-pulau yang ada, sebanyak 5698 pulau sudah diberi nama, sementara sebanyak 11.801 Pulau belum ada nama. Dari jumlah sebanyak itu terdapat 92 Pulau terluar yang dinilai sangat strategis, karena menjadi lapis terluar Nusantara juga berbatasan langsung dengan Negara Tetangga atau laut Internasional. Dari 92 Pulau tersebut terdapat 12 Pulau yang membutuhkan perhatian khusus, yakni : Pulau Rondo (Sabang,NAD). Pulau Sekatung (Natuna,Kepri). Pulau Nipa (Batam, Kepri). Pulau Berhala (Deli Serdang,Sumut). Pulau Marore (Sangihe,Sulut), Pulau Miangas (Kep.Talaud,Sulut), Pulau Marampit (Kep.Talaud,Sulut), Pulau Batek (Kupang,NTT), Pulau Dana ( Kupang, NTT), Pulau Fani (Raja Ampat, Papua), Pulau Fanildo (Biak Numfor, Papua) dan Pulau Brass ( Biak Numfor,Papua) Sebagaimana diketahui, Pulau-Pulau Kecil Terluar umumnya memiliki karakteristik yang khas dan sekaligus menjadi sumber permasalahan yang membutuhkan perhatian : 1). Lokasi Pulau-Pulau Kecil Terluar pada umumnya terpencil, jauh dari pusat kegiatan ekonomi. Pulau-Pulau Kecil Terluar merupakan kawasan sangat sulit dijangkau, demikian pula dengan kondisi alamnya ada yang sama sekali tidak berpenghuni dan tidak mempunyai sumber air tawar. 2) Minimnya sarana dan prasarana. Hal ini dapat dilihat mulai dari belum adanya apa-apa sama sekali, tidak ada sarana jalan, belum ada terminal, tidak punya pelabuhan laut dan sarana angkutan. Selain itu untuk yang sudah berpenghunipun, umumnya prasarana air terlebih lagi irigasi untuk menunjang kegiatan pertanian belum ada atau jauh dari memadai, demikian pula dengan jangkauan pelayanan lainnya seperti sarana listrik dan telekomunikasi. 3) Akses menuju Pulau-Pulau Kecil Terluar sangat terbatas. Pada umumnya aksesibilitas menuju pulau-pulau kecil terluar tidak ada atau sangat minim sehingga sulit mengharapkan sektor perekonomian bisa berkembang secara alami. 4) Kesejahteraan masyarakat masih sangat rendah. Kondisi masyarakat umumnya masih tergolong sangat sederhana atau dibawah garis kemiskinan. Karena kondisi wilayahnya menyebabkan mereka belum dapat memanfaatkan peluang. Malah pada umumnya mereka lebih mengandalkan negara tetangga. 5) Penduduk merasa lebih dekat dengan negara tetangga. Secara geografis Pulau-Pulau Kecil Terluar berjarak lebih dekat dengan negara tetangga, Penduduk banyak yang mencari nafkah di negara tetangga, karena lebih mudah mendapatkan pekerjaan, misalnya penduduk P. Miangas, ( Batas dgn Pilifina). P. Sebatik (Batas dgn Malaysia). begitu juga dengan sarana dan prasarananya, sehingga kegiatan ekonominya lebih dipengaruhi oleh kegiatan yang terjadi di wilayah tetangga 6) Pengrusakan lingkungan hidup cenderung meningkat. Beratnya beban ekonomi mesayarakat dan rendahnya kesadaran terhadap lingkungan serta lemahnya pengawasan menyebabkan maraknya kegiatan menjual tanah atau pasir yang ada disekitarnya ke negara tetangga (kasus pulau nipah dan sekitarnya). Mereka tidak sadar kalau perbuatan seperti itu justeru memperluas negara tetangga dan sebaliknya mempersempit wilayah negara sendiri dan sekaligus menjadi masalah dalam penegasan batas antar negara. 7) Arus informasi dari negara tetangga lebih dominan. Karena letaknya yang terisolir Pulau-Pulau Kecil Terluar sulit dijangkau oleh teknologi komunikasi dan informasi sehingga cenderung memanfaatkan informasi dari negara tetangga. Sebagian besar mereka hanya dapat mengakses TV negara tetangga dan sebaliknya tidak bisa menangkap jaringan TV nasional, kalaupun dapat tapi kualitas nya kurang baik. 8) Rendahnya kualitas SDM. Salah satu faktor yang menentukan kualitas SDM adalah tersedianya infrastruktur dasar seperti pendidikan, kesehatan dan perumahan. Tetapi karena tidak tersedia maka tingkat pendidikan umumnya masih rendah, demikian pula halnya dengan kesehatan masyarakat.

Kamis, 18 Juni 2009

PENGELOLAAN WILAYAH PERBATASAN NASIONAL(I)


PENGELOLAAN WILAYAH PERBATASAN NASIONAL(I)
Oleh : Harmen Batubara

1. Pendahuluan . Wilayah NKRI secara geografis berada pada posisi terbuka serta berada pada lintas kepentingan dunia dan berada diantara dua benua (Asia-Australia) dan dua samudera ( Samudra Atlantis-Pasifik) juga merupakan jalur perdagangan Dunia dengan rata-rata dilewati 140 kapal besar/hari dan 2000 penerbangan sipil/hari serta berbatasan dengan 10 negara, Merupakan negara kepulauan terbesar ( Benua Maritim) dengan letak pulau-pulaunya yang menyebar, berjumlah tidak kurang dari 17.499 pulau bernama dan tidak bernama serta memiliki wilayah daratan seluas  2 juta km2 dan wilayah perairan seluas  6 juta km2, panjang garis pantai  81.000 km serta terdapat 92 pulau-pulau kecil terluar, memiliki 185 titik dasar (base points). Penduduk Indonesia berjumlah mendekati 230.000.000 jiwa terdiri dari ratusan suku bangsa.
Dari segi kepentingan regional serta dikaitkan dengan posisi wilayah Nusantara yang demikian terbuka serta berada diantara dua benua dan dua samudra tentu NKRI tidak bisa lepas dari imbas kepentingan nasional negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Australia. Lagi pula negara kita juga dikelilingi oleh negara-negara Persemakmuran yang berada dibawah pimpinan Inggeris. Diluar kondisi tersebut munculnya negara Adi Daya baru China yang kepentingan nasionalnya secara khusus tidak lepas dari Asia Tenggara dan Asia Timur. Kesemua kepentingan tersebut dengan sendirinya memberikan interaksi yang sangat kuat terhadap NKRI.
Salah satu fenomena yang perlu dicermati adalah hubungan kita dengan Australia, dari segi diplomasi Australia selalu menyampaikan bahwa keberadaan Papua adalah bagian tidak terpisahkan dari NKRI dan akan tetap lebih baik kalau ia tetap satu dalam NKRI. Tetapi dari pola Australia mengelola kawasan, sesungguhnya mereka lebih berkepentingan melihatnya seperti apa yang terjadi dengan PNG, Timor Leste, Salomon, Vanuatu, dll (dan sebentar lagi Bougenville, PNG; akan ada referendum untuk menentukan pendapat apakah Bougenvilla merdeka atau tetap gabung dengan PNG) yakni negara-negara yang punya ketergantungan serta mendukung kepentingan nasional Australia.
Letak NKRI yang terbuka, berada ditengah arus berbagai kepentingan internasional, dengan sendirinya menuntut adanya suatu kebijakan dan strategi yang tepat dalam mengelola wilayah perbatasan NKRI. Karena bagaimanapun bilamana pengelolaan wilayah batas tidak sesuai dinamika dan kondisi lingkungan disekitarnya, maka mau atau tidak mau ia bisa menjadi titik masuk (intake point) bagi kepentingan Negara lain, bisa berwujut intermistik yakni perpaduan antara kepentingan internasional dengan domestik. Negara kita harus mampu mengelola wilayah perbatasannya dan itu berarti harus membenahi perbatasannya sendiri, kemudian mampu memantaunya, mengontrol dan menjadikan wilayah perbatasan jadi beranda depan perekonomian bangsa, yang mampu menjadikannya pusat atau jadi bagian sistem perekonomian nasional yang sekaligus mempererat hubungan antar bangsa yang berbatasan di kawasan ini....
2. Maksud dan Tujuan. Maksud dari penulisan ini adalah memberikan gambaran Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Wilayah Perbatasan untuk menjaga keutuhan Wilayah dan demi kemakmuran NKRI. Tujuannya adalah sebagai bahan masukan bagi pengambil keputusan dan kebijakan di wilayah perbatasan.

3. Ruang Lingkup dan Tata Urut Penulisan. Untuk lebih mempermudah pemahaman maka tulisan ini disusun secara diskriptis analisis dengan tata urut sebagai berikut :

a. Pendahluan
b. Kondisi Umum dan Masalah Perbatasan
c. Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Wilayah Perbatasan
e. Kesimpulan dan Saran
f. Penutup

4. Kondisi Umum dan Masalah Perbatasan. Secara umum kondisi wilayah perbatasan negara kita boleh dikatakan masih relatif terisolasi, belum didukung oleh sarana dan prasarana, termasuk didalamnya tidak adanya atau sangat terbatasnya jaringan transportasi, listirik, dan telekomunikasi, Jadi kalau kita berbicara tentang wilayah perbatasan, itu adalah gambaran wilayah yang terisolasi, tanpa dukungan sarana dan prasarana..Bahkan dianggap sebagai tempatnya para pembajak, penebang/pembalak liar serta berbagai kegiatan illegal lainnya. Sehingga persepsinya, wilayah perbatasan perlu diamankan, dan tidak perlu ada kehidupan ekonomi di sana. Seperti perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan, panjang perbatasan itu mencapai 2004 km, tetapi boleh dikatakan hampir tidak ada jalan raya disekitar perbatasannya ; kalaupun ada hanya berada disekitar Kalimantan Barat, selebihnya boleh dikatakan terisolasi total.
Dibanding dengan wilayah perbatasan di sebelah Malaysia maka kondisinya sungguh berbeda. Secara umum desa-desa mereka di perbatasan sudah terjangkau oleh sarana transportasi, listerik dan telepon hampir mencapai 95 %. Jalan raya mereka juga sudah terbentang mulai dari ujung-ke ujung atau dari Tanjung Datu sampai Pulau Sebatik di sepanjang perbatasan. Demikian juga dengan unsur pelayanannya, mereka walau sederhana tetapi yang namanya pelayanan sejenis puskesmas, KUD dan seterusnya memang benar-benar berfungsi dan memberi manfaat pada warganya; sementara di daerah sebelah kita yang ada hanya palang nama-namanya saja dan sama sekali tidak memberi manfaat apa-apa. Kalau kita bandingkan dengan batas negara kita dengan PNG, maka kondisinya lebih parah lagi. Tetapi karena negara tetangga kita lebih susah lagi, maka masyarakat kita biasa-biasa saja. Hal yang sama dengan batas negara kita dengan Timor Leste.
Wilayah perbatasan laut dan Pulau-Pulau Kecil Terluar pada umumnya terpencil dan jauh dari pusat kegiatan. Pulau-Pulau Kecil Terluar merupaka kawasan yang sangat sulit dijangkau, lebih parah lagi lebih dari 30 % pulau-pulau itu tidak mempunyai sumber air tawar dan tak berpenghuni.. Jangankan mengharapkan pelayanan mendasar yang memadai seperti sekolah, puskesmas. Untuk sekedar bisa bertahan hidup saja di lingkungan seperti itu masih tanda tanya besar. Persoalan seperti ini masih pula ditambah dengan persoalan perbatasan itu sendiri. Boleh dikatakan, dari Sepuluh negara yang mempunyai perbatasan dengan kita, maka sampai saat ini belum ada satupun yang telah selesai. Gambarannya lebih kurang demikian :

a. Wilayah Darat.

1) Perbatasan RI – Malaysia.

a) Panjang garis batas :  2004 km, terdiri dari sektor barat (Kalimantan Barat - Sarawak) dan sektor timur (Kalimantan Timur - Sabah). Penegasan batas bersama dimulai sejak tahun 1975. Jumlah tugu batas ada 19.328 buah terdiri dari tipe A,B,C dan D lengkap dgn koordinatnya. Kemudinan terdapat field plan , traverse hight plan (skala 1 : 5.000 dan 1 : 2.500) masing-masing = 1.318 MLP( Model Lembar Peta). Pada tahun 2000 pekerjaan demarkasi dan delienasi dan penggambarannya telah selesai, akan tetapi masih terdapat sepuluh lokasi yang bermasalah atau kedua negara belum sepakat tentang batas negara di lokasi tersebut.

b) 10 Permasalahan Utama (The Outstanding Border problems,OSBP) Sebagaimana diketahui, pengukuran atau penegasan batas RI-Malaysia sebenarnya telah selesai pada tahun 2000, namun demikian masih terdapat sepuluh lokasi yang kedua negara tidak atau belum sepakat. Malaysia hanya mengakui sembilan permasalahan saja, sementara Indonesia menghendaki ada sepuluh. Perbedaan ini menyangkut lokasi Tanjung Datu. Secara formal ditingkat teknik kedua negara sudah menanda tangani hasil ukurannya, dan secara hukum masalahnya sudah selesai..
Tetapi belakangan pihak Indonesia menyadari bahwa apa yang telah ditanda tangani tentang Tanjung Datu itu adalah sesuatu kekeliruan dan menghendaki adanya kaji ulang di lokasi tersebut, apalagi yang menanda tangani itu baru sampai tahapan tingkat Teknik; artinya masih ada kesempatan untuk melihatnya kembali. Tapi bagi pihak Malaysia sampai sejauh ini tidak mau lagi untuk melakukan kaji ulang di lokasi tersebut. Kesepuluh atau kesembilan masalah ini sesuai perencanaan awal akan dibahas setelah penegasan batas selesai, yakni setelah tahun 2000. Tapi berhubung di wilayah perbatasan tersebut masih dilakukan kerjasama pembuatan “datum” bersama, serta pemetaan bersama maka kedua belah pihak merasa perlu untuk menunggu hasilnya, sebelum kembali membahas ke sepuluh atau sembilan masalah tersebut.

2) Batas RI – PNG.

a) Panjang garis batas  770 km, darat 663 km, S. Fly  107 km, penegasan batas dimulai tahun 1966. jumlah tugu MM sebanyak 52 buah, jumlah perapatan tugu batas 1.600 tugu, peta wilayah perbatasan dengan kedar 1 : 50.000. sebanyak 25 mlp dari 27 mlp.

b) Penentuan batas berdasarkan koordinat astronomis :

1410 00’ 00” BT di utara antara MM1 – MM10,
1410 01’ 10” BT di selatan antara MM11 – MM14.

c) Permasalahan batas antara RI – PNG, yaitu : Pada umumnya meskipun dalam perencanaan maupun kesepakatannya pengukuran perbatasan ini akan dilakukan secara bersama; tapi pada kenyataannya belum pernah dilakukan secara bersama-sama. Artinya kedua belah pihak bekerja secara sendiri-sendiri, meski hasil ahirnya tetap ditanda tangani oleh kedua negara. Kemudian di Desa Wara Smoll adalah wilayah NKRI tetapi telah dihuni, diolah dan dimanfaatkan secara ekonomis, administratif serta sosial oleh warga PNG yang sejak dahulu dilayani oleh pemerintah PNG. Namun demikian pemerintah PNG sendiri mengakui bahwa desa itu wilayah RI.

3) Batas RI - Timor Leste.

a) Panjang batas  268,8 km, terdiri dari sektor Timur  149,1 km dan sektor Barat  119,7 km. Telah disepakati 907 tugu dari rencana + 5.000, disepakati 5 dari 8 daerah yg semula ada permasalahan (terutama kesulitan implementasi dan masalah adat),

b) Permasalahan.

(1) Noel Besi, pihak RI menginginkan Noel Besi sebagai batas wilayah sesuai toponimi, sedangkan UNTAET menginginkan sungai Nono Noemna berdasarkan sudut kompas 320 NW ke arah P. Batek.
(2) Manusasi, fihak RI menginginkan garis batas dipindahkan ke arah utara S. Miomafo ditarik dari pilar yang dibuat tahun 1966, menyusuri punggung bukit.

(3) Dilumil/Memo, river Island seluas 58 Ha, pihak RI menginginkan batas berada di sebelah timur river Island sedangkan RDTL di sebelah barat.

Rabu, 17 Juni 2009

Ambalat : Malaysia Mempertahankan Yang Bukan Miliknya.




Jalan Panjang Mencari Penyelesaian Perbatasan Dua Negara Bertetangga  

 Oleh : Prof Dr Hasjim Djalal 

 Selama ini, pihak Malaysia tidak pernah memberikan sedikit tolerasi meskipun sedikit, terhadap semua perundingan batas dengan Negara itu. Misalnya ketika dua Negara sepakat untuk mendirikan titik nol bersama, antara provinsi Kalimantan Barat dan Sarawak di Jagoi Babang-Serikin, padahal hanya titik simbolis saja, tanpa ada arti apa-apa, dan kedua Negara sudah sepakat pula. Tapi pada saat akan dilaksanakan Negara Malaysia itu malah mengulur waktu, dengan alasan di wilayah itu masih ada silang sengketa. Padahal dalam waktu yang sama, mereka mengajukan pemasangan kabel listrik tegangan ekstra tinggi sepanjang 520km dari Tanjung Datu Kalimantan Barat ke Semananjung, Malaysia. Begitu juga dengan protes mereka atas jalan setapak yang dibuat warga sebatik, di Pulau Sebatik. Padahal di kedua wilayah itu nyata-nyata masih di dalam wilayah Indonesia. Pendeka kata, banyak hal terkait perbatasan yang pihak Malaysia sangat picik pikirannya dan selalu mikirkan untungnya saja. Karena itu ada baiknya kita melihat bagaimana Kasus Ambalat dari kacamata seorang Pakar hokum laut Indonesia Prof.Dr Hasyim Djalal terkait Ambalat. Seperti yang dimuat dalam; Hasjim Djalal, Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia: Aspek Permasalahan Batas Maritim Indonesia, di sunting oleh Dr.Ir. Sobar Sutisna,Msurv,Sc.,Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal Tahun 2006.... Pada dasarnya persoalan Ambalat adalah buntut dari masalah Sipadan-Ligitan yang berkembang sejak 1969. Pada 1997 Indonesia sepakat dengan Malaysia untuk menyelesaikan kasus kepemilikan Sipadan- Ligitan melalui Mahkamah Internasional, yaitu apakah kedua pulau tersebut, berdasarkan hukum Internasional masuk wilayah Indonesia atau Malaysia. Mahkamah tidak diminta menetapkan batas-batas laut territorial,zona tamabahan,ZEE, maupun Landas kontinen. Batas-batas laut tersebut akan dirundingkan oleh kedua Negara setelah keputusan Mahkamah mengenai kepemilikan atas Sipadan dan Ligitan. Malaysia dengan peta yang diterbitkannya tahun 1979 telah menetapkan secara sepihak batas laut antara Sabah dan Kalimantan Timur dengan antara lain: a. Memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayahnya sebagai titik dasar b. Menarik garis dasar lurus(garis pangkal) dari Sipadan sampai ke perbatasan darat Indonesia – Malaysia di pulau Sebatik c. Menarik garis tengah antara garis dasar Malaysia tersebut dan garis dasar perairan Kepulauan Indonesia berdasarkan UU No.4/Prp. 1960 di pulau-pulau sebelah timur Provinsi Kalimantan Timur. Indonesia menolak kebijakan sepihak, antara lain karena: a. Status pulau Sipadan-Ligitan yang masih dipersoalkan pada waktu itu b. Malaysia tidak berhak menarik garis lurus dari Sipadan ke perbatasan Pulau Sebatik, karena bukan Negara kepulauan c. Andaikatapun Sipadan – Ligitan merupakan wilayah Malaysia, banyak praktek hukum internasional menunjukkan bahwa pulau-pulau kecil yang terletak jauh di tengah laut belum tentu berhak atas garis tengah dengan wilayah Negara yang ada di hadapannya. Dalam sejarah hubungan Indonesia-Malaysia, Indonesia sebagai tetangga yang baik dan ingin mengembangkan kerjasama dengan Malaysia memang pernah (tahun 1969) menerima posisi Pulau Jarak di tengah-tengah selat Malaka sebagai titik dasar (titik pangkal) untuk menentukan garis tengah dengan pantai Sumatera. Malaysia kemudian memanfaatkan “kesediaan” itu untuk berusaha menarik garis dasar lurus antara pulau Jarak dan pantai Malaysia Barat (dekat One Fathom Bank) jauh ke selatan yang panjangnya lebih dari 200 mil. Cara ini ditentang Indonesia karena tidak sesuai dengan ketentuan hukum laut Internasional. Negara Nusantara seperti Indonesia kemudian, oleh Konvensi Hukum Laut 1982, diperkenankan menarik titik dasar (garis pangkal) Nusantara sampai maksimum 100 mil dengan beberapa pengecualian sampai sepanjang 125 mil. Praktek lainnya adalah di laut Natuna. Di sebelah barat Laut Natuna berlaku prinsip garis tengah murni antara pulau-pulau Anambas dan Natuna yang terluar dengan pulau-pulau Malaysia terluar yang ada di pantai timur semananjung Malaysia. Tetapi antara Natuna dan Serawak, garis batas dasar laut tidak seluruhnya merupakan titik tengah antara Natuna dan Sarawak. Hal ini disebabkan antara lain, karena Indonesia “menghormati” konsesi yang pada 1956 telah diberikan oleh Inggeris/Sarawak kepada Shell, sehingga garis batas dasar laut di daerah tersebut kemudian menjadi semacam” garis batas kompromi”. Dari keseluruhan pengalaman ini, Indonesia berpegang teguh pada prinsip ini kemudian mendapat pengakuan dunia internasional sejak konvensi hukum laut PBB 1982. Khusus mengenai pantai timur Kalimantan Timur, sebelum masalah Sipadan-Ligitan mencuat, Indonesia telah pernah memberikan konsesi di daerah itu kepada perusahaan Jepang, Japex. Malaysia tidak pernah memprotes konsesi tersebut. Malah kemudian Malaysia hanya memberikan konsesi-konsesi di sebelah utara dari konsesi Japex tersebut. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982, Indonesia mempunyai hak-hak berdaulat atas kekayaan alam di dasar laut dan tanah dibawahnya, termasuk minyak dan gas sampai sejauh 200 mil dari garis-garis dasar kepulauan Nusantara di pantai Kalimantan Timur. Sebaliknya Malaysia menganggap Ambalat sebagai kelanjutan alamiah dari pulau Sipadan-Ligitan. Padahal Sipadan dipisahkan oleh laut yang cukup dalam ( lebih dari 2000 meter) dari Sabah dan Sipadan secara geologis adalah “seamount”(gunung laut), sedangkan Ligitan adalah pulau-pulau karang. Kelanjutan alamiah dari Sabah pada dasarnya tidak sampai ke Ambalat karena dipisahkan oleh laut yang dalamnya melebihi 2000 meter, walaupun sebagian mungkin terletak dalam garis tengah sama jarak antara Sipadan dan Kalimantan Timur. Di sini, fakta geologi menunjukkan bahwa, Ambalat merupakan kelanjutan alamiah Kalimantan Timur ke laut Sulawesi. Kasus Karang Unarang terletak di dalam batas kurang dari 12 mil dari pantai dan menjadi garis dasar Nusantara Indonesia di pantai timur Kalimantan, dan jauh di luar 12 mil dari pantai Sabah ataupun Sipadan. Karena itu, Karang Unarang memang jelas terletak di dalam laut wilayah Indonesia. Ada beberapa hal kenapa belakangan ini Malaysia seperti menantang kepemilikan serta hak-hak Indonesia, bukan saja terhadap wilayah kedaultan (sovereignty) Indonesia (K.Unarang), tetapi juga terhadap hak-hak berdaulat (soverign rights) Indonesia atas kekayaan alam ZEE ataupun di landas kontinen kawasan blok Ambalat, antara lain ; a. Malaysia menarik garis pangkal lurus laut wilayah antara Sipadan dan perbatasan darat Indonesia-Malaysia di pulau Sebatik. Cara ini ditentang oleh Indonesia dan Negara-negara lain karena tidak sesuai dengan hukum internasional. b. Malaysia mungkin menjadi terlalu percaya diri dan melihat berbagai isu politik dan kesulitan-kesulitan Indonesia di dalam negeri dewasa ini sebagai peluang dengan harapan Indonesia tidak akan menghadapi Malaysia secara sungguh-sungguh. c. Malaysia mungkin berusaha menuntut sebanyak mungkin terlebih dahulu sebelum memulai berunding dan kemudian baru mencari “kompromi”. d. Malaysia barangkali bersedia berdialog mengenai Ambalat dengan konsesi tanpa membahas perbatasan ZEE antara kedua Negara di selat Malaka dan laut Cina Selatan yang selalu dikehendaki Indonesia. AMBALAT, Menurut Konvensi Hukum Laut PBB (Unclos’82), sebuah Negara pantai seperti Indonesia, berhak atas laut territorial 12mil, Zona Tamabahan 24 mil,ZEE 200 mil, dan LK dasar laut 350 mil atau lebih, dihitung dari garis pangkal. Pada laut territorial berlaku hak kedaultan penuh( sovereignty), sedangkan pada zona di luar itu berkalu hak berdaulat (sovereignty), pada wilayah ini Negara tidak berdaulat penuh, hanya berhak untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya. Pengaturan seperti ini didasari oleh UU Internasional atau UNCLOS. Ambalat adalah blok dasar laut landas kontinen di sebelah timur Kalimantan, berada pada jarak lebih dari 12 mil.