Selasa, 21 September 2010

Diplomasi Dalam Sengketa Batas Indonesia-Malaysia




Oleh : S Wiryono

Sejak insiden 13 Agustus, Indonesia dan Malaysia terperangkap dalam perang mulut yang cukup panas, diplomasi megapon yang sangat tak sedap dan seyogianya dicegah agar tak meningkat menjadi perselisihan yang lebih sulit diatasi. Pada masa lalu, Indonesia pernah melakukan konfrontasi, tetapi kemudian teratasi dengan baik lewat perundingan: hanya setelah pemimpin di Indonesia berganti. Apakah kejadian di masa lalu akan berulang? Apakah suara garang DPR dan masyarakat bakal berkembang jadi genderang perang?

Dalam hubungan ini, kiranya perlu diingat ucapan PM Inggris semasa Perang Dunia II, Sir Winston Churchill, tentang perang. Katanya: sekali seorang negarawan menabuh genderang perang, dia tak dapat lagi jadi tuan atas keputusannya, malah jadi budak bagi kejadian yang tak teramalkan dan tak terkendalikan.

Pemerintah maupun rakyat Indonesia memang beralasan marah jika bangsa kita dilecehkan. Namun, kiranya perlu diketahui, keduanya terikat dalam ASEAN, yang dua tahun lalu menandatangani piagam bahwa asosiasi itu bertujuan menjadi suatu masyarakat yang saling memerhatikan dan saling berbagi. Lagi pula, atas permintaannya mempercepat giliran tahun depan, Indonesia akan mengetuai ASEAN untuk satu tahun dan diharapkan memainkan peran kepemimpinannya yang perlu mendapat dukungan dari semua pihak.

Selasa, 07 September 2010

Permasalahan Batas Indonesia-Malaysia, Masalah Komunikasi





Ketika presiden pidato di Markas Besar TNI, banyak pihak tadinya presiden akan memberikan pidato yang menentukan. Nyatanya pidato itu  lebih pas kalau disebut sebagai pidatonya seorang Menlu; pidato yang dengan secara sadar dikemukakan agar kedua Negara tetap mawas diri dan melihat masalah yang ada secara proporsional. Banyak orang kecewa, dan sangat setuju kalau saja pidato yang bagus itu diberi bumbu;


bahwa sebagai Negara bertetangga, ke depan Malaysia tidak boleh berbuat sekehendaknya dan harus mampu Manahan diri dan menjaga hubungan agar selalu tetap baik. Seperti pesannya pak Yowono Sudarsono (mantan Menhan) kepada menhannya Malaysia; agar Malaysia jangan kebabalasan, sebab Indonesia itu punya semangat nekat - semangat bondo nekat. Tapi ya sudahlah, pidato itu tokh sudah di ucapkan, dan nyatanya juga bisa membawa suasana hubungan kedua Negara kian lebih baik.

readbud - get paid to read and rate articles
Lalu kemudian muncullah pertemuan yang ke-17 di Kota Kinabalu, Sabah. Banyak pihak tadinya, menyangka jadwal ini sebagai hasil diplomasi baru Indonesia. Padahal yang benar adalah, pertemuan tersebut adalah pertemuan tahunan yang telah terjadwal; dan seperti biasanya, pihak Malaysia selalu ada saja alasannya untuk tidak memasuki substansi persoalan; dan kali ini hanya mereka jadikan sebagai ajang perkenalan antar pejabat saja. Bagi mereka yang tadinya berharap bahwa perundingan ini akan bisa memasuki persoalan perbatasan; nyatanya harus kecewa berat; sebab pertemuan ini memang tidak memiliki agenda yang pasti kecual hanya sekedar up-dating pertemuan saja.

Persoalan Perbatasan

Permasalahan batas antar Negara di lingkungan anggota sesama Asean sebenarnya banyak persoalan; permasalahan batas darat dan batas laut antara Indonesia dengan sepuluh Negara tetangganya, masih sangat potensial untuk jadi persoalan. Artinya sengketa perbatasan bagi masing-masing anggota Asean adalah sesuatu yang real, konkrit dan melelahkan. Celakanya, dari sisi pengalaman masing-masing, ternyata persoalan batas itu adalah masalah yang sangat sensitive. Artinya sangat jarang ditemui di kawasan ini yang dapat menyelesaikan masalah batasnya secara logis dan dengan menggunakan akal sehat; yang kuat itu biasanya adalah dorongan emosi, persepsi dan harga diri dari mereka yang bertikai. Mereka menaroh harga diri, kedaulatan di tapal batas. Dalam budaya yang seperti ini? Dapatkah Asean memberikan pencerahan yang konstruktif?
Setahun yang lalu Kamboja, mengatakan, akan meminta para pemimpin ASEAN dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Hua Hin, Thailand, 23-25 Oktober, untuk membantu menyelesaikan pertikaian wilayahnya dengan Thailand. Pertikaian itu memicu aksi protes, bentrokan bersenjata, serta dikhawatirkan akan berkembang menjadi perang di perbatasan. Permintaan Kamboja itu seyogianya disambut dengan baik. Di usianya yang kian dewasa, para pemimpin ASEAN seharusnya berani mengambil tanggung jawab untuk membicarakan pertikaian perbatasan yang terjadi di antara mereka dan membantu mencarikan jalan untuk menyelesaikannya. Sayangnya, langkah seperti itu tidak muncul.

Sikap seakan-akan segala sesuatu di ASEAN berlangsung baik-baik saja, sudah harus ditinggalkan. Apalagi, sejak tahun 1976, ASEAN telah menandatangani Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia/TAC) yang merupakan code of conduct dalam menyelesaikan pertikaian di antara anggota ASEAN. Seharusnya, pertikaian perbatasan di antara negara ASEAN, termasuk pertikaian perbatasan antara Kamboja dan Thailand, diselesaikan dalam kerangka TAC. Namun, sejak ditandatangani di Bali pada tahun 1976, belum sekali pun ASEAN menggunakannya. Selama ini, negara anggota ASEAN lebih memilih untuk menyerahkan penyelesaian masalahnya kepada Mahkamah Internasional yang berkedudukan di Den Haag, Belanda.

Kamis, 02 September 2010

Perbatasan RI-Malaysia; Bersahabat Adalah Pilihan

 Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, persoalan yang muncul antara Indonesia dan Malaysia tidak selalu berarti ancaman bagi kedaulatan dan keutuhan wilayah.

Presiden menyampaikan hal itu di Markas Besar TNI Cilangkap, Jakarta, Rabu (1/9).
Penjelasan Presiden itu, khususnya tentang insiden di perairan Pulau Bintan, 13 Agustus lalu, sebelumnya juga sudah disampaikan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto dan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dalam beberapa kesempatan.

Presiden menyampaikan, Pemerintah RI berpendapat, solusi yang paling tepat untuk mencegah dan mengatasi insiden serupa adalah dengan segera menuntaskan perundingan batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia.Presiden Yudhoyono juga menegaskan bahwa kedaulatan negara dan keutuhan wilayah adalah kepentingan nasional yang sangat vital. Ditekankan Presiden bahwa pemerintah sangat memahami kepentingan itu dan bekerja sungguh-sungguh untuk menjaga dan menegakkannya.

”Namun, tidak semua permasalahan yang muncul dalam hubungan dengan negara sahabat selalu terkait dengan kedaulatan dan keutuhan wilayah,” ujarnya.Sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, Presiden mengatakan bahwa ia juga merasakan keprihatinan, kepedulian, bahkan emosi yang dirasakan oleh rakyat Indonesia. ”Dan, apa yang dilakukan oleh pemerintah sekarang dan ke depan ini sesungguhnya juga cerminan dari keprihatinan kita,” ujarnya.

Presiden juga mengajak masyarakat untuk menjauhi tindakan berlebihan, termasuk aksi kekerasan yang hanya akan menambah masalah yang ada.Selain mempunyai hubungan sejarah, budaya, dan kekerabatan yang sangat erat, hubungan kedua negara ini menjadi pilar penting dalam keluarga besar ASEAN.Terdapat sekitar dua juta warga negara Indonesia yang bekerja di Malaysia, jumlah tenaga kerja Indonesia yang terbesar di luar negeri. Keberadaan tenaga kerja Indonesia di Malaysia itu menguntungkan perekonomian kedua negara.

Sekitar 13.000 pelajar dan mahasiswa Indonesia belajar di Malaysia dan 6.000 mahasiswa Malaysia belajar di Indonesia. Wisatawan Malaysia yang berkunjung ke Indonesia tergolong ketiga terbesar dalam kunjungan wisatawan mancanegara.Investasi Malaysia di Indonesia lima tahun terakhir mencapai 1,2 miliar dollar AS, sedangkan investasi Indonesia di Malaysia bernilai 534 juta dollar AS. Sementara perdagangan kedua negara mencapai 11,4 miliar dollar AS pada tahun 2009.”Namun, hubungan yang khusus ini juga sangat kompleks, tidak bebas dari masalah dan tantangan. Ada semacam dalil diplomasi bahwa semakin dekat dan erat hubungan dua negara, semakin banyak masalah yang dihadapi,” ujar Presiden. (Sumber; Kompas,2,9,2010,DAY/EDN)