Jumat, 31 Desember 2010

Di Mana Monarki Itu? Mampukah Pemerintah Menghargainya

Oleh :Radhar Panca Dahana

Keistimewaan Yogyakarta adalah fakta dan keniscayaan yang terbukti sejak ratusan tahun sebelum republik ini berdiri. Wilayah itu diakui sebagai kerajaan vassal (dependent state) atau negara-bagian dengan otonomi tersendiri sejak masa VOC, Hindia Perancis, Hindia Belanda, hingga pemerintahan tentara pendudukan Jepang. Dekrit yang dikeluarkan Hamengku Buwono (HB) IX dan Paku Alam (PA) VIII lewat amanat 5 September 1945, yang mengintegrasikan kerajaan mereka di bawah kepemimpinan republik baru—yang mereka sendiri tak begitu mengenal tokoh- tokohnya—adalah sebuah keistimewaan sejarah yang tanpa preseden dan memiliki risiko politik serta militer tak remeh kala itu.

Dekrit itu seperti sebuah pembalikan sejarah dari kesultanan sendiri, yang 200 tahun sebelumnya justru memisahkan diri dari induknya, Mataram Solo. Maka, mungkin lebih dari sebuah kepantasan jika kemudian pemerintah nasional baru menempatkan keistimewaan wilayah itu dalam UU No 12/1948 yang pasal 5-nya menegaskan, ”Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, dan kesetiaan, dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu”.

Lalu UU No 3/1950 menebalkan posisi itu dengan pernyataan konstitusional tentang DIY bukanlah sebuah monarki (konstitusional) dan ia adalah sebuah daerah istimewa setingkat provinsi, bukan provinsi, di mana hukum dan politiknya berbeda terutama dalam hal kepala daerah serta wakil kepala daerah.

Keistimewaan demokratis

Yang lebih penting dari fakta historik-politik adalah kenyataan sikap dan integritas pemimpin kesultanan Yogyakarta sendiri yang sejak dini dengan sadar menempatkan diri dalam sebuah aturan ketatanegaraan baru (modern). Bukankah inisiatif dari HB IX sendiri yang menyerahkan kekuatan legislatifnya kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogya, 29 Oktober 1945? Bukankah atas inisiatif Sultan—karena kekacauan dan tumpang tindih birokrasi pemerintahannya kala itu—yang mereduksi kekuasaan eksekutif mutlaknya ke dalam lembaga collegial bestuur yang terdiri atas banyak komponen kepemimpinan?

Kenegarawanan yang demokratis Sultan saat itu telah membiarkan dirinya berdiri dan duduk setara tak hanya dengan kepala keresidenan (PA VIII), tetapi juga dengan pejabat kiriman pemerintah pusat, bahkan dengan tiga bupati yang tidak lain adalah bagian dari kawulanya. Tentu terasa menggelikan—dan tentu menghibur pikiran karikatural kita—jika ada pemimpin baru yang menafikan keistimewaan jiwa besar di balik sikap demokratis ini.
Keistimewaan yang bukan hanya memberi keanggunan dan respek tersendiri dalam sejarah politik (demokrasi) di negeri ini, tetapi juga dalam banyak hal menentukan berlangsung atau berdiri tidaknya republik ini sejak kemerdekaannya diproklamasikan.
Seperti Aceh yang begitu istimewa karena sumbangan jiwa dan material, emas rakyat yang antara lain dipakai untuk membeli pesawat negara Seulawah, Yogya pun tidak hanya memfasilitasi seluruh kebutuhan ibu kota pengasingan dari republik yang terusir, mengambil risiko tinggi keamanan rakyatnya, mengeluarkan tak kurang 5 juta gulden dari simpanan keraton.

Saat Mohammad Hatta bertanya apakah republik harus membayar utang itu, Sultan tak berkata apa-apa dan tak menagihnya, hingga ia tutup mata, hingga kekuasaan diwarisi anaknya. Politik nasional yang kemudian berkembang bukan hanya jadi reduksi atau penggerogotan sistematik dari keluhuran dan kearifan politik di atas, tetapi juga jadi semacam kealpaan historik yang membuat politik nasional tamak dan bebal dalam apresiasi batinnya.

Ia terasa sistematik lantaran hal itu terjadi berulang kali, sejak Soeharto mendirikan tetenger (tanda) dari Serangan Oemoem 1 Maret 1949, di mana ia menempatkan diri sebagai tokoh utama, menafikan peran Sultan yang justru jadi penggagas, pemberi perintah dan fasilitator dari serangan bersejarah itu.

Kenegarawanan lokalnya terasa melampaui kepemimpinan nasional saat ia tak mencegah pendirian tetenger itu, dan hanya menukas pendek, ”Biarlah jika ia menginginkan begitu”, saat Arifin C Noer, sutradara film Janur Kuning, memintanya mau menerima adegan di mana Soeharto duduk di kursi berlengan dua bersamanya. Faktanya, hanya Sultan yang duduk di kursi berlengan dua, dan Soeharto di bangku tanpa lengan.

Mananya yang monarkis dari kepemimpinan yang ditunjukkan HB IX yang rela menghentikan mobilnya bagi seorang wanita pedagang beras pasar Kranggan, membantunya menaikturunkan barang dagangan, mengantarnya, dan dimarahi sang pedagang karena dianggap minta bayaran lebih dari satu perak ketika Sultan menolak pemberian itu?

Mana yang monarkis dari Sultan yang biasa mengendarai sendiri mobilnya, tanpa pengawal, hingga ia ditilang polisi di Cirebon dalam perjalanan Yogya-Jakarta, hanya karena ia bertelanjang dada akibat udara panas? Pemimpin dengan singgasana sesungguhnya tidak di kemegahan istana, tapi di kerendahan jiwa publik yang mendukung dan harus ia bela. Dengan semua yang dimilikinya.(Kompas, Jumat, 3/12/2010)

Radhar Panca Dahana Budayawan

Kamis, 02 Desember 2010

Keamanan Nasional di Wilayah Perbatasan


Kepentingan pertahanan Negara di wilayah perbatasan ditinjau dari astra-gatra adalah sebagai berikut;Aspek Geografi, meliputi kebutuhan infrastruktur jalan penghubung, lapangan terbang, landasan Heli atau airstrip, sarana komunikasi yang memadai (sesuai persfektiv ancaman) untuk keperluan mendeteksi dan penindakan, dengan demikian perlu adanya peta yang akurat terkait wilayah perbatasan, baik untuk pembangunan maupun pertahanan.

Aspek Demografi, meliputi pengisian dan pemerataan penduduk, baik untuk kepentingan pembangunan wilayah dan juga pertahanan Negara, karena itu perlu ada suatu pengaturan distribusi penduduk serta perkuatannya dengan jalan mengirimkan transmigrasi ke wilayah perbatasan. Aspek Sumber Daya Alam, perlu dilakukan pemetaan potensi Sumber Daya Alam di wilayah perbatasan, baik untuk kepentingan pemanfaatannya maupun untuk melindunginya.

Aspek Ideologi, perlu di ketahui ideology seperti apa yang terdapat di wilayah tersebut, dan bagaimana mengembangkan serta mengelolanya sehingga ideology yang kuat adalah persatuan dan kesatuan NKRI serta diharapkan mampu menangkal pengaruh dari ideology asing.

Aspek Politik, meliputi pemahaman system politik yang ada dan berkembang di wilayah tersebut, dan upaya mensosialisasikan politik nasional dan mengupayakan terselenggaranya aparat pemerintahan yang cakap dan sebagai patner dan pelopor di wilayah perbatasan.

Aspek Ekonomi, meliputi konsep dan pelaksanaan pembangunan ekonomi di wilayah perbatasan dengan tujuan agar suatu saat dapat menjadi bagian dari logsitik wilayah.
Aspek Sosial Budaya, meliputi peningkatan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan, pelayanan umum, serta meningkatkan nilai-nilai lokal menjadi suatu budaya lokal yang mampu menahan pengaruh budaya asing.Aspek Pertahanan, meliputi pembangunan pos-pos perbatasan, pembentukan Sabuk Pengamanan dan menggalang kemampuan pembinaan wilayah yang memadai serta perangkat komando yang cakap.