Selasa, 29 September 2009

Resume Pengelolaan Wilayah Perbatasan, Dephan



1. Seminar Perumusan Kebijakan Pengelolaan terpadu wilayah Perbatasan telah dilaksanakan 28 Juni 2008 dengan baik dan memberikan hasil yang cukup positif bagi Perumusan Kebijakan Wilayah Perbatasan, utamanya dalam memecahkan permasalahan-permasalahan tentang pembangunan wilayah perbatasan, yang meliputi instansi Departemen/Nondepartemen dan Lembaga terkait. Diharapkan solusi yang dihasilkan dapat dilaksanakan secara lebih konkrit dalam mendukung percepatan pembangunan di wilayah perbatasan. Meski seminarnya sudah dilaksanakan setahun yang lalu. Tetapi isinya masih tetap relevan.


2. Perbatasan Negara merupakan manifestasi kedaulatan wilayah Negara (sovereignty’s boundary) yang harus ditegakkan, namun juga sebagai “frontier” atau garda terdepan yang mempunyai peran penting dalam penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan Sumber Kekayaan Alam (SKA), penyelenggaraan pertahanan dan keamanan Negara, serta mempertahankan keutuhan wilayah. Oleh karenanya anggapan daerah perbatasan sebagai “Serambi Belakang” hendaknya dirubah menjadi “Halaman Muka” suatu Negara. Dengan adanya perubahan tersebut tentunya ada suatu konsekwensi logis yang harus dilakukan, yaitu dengan berusaha memprioritaskan pembangunan yang terintegrasi di daerah perbatasan.
3. Pembangunan wilayah perbatasan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang sangat berpengaruh kepada integritas dan ketahanan nasional suatu Negara, hal ini menjadi sangat strategis karena penataan wilayah perbatasan terkait erat dengan proses “Nation State Building” terhadap munculnya potensi konflik internal maupun konflik dengan Negara lain yang berbatasan langsung. Penanganan wilayah perbatasan pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya perwujudan ruang wilayah Nusantara sebagai “Satu Kesatuan” Geografi, Politik, Ekonomi, Sosial Budaya dan Pertahanan Keamanan.

4. Kondisi wilayah perbatasan Indonesia umumnya merupakan wilayah tertinggal, terisolasi dari pusat-pusat pertumbuhan dan masih mengandung celah-celah kerawanan yang mengakibatkan masyarakat di wilayah perbatasan umumnya tergolong masyarakat yang miskin dengan tingkat pendidikan dan kesejahteraan berada pada kategori rendah. Ketertinggalan wilayah perbatasan juga berimplikasi terhadap pengelolaan sumber daya alam yang dimilikinya menjadi tidak terkontrol, rentan terhadap penyalahgunaan dan kegiatan illegal baik yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia maupun oleh aktor dari negara lain. Kerawanan dan ketertinggalan tersebut, harus segera diatasi melalui pembangunan dengan usaha-usaha yang langsung dirasakan hasilnya oleh masyarakat perbatasan serta menitik beratkan pada pembukaan isolasi daerah perbatasan dari daerah-daerah lainnya di Indonesia sehingga mereka yang ada di perbatasan merasa merupakan bagian integral dari bangsa dan wilayah Indonesia. Ditinjau dari kepentingan dan strategi pertahanan Negara, wilayah yang masyarakatnya tertinggal dalam pembangunan serta berada jauh dari sentra-sentra pertumbuhan akan menjadi titik lemah pertahanan Negara. Oleh karena itu ketertinggalan pembangunan di wilayah perbatasan tetap menjadi konsern dari pembangunan sector pertahanan Negara....


5. Ruang Wilayah Negara yang mencakup ruang darat, ruang laut dan ruang
udara termasuk ruang di dalam bumi merupakan kesatuan wadah yang menentukan keberhasilan misi pertahanan Negara. Karena itu perlu dikelola secara benar dan berkesinambungan, salah satu upaya dalam pengelolaan wilayah adalah melalui penataan ruang wilayah nasional yang diselenggarakan secara terencana, terpadu oleh pemerintah dengan melibatkan segenap masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat. Penataan Ruang Wilayah Nasional pada hakekatnya mencakup dua aspek yang saling terkait yakni aspek kesejahteraan dan aspek pertahanan.

6. Penataan Ruang Kawasan Pertahanan baik pada masa damai maupun dalam situasi perang, kedepan akan semakin penting untuk di tangani, hal tersebut akan tercermin baik apabila penanganannya dilaksanakan secara lintas sektoral. Persoalan tata ruang pertahanan di masa datang akan semakin kompleks. Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat serta pembangunan sarana prasarana yang berkembang pesat berimplikasi terhadap kebutuhan ruang yang meningkat pula. Akibat kapasitas wilayah yang terus menurun akan berkembang menjadi problematika serius yang dihadapi di masa datang.

7. Penataan ruang kawasan pertahanan merupakan bagian integral
pengembangan postur pertahanan Negara/TNI, yang meliputi Kekuatan,Kemampuan dan Gelar Kekuatan pertahanan. Dalam hal ini, konteks kebijakan pertahanan diarahkan untuk solusi tentang Bagaimana format dan seberapa besar Postur Pertahanan/TNI yang harus disiapkan guna melaksanakan tugas operasi militer perang (OMP) dan operasi militer selain perang (OMSP). Penataan ruang kawasan pertahanan mencakup perumusan kebijakan dan strategi penataan ruang kawasan pertahanan, perencanaan ruang kawasan pertahanan, penggunaan ruang kawasan pertahanan serta pengendalian dan pengawasan pertahanan.

8. Rencana Umum Tata Ruang Pertahanan Wilayah disusun berdasarkan perkembangan kondisi geografi, demografi, kondisi sosial dan SDA/B yang berlaku, dalam upaya menyiapkan Rencana Umum Tata Ruang, Alat dan Kondisi juang yang memenuhi aspek kesejahteraan dan aspek keamanan, maka perlu adanya penyesuaian antara Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pembangunan daerah perbatasan denga RUTR Pertahanan. Dengan demikian pembangunan daerah perbatasan dengan RUTR Pertahanan. Dengan demikian pembangunan aspek kesejahteraan dan aspek keamanan dapat saling mendukung sehingga akan terwujud suatu kesatuan wilayah pembangunan sebagai RAK Juang yang tangguh.

9. Prioritas pembangunan pertahanan yang dikembangkan saat ini dimulai dari pembangunan pertahanan non militer (Non Military Defence) dan pembangunan pertahanan militer (Military Defence), prioritas tersebut harus diikuti oleh kemampuan yang ada di dalam negeri, antara lain seperti sistem pendidikan dalam rangka penguasaan teknologi dan industri utamanya yang berkaitan dengan pertahanan Negara.

10. Belum adanya kelembagaan yang mempunyai otonomi yang jelas dalam rangka mengelola perbatasan secara integral dan terpadu, sehingga perlu dibentuk lembaga/badan khusus yang menangani daerah perbatasan secara terpadu (lintas peran dan lintas pendanaan) guna mempercepat pembangunan dan penegakan hukum di daerah perbatasan serta penyelesaian kesepakatan garis batas negara dengan negara tetangga secara menyeluruh, dan penyelesaian pembangunan patok-patok garis batas permanent di wilayah perbatasan.

Jumat, 25 September 2009

Merauke, Kota Perbatasan Yang Terlupakan


Tanah Papua, tanah yang kaya. Surga kecil jatuh ke bumi. Itu adalah petikan syair lagu berjudul ”Aku Papua”. Merauke adalah bagian dari surga itu. Sebuah kabupaten di bagian selatan Papua seluas 4,5 juta hektar dan berpenduduk sekitar 300.000 orang. Pertengahan Agustus 2009 lalu, rombongan yang dipimpin pimpinan perusahaan Medco, Arifin Panigoro, datang ke tanah ini atas undangan Bupati Merauke Johanes Gluba Gebze. Di antara rombongan ada Duta Besar Amerika Serikat Cameron R. Hume, pejabat politik (political officer) Kedutaan Besar AS di Indonesia Matthew A Cencer, Direktur Bank Rakyat Indonesia Bambang Soepeno, serta wartawan senior Fikri Jufri dan Aristides Katopo. Di kawasan Nilam Wasur, sebuah tempat jauh dari kota Merauke, Arifin Panigoro diangkat sebagai salah seorang warga marga Gebze dengan sebuah upacara sakral suku besar di tanah Merauke, Marind Anim. Dalam pidatonya, Johanes Gebze mengatakan, kini roh Marind Anim telah merasuk dalam diri Arifin Panigoro. Pengusaha besar dari Jakarta itu diberi nama Namek Arifin Warfuk Gebze. Anggrek wangi Dalam pidatonya, Arifin mengatakan, upacara ini sudah pasti dengan restu alam dan Yang Maha Transenden. ”Buktinya, di tepi jalan sepanjang jalan menuju tempat itu bunga-bunga anggrek yang beraneka ragam jenisnya mekar. Mengherankan sekali, anggrek ini menebarkan aroma wangi bagaikan melati. Hanya di Merauke ada bunga anggrek wangi,” ujarnya. Arifin juga mengatakan, upacara kekeluargaan ini tidak boleh berhenti di sini saja, tapi harus berlanjut dengan menolong membangun Merauke. Johanes Gebze mengatakan, pembangunan di Merauke harus memerhatikan lingkungan alam keragaman hayati yang ada. Arifin juga mengakui, Papua termasuk Merauke adalah tanah yang sakral dan magis. Untuk membangun kawasan ini tidak bisa sembarangan. Dari Johanes Gebze selaku pengusaha pemerintahan tanah Merauke, Medco yang dipimpin Arifin Panigoro mendapat konsesi mengelola tanah dan hutan seluas 350.000 hektar. Tanah yang sudah digarap sampai kini antara lain sekitar 160.000 hektar berupa penanaman padi dan berbagai macam tanaman seperti pohon minyak kayu putih (tanaman asli setempat). Proyek Medco berada di tepi Sungai Bian, sekitar 20 menit dengan pesawat dari Merauke. Di kawasan itu telah dibangun sebuah base camp yang telah ditempati oleh sekitar 500 karyawan, termasuk 100 orang dari berbagai suku asli Papua. Setelah upacara adat, rombongan berkumpul di Bandar Udara Mopah, Merauke. Sebelum makan malam, menyanyi, dan menari, rombongan berdiskusi tentang strategi membangun Merauke. Dubes AS Cameron R. Hume berbicara soal menjaga kelestarian alam dalam menghadapi perubahan iklim, sementara Arifin bicara soal keistimewaan tanah Merauke yang bisa dinikmati banyak orang dari luar Merauke. Di tanah ini bisa dibangun pusat wisata. Merauke adalah sebuah wilayah tanah datar. 


Di Merauke ada kanguru, ribuan rumah semut seperti pondok-pondok rumah manusia, ribuan buaya, rusa, dan pantai yang amat luas. Selain itu, juga terdapat puluhan sungai besar yang bisa dilayari dengan perahu-perahu besar. Dalam diskusi itu, dua pejabat Conservation International (lembaga penjaga kelestarian alam internasional) untuk Indonesia, Jatna Supriatna dan Neville Kemp (orang Inggris yang pernah hidup 15 tahun di pedalaman Papua), mengingatkan, Merauke punya keunikan yang tiada tara. Menurut Kemp, pendekatan sosial dan menghormati adat setempat juga bagian dari pembangunan Merauke. ”Kesalahan pendekatan dan penghinaan terhadap adat bisa menimbulkan kerugian dahsyat,” ujarnya. Kehadiran Dubes AS tanpa pengawalan petugas keamanan menunjukkan Merauke adalah tanah yang aman dan damai. Namun, keamanan dan kedamaian itu bisa terusik bila tidak memerhatikan peringatan Neville Kemp. Mindiptana, sebuah kecamatan di Kabupaten Boven Digoel, tetangga Merauke yang berbatasan dengan Papua Niugini, hingga kini masih bergolak. Berkaitan dengan kelekatan dengan NKRI ini, Mindiptana masih rentan karena keunikan setempat yang tidak dihormati sejak masa Orde Baru dulu. (Kompas,J Osdar)

Minggu, 20 September 2009

Semangat Pembangunan Wilayah Perbatasan

Pendekatan Holistik Pembangunan Perbatasan

 Oleh HM Lukman Edy   Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal 

Sesuai dengan perencanaan Strategis Nasional Kementrian Negara Pembangunan daerah Tertinggal ( KPDT) yang mengacu pada RPJM 2004-2009, telah ditetapkan ada 26 Kabupaten di wilayah perbatasan yang mencakup 12 provinsi baik itu perbatasan darat maupun laut yang termasuk kategori daerah etrtinggal. Untuk itu KPDT memiliki kepedulian yang besar terkait dengan percepatan pembangunan di wilayah perbatasan. Harus disadari percepatan pembangunan di perbatasan menjadi amat penting karena perbatasan memiliki beberapa nilai-nilai strategis yang meliputi :
• Potensi sumber daya yang besar pengaruhnya terhadap aspek ekonomi, demografi, politis dan hankam juga pengembangan ruang wilayah disekitarnya.
• Mempunyai dampak yang sangat penting terhadap kegiatan yang sejenis maupun kegiatan lainnya 
• Merupakan factor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat baik diwilayah yang bersangkutan maupun diwilayah sekitarnya
• Mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan yang di laksanakan diwilyah lainnya yang berbatasan baik itu dalam lingkup nasional maupunregional.
• Mempunayi dampak terhadap kondisi politik dan pertahanan keamanan nasional dan regional.

Berdasarkan data yang dimilki KPDT tahun 2006 total jumlah penduduk yang ada dikabupaten-kabupaten di daerah perbatasan adalah 4,4 juta jiwa atau rata-rata perkabupaten perbatasan sekitar 174.018 jiwa dengan persebaran penduduk rata-rata 51 jiwa per 1 km. Hal ini menunjukan bahwa jumlah penduduk di daerah perbatasan relatif kecil/kurang sebanding dengan luas wilayahnya. Secara lebih jauh kondisi masyarakat di daerah perbatasan sangatlah miskin. Percepatan pembangunan wilayah perbatasan harus mampu mendorong empat nilai penting yakni ; Kontribusi wilayah perbatasan terhadap pembangunan nasional, mengingat fakta menunjukan bahwa kontribusi nilai tambah satu kabupaten perbatasan secara nasional tidak sebanding dengan luas daerah dan proporsi penduduk diwilayah tsb.Sementara itu harus uang yang keluar dari wilayah perbatasan Indonesia ke negara tetangga biasanya lebih besar. Fakta itu banyak terjadi didddddaerah-daerah perbatsan darat, seperti yang terjadi di kabupaten-kabupaten di Pulau Kalimantan.... 

Selain itu pengembangan daya tarik daerah perbatasan di Indonesia terlihat dari arus tenaga kerja dan sumber daya alam, persoalan unofficial economy, baik dari arus sumber daya alam maupun tenaga kerja yang keluar dari Indonesia. Pada sisi lain dominasi kemiskinan diderah perbatasan banyak diakibatkan kecilnya arus investasi kendala structural serta asumsi tentang kewenangan di daerah perbatasan yang masih terpusat pada pemerintah pusat (Jakarta). Secara sosial ekonomi daerah perbatasan memang memiliki karakteristik yang lambat untuk berkembang.. 
Hal ini disebabkan antara lain karena lokasi yang terisolir/terpencil dengan tingkat aksesibilitas yang rendah, tingkat pendidikan dan kesehatan maaasyarakat yang belum memadai, rendah nya tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan (jumlah penduduk miskin dan desa tertinggal), langkanya informasi tentang pemerintahan di daerah perbatasan (blank spots). Untuk itu pendekatan yang holistis di perlukan dalam rangka melakukan percepatan pembangunan daerah perbatasan. Tentunya dengan melibatkan semua stakeholders, baik itu pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta maupun masyarakat itu sendiri. Salah satu gagasan yang bisa dikembangkan adalah menghadirkan sebuah kerjasama atau aliansi antara daerah perbatasan, atau dengan istilah mengembangkan aliansi strategis pembangunan yang berbasis pada kawasan, yaitu perbatasan. Hal ini sangat mungkin dilakukan mengingat daerah tsb secara geografis adalah berbatasan antar negara. Aliansi strategis berbasis kawasan perbatasan akan menguntungkan karena adanya kesamaan latar belakang kultur, geografis, geopolitik termasuk geoekonomi. 

Pola aliansi yang sangat mungkin dikembangkan adalah kopetisi yang berbasiskan potensi SDA, baik industri perkebunan, pertanian serta perikanan. Meskipun demikian cakupan dalam aliansi strategis daerah perbatasan tsb tetap harus mempertimbangkan aspek special economic. Ditambah fakta bahwa biaya ekonomi bagi sektor industri di Indonesia masih sangat tinggi seperti, tingginya tingkat suku bunga yang mencapai 15-20% dan mahalnya biaya transportasi di pelabuhan membuat biaya produksi dan biaya ekspor menjadi sangat tinggi. Hal ini sangat menyulitkan bagi industri skala kecil dan menengah utnuk bersaing, belum lagi terjadinya peningkatan harga bahan bakar minyah (BBM) yang kesemuanya berakumulasi pada biaya tinggi. 

Beberapa keuntungan yang didapatkan antara lain efisiensi dan efektifitas biaya industri karene letak yang berdekatan sehingga dalam pengelolaan industri yang berseifat komplementer dilajukan dengan biaya yang lebih murah ketimbang berkongsi dengan darah lain yang secara geografis berjauhan, meskipun berada dalam satu negara. Hal lain yang perlu sangat ditekankan disini dalam percepatan pembangunan daerah perbatasan adalah landasan dan payung hukum dalam pengelolaan kelembagaan masyarakat serta penataan ruang daerah perbatasan. Perlu aturan main yang jelas dari pihak pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Oleh sebab itu status hukum kawasan dan pembentukan badan pengelolaan perlu ditetapkan. Selain itu pendekatan kesejahteraan yang berjalan simultandengan pendekatan keamanann perlu diterapkan dalam membangunn kawasan perbatasan. 

Dari aspek masyarakat juga perlu pengembangan sikap berpikir masyarakat agar dapat memanfaatkan ekonomi perbatasan ke arah keuntungan masyarakat lokal atau melalui pendidikan kewirausahaandi darah perbatsan. Hal ini bisa dilakukan dengan :
• Memfungsikan wilayah-wilayah potensial dikawasan perbatasan, menentukan sektor dan komoditas unggulan serta menciptakan iklim yang kondusif bagimasuknya investasi.
• Menerapkan wawasan kebangsaan kepada masyarakat di peratasan
• Mengembangkan lembaga –lembaga keuangan lokal (bank dan non bank) yang diatur secara propesional agar dana dari daerah itu tidak keluar dan dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk mendorong pembangunan ekonomi lokal. 
Dengan begitu proses pembangunan daerah perbatasan diharapkan mampu membalikkan arus keuntungan kepada masyarakat perbatasan sehingga masyarakat perbatasan dapat menjadi pusat pertahanan yang tangguh untuk mebangun kawasan perbatasan itu sendiri.( RI /MI/4/02/2008)



Rabu, 16 September 2009

RRI Memberdayakan Masyarakat Perbatasan


Wilayah perbatasan mendapat dukungan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia atau LPP RRI, Jumat (11/9), mulai mengoperasikan RRI Boven Digul guna mendukung program Sabuk Pengaman Informasi. Tahun 2010, seluruh wilayah perbatasan NKRI akan mendapat siaran RRI. Program ini ”Bertujuan menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), program Sabuk Pengaman Informasi telah diawali dengan peresmian studio produksi siaran RRI di Entikong, perbatasan Kalimatan Barat dengan Malaysia Timur, 15 Juli 2009. RRI memulai siaran daerah perbatasan di Morotai, Maluku Utara, tahun 2006,” papar Direktur Utama LPP RRI Parni Hadi, Jumat (11/9) di Jakarta. 




Oleh Harmen Batubara 
Wilayah perbatasan mendapat dukungan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia atau LPP RRI, Jumat (11/9), mulai mengoperasikan RRI Boven Digul guna mendukung program Sabuk Pengaman Informasi. Tahun 2010, seluruh wilayah perbatasan NKRI akan mendapat siaran RRI. Program ini ”Bertujuan menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), program Sabuk Pengaman Informasi telah diawali dengan peresmian studio produksi siaran RRI di Entikong, perbatasan Kalimatan Barat dengan Malaysia Timur, 15 Juli 2009. RRI memulai siaran daerah perbatasan di Morotai, Maluku Utara, tahun 2006,” papar Direktur Utama LPP RRI Parni Hadi, Jumat (11/9) di Jakarta. 

 Pada kesempatan itu juga diresmikan pemancar relai Programa 1 di Bukit Langkisau, Kabupaten Pesisir Selatan dan Pemancar Relai Programa 3 di Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat. Bulan Juni lalu, diresmikan pemancar masing-masing 10 KW bantuan Japan International Cooperation Agency untuk RRI Tarakan dan Toli-Toli juga penambahan daya pancar dan perbaikan sarana produksi untuk RRI di sejumlah daerah. Masalah di wilayah perbatasan Indonesia ditandai oleh minim dan lemahnya kondisi infrastruktur, prasarana dan sarana publik mulai dari tingkat sama sekali tidak dibangun, sampai operasinya yang buruk di bawah standar, hingga kondisi terbengkalai, Di beberapa daerah, infrastruktur dan fasilitas publik itu tertinggal karena kurang pasnya dalam menetapkan prioritas dan tidak cermat dalam memahami investasi kunci, yang mana yang seharusnya didahulukan. Terbatasanya pembangunan jaringan listrik, jalan raya lintas kabupaten, air bersih, rumah sakit, hal seperti ini masih dominan temukan di Kalimantan, NTT, Papua dan Sulawesi. Jika prasarana-prasarana itu tersedia dengan standar minimal saja, sektor-sektor lain akan dapat bersinergi sehingga peran negara yang menjamin, melindungi, dan akhirnya menyejahterakan bangsa itu riil. Dalam kesempatan itu Parni menjelaskan, memberdayakan berarti mengubah potensi yang dimiliki masyarakat menjadi kompetensi dalam berbagai aspek kehidupan melalui beragam kegiatan sosial, seperti aksi menanam pohon, pemberian bantuan, mencegah dan menangkal terorisme, dialog interaktif, seminar/sarasehan, gelar seni budaya, dan berbagai bentuk program siaran. 

 Terkait pemberdayaan masyarakat di daerah perbatasan, juga ditandatangani nota kesepahaman antara Dirut LPP RRI Parni Hadi dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal (KSAD) TNI Agustadi Sasongko Purnomo, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Tedjo Edhy Purdijatmo, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta Swasono. Kemudian RRI mengelar dialog interaktif menyapa masyarakat perbatasan bersama KSAD, KSAL, Menneg Pemberdayaan Perempuan, Menteri Komunikasi dan Informasi Mohammad Nuh, dan tokoh-tokoh lain secara audio, video, dan teks. Pada kesempatan ini kita hanya ingin mengingatkan bahwa; permasalahan besar bagi pengelolaan wilayah perbatasan adalah, bagaimana menciptakan suatu sistem pengelolaan yang dapat mensinergikan berbagai stakeholder terkait dalam pembangunan dan pengembangan wilayah perbatasan ke depan. Salah satu kelemahan atau permasalahan mendasar dari upaya pengelolaan wilayah perbatasan pada waktu-waktu sebelumnya adalah semua mekanisme penyelesaian masalah perbatasan berjalan linier. Tidak ada simpul yang mengintegrasikan kebijakan dan implementasi kebijakan di lapangan, sehingga masih belum sinergis atau masing-masing stakeholder belum berjalan dalam suatu kesatuan yang sinergis, fokus dan sistematis.



Kamis, 10 September 2009

Semangat Perbatasan Memcepat Pembukaan Dua PPLB


Jumlah Pos-pos Pengamanan bersama baik itu PPLB atau PLB ditentukan atas persetujuan kedua negara, sampai saat ini telah di gelar disepanjang perbatasan, sebanyak 55 Pos (RI-Malaysia), 48 Pos (RI-RDTL), 14 Pos (RI-PNG) dan Pos-pos Sementara di Pulau-pulau Kecil Terluar. Namun demikian jumlah keberadaan pos-pos pengamanan dihadapkan dengan panjang garis batas dan daerah yang harus diamankan serta bentuk dan jenis ancaman yang dihadapi masih jauh dari mencukupi, jelas masih perlu ditambah dan diperkuat. Hanya saja sebenarnya akan jauh lebih efektif kalau yang dilakukan itu seirama dengan pembangunan wilayah perbatasan itu sendiri. Maksudnya daripada di sana hanya membangun Pos-pos, sebenarnya akan jauh lebih efektif kalau pembangunan itu sendiri yang di dorong ke wilayah perbatasan. Ini tidak mudah, karena harus bersifat trans lokal ( antar provinsi ) dan regional dengan negara tetangga. Masalahnya justeru di Pemda sendiri. Prioritas pembangunan mereka bukan di wilayah perbatasan.
Baru-baru ini Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dan Pemerintah Negara Bagian Serawak, Malaysia, sepakat mengusulkan pembukaan Pos Pemeriksaan Lintas Batas Aruk di Kabupaten Sambas dan Badau di Kabupaten Kapuas Hulu kepada pemerintah pusat masing-masing.
Menurut Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Barat (Kalbar), dua pos pemeriksaan lintas batas (PPLB) itu sebenarnya bisa difungsikan tahun ini. Namun, karena pintu lintas batas di Sarawak masih dalam pengerjaan, kemungkinan besar pembukaan PPLB secara formal baru terwujud pada tahun 2010.

”Kesepakatan soal dua PPLB itu ditetapkan dalam Sidang Sosial Ekonomi Malaysia-Indonesia (Sosek Malindo) yang berlangsung pada 11-13 Agustus lalu di Bandung, Jawa Barat,” demikian penjelasan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kalbar Fathan A Rasyid, Senin (24/8) di Pontianak, Kalbar.

Sidang Sosek Malindo tersebut fokus membahas percepatan pembukaan PPLB Aruk yang berbatasan dengan Biawak dan PPLB Badau yang berbatasan dengan Lubuk Antu. Pemprov Kalbar, ujar Fathan, sebenarnya cenderung mengusulkan agar kedua PPLB itu dibuka tahun 2009. Sebab, pembangunan PPLB sudah rampung dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sudah meresmikan keduanya sebagai tempat pemeriksaan imigrasi.

”(Pemerintah) Serawak memahami usulan itu dan mereka menyampaikan kemajuan pembangunan fisik PPLB di wilayahnya yang belum selesai. Sesuai kontrak kerja, pembangunan PPLB mereka selesai pada Agustus 2010. Kepastian pembukaan PPLB mereka masih akan dibicarakan dahulu dengan pemerintah pusatnya di Kuala Lumpur,” kata Fathan.



Pantauan di lapangan, bangunan PPLB di Aruk dan Badau (Kalbar) memang sudah rampung. Hanya saja jalan akses menuju ke sana masih belum diaspal. Namun, menurut Fathan, hal itu tidak menjadi soal karena penyelesaian pembangunan jalan bisa dilakukan secara bertahap sesuai dengan anggaran yang dimiliki Indonesia.

Dari 857 kilometer garis batas darat Kalbar-Serawak, sejauh ini hanya ada satu PPLB yang resmi dibuka, yakni di Entikong, Kabupaten Sanggau, yang berbatasan langsung dengan wilayah Tebedu. PPLB Entikong itu resmi dibuka pada tahun 1991. (WHY, Selasa, 25/8/2009)

Senin, 07 September 2009

Semangat NKRI di Perbatasan RI-PNG


Semangat Kemerdekaan di Perbatasan RI-Papua Niugini John Sembay (11), Senin (17/8), sedang asyik bermain saat puluhan temannya dari SD Inpres IV Skouw Mabo Kota Jayapura, Papua, berseragam upacara lengkap dengan topi melintas di depan rumahnya. Ia lantas berlari masuk rumah, bergegas mengenakan pakaian seragam, serta ikut berjalan menuju Lapangan Distrik Muara Tami untuk mengikuti upacara kemerdekaan HUT Ke-64 RI di wilayah perbatasan RI–PNG. Dari kejauhan, anak lelaki ini tampak percaya diri meski penampilannya jauh lebih sederhana daripada teman-temannya saat berada di barisan. Bocah itu tidak mengenakan topi dan dasi upacara, juga tak mengenakan sepatu. Namun, semangatnya tampak menyala untuk mengikuti upacara. Pagi itu, ia lupa kalau sekolahnya ditunjuk mewakili SD-SD di Muara Tami untuk mengikuti upacara kemerdekaan di kantor distrik. Padahal, kepala sekolah telah memasang pengumuman di papan tulis pada Sabtu lalu. 
 Untunglah, perjalanan teman-teman John menuju kantor distrik melintasi depan rumahnya sehingga ia ingat akan upacara hari itu. Anak nelayan di Kampung Skouw Mabo ini menuturkan, dirinya tidak lagi memiliki topi dan dasi yang pernah diberikan sekolah kepadanya. Kedua perangkat upacara ini hilang sejak beberapa waktu lalu. Adapun sepatunya telah rusak berat. ”Sa (saya) pernah meminta mama beli topi-dasi. Tetapi, mama bilang tra (tidak) ada uang,” katanya. Untung, pihak sekolah tak bersikap kaku dan tetap mengizinkan John mengikuti upacara meski tanpa seragam lengkap. Minim guru Guru yang mendampingi para siswa SD Inpres IV mengikuti upacara, Adolof Waramuri, mengatakan, orangtua peserta didik di wilayah itu didominasi warga golongan ekonomi menengah bawah. Mereka bekerja sebagai nelayan musiman (saat cuaca baik) dan berladang. ”Murid-murid kami berasal dari keluarga tidak mampu, tetapi mereka memiliki semangat belajar yang tinggi. Sayangnya, di sekolah kami hanya tersedia dua guru, saya dan kepala sekolah,” kata Adolof. Menurut catatan Badan Pusat Statistik 2008, Distrik Muara Tami memiliki 9 SD dengan 68 guru dan 1.463 siswa. Tiap SD seharusnya diisi minimal tujuh guru. Namun, di SD Inpres itu, ternyata hanya ada dua guru yang mengajar. Kondisi ini sangat tertinggal jauh dibandingkan distrik tetangganya, Abepura, yang tiap-tiap SD rata-rata diajar 18 guru.... Fasilitas publik Muara Tami merupakan satu dari lima distrik di Kota Jayapura. Distrik ini paling tertinggal di antara distrik lain di Kota Jayapura. Listrik hanya mengalir dari Abepura sampai wilayah Kelurahan Koya Timur. Adapun tujuh kelurahan lainnya belum mendapatkan pasokan listrik memadai. Agus Mallo, tokoh masyarakat setempat, mengatakan, sebagai salah satu distrik dari Kota Jayapura, seharusnya Muara Tami memiliki fasilitas pelayanan publik yang maju. ”Tetapi, sampai sekarang penerangan hanya sampai di Koya Timur, daerah lainnya hidup di kegelapan,” ujarnya. Agus menuturkan, 



Distrik Muara Tami yang berjarak sekitar 30 kilometer dari kota itu seperti dianaktirikan. Wilayah yang sangat dekat dengan perbatasan RI-PNG ini seharusnya menjadi fokus pembangunan Papua sehingga masyarakat merasa nyaman sebagai penduduk wilayah Indonesia. Ondoafi (kepala suku) dan Ketua Dewan Adat Papua Wilayah Muara Tami Yans Mallo menyatakan, sudah saatnya pemerintah pusat mengurangi pos-pos militer di permukiman warga. Ia mengatakan, daerahnya kini tak boleh lagi dicap sebagai wilayah merah atau markas orang-orang militan gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka. ”Pos-pos TNI yang katanya menjaga perbatasan sebaiknya benar-benar ditaruh di daerah perbatasan atau di hutan, bukan di wilayah permukiman yang membuat kami tertekan dan ketakutan. Kemudian tambahlah kantor serta tenaga pelayanan pendidikan dan kesehatan di wilayah perbatasan ini supaya kami bisa sama-sama menjaga daerah ini. Kami merasa sebagai bagian dari kota dan negara ini,” katanya. Harapan Yan Mallo ditambah semangat John Sembay untuk mengikuti upacara kemerdekaan RI bisa menjadi contoh antusiasme masyarakat Papua menjadi warga negara Indonesia. Kini tinggal bagaimana pemerintah pusat dan pemerintah daerah mewadahi semangat ini dengan memberikan pelayanan publik yang seimbang dengan semangat mereka.(Ichwan Susanto, Kompas, Selasa, 18 Agustus 2009)

Selasa, 01 September 2009

Air Swadaya Desa dan Peran Negara


Mawar Kusuma
Nada suara Totok Suharyanto (49) meninggi tiap kali perbincangan mengarah ke masalah kekurangan air di wilayahnya. Kepala Desa Mulo, Kecamatan Wonosari, Gunung Kidul, DI Yogyakarta, itu hampir tiap hari kenyang dengan hujatan dan makian dari warganya.

Sebagai orang yang dituakan, Totok dan pengurus pengelolaan air swadaya mandiri desa lebih banyak menuai makian. Ia mengibaratkan pengelolaan air mandiri yang dilimpahkan oleh Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul ke desanya benar-benar sebuah bumerang.

Dua tahun lalu, air mati selama lima bulan karena mesin pompa listrik rusak. Warga tak bersedia membayar iuran air dan pemerintah desa pun kelimpungan mencari dana perbaikan mesin.

Masalah pelik lain dialami pemerintah Desa Mulo ketika aliran listrik diputus oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) setelah empat bulan tidak sanggup membayar listrik dengan beban minimal Rp 1 juta per bulan. Dengan pendapatan dari penjualan air Rp 2,5 juta, desa sering tak mampu lagi membayar gaji karyawan pengelola air dan biaya operasional.

Warga desa seperti Purwito Utomo (62) tak kalah jengkel. Warga Dusun Karangasem, Desa Mulo, ini terpaksa mencabut meteran dan pipa 60 meter yang telah ditanam di pekarangan rumahnya. ”Lebih baik air dikelola langsung oleh pemerintah kabupaten kalau ingin beres. Jangan diserahkan ke desa,” katanya. Air yang dikelola pemerintah desa sempat mengucur selama tiga tahun sebelum akhirnya hanya mengalirkan angin.

Kini, Purwito dan semua warga sedusun sepenuhnya membeli air tangki. Saat kemarau seperti ini, Purwito telah membeli delapan tangki air dengan volume tiap tangki 5.000 liter. Satu tangki air harganya Rp 50.000-Rp 70.000.

Dua sumur bor di ladang yang menjadi andalan pemenuhan kebutuhan air Desa Mulo memang tidak mencukupi karena debitnya hanya 5 liter dan 16 liter per detik. Apalagi kedua mata air itu dimanfaatkan pula untuk mengairi dua desa lain, Duwet dan Wunung.

Organisasi Pengelola Air Mulo dibentuk tahun 1987 dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan ladang pertanian. Seiring waktu, pemerintah desa pun membangun jaringan perpipaan ke rumah warga sejak 1993 dan kini telah melayani 500 sambungan rumah.

Totok hanya berani menjual air itu Rp 1.000 per meter kubik. Tiap kepala keluarga dikenai iuran Rp 10.000-Rp 15.000.

Proyek pengangkatan air bantuan Jepang dari sungai bawah tanah di Baron maupun proyek bantuan Jerman dari goa bawah tanah Bribin, keduanya di Gunung Kidul, diharapkan memenuhi kebutuhan air warga. Namun, keduanya dipastikan tak bisa mengaliri Desa Mulo. Padahal, bantuan Jepang ditargetkan bisa mencukupi kebutuhan 80.000 jiwa dan proyek bantuan Jerman 75.000 jiwa.

Sejak tahun 2005, pemerintah Desa Mulo mengajukan bantuan bor kepada pemerintah, tetapi tidak pernah ditanggapi. Akhirnya, Totok dan enam kepala desa dari Gunung Kidul nekat menerobos langsung ke Departemen Pekerjaan Umum di Jakarta sebelum mendapat bantuan Rp 3,2 miliar untuk mengebor sumber air baru.

Jika sumber air baru yang rencananya akan beroperasi pada 2010 itu gagal, Totok mengaku menyerah.

Kepala Desa Bleberan, Playen, Tri Harjono lebih beruntung. Mata air di Desa Bleberan berjumlah empat buah dengan debit di atas 40 liter per detik. Makanya, warga tidak perlu membeli air dari mobil tangki.

Dari 517 sambungan rumah yang terlayani, pemerintah Desa Bleberan bisa memperoleh pendapatan bersih Rp 2 juta-Rp 5 juta per bulan. Di puncak musim kemarau, pendapatan desa dari pengelolaan air bisa mencapai Rp 11 juta per bulan. Pengelolaan air oleh badan usaha milik desa ini berlangsung sejak 2007 dengan modal awal Rp 250 juta.

Namun, air tetap jadi masalah di Gunung Kidul. Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Gunung Kidul mencatat 172.597 jiwa dari total penduduk 747.902 jiwa masih tergantung pembelian air dari mobil tangki keliling. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) juga hanya bisa menjangkau 46 persen warga.

Bupati Gunung Kidul Suharto mengakui PDAM Gunung Kidul belum mampu menjangkau semua warga karena mahalnya tarif listrik untuk mengangkat air. Suharto telah berkali-kali meminta penurunan tarif listrik bagi PDAM dan agar tarifnya tidak disamakan dengan tarif industri. Permintaan Bupati itu tetap tidak berhasil. Kerugian PDAM tiap bulan akibat tingginya tarif listrik sebesar Rp 500 juta-Rp 600 juta. Untuk menutup kerugian, per Agustus ini, harga air PDAM Gunung Kidul naik dari sebelumnya Rp 1.700 per meter kubik menjadi Rp 3.000 per meter kubik.

Bagi desa yang belum terjangkau aliran PDAM, Suharto mengedepankan program pengelolaan air secara swadaya mandiri lewat badan usaha milik desa. Pemkab Gunung Kidul menyediakan dana Rp 20 juta untuk setiap desa yang ingin mengelola airnya sendiri. Namun, dana itu hingga kini relatif utuh karena sebagian desa takut dan tidak punya pengalaman mengelola air secara swadaya.

Selain Desa Mulo dan Bleberan, desa lain di Gunung Kidul yang mengelola air sendiri antara lain Karangrejek, Getas, Kemuning, dan Wareng. ”Tidak masalah siapa pun pengelolanya, yang penting masalah air terselesaikan,” kata Suharto.(kompas, Selasa, 1 September 2009)