Kamis, 11 Agustus 2011

Dari Perhimpunan ke Komunitas



Oleh : Marty M Natalegawa  
Kemarin, 8 Agustus 2011, negara anggota ASEAN merayakan 44 tahun berdirinya ASEAN. Bagi Indonesia, perayaan kali ini sangat istimewa sebab Indonesia kini Ketua ASEAN. Evolusi ASEAN hingga menjadi seperti sekarang ini—organisasi kawasan yang diakui dunia sebagai salah satu yang paling berhasil—tak terlepas dari politik luar negeri Indonesia.
Sejak awal Indonesia merasa bertanggung jawab untuk berkontribusi nyata: demi kepentingan nasional, pemberdayaan ASEAN akan dapat mengatasi berbagai tantangan dan memanfaatkan berbagai peluang dari masa ke masa. Seluruh tonggak perjalanan ASEAN sejak didirikan tak terlepas dari perkembangan nasional Indonesia. Indonesia senantiasa berupaya agar kondisi di lingkungan kawasan terdekat, yaitu ASEAN, berjalan selaras dengan perkembangan di Tanah Air.
Pada 1976 di Bali pada masa keketuaan Indonesia, ASEAN telah menyepakati Treaty of Amity and Cooperation (TAC) dan Bali Concord yang menandai kerja sama politik dan keamanan di ASEAN. Khususnya penyelesaian konflik secara damai, yang dibutuhkan sebagai prasyarat bagi pembangunan ekonomi yang sedang diupayakan negara-negara ASEAN. Bali Concord dan TAC merupakan mekanisme regional untuk menumbuhkan rasa percaya dan kerja sama di kawasan.
Bali Concord II pada 2003 kembali menegaskan kepemimpinan Indonesia dengan adanya kesepakatan pembentukan Komunitas ASEAN pada 2015. Atas inisiatif Indonesia-lah, Komunitas ASEAN yang akan dicapai tak hanya terdiri dari komunitas ekonomi, tetapi juga dua pilar lain: politik keamanan dan sosial budaya.
Penekanan terhadap perlunya pengembangan kapasitas ASEAN di bidang demokratisasi dan hak asasi manusia, misalnya, selaras dengan demokratisasi yang bergulir di Indonesia pada saat itu. Bahkan, ASEAN sudah memiliki kerangka institusional untuk memajukan demokratisasi ketika akhir-akhir ini Afrika Utara dan Timur Tengah dilanda gejolak keamanan sebagai akibat dari krisis politik.

Kerja sama lebih tinggi
Pada tahun 2011 ini Indonesia kembali mengambil inisiatif membawa ASEAN di tingkat kerja sama yang lebih tinggi: menetapkan visi ASEAN setelah 2015 melalui tema ”Komunitas ASEAN dalam komunitas global bangsa-bangsa”. Berdasarkan visi itu pada tahun 2022 ASEAN secara kelompok akan berkontribusi lebih besar dalam mengatasi berbagai masalah global.
Sebagaimana halnya pada 1976 dan 2003, Indonesia kembali memastikan adanya keselarasan antara perkembangan di ASEAN dan perkembangan di Indonesia. Selaras dengan semakin meningkatnya peran Indonesia di tingkat global, ASEAN pun diharapkan berperan lebih besar menyelesaikan masalah global.
Seluruh kontribusi Indonesia semata-mata dilakukan agar ASEAN dapat senantiasa beradaptasi dengan kondisi dan tantangan di kawasan maupun global. Bukan hanya untuk dapat menyelesaikan tantangan yang saat ini dihadapi, juga menghadapi tantangan ke depan.
Maka, selama keketuaannya pada 2011 ini Indonesia memiliki tiga prioritas yang ingin dicapai. Pertama, memastikan bahwa tahun 2011 ditandai oleh kemajuan yang signifikan dalam pencapaian Komunitas ASEAN. Kedua, memastikan terpeliharanya tatanan dan situasi di kawasan yang kondusif bagi upaya pencapaian pembangunan, antara lain melalui East Asia Summit (EAS) yang dimotori oleh peran sentral ASEAN, khususnya dengan menjabarkan visi Indonesia mengenai masa depan EAS. Ketiga, menggulirkan pembahasan mengenai visi ”ASEAN setelah 2015”: peran masyarakat ASEAN dalam masyarakat dunia.
Selama tujuh bulan keketuaan Indonesia di ASEAN pada 2011 ini terdapat pengakuan adanya kemajuan dalam tiga prioritas yang ditetapkan Indonesia.
Di bawah prioritas pertama terkait isu-isu internal ASEAN telah dicapai perkembangan nyata. Terkait isu sengketa perbatasan Kamboja-Thailand, inisiatif dan prakarsa Indonesia mendorong penyelesaian sengketa perbatasan secara damai telah disepakati oleh kedua negara, bahkan dikuatkan oleh kepala negara/pemerintahan ASEAN.
Pada saat yang sama terdapat dukungan Dewan Keamanan PBB dan Mahkamah Internasional terhadap upaya yang dilakukan Indonesia selaku Ketua ASEAN dalam menyelesaikan permasalahan itu. Di satu sisi, hal ini membuktikan kepercayaan dunia internasional terhadap upaya ASEAN; pada saat yang sama merupakan amanah yang tak kecil untuk secara sungguh-sungguh dapat dilaksanakan.
Penyelesaian secara damai masalah itu setidaknya membuktikan adanya mekanisme internal ASEAN dalam upaya menyelesaikan konflik internal yang selama ini selalu menjadi bahan pertanyaan banyak pihak.
Perkembangan yang signifikan juga dapat dilihat dari upaya ASEAN menciptakan kawasan bebas senjata nuklir. Setelah lebih dari 10 tahun tak ada perkembangan, bahkan cenderung stagnan dalam proses perundingan, di bawah keketuaan Indonesia telah disepakati adanya posisi bersama ASEAN dalam isu tersebut dan disepakatinya proses konsultasi langsung dengan negara pemilik senjata nuklir. Ini akan memudahkan jalan bagi upaya kita semua mendorong negara pemilik nuklir dapat segera mengakses traktat kawasan bebas senjata nuklir di kawasan Asia Tenggara.
Di bawah prioritas kedua, perkembangan yang signifikan juga telah dicapai untuk memastikan bahwa kondisi kawasan yang lebih luas—Asia dan Pasifik—lebih kondusif bagi upaya pencapaian pembangunan di kawasan.
Kesepakatan Guidelines of the Declaration on the Conduct of Parties to the South China Sea setelah proses perundingan sejak 2005 merupakan salah satu langkah maju. Kesepakatan ini menunjukkan adanya keinginan yang kuat bagi negara yang memiliki sengketa perbatasan di Laut China Selatan untuk bekerja sama dan meninggalkan cara kekerasan dalam menyelesaikan masalah di wilayah itu.
Di bawah prioritas ketiga, Indonesia akan membawa ASEAN pada kerja sama yang lebih tinggi lagi. Pada KTT ke-19, ASEAN akan mengesahkan sebuah deklarasi yang signifikan, Bali Concord III, yang memberikan semacam rencana sasaran (roadmap) bagi adanya sebuah platform bersama ASEAN dalam berbagai isu global pada 2022.
Diharapkan dengan pengesahan itu, ASEAN dapat berkontribusi lebih besar dalam menciptakan keamanan dan perdamaian dunia; ASEAN dapat berkontribusi lebih besar dalam mendorong nilai-nilai demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik; ASEAN dapat berada di garis terdepan dalam mendorong kemakmuran bersama.
Ketiga prioritas itu tentu tidak akan berarti tanpa ASEAN yang yang bertumpu kepada masyarakat, yang bekerja bagi masyarakat. Bagi Indonesia, di atas segalanya, yang terpenting adalah bagaimana ASEAN dapat menjadi organisasi yang bermanfaat bagi seluruh rakyat di ASEAN, dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Marty M Natalegawa Menteri Luar Negeri RI(kompas /9/8/2011)

Kamis, 02 Juni 2011

Negara Kepulauan, Memelihara Keserasian Lingkungan


Indonesia diakui dunia sebagai negara kepulauan (UNCLOS '82), dengan pulau-pulaunya yang tersebar horizontal dan vertikal dari Rondo (Sabang) hingga ke Komoran (Merauke) dan  dari  Sebatik  (Nunukan)  hingga  Dana  (Rote);   serta melintang  dari  Sekatung  (Natuna)  hingga  Selaru  (Yamdena) dan dari Miangas  (Sangir Talaud)  hingga  Enggano  (Barat Sumatera).  Dari penelitian dan penghitungan oleh Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL, diperoleh sebanyak 92 (sembilan puluh dua) pulau-pulau terdepan yang strategis, karena pulau-pulau tersebut berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga dan laut lepas.
 
Pulau-pulau  tersebut  secara  hukum internasional merupakan hak   milik   syah  Republik   Indonesia  (mewarisi bekas tanah jajahan Belanda),  namun   dari   sisi  pertahanan negara, kita harus memelihara dan mensejahterakan masyarakatnya (pada pulau-pulau yang     berpenghuni)    melalui pelayanan   kesehatan,    pendidikan dan ekonomi.  Agar Indonesia tidak kehilangan pulau-pulaunya baik secara ekonomi, sosial ataupun politik, maka  Departemen Pertahanan RI mempunyai kebijakan bagi pengamanan pulau-pulau terdepan melalui :

      Berdasarkan  Perpres Presiden RI No. 78  tentang  Pengelolaan Pulau –Pulau Kecil Terluar,  terdapat  92  pulau – pulau kecil terluar,   yang   nilainya sangat strategis  dan sebagian besar  berbatasan langsung dengan negara tetangga, dari 92  pulau – pulau kecil terluar  tersebut terdapat 13 pulau yang perlu mendapat perhatian khusus, yaitu : P. Rondo  , P. Berhala, P. Nipa , P. Sekatung, P. Marore, P. Miangas, P. Marampit , P. Fani, P. Fanildo,  P. Bras, P. Batek,     P. Dana dan P. Sebatik.  Pulau-pulau terluar itu kini,  secara fisik di jaga oleh prajurit TNI khususnya dari Marinir. Misalnya di P. Nipa.  telah ditempatkan 34 (tiga puluh empat) orang Marinir dari satgas pam pengamanan pulau terluar dan 6 (enam) orang personel Posal dari Lanal Batam. Kebutuhan akan air tawar masih tergantung kiriman dari darat atau air hujan.  Kebutuhan listrik masih tergantung dari diesel pembangkit tenaga listrik.  Terkait dengan kesejahteraan prajurit di Tapal Batas;

Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Madya Agus Suhartono berjanji menuntaskan pembahasan tunjangan bagi para prajurit penjaga 12 pulau terluar di Tapal Batas . ”Hal ini menjadi prioritas dalam 100 hari pertama kepemimpinan saya. Semoga tunjangan ini mulai dapat diterapkan bulan Januari 2010,” ujar Agus seusai upacara serah terima jabatan Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) dari Laksamana Tedjo Edhy Purdijatno kepada Laksamana Madya Agus Suhartono di Markas Komando Armada RI Kawasan Timur, Dermaga Ujung, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (13/11).

Peningkatan kesejahteraan prajurit menjadi salah satu dari lima prioritas Panglima TNI. Empat prioritas lainnya, menurut Agus, pemeliharaan alat utama sistem persenjataan (alutsista), kesiapsiagaan operasional, pendidikan, dan latihan, serta zero accident atau meminimalisasi kecelakaan melalui optimalisasi perawatan alutsista.

Selain itu, Agus Suhartono berjanji untuk menuntaskan proses pembelian dua kapal selam yang saat ini sudah memasuki tahap akhir. Menurut dia, usulan pembelian dua kapal selam senilai 700 juta dollar AS atau sekitar Rp 7 triliun sudah diterima Departemen Pertahanan sejak beberapa bulan lalu.

”Kami membutuhkan tambahan kapal selam yang minimal berkualitas setara dengan negara tetangga, Malaysia, atau bahkan lebih baik. Hal ini penting untuk meningkatkan posisi tawar dalam menghadapi setiap kasus sengketa kewilayahan,,” khususnya wilayah perbatasan ungkap Agus, yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Asisten Perencanaan KSAL.

Saat ini Indonesia mempunyai dua kapal selam, yakni KRI Cakra dan KRI Nanggala. KRI Cakra baru saja diservis di Korea Selatan, sedangkan KRI Nanggala menunggu tersedianya dana untuk menjalani proses serupa. Meski demikian, kualitas keduanya tertinggal dibandingkan dengan kapal selam kelas Scorpene buatan Perancis yang dibeli Malaysia, beberapa waktu lalu. (Sumber: Wilhan, Kompas,RIZ, 14/11/2009)

Selasa, 08 Maret 2011

Membangun Kekuatan Diplomasi Bilateral


Oleh :  Rakarya Sukarjaputra

ASEAN menjadi pijakan utama politik luar negeri Indonesia hingga saat ini. Peran Indonesia dalam organisasi regional itu sangat menentukan sehingga kalangan diplomat dari luar ASEAN kerap menyebut Indonesia-lah penggerak utama ASEAN. Pujian banyak kalangan dari luar ASEAN bukan sekadar penghibur semata. Peran Indonesia dalam mendorong lahirnya Piagam ASEAN hingga terbentuknya badan hak asasi manusia ASEAN, misalnya, memang sangat menonjol. Ukuran-ukuran ”ideal” bermasyarakat, seperti demokrasi dan penghormatan sekaligus perlindungan hak asasi manusia, bisa masuk Piagam ASEAN, itu karena dorongan sangat kuat Indonesia.

Akan tetapi, harus diakui, pujian sekaligus permintaan kalangan dari luar ASEAN yang meminta Indonesia selalu ”memimpin” ASEAN itu menjadi semacam beban yang di luar sadar telah mengurangi kemampuan bergerak Indonesia. Terlebih lagi, ASEAN mempunyai target yang harus segera dikejar untuk bisa diwujudkan, yaitu Komunitas ASEAN 2015. Bisa dibayangkan, banyak sekali tenaga dan pemikiran difokuskan ke proses pembangunan Komunitas ASEAN tersebut.

ASEAN, harus diakui, sudah berhasil ”mengikat” negara-negara kunci di dunia untuk berinteraksi dengan organisasi regional ini, yang secara tidak langsung juga menjadi pintu masuk Indonesia untuk berhubungan dengan negara-negara kunci tersebut. Namun, pada praktiknya, interaksi bilateral Indonesia dengan sejumlah negara kunci itu masih jauh dari potensi yang tersedia. Tanpa sadar, Indonesia seperti terbawa pada arus kuat diplomasi multilateral, baik di ASEAN, APEC, maupun G-20, di mana Indonesia menjadi salah satu anggotanya. Arus kuat itu cenderung membawa Indonesia semakin jauh dari memanfaatkan kekuatan diplomasi bilateral.

Dampak dari melemahnya kekuatan diplomasi bilateral itu tecermin dalam kemampuan Indonesia untuk memanfaatkan peluang-peluang baru yang terbuka luas pada era informasi global yang sangat terbuka saat ini. Ketika banyak negara berkembang lainnya giat memanfaatkan peluang yang terbuka pada kekuatan-kekuatan ekonomi potensial baru, seperti di Amerika Latin, negara-negara Eropa Timur, juga negara-negara Eropa Barat yang selama ini kurang mendapat perhatian, Indonesia cenderung masih melewatkan peluang-peluang itu. Akibatnya, peningkatan investasi, dari maupun ke Indonesia, dan volume ekspor Indonesia belum menunjukkan banyaknya pengembangan pasar baru.

Ketidaksiapan dalam negeri

Penguatan diplomasi bilateral antara Indonesia dan suatu negara memang memerlukan sebuah komitmen kuat yang didukung oleh kesiapan, kemauan, dan kemampuan berbagai unsur di dalam negeri. Apalah artinya sebuah komitmen peningkatan hubungan bilateral dibuat jika unsur-unsur di dalam negeri tidak bisa memenuhi komitmen-komitmen tersebut.

Persoalan itulah yang masih kerap terjadi. Antusiasme sejumlah pengusaha dari berbagai negara untuk berinvestasi di Indonesia, misalnya, tidak jarang terbentur oleh ketidaksiapan unsur-unsur di dalam negeri untuk menyambut dengan sigap dan cerdas minat para investor tersebut. Masalah ini bukan rekaan semata. Faktanya, ada beberapa duta besar Indonesia di negara lain terpaksa kembali ke Indonesia untuk langsung mengurus kemandekan investasi para pengusaha dari negara tempat dia bertugas. Itu terpaksa dilakukan karena pengaduan masalah melalui jalur-jalur komunikasi seperti telepon, e-mail, dan sejenisnya kurang membuahkan hasil.

Begitu juga minat wisatawan asing dari sejumlah negara untuk berkunjung ke Indonesia kurang direspons dengan pembukaan rute penerbangan baru, misalnya. Padahal, negara tetangga kita, Malaysia, rajin membuka rute-rute penerbangan baru untuk meningkatkan kunjungan wisatawan asing ke negerinya. Rute-rute penerbangan baru itu hanyalah salah satu hasil dari kekuatan sebuah diplomasi bilateral.

Entah terkait secara langsung atau hanya kebetulan semata, yang jelas, ketidaksiapan di dalam negeri itu berjalan beriringan dengan kurang dimanfaatkannya kekuatan diplomasi bilateral.

Memang tidak ada salahnya banyak terlibat dalam diplomasi multilateral. Namun, yang penting, jangan sampai diplomasi multilateral itu malah menghambat kepentingan nasional Indonesia.

Di bidang ekonomi, misalnya, Indonesia gigih mendorong agar hubungan ekonomi antara negara-negara di ASEAN dan mitra-mitranya dilakukan lebih dahulu melalui kebersamaan di ASEAN, khususnya dalam bentuk kerja sama perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA). Oleh karena itulah ASEAN rajin membuat kesepakatan FTA dengan mitra-mitra dialognya, misalnya AS, Uni Eropa, Jepang, China, Korea Selatan, India, dan Australia.

Faktanya, upaya mewujudkan kerja sama ekonomi dengan ASEAN sebagai sebuah blok ternyata jauh lebih rumit. Meskipun telah menjadi sebuah ”organisasi baru” dengan status hukum yang jelas setelah adanya Piagam ASEAN, di mata banyak negara lain ASEAN belumlah menjadi sebuah organisasi regional yang solid. Uni Eropa, contohnya, sangat hati-hati untuk mengaktualisasikan FTA dengan ASEAN. Pasalnya, masih banyak negara anggota ASEAN yang mengabaikan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, yang merupakan salah satu pertimbangan bagi Uni Eropa dalam pembuatan sebuah FTA. Keberadaan Myanmar di ASEAN dengan sejumlah permasalahannya masih menjadi ”nilai minus” ASEAN di mata Uni Eropa.

Menyadari adanya kendala tersebut, negara-negara anggota ASEAN seperti Singapura, Malaysia, juga Vietnam dan Thailand rajin menempuh jalur bilateral untuk segera mewujudkan FTA dengan Uni Eropa sebagai sebuah blok atau negara-negara anggota Uni Eropa sebagai mitra ekonomi langsung. Bagaimana dengan Indonesia? Kita cenderung menunggu FTA ASEAN-Uni Eropa diwujudkan dan seperti kurang bersemangat menggunakan pendekatan bilateral untuk kepentingan nasional kita sendiri.

Memanfaatkan multipolarisme

Di tengah kondisi dunia yang saat ini multipolar, pemanfaatan kekuatan diplomasi bilateral bisa dipandang sebagai upaya untuk memanfaatkan multipolarisme itu. Ketika krisis keuangan menjalar ke seluruh dunia, kita bisa melihat kekuatan-kekuatan ekonomi ”tradisional”, seperti Uni Eropa dan AS, ternyata paling menderita terkena dampak krisis tersebut. Sebaliknya, banyak negara di Asia dan Amerika Latin tidak banyak terkena dampak krisis tersebut.

Hal itu semestinya menyadarkan para pengambil keputusan di Indonesia untuk lebih serius ”menggarap” potensi yang tersedia di negara-negara yang jarang, bahkan mungkin belum pernah dikunjungi langsung oleh seorang presiden Indonesia.

Ibarat membuka ladang persawahan baru, memang dibutuhkan kerja lebih keras dan tidak mudah ketimbang menanam padi di areal persawahan yang sudah ada. Justru pola pikir yang lebih khawatir terhadap berbagai kesulitan yang akan ditemukan, ketimbang keuntungan jangka panjang yang akan diperoleh, itulah yang harus dihilangkan.

Waktu akan menunjukkan, apakah kita bisa memanfaatkan peluang dunia yang multipolar ini atau tetap terbelenggu pada hubungan dengan kekuatan-kekuatan ”tradisional”.

Pemanfaatan kekuatan diplomasi bilateral sesungguhnya juga akan berdampak positif pada peningkatan kemampuan para diplomat Indonesia dalam perundingan-perundingan bilateral. Indonesia memerlukan banyak diplomat andal untuk diplomasi bilateral dan mulai menyeimbangkan kemampuan para diplomatnya. Selama ini ada kecenderungan para ”jagoan” diplomat umumnya ditempatkan pada diplomasi-diplomasi multilateral (Kompas/9/1/2010

Bertetangga Yang Baik Dengan Sikap Yang Tegas, Itu Perlu

Tulisan ini dimuatkan kembali, untuk mengingatkan bahwa bertetangga yang baik itu perlu, tetapi mempunyai sikap dan pandangan yang tegas itu juga sangat perlu; redaksi.

James Luhulima

Cara Pemerintah Indonesia menanggapi ”krisis” dengan Malaysia menyusul penangkapan dan penahanan tiga anggota patroli pengawas perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan oleh Polisi Diraja Malaysia di Johor, Malaysia, dua pekan lalu, membuat banyak kalangan di Indonesia yang kurang puas dan berupaya melampiaskan kemarahan kepada Malaysia.Pasalnya, menurut laporan yang diterima, ketiga anggota patroli pengawas perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan itu ditahan ketika mereka tengah menggiring lima kapal nelayan Malaysia yang mencuri ikan di perairan Indonesia.

Menurut Bambang Nugroho, Kepala Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Pontianak, ketiga anggota patroli itu menjalankan tugas di wilayah Indonesia. Oleh karena itu, tidak ada dasar bagi mereka untuk menangkap dan menahan mereka.
Bambang mengisahkan, ”Kapal pengawas itu berhasil menangkap lima kapal berbendera Malaysia yang mencuri ikan (13 Agustus 2010 malam). Kapal-kapal Malaysia itu digiring ke Batam. Mereka kemudian dihadang oleh polisi perairan Malaysia. Polisi Malaysia menghadang dan memberi dua kali tembakan peringatan.Tiga anggota patroli pengawasan itu dibawa ke Johor, Malaysia, sedangkan tujuh awak kapal Malaysia ditahan di Kepolisian Perairan Batam. Penangkapan tiga anggota patroli pengawasan Indonesia di wilayahnya sendiri sulit diterima, apa pun alasan yang dikemukakan oleh Malaysia.

Dalam keadaan seperti itu, banyak kalangan di Indonesia yang berharap Pemerintah Indonesia menanggapinya dengan serius karena Polisi Diraja Malaysia diduga memasuki wilayah Indonesia secara tidak sah dan menangkap anggota patroli pengawas Indonesia. Dan, memang sudah seharusnya Indonesia langsung memprotes keras tindakan Polisi Diraja Malaysia itu, apa pun alasan yang dikemukakannya. Protes keras terhadap tindakan Polisi Diraja Malaysia sangat wajar untuk dilakukan oleh Indonesia, dan itu juga merupakan bagian dari tindakan diplomasi serta sama sekali bukan bagian dari suatu tindakan yang bermusuhan. Dengan memprotes keras, dapat diartikan Indonesia memaksa Malaysia untuk dengan segera menjelaskan mengapa krisis itu terjadi, sama sekali tidak dilandasi oleh rasa permusuhan.

Pada tahun 1984, Indonesia pernah memprotes keras Papua Niugini, yang merupakan salah satu negara tetangga dan negara sahabat. Protes keras itu dilakukan atas terjadinya penganiayaan terhadap beberapa anggota tim verifikasi Indonesia oleh sekelompok pelintas batas Irian Jaya (kini Papua) di Black Water Camp, Vanimo, Papua Niugini. Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja (waktu itu) keesokan harinya langsung memprotes keras Papua Niugini atas ketidakmampuan negara itu melindungi keamanan tim verifikasi Indonesia.
Bahkan, pada tahun 1986, Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja pun secara diplomatis pernah menyatakan keberatan Indonesia kepada Singapura yang menerima kunjungan Presiden Israel Chaim Herzog (waktu itu). Saat itu, Mochtar menyebut, Singapura tidak peka terhadap kebijakan politik negara-negara ASEAN terhadap Israel, termasuk Indonesia. Namun, di akhir pernyataannya, Mochtar Kusumaatmadja menambahkan kata-kata bahwa kunjungan itu merupakan masalah bilateral antara Singapura dan Israel serta merupakan hak Singapura sebagai negara merdeka berdaulat untuk mengadakan hubungan dengan negara mana pun.

Pemerintah tidak bereaksi

Alih-alih bereaksi, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto hanya mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginginkan kasus tersebut diselesaikan secara baik-baik dan mengedepankan upaya diplomasi. Menurut Djoko, instansi terkait sedang berusaha menyelesaikan masalah tersebut. Sikap Pemerintah Indonesia yang berupaya berkepala dingin dalam mengatasi krisis dengan Malaysia sesungguhnya juga dapat dipahami. Bagaimana hubungan kedua negara yang sempat terputus pada tahun 1965 dan membaik kembali pada tahun 1967 terlalu penting untuk dipertaruhkan. Bagaimanapun ASEAN, di mana Malaysia tergabung di dalamnya, adalah soko guru politik luar negeri Indonesia.

Namun, diam saja juga keliru. Pemerintah Indonesia, setidak-tidaknya Menlu, harus memprotes Malaysia jika tidak ingin memprotes keras. Dengan demikian, kemarahan banyak kalangan di Indonesia kepada Malaysia dapat diredam. Pemerintah Indonesia harus siap untuk bertindak tegas karena gesekan dengan Malaysia pasti akan terjadi lagi di masa depan. Seperti yang dikemukakan oleh Menlu Malaysia Anifah Aman, ”Gesekan dengan Indonesia pasti akan terjadi lagi. Sebagai negara yang bertetangga, pasti akan banyak masalah muncul di antara kedua negara.”

Masalah pasti akan muncul, tinggal terpulang kepada kedua negara bertetangga untuk menjaga bagaimana agar hubungan baik di antara kedua negara tetap terjaga. Namun, janganlah itu dianggap sebagai Indonesia tidak boleh bersikap tegas kepada Malaysia. Sikap tegas Indonesia itu diperlukan asalkan dilakukan secara terukur dan lewat jalur-jalur diplomatik. (Kompas/28/8/2010)