Rabu, 27 Januari 2010

Dili Setelah Sepuluh Tahun Kemudian

Kalau anda ke Dili, terlebih lagi mereka yang eks pejuang Timor Timur, tidak terbayang bahwa wilayah yang dahulu seolah punya perangkap mati di setiap sudut wilayah, kini tentram dan aman. Masyarakatnya yang ramah, adalah ciri khas Indonesia, warga sepertinya menerima dengan baik siapa saja yang datang ke negaranya. Hal seperti itu di lukiskan oleh Iwan Santosa/Lucky Pransiska dari Kompas pada 9/01/2010, saya kutipkan di sini mereka melihat “Petang menjelang malam di Villa Verde, Desa Hijau, salah satu distrik di kota Dili, Timor Leste, Jose Godinho (34), seorang eksekutif muda asli Dili, menikmati sepiring masakan Thailand. Dia dilayani Cleo Namtama (23), gadis Thai asal Udon Thani, yang sigap menyiapkan makanan dan minuman”. Di sisi lainnya, Taksi sedan Jepang built-up eks Singapura berkeliaran di jalan-jalan. Dari dalam mobil terdengar lagu-lagu berbahasa Indonesia. Sesekali melintas mobil putih ataupun polisi berlogo UN yang dikemudikan orang kulit putih dengan bendera Australia atau Portugal tersemat di bahu kanan. Tidak jarang pula terlihat orang berkulit gelap asal Afrika melintas.



Tidak jauh dari Villa Verde, di Pantai Kelapa, Kampung Alor, di Dili Beach Hotel, Matet Bayan (25), seorang gadis Filipina asal Cebu, asyik berkirim layanan pesan singkat (SMS) kepada teman-teman orang Australia di tempatnya mengajar di sebuah sekolah internasional. Lamat-lamat di kejauhan terdengar kumandang suara azan dari Masjid An Nur di Kampung Alor, tempat warga Bugis dan masyarakat keturunan Indonesia banyak bermukim. Ansar Abdullah (53), pria asal Bone, Sulawesi Selatan, menyalami beberapa kerabat sekampung yang ditemuinya di dekat Masjid An Nur.

Tidak jauh dari sana terdapat penginapan backpacker dan hotel-hotel baru dengan nama Portugis, seperti Casa Minha (Rumah Saya) hingga spa Bali dan Thailand yang bertebaran di sudut-sudut kota. Tidak ketinggalan, beberapa bar yang dikelola pengusaha asal China ikut meramaikan kota bersuasana dusun tetapi pekat dengan aroma internasional itu. Restoran Jepang menyajikan sushi segar, kedai piza yang dikelola orang kulit putih, restoran khas Myanmar, restoran India, restoran Sri Lanka, restoran Vietnam, hingga warung bakso, martabak dan masakan Jawa dapat dengan mudah ditemui di seantero kota Dili.

Suasana petang di Dili awal Desember 2009 memberikan gambaran betapa internasionalnya keadaan Timor Leste. PBB, badan bantuan asing, perusahaan asing seperti Petronas dari Malaysia, perusahaan Australia dan China ikut menggerakkan perekonomian Timor Leste yang berpenduduk 1,1 juta jiwa. Pemimpin Redaksi tabloid mingguan Tempo Semanal Jose A Belo, mengatakan, sejak kemerdekaan Timor Leste tahun 1999, banyak orang asing ikut datang mengadu nasib di negara ini. ”Tahun ini orang dari Tiongkok mungkin bisa mencapai 1.000 orang. Kebanyakan bekerja di proyek-proyek besar. Selanjutnya orang Indonesia di tempat kedua. Bangsa Asia lain seperti Filipina, Thailand, Malaysia, dan India mudah ditemui. Orang kulit putih banyak dari Portugal, Australia, Inggris, dan Amerika Serikat,” kata Belo yang dulu pernah bergerilya bersama Fretilin. Selain itu, ada juga orang- orang dari negara bekas jajahan Portugal seperti Brasil, Angola, Mozambik, dan negara lain. Bahkan, pekerja malam, seperti gadis pemandu karaoke asal China, juga dengan mudah ditemui di kota Dili.

Kerja keras

Dili saat ini ibarat madu yang didatangi lebah dari pelbagai penjuru. Namun, hidup tidaklah mudah di Timor Leste. Kerja keras adalah kunci untuk bisa bertahan di negara yang baru merdeka dan menggunakan mata uang dollar AS sebagai alat pembayaran resmi itu. Dito Soares (23), seorang sopir taksi, mengaku kehidupan di Dili masih menjanjikan asal mau kerja keras. ”Kalau kondisi biasa, bisa dapat bersih 20 dollar AS per hari. Kalau rajin, bisa dapat 40 dollar hingga 50 dollar AS per hari,” kata Dito.

Sebagai pembanding, harga bensin paling murah adalah 90 centavos atau sekitar Rp 9.000 per liter. Tarif taksi—umumnya tidak memakai pendingin—untuk jarak dekat di Dili dipatok rata-rata 1 dollar AS. Pedagang Timor Leste yang menjual makanan di pinggir jalan mematok harga 50 centavos (Rp 5.000) untuk setusuk sate berisi paha atau dada ayam. Sate kulit dan sosis dihargai 25 centavos. Sebotol air mineral ukuran sedang mereka jual 25 centavos, sedangkan di hotel yang banyak ditempati orang kulit putih tinggal dihargai 1 dollar AS atau empat kali lipat harga di Jakarta!

Matet mengatakan, banyak warga Filipina mengadu nasib ke Timor Leste untuk mendapat penghasilan lebih baik. ”Kalau pekerja seperti resepsionis hotel bisa mendapat 750 dollar AS per bulan. Tetapi, kalau bekerja di kontraktor asing bisa mencapai 6.000 dollar AS per bulan. Itu baru pada level staf, bukan termasuk manajemen,” ujar Matet yang menolak memberi gambaran penghasilannya sebagai guru sekolah internasional. Suasana relatif aman dan tidak ada pemerasan membuat orang asing betah bekerja dan mengadu nasib di sana. Ny Thres, perempuan Tionghoa asal Surabaya yang membuka restoran di Dili, mengaku sudah lebih dari lima tahun membuka usaha di negara itu dan dia merasa kerasan. ”Lumayan bisa memutar uang,” kata Thres di sela kesibukan melayani pembeli asal Indonesia dan warga setempat.

Meski menarik banyak orang untuk datang mengadu nasib, kemiskinan masih menjadi momok di Timor Leste. Untuk kebutuhan bahan kebutuhan pokok pun, negeri itu masih mengandalkan pasokan dari Indonesia. Sekretaris Satu Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Dili Josef Victor Sambuaga yang ditemui mengatakan, dari nilai perdagangan sebesar 75 juta dollar AS antara Indonesia dan Timor Leste tahun 2008, Indonesia membukukan ekspor sebesar 72 juta dollar AS. ”Impor kita dari Timor Leste hanya sekitar 3 juta dollar AS,” kata Sambuaga.

Meski demikian, prospek ke depan, setidaknya selama lembaga dunia dan perusahaan asing beroperasi di Timor Leste, peluang bagi warga negara Indonesia dengan keahlian formal masih sangat terbuka. Vamos amigos (Mari teman), selamat mengadu nasib di kampung internasional bernama Dili!

Sumber: Kompas, 9/01/2010, Iwan Santosa/Lucky Pransiska dari Dili, Timor Leste

Senin, 18 Januari 2010

Al Qaeda Makin Mewarnai Keamanan Timur Tengah



Sejumlah negara di Timur Tengah, seperti Yaman, Arab Saudi, dan Irak, kini siaga menghadapi peningkatan ancaman jaringan Al Qaeda, terutama dari Yaman dan Somalia.

Pemerintah Yaman, menurut harian Mesir, Al Ahram, Minggu (3/1), giat meningkatkan patroli keamanan di sepanjang pantai teluk Aden dan Laut Merah. Pemeriksaan ketat juga dilancarkan pada perahu dan kapal yang berlabuh di Yaman dari Somalia dan negara-negara Afrika lain.

Hal itu untuk mengantisipasi ancaman kelompok Al Shabab yang pada Jumat lalu menyatakan siap mengirim anggotanya ke Yaman untuk membantu jaringan Al Qaeda menghadapi aparat keamanan Yaman.

Kelompok penganut paham jihad salafi dan kini menguasai sebagian besar wilayah selatan dan tengah Somalia semakin dikenal sebagai loyalis Al Qaeda.

Indikasi kelompok Al Shabab bagian dari jaringan Al Qaeda semakin kuat menyusul pernyataan juru bicara Kelompok Al Shabab Mujahidin, Ali Mahmoud Raghi, yang menyambut positif atas upaya pria asal Somalia hari Sabtu lalu untuk melakukan pembunuhan, walau gagal, terhadap kartunis Denmark, Kurt Westergaard. Sang kartunis dianggap telah melecehkan Nabi Muhammad SAW dengan kartunnya. Denmark menuduh pria asal Somalia itu punya kaitan dengan kelompok Al Shabab.

Dalam konteks ancaman jaringan Al Qaeda, panglima komando wilayah tengah AS yang bertanggung jawab atas Timur Tengah dan Asia Tengah, David Petraeus, hari Sabtu lalu di Sana’a (ibu kota Yaman) bertemu Presiden Yaman Abdullah Saleh, membahas kerja sama cara menghadapi ancaman Al Qaeda.

AS memutuskan menambah bantuan dana militer kepada Pemerintah Yaman yang per tahun mencapai 70 juta dollar AS.

Harian berbahasa Arab, As Sharq Al Awsat, hari Minggu mengungkapkan, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi memutuskan memperlengkapi pasukan pengawal perbatasan dengan kapal pemburu cepat yang dilengkapi sistem radar canggih.

Tindakan Arab Saudi itu, menurut harian itu, untuk meningkatkan kemampuan pemantauan aktivitas kapal-kapal di lepas pantai Arab Saudi di Laut Merah, terutama yang datang dari Yaman dan Afrika Timur.

Pasukan patroli laut Arab Saudi bulan lalu berhasil menghancurkan dua kapal cepat tak dikenal di perairan Arab Saudi. Diduga, dua kapal itu datang dari Yaman atau Somalia.

Harian As Sharq Al Awsat juga memberitakan, Irak sedang siaga setelah mendapat informasi jaringan Al Qaeda di Yaman, dengan bantuan dana dari loyalis Partai Baath yang bermukim di Yaman, berencana bergerak menuju Irak melalui Suriah.

Jubir Kementerian Dalam negeri Irak, Alaa Taie, mengungkapkan, pihaknya telah mendapat informasi dari komite keamanan dan pertahanan parlemen Irak bahwa ada program pemindahan aktivitas Al Qaeda dari Yaman ke Irak jika Yaman dengan dibantu AS semakin meningkatkan aksi pemburuannya atas jaringan Al Qaeda itu.

Anggota komite keamanan dan pertahanan parlemen Irak, Ammar Ta’ma, mengatakan, koalisi antara Partai Baath dan Al Qaeda telah terjalin di Irak sejak tahun 2003 hingga saat ini.

”Semua orang tahu bahwa penyandang dana aksi serangan loyalis Al Qaeda di Irak adalah loyalis Partai Baath. Al Qaeda pelaksana serangan di lapangan, sedangkan loyalis Partai Baath perancang dan penyandang dananya. Koalisi Al Qaeda-Partai Baath terjadi di Irak dan bisa terjadi di negara lain mana pun di muka bumi,” tandas Ammar.

Ia melanjutkan, problem Irak sejak tahun 2003 adalah masih lemah dalam mengontrol perbatasannya sehingga mudah disusupi berbagai aktivis asing.

Ta’ma menyerukan Pemerintah Irak meningkatkan kontrol di perbatasan dengan menambah pasukan pengawal perbatasan dengan dilengkapi dengan sistem persenjataan dan radar yang canggih. (kompas,mth, 4/1/2010)

Minggu, 10 Januari 2010

Persoalan Lahan, di Perbatasan RI-Timor Leste


Harian Kompas (ben) pada 6/10/2009 menuliskan: Masalah penggunaan lahan seluas 1.062 hektar di Kecamatan Amfoang Timur, Kupang, Nusa Tenggara Timur, oleh warga Timor Leste saat ini sudah ditangani pemerintah melalui Departemen Luar Negeri. Dalam kaitan itu, warga diminta bersabar dan tidak bertindak anarki karena dapat mengganggu hubungan kedua negara. ”Kawasan itu memang di daerah sengketa karena status tanahnya status quo. 
Namun, perlu saya tegaskan, negara kita berpegang pada hukum yang berlaku. Kita hadapi secara baik, tidak emosional. Jadi, jangan sampai terpancing,” kata Panglima Komando Daerah Militer IX/Udayana Mayor Jenderal Hotmangaradja Pandjaitan, Senin (5/10) di Denpasar, Bali, seusai memimpin upacara HUT Ke-64 TNI. ”Secara teknis, persoalan itu sudah diketahui dan ditangani langsung oleh Departemen Luar Negeri. 

Tujuan utama penanganan masalah adalah tercapainya solusi secara hukum. TNI selaku penjaga kawasan perbatasan berusaha mencegah warga di kawasan itu tidak terpancing dan secara emosional membalas aksi yang dilakukan warga Timor Leste itu,” kata Hotmangaradja. Selama ini, warga Timor Leste bersikeras mengklaim Desa Detemnanu masuk dalam wilayah Timor Leste.

Padahal, pada masa integrasi dan sampai hari ini, desa itu masuk wilayah administrasi Kecamatan Amfoang Timur. Menurut Raja Amfoang Kabupaten Kupang, Robi Manoh, sekitar 1.062 hektar lahan milik warga Desa Detemnanu, Kecamatan Amfoang Timur, itu dikuasai warga Oekusi, Timor Leste. Amfoang berbatasan langsung dengan Timor Leste. Konflik horizontal sangat berpotensi terjadi, apalagi Amfoang Timur termasuk daerah terpencil di Kabupaten Kupang karena sulit dilalui kendaraan. Hotmangaradja kemarin juga menekankan, pasukan TNI tetap mengawasi kawasan perbatasan kedua negara itu. ”Salah satu tugas utama TNI di kawasan perbatasan, selain mencegah adanya pelintas batas, juga mencegah timbulnya masalah yang dapat mengganggu hubungan Indonesia dengan negara lain, dalam hal ini, Timor Leste,” ujarnya. 
Dalam konteks itu, lanjut Hotmangaradja, TNI akan berupaya keras mencegah warga Amfoang Timur membalas tindakan warga Timor Leste yang secara sporadis menggunakan lahan di sana sebagai kawasan beternak mereka. Kalay hal ini dikaitkan dengan masalah batas antar kedua Negara maka perlu dilihat akar masalahnya; Secara tehnis, memang masalah yang ada adalah sebagai berikut: Masih adanya persepsi yang berbeda tentang batas anta kedua Negara baik yang terletak di sisi timur maupun sisi barat yaitu Oeccusi (dari sisi sejarah Belanda – Portugis maupun penguasaan/Efective Ocupation). Permasalahan batas masih menyisakan 3 (tiga) unresolved di Noel Besi/Cetrana, Bijael sunan/oben dan Dilumil/memo serta 1 (satu) Unsurveyed yaitu Subina. 
Persepsi Status Quo yang tidak pernah jelas selama ini (tidak dinyatakan secara tertulis) telah menimbulkan berbagai masalah di lapangan dimana pada sisi RI masyarakat yang berada disekitar daerah tersebut dilarang memanfaatkan lahan tersebut untuk kepentingan apapun namun sebaliknya hal ini tidak oleh pihak Timor Leste tidak diberlakukan bagi warga negaranya. Sayangnya, pihak RI tidak pernah melakukan protes resmi. 


Jangan sampai hal seperti kasus Sipadan-Ligitan, media seolah mengatakan wilayah itu dalam posisi status quo, sementara pihak Malaysia ramai-ramai menempatinya, sementara aparat Indonesia justeru melarang warganya melakukan hal yang sama. Hal inipun terulang lagi, Kodam Udayana dalam hal ini Pam-Tas, selalu berpesan taat azas, dan secara aktif melarang warganya mengolah lahan yang sama; padahal warga Timor Leste malah mengelolanya dengan leluasa, warga kita kalau datang, di usir dan malah di tembak, tapi aparat kita malah membela posisi status quo, dan sayangnya Deplu ga juga protes.