Kamis, 31 Desember 2009

Gus Dur Jendela kepada Dunia



Oleh : Moeslim Abdurrahman 

Yang paling berkesan, saya lihat Gus Dur itu menjadi jendela bagi Nahdlatul Ulama (NU) kepada dunia. Karena di awal tahun 1970, dia sebagai orang muda pulang dari Timur Tengah, tiba-tiba bicara soal hak asasi manusia, demokrasi, dan seterusnya. Ini luar biasa. Orang ini bukan pulang dari Amerika Serikat seperti anak-anak muda sekarang ini yang sekolah di sana. Ia lama di Baghdad, pernah di Mesir. Gus Dur ini sangat impresif karena dari rumpun subkultur pesantren, tapi dia bicara dalam wacana yang sang kontemporer, 

Di Gondangdia Lama, Jakarta, tahun 1975, saya kenal dengan Gus Dur. Dikenalkan oleh Cak Nur (Nurcholish Madjid). Sejak itu saya berkawan dengan Gus Dur. Kami bertiga sesama dari Jawa Timur. Gus Dur suka guyon, sementara Cak Nur orangnya serius. Dalam pergaulan selanjutnya saya lebih dekat dengan Gus Dur. Karena Gus Dur itu orangnya memang begitu, gampangan. Yang berkesan lagi, Gus Dur ikut mempromosikan saya. Sehingga saya beberapa waktu disebut sebagai intelektual muda Islam, bila diwawancara oleh berbagai surat kabar. 

Itu salah satu jasa Gus Dur bagi saya. Gus Dur tahu saya seorang dari Muhammadiyah. Akan tetapi, dia tidak pernah melihat itu. Dan banyak pendapat-pendapatnya menakjubkan saya, karena orang ini kemudian—kasarnya—jualan pesantren. Jualan pesantren di dunia masyarakat politik. Sehingga pesantren ini menarik perhatian di dunia, selain menjadi isu nasional. Pesantren sering menjadi bahan penelitian orang-orang luar negeri. Gus Dur ini seperti memasarkan idealisme pesantren. Gus Dur punya karisma di depan para kiai, apalagi di depan umatnya. Umat NU ketika itu sedang mencari tokoh yang menjadi jendela untuk ke dunia modern. 

Ada kebanggaan di kalangan orang NU terhadap Gus Dur. Karena Gus Dur membawa pesantren ke dunia luar yang luas. Dia membuka masyarakat NU untuk sadar bahwa kita hidup dalam dunia global. Gus Dur berdarah biru Akan tetapi, pandai menggunakan bahasa populis. Gus Dur bukan hanya bahasa, Akan tetapi, juga bisa merekonstruksi sehingga tiba-tiba muncul kelompok Kiai Khos Ini kan menata legitimasi. Juga kelompok Kiai Langitan. Jadi kalau ada persoalan-persoalan tertentu, dia bisa merujuk dengan mengatakan, ”Saya ini kan diperintah Kiai Khos.

” Dia saya kagumi bukan karena pemikiran politiknya. Akan tetapi, sebagai pemikir Islam, dia berani pikiran-pikiran Gus Dur seperti pergulatan. Seperti pergulatan hidupnya. Maka di kala orang berdebat soal Islam dan kebangsaan, maka Gus Dur mengatakan, ”Memang kita ini lahir sebagai orang Islam atau sebagai orang Indonesia dulu?” Gus Dur mewakili Islam ketika bangkitnya ilmu sosial di Indonesia. Di sinilah Gus Dur jualan tentang pesantren. 
Dia bilang kepada saya, ”Kang kalau kita bertemu dengan orang- orang pintar ilmu sosial, kita jangan ikut terjun dalam ilmu sosial, kita omong pesantren dong.” Dari dulu Gus Dur konsisten pada tiga hal. Yakni kalau negeri ini sudah memilih demokrasi, maka implikasinya harus tidak ada diskriminasi. Ini sangat mendasar. Dua itu tidak bisa dipisahkan. Kemudian tentang hak asasi manusia. Yang ketiga pluralisme. 

Banyak orang mengklaim soal itu. Akan tetapi, bagi saya, Gus Dur adalah pionirnya. Dia bukan mengantar saya hingga berkenalan dengan banyak orang. Dia betul-betul membuka dan jadi jendela sehingga banyak orang NU melihat demokrasi dari Barat. Dia memberi inspirasi. Dia yang menjamin ketika banyak orang ragu terhadap keragaman. Dia tegas sehingga bisa jadi jendela kaum minoritas untuk melihat ada jaminan di Indonesia.(Sumber: Kompas, 31 Desember 2009 )

Senin, 21 Desember 2009

Membangun Pertahanan Perbatasan Dengan Empati



Dalam pengabdiannya TNI sebagai tentara penjaga perdamaian di pora Internasional selama ini selalu saja mampu merebut simpati masyarakat lokal. Hal itu bisa mereka peroleh karena mereka memang tidak punya agenda lain kecuali sebagai penjaga perdamaian ditambah merebut hati rakyat. Untuk merebut hati rakyat, mereka melakukan semua cara dalam arti kata yang positip. Nah bisakah kita terapkan hal seperti itu di Papua atau daerah lainnya? Dapatkah kita memanfaatkan Satgas pengamanan wilayah perbatasan sebagaimana kita melakukannya di Negara lain? 
Secara teoritis bisa, tetapi secara anggaran rasanya tidak mungkin, atau akan sangat berat sekali. Seperti kita ketahui, pada saat ini TNI kita ada di setiap wilayah perbatasan, baik itu di wilayah darat, maupun di wilayah perbatasan laut. Jumlahnya juga cukup banyak. Selama ini, selain mereka melaksanakan tugas pokoknya menjaga wilayah, mereka juga secara aktif melaksanakan fungsi-fungsi social, yang pada intinya membantu masyarakat dan mempererat hubungan antara masyarakat dengan para petugas, sehingga diharapkan akan muncul semangat kebersamaan dalam menjaga keamanan dan ketentraman wilayahnya masing-masing. 
Tetapi harus diakui, untuk tugas-tugas seperti itu, mereka tidak dibekali dengan bahan kontak yang memadai. Padahal masyarakat kita sesungguhnya belum bisa melakukan banyak hal, kalau hanya berbekalkan “tenaga semata”. Memang selama ini ada juga satuan-satuan TNI dalam program membangun desa, tetapi itu dilakukan bukan di wilayah tugas, tetapi di daerah aman yang tidak bermasalah. Jadi idenya adalah, bagaimana agar TNI ini diberdayakan untuk mempu mengemban “program sivic-action” disamping tugas pokoknya sebagai tentara penjaga wilayah professional. 

 Karena selama ini streotipe penilaian warga lokal terhadap Satgas-satgas yang di gelar di wilayah perbatasan, pada intinya masih berbau provokator keamanan itu sendiri. Lihat misalnya komentar Mama Yosepha Alomang pada saat kematian Kelly Kwalik Mama Yosepha Alomang, menyatakan, Kelly Kwalik bukan seorang teroris. Alomang menyatakan, Kelly Kwalik tidak pernah memprovokasi kekerasan yang selama ini terjadi di Papua. Hal itu disampaikan Mama Yospeha Alomang ketika berorasi di hadapan para pelayat Kelly di Kantor DPRD Kabupaten Mimika. "Kelly Kwalik bukan teroris, Kelly Kwalik bukan penjahat. Kelly Kwalik bukan provokator," kata Mama Yosepha, sapaan keseharian Alomang. 



Mama Yosepha sendiri dikenal sebagai pejuang HAM yang pernah disiksa dengan dikurung di dalam peti kemas oknum aparat keamanan di Papua. Mama Yosepha menyatakan, pengalaman sejarah yang dialami orang asli Papua menunjukkan justru aparat keamanan yang ada di Papua yang acap kali memprovokasi terjadinya kekerasan di tanah Papua. "Mereka memprovokasi, pemerintah juga diprovokasi. Bukan Kelly Kwalik yang memprovokasi," kata Alomang.( Kompas.com, 21/12/2009).
Mereka melihat aparat keamanan itu, hanyalah alat keamanan semata, yang kalau tidak dibunuh, ya membunuh. Padahal kalau saja, aparat penegak pertahanan itu sebagai penjaga wilayah yang selalu siap membantu mereka, tokh pasti akan berbeda jadinya. Tapi itulah masalahnya, disamping kebijakannya juga pada keterbatasan yang ada pada satuan tugas itu sendiri. Yang jelas, warga itu kalau di berdayakan, di orangkan, dan mau membangun wilayah mereka sendiri. Saya percaya, semangat untuk memberontak itu akan pudar dengan sendirinya.

Selasa, 15 Desember 2009

Jual Kerbau ke Sarawak demi Sekolahkan Anak


"Secepatnya mama kirim satu setengah juta rupiah seperti yang kamu minta.” Demikian janji Mince Silas, warga Desa Longlayu, Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, kepada putra sulungnya di Yogyakarta melalui telepon satelit pertengahan November. Sesaat kemudian, perempuan itu juga menjanjikan hal serupa kepada anak bungsunya yang kuliah di Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim). Pembicaraan berlangsung di rumah Sekretaris Kecamatan Krayan Selatan, Helmi Puda, di Desa Longlayu. Untuk percakapan singkat itu, dia membayar Rp 48.000. Itulah telepon satelit satu-satunya di sana. ”Biasalah.... Anak-anak meminta kiriman bulanan sehingga harus jual kerbau lagi,” katanya menjelaskan. 
Mince Silas bukanlah satu-satunya orang yang membiayai kuliah anak-anaknya dengan menjual kerbau. Tindakan seperti itu umum dilakukan warga di Kecamatan Krayan Selatan dan Krayan, perbatasan Kaltim-Serawak, Malaysia Timur. ”Saya juga mau menjual kerbau bah untuk uang sekolah anak di Samarinda. Mungkin laku dua ribu ringgit bah,” kata Wellem, warga Krayan Selatan, yang ditemui terpisah. Hebatnya, kerbau yang akan dijual bukan dibawa ke Nunukan atau Tarakan. Daerah mereka terisolasi. 
Untuk mencapai Nunukan atau Tarakan, mereka harus menggunakan pesawat perintis. Karena itu, dalam menjual kerbau, pilihan mereka adalah Serawak, yang bisa dicapai melalui darat. Di sana harga jual pun relatif baik, bisa mencapai 3.000 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 9 Juta. Memang, untuk mendapatkan harga bagus itu tidak mudah. Dari Krayan Selatan, warga harus membawa jalan ternaknya sejauh sekitar 100 kilometer dengan berjalan kaki selama dua hari melalui Longbawan (ibu kota Kecamatan Krayan), lalu ke perbatasan dan tiba di Bakalalan, Serawak. 
 Beberapa warga menyebutkan, uang hasil penjualan kerbau biasanya dikirimkan kepada anak-anak mereka melalui Kantor Pos Krayan. Tetapi, tak sedikit juga yang menitipkannya kepada warga yang kebetulan bepergian ke Nunukan atau Tarakan. Dari sana, uang itu ditransfer melalui bank. Semangat besar Menurut Camat Krayan Selatan Selutan Tadem, masyarakat di daerahnya memiliki semangat besar menyekolahkan anak-anaknya Faktanya, saat ini yang kuliah di beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta saja tercatat 100 mahasiswa, baik dari Krayan maupun Krayan Selatan.


”Di Samarinda, ada sekitar 150 mahasiswa. Selain itu, ada juga di Jakarta,” katanya. Dua kecamatan tersebut hanya berpendudukan sekitar 11.000 jiwa. Meski mereka hidup dengan biaya tinggi—karena berbagai barang kebutuhan sehari-hari dijual dengan harga yang hampir dua kali lipat dibandingkan dengan di Samarinda—daerah itu memiliki kebanggaan pada populasi kerbaunya yang saat ini mencapai 5.000 ekor. Selain itu, mereka juga bangga dengan produksi beras lokal organiknya. 

Produksi padi adan dari areal 5.850 hektar tiap tahun mencapai 27.000 ton gabah kering giling. ”Tiap tahun surplus beras 19.000 ton. Beras ini juga sebagian besar mereka jual ke Serawak,” demikian penjelasan Selutan. Warga Krayan boleh bangga dengan kerbau dan padinya itu. Sebab, kedua hal itu yang menjadikan anaknya sarjana. (Kompas, 14/12/09, Ambrosius Harto Manuyoso/M Syaifullah/Wahyu Haryo P)

Kamis, 03 Desember 2009

Kesejahteraan Prajurit Di Tapal Batas Perbatasan




Indonesia diakui dunia sebagai negara kepulauan (UNCLOS '82), dengan pulau-pulaunya yang tersebar horizontal dan vertikal dari Rondo (Sabang) hingga ke Komoran (Merauke) dan dari Sebatik (Nunukan) hingga Dana (Rote); serta melintang dari Sekatung (Natuna) hingga Selaru (Yamdena) dan dari Miangas (Sangir Talaud) hingga Enggano (Barat Sumatera). Dari penelitian dan penghitungan oleh Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL, diperoleh sebanyak 92 (sembilan puluh dua) pulau-pulau terdepan yang strategis, karena pulau-pulau tersebut berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga dan laut lepas. Pulau-pulau tersebut secara hukum internasional merupakan hak milik syah Republik Indonesia (mewarisi bekas tanah jajahan Belanda), namun dari sisi pertahanan negara, kita harus memelihara dan mensejahterakan masyarakatnya (pada pulau-pulau yang berpenghuni) melalui pelayanan kesehatan, pendidikan dan ekonomi. 
 Agar Indonesia tidak kehilangan pulau-pulaunya baik secara ekonomi, sosial ataupun politik, maka Departemen Pertahanan RI mempunyai kebijakan bagi pengamanan pulau-pulau terdepan melalui : Berdasarkan Perpres Presiden RI No. 78 tentang Pengelolaan Pulau –Pulau Kecil Terluar, terdapat 92 pulau – pulau kecil terluar, yang nilainya sangat strategis dan sebagian besar berbatasan langsung dengan negara tetangga, dari 92 pulau – pulau kecil terluar tersebut terdapat 13 pulau yang perlu mendapat perhatian khusus, yaitu : P. Rondo , P. Berhala, P. Nipa , P. Sekatung, P. Marore, P. Miangas, P. Marampit , P. Fani, P. Fanildo, P. Bras, P. Batek, P. Dana dan P. Sebatik. Pulau-pulau terluar itu kini, secara fisik di jaga oleh prajurit TNI khususnya dari Marinir. Misalnya di P. Nipa. telah ditempatkan 34 (tiga puluh empat) orang Marinir dari satgas pam pengamanan pulau terluar dan 6 (enam) orang personel Posal dari Lanal Batam. 
Kebutuhan akan air tawar masih tergantung kiriman dari darat atau air hujan. Kebutuhan listrik masih tergantung dari diesel pembangkit tenaga listrik. Terkait dengan kesejahteraan prajurit di Tapal Batas; Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Madya Agus Suhartono berjanji menuntaskan pembahasan tunjangan bagi para prajurit penjaga 12 pulau terluar di Tapal Batas . ”Hal ini menjadi prioritas dalam 100 hari pertama kepemimpinan saya. Semoga tunjangan ini mulai dapat diterapkan bulan Januari 2010,” ujar Agus seusai upacara serah terima jabatan Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) dari Laksamana Tedjo Edhy Purdijatno kepada Laksamana Madya Agus Suhartono di Markas Komando Armada RI Kawasan Timur, Dermaga Ujung, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (13/11). 

Peningkatan kesejahteraan prajurit menjadi salah satu dari lima prioritas Panglima TNI. Empat prioritas lainnya, menurut Agus, pemeliharaan alat utama sistem persenjataan (alutsista), kesiapsiagaan operasional, pendidikan, dan latihan, serta zero accident atau meminimalisasi kecelakaan melalui optimalisasi perawatan alutsista. Selain itu, Agus Suhartono berjanji untuk menuntaskan proses pembelian dua kapal selam yang saat ini sudah memasuki tahap akhir. 

Menurut dia, usulan pembelian dua kapal selam senilai 700 juta dollar AS atau sekitar Rp 7 triliun sudah diterima Departemen Pertahanan sejak beberapa bulan lalu. ”Kami membutuhkan tambahan kapal selam yang minimal berkualitas setara dengan negara tetangga, Malaysia, atau bahkan lebih baik. Hal ini penting untuk meningkatkan posisi tawar dalam menghadapi setiap kasus sengketa kewilayahan,,” khususnya wilayah perbatasan ungkap Agus, yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Asisten Perencanaan KSAL.


Saat ini Indonesia mempunyai dua kapal selam, yakni KRI Cakra dan KRI Nanggala. KRI Cakra baru saja diservis di Korea Selatan, sedangkan KRI Nanggala menunggu tersedianya dana untuk menjalani proses serupa. Meski demikian, kualitas keduanya tertinggal dibandingkan dengan kapal selam kelas Scorpene buatan Perancis yang dibeli Malaysia, beberapa waktu lalu. (Sumber: Wilhan, Kompas,RIZ, 14/11/2009)