Senin, 19 Agustus 2013

Pesan Damai dari Aplal untuk Indonesia dan Timor Leste | WilayahPerbatasan.com

Pesan Damai dari Aplal untuk Indonesia dan Timor Leste | WilayahPerbatasan.com

Oleh: Frans Sarong
Membebaskan perkampungan dari keterisolasian sekaligus mendorong peningkatan kesejahteraan warga sekitarnya merupakan agenda standar kegiatan Tentara Manunggal Membangun Desa. Namun, TMMD yang dipusatkan di Aplal ternyata berperan plus karena mereka sekaligus juga mengembuskan pesan perdamaian untuk Indonesia dan Timor Leste!
Aplal merupakan perkampungan terpencil di Desa Tasinifu, Kecamatan Mutis, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Perkampungan itu tumbuh di sekitar tapal batas NTT-Oekusi, wilayah enklave Timor Leste. Posisinya sekitar 70 kilometer sebelah barat Kefamenanu, kota Kabupaten TTU. Dari Kota Kupang jaraknya sekitar 250 km melalui jalan melengkung, yakni ke arah timur menuju Kefamenanu, lalu menyusur tepi utara TTU ke arah barat hingga Aplal. Lintasan terakhir ini merupakan bagian dari tapal batas TTU-Oekusi yang pamjang totalnya mencapai 114,9 km.
Pada Senin (3/6) sejak menjelang petang, Aplal tiba-tiba berubah riuh. Ribuan warga, sebagian berpakaian adat, memadati lapangan di tepi kampung. Menariknya, sekitar 450 orang di antaranya adalah perwakilan warga asal sejumlah desa di sekitar tapal batas wilayah Oekusi, seperti Desa Mahata, Malelat, Lela Ufe, dan Banafi. Mereka menghadiri penutupan kegiatan TMMD di Aplal bersama warga setempat, yang umumnya berindukkan leluhur, suku, budaya, dan bahasa yang sama.
Dengan menumpang lima truk, kedatangan warga Oekusi ke Aplal diterima secara adat sejak di pintu perbatasan, juga setiba di tepi lapangan. Kibaran Merah Putih berdampingan dengan bendera kebangsaan Timor Leste di ujung depan massa adalah simbol kebersamaan semangat saling menghargai sekaligus menjadi peneguh rasa kekerabatan mereka.
Setelah acara makan bersama menjelang malam, mereka membaur seraya melepaskan rasa kangen. Bahkan, hingga larut malam mereka membaur dalam tarian bonet, tarian kegembiraan khas masyarakat sekitar tapal batas setempat. Tidak hanya itu. Melalui kebersamaan tersebut mereka mengumandangkan pesan perdamaian untuk dua negara bertetangga. Itu ditegaskan melalui spanduk khusus di tepi barat lapangan. Lengkap dengan logo bendera kebangsaan kedua negara, melalui spanduk itu tertulis jelas, ”Dari Tengah Pulau Timor Bagian Utara, Kami Pancarkan Perdamaian untuk Indonesia dan Timor Leste!”
”Kami warga sekitar tapal batas Aplal, sejauh ini rukun-rukun saja, saling berkunjung terkait urusan adat atau urusan keluarga lainnya. Mudah-mudahan kerukunan kami menjadi contoh bagi warga sekitar tapal batas di titik lainnya,” tutur Alexio Tefa, Komandan Perbatasan Pos Timor Leste di Mahata, saat penutupan TMMD di Aplal.

Dua misi utama

Secara nasional, TNI tahun ini menggelar TMMD ke-90, serempak di 61 kabupaten/kota, termasuk TTU. Khusus di TTU, kegiatan yang hanya didukung dana Rp 500 juta berhasil membuka jalan rintisan awal sepanjang 8 km dilengkapi 13 deker. Lainnya, membangun dua pusat pelayanan kesehatan terpadu dan merenovasi satu rumah ibadah.
Dandim TTU Letkol Eusebio Hornai Rebelo mengakui, kegiatan TMMD di wilayahnya itu mengusung dua misi utama. Pertama, mengatasi keterisolasian Aplal sekaligus mendorong kesejahteraan masyarakat sekitar tapal batas yang merupakan beranda depan NKRI. ”Misi mulia lainnya adalah mempererat kekerabatan warga dari kedua negara di sekitar tapal batas. Kebetulan mereka umumnya dari rumpun keluarga yang sama,” kata Rebelo yang adalah putra kelahiran Oekusi, Timor Leste.
Khusus jalan rintisan awal sepanjang 8 km, antara lain menghubungkan Aplal dengan persawahan Seko. Didukung areal potensial seluas lebih kurang 600 hektar, dan baru sekitar 325 hektar yang sudah diolah. Lokasi hamparan nyaris menyentuh tapal batas dengan wilayah negara tetangga. Sejauh ini tidak sedikit gabah yang dihasilkan dari persawahan itu ”lolos” ke Oekusi karena jaraknya lebih dekat daripada harus diangkut ke Aplal melalui jalan setapak sejauh 8 km.
”Setelah jaringan jalan Aplal-Seko dibuka sangat diharapkan persawahan bisa diolah lebih maksimal. Kami akan terus mendorong dan membantu agar para petani menggunakan benih unggul dan pemupukan secara teratur. Berbagai kegiatan itu merupakan bagian dari upaya TNI meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar tapal batas ini,” ujar Rebelo.
Konon, seiring pembukaan jalan rintisan awal Aplal-Seko atau hingga menyentuh tapal batas ternyata hal yang sama juga dilakukan warga Oekusi. Mereka juga membuka jalan baru hingga tapal batas ke arah Aplal. ”Kalau jaringan jalannya sudah memadai, kami bisa lebih sering saling berkunjung,” tutur Kepala Desa Lela Ufe (Oekusi) Jose Polo yang juga hadir saat penutupan TMMD di Aplal.
”Dengan jaringan jalan baru itu, selain memudahkan kami saling berkunjung, juga akan sangat membantu para petani mengangkut hasil padi dari sawah di Seko ke Aplal dengan truk atau pikap,” kata Frederikus Olin (68), tokoh masyarakat Tasinifu di Aplal. Seperti di daerah lainnya, TMMD Aplal telah membuahkan hasil konkret. Suasana penutupan—juga saat pembukaan sebulan sebelumnya— kondusif dan unik karena dihadiri sesamanya dari Timor Leste. Yang kini ditunggu kelanjutannya adalah perhatian Jakarta untuk segera membenahi jaringan jalan negara sekitar tapal batas sebagai beranda depan NKRI.
”Sudah sejak lama kami mengusulkan perbaikan jaringan jalan sekitar tapal batas ini. Nyatanya, hingga jenggot saya berubah warna jadi putih semuanya Aplal dan sekitarnya tetap terisolasi karena jaringan jalannya tetap buruk,” kata Frederikus Olin. Pemisahan Timor Leste dari NKRI meninggalkan tapal batas sepanjang 280 km. Hingga kini, sebagian besar jaringan jalannya masih berupa jalan tanah berbatu dan berlubang-lubang sehingga hanya bisa dilalui kendaraan bergardan ganda. Itu semua adalah potret beranda depan NKRI yang terabaikan!( Kompas 17 Juli 2013)

Senin, 12 Agustus 2013

Penuntasan Kemiskinan di Perbatasan, Masih Bingung Dari Mana Mulainya? | WilayahPerbatasan.com

Penuntasan Kemiskinan di Perbatasan, Masih Bingung Dari Mana Mulainya? | WilayahPerbatasan.com

Untuk melihat sosok desa di perbatasan bisa kita ambilkan Desa Labang, Kecamatan Lumbis Ogong, Kabupaten Nunukan yang merupakan    salah satu kawasan perbatasan perbatasan RI-Malaysia di wilayah Provinsi Kalimantan Utara.  Keterbatasan infrastruktur jalan, transportasi dan komunikasi menjadikan daerah ini terisolir dan biaya tinggi untuk bisa berkunjung ke daerah tersebut.


Kecamatan Lumbis Ogong terdiri dari 49 desa yaitu Desa Batung, Bokok, Bulu Laun Hilir, Bulu Laun Hulu, Bulu Mengelom, Duyan, Jukup, Kabungalor, Kalam Buku, Kalisun, Kuyo, Labang, Labuk, Lagas, Langgason, Lepaga, Limpakon, Linsayung, Long Bulu, Mamasin, Nan Sapan, Nantukidan, Ngawol, Paluan, Panas, Payang, Salan, Samunti, Sanal, Sedalit, Semata, Sibalu, Sinampala I, Sinampala II, Sumantipal, Sumentobol, Sungoi, Suyadon, Tadungus, Tambalang Hilir, Tambalang Hulu, Tantalujuk, Tantu Libing, Tau Lumbis, Tetagas, Tukulon, Tumatalas, Ubel Alung dan Desa Ubel Sulek.
Seluruh desa tersebut tidak mempunyai akses jalan darat  termasuk dari ibu kota kecamatan  sampai dengan desa desanya khususnya Desa Labang dan Desa Sumantipal. ( Termasuk salah satu OBP outstanding Boundary Problem RI-Malaysia). Saat ini, masyarakat Lumbis Ogong dapat memanfaatkan sarana komunikasi seiring dengan selesainya pembangunan 1 (satu) BTS (base transceiver station) di Desa Samunti, sehingga desa-desa disekitar Desa Binter yang menjadi pusat pemerintahan Kecamatan Lumbis Ogong dapat menikmati telepon celuler untuk berhubungan dengan sanak saudara di luar daerah.  Kalau saja pemerintah bisa menambah 3 BTS lagi di  Desa Labang, Desa Panas dan Desa Simantipal. Maka wilayah ini akan bisa berkomunikasi dengan saudaranya di nusantara.
Selama ini banyak program-program pemerintah yang diberikan di wilayah perbatasan menjadi terbengkelali dan rusak, karena memang melalui jalur birokrasi panjang. Misalnya bantuan peralatan akses komunikasi dari Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo, bayangkan dari Jakarta), maupun solar cell dalam beberapa bulan telah rusak karena pemberian bantuan ini sipatnya adhoc serta tidak dibarengi pelatihan kepada warga sekitar untuk perbaikan ataupun penggantian alat sparepart-nya. Mereka datang pasang bagikan dan pergi. Begitu juga program-program Kementerian/Lembaga lainnya. Mereka datang-pasang dan pergi-soal apakah itu bermakna atau tidak sepertinya bukan lagi urusan mereka. Yang penting sudah sesuai dengan kontrak mereka di pusat sana soal apakah nantinya akan bermakna atau tidak bagi masyarakat setempat itu sudah persoalan lain.

Dukungan Anggaran Besar

Tahun ini, pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar Rp 7,8 triliun untuk pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan. Kepala Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) yang juga menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi berharap, anggaran dalam Rencana Aksi Pengelolaan Perbatasan Negara (RAPPN) itu bisa digunakan secara optimal untuk penyediaan sarana dan prasarana untuk memberikan keterisolasian, pelayanan dasar masyarakat, serta penyediaan peralatan dan teknologi pengembangan ekonomi lokal.
“Jadi, totalnya ada sekitar Rp 7,8 triliun dana untuk mengelola wilayah negara dan kawasan perbatasan itu harus bisa dimaksimalkan untuk membangun wilayah perbatasan kita,” kata Mendagri dalam sambutan pada Rapat Kerja ke-5 BPPP, Kamis (18/7). Dia menjabarkan, anggaran pengelolaan tersebut terdiri dari anggaran yang disalurkan ke 24 kementerian dan lembaga sebesar Rp 7,3 triliun, dan sisanya, disalurkan dari anggaran Kemendagri, yaitu Dana Alokasi Khusus (DAK) Rp 458,1 miliar dan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan sebesar Rp 70,5 miliar.
Anggaran 2013 untuk perbatasan, lanjut Gamawan, meningkat sebesar 85 persen dibanding 2012 anggaran pengelolaan perbatasan hanya Rp 3,9 triliun. Dengan dana sebesar itu diharapkan angka kemiskinan penduduk di perbatasan dapat menurun mencapai target yang telah dipatok pemerintah, yaitu 14,20 persen pada tahun 2014. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi di wilayah-wilayah perbatasan diharapkan dapat meningkat signifikan menjadi 7,10 persen.
Secara lebih rinci Pagu Anggaran Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Tahun Anggaran 2013 Sebesar Rp. 274.124.430.000,- Dengan Rincian Program Sebagai Berikut:
1) Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya BNPP, telah dilakukan realokasi anggaran berupa pengurangan jumlah alokasi dari yang semula RP. 139.124.430.000,- menjadi Rp. 112.795.691.000,-. Kegiatan utama dalam cakupan Program ini adalah:
a)      Pelaksanaan dukungan perencanaan, kerjasama, dan hukum, dengan anggaran sebesar Rp. 78.572.626.000,-
  • Dukungan perencanaan program dan kegiatan tahunan;
  • Dukungan penyusunan Rencana Aksi Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan;
  • Dukungan pelaksanaan Rapat Koordinasi Anggota BNPP;
  • Dukungan untuk implementasi kerjasama Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan; dan
  • Dukungan pelaksanaan Penyusunan Regulasi, antara lain, berupa penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Kewenangan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, Penyusunan Standar Operasional Prosedur, dan Pelaksanaan Legal Drafting.
b)     Penyelenggaraan administrasi keuangan, ketatausahaan dan operasional perkantoran, dengan anggaran sebesar Rp. 34.223.065.000,- yang akan digunakan untuk pembayaran gaji aparatur, pelayanan ketatausahaan, kepegawaian, dukungan kerumahtanggaan, dan operasional perkantoran.
c)     Pelaksanaan kegiatan di daerah melalui mekanisme Dekonsentrasi, dengan anggaran sebesar Rp. 12.500.000.000,- dengan rincian kegiatan berupa:
  • Penyusunan kebijakan program dan rencana kebutuhan anggaran daerah dalam pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan;
  • Koordinasi pelaksanaan program pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan; serta
  • Evaluasi dan pengawasan pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan.
d) Pelaksanaan kegiatan yang diusulkan melalui mekanisme New Inisiative,dengan anggaran sebesar Rp. 25.000.000.000,- yang akan digunakan untuk kegiatan Penyusunan Rencana IndukPengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan berbasis Lokasi Prioritaspada 111 (seratus sebelas) Kecamatan Lokasi Prioritas.
2) Program Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, terdapat penambahan alokasi dari yang semula Rp. 135.000.000.000,- menjadi Rp.161.328.739.000,- Kegiatan-kegiatan utama dalam cakupan Program ini adalah:
a) Pengelolaan Batas Wilayah Darat sebesar Rp. 17.250.000.000,-
b) Pengelolaan Batas Wilayah Laut dan Udara sebesar Rp.    13.800.000.000,-
c) Pengelolaan Lintas Batas Negara sebesar Rp29.440.000.000,-
d) Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan Darat sebesar Rp. 17.250.000.000,-
e) Penataan Ruang Kawasan Perbatasan sebesar Rp. 11.270.000.000,-
f) Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan Laut sebesar Rp. 15.000.000.000,-
g) Pengelolaan Infrastruktur Fisik Kawasan Perbatasan sebesar Rp. 28.290.000.000,-
h) Pengelolaan Infrastruktur Ekonomi dan Kesra Kawasan Perbatasan sebesar Rp. 14.850.000.000,-
i) Pengelolaan Infrastruktur Pemerintahan Kawasan Perbatasan sebesar Rp. 14.178.739.000,-

Lima Agenda Utama Pengelolan Perbatasan Tahun 2013

Pemerintah mempersiapkan lima agenda utama pengelolan perbatasan Negara yang dicapai selama 2013 guna meningkatkan pembangunan kawasan perbatasan di Tanah Air, kata Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi di Jakarta. “Kelima agenda utama itu digunakan untuk mengendalikan kawasan perbatasan, yang sebagian besar anggarannya digunakan untuk menstimulasi daya ungkit pembangunan melalui dekonsentrasi dan tugas pembantuan,” kata Mendagri dalam Rapat Kerja V Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) di Hotel Borobudur, Jakarta Kamis 18 juli 2013.
Kelima agenda utama tersebut adalah terkait dengan penetapan dan penegasan batas wilayah Negara peningkatan pertahanan, keamanan dan penegakan hukum, pengembangan ekonomi kawasan, peningkatan pelayanan sosial dasa dan penguatan kelembagaan.

Pembangunan Infrastruktur di Daerah Perbatasan Negara

Pemerintah akan memprioritaskan 11 kecamatan yang berada di perbatasan terluar wilayah Indonesia guna menggejot rasio elektrifikasi di tempat itu. Ketua Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan, Gamawan Fauzi mengatakan, tahun ini pemerintah akan menargetkan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk wilayah perbatasan dengan total kapasitas sebesar 2.900 kilowatt (KW), atau sebanyak 58 unit yang tersebar di 10 provinsi, “Kesepuluh provinsi seperti di wilayah perbatasan Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara dan Maluku,” ujar Gamawan di Jakarta saat kerja BNPP.
Gamawan yang juga mejabati Menteri Dalam Negeri mengatakan, dana untuk pembangunan PLTS tersebut berasal dari beberapa Kementerian, termasuk salah satunya adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).Sedangkan untuk infrastruktur kesejahteraan masyarakat seperti air bersih, pendidikan dan kesehatan, menurut Gumawan akan dibangun secara bergantian. “Untuk infrastruktur lainnya akan menyusul,” katanya.

Yang Ingin Kita Katakan

Pemerintah (BNPP) memang sudah membuat GRAND DESIGN pembangunan di wilayah/kawasan perbatasan, yang pada ujungnya kita kenal menghasilkan Lokasi-lokasi prioritas yang akan dibangun. Tetapi bagaimana jabaran dari pembangunannya di Lokasi prioritas ini? Sama sekali hanya mengandalkan pada kemauan Pemda setempat. Padahal kita tahu wilayah perbatasan ini membutuhkan pembukaan keterisolasian yang mampu mengaitkannya dengan pola pembangunan nasional dan Asean; sayangnya Grand Design itu tidak tersinergikan dengan Enam Koridor Pembangunan Ekonomi Nasional- tidak terkoneksikan dengan Konektivitas Asean.
Ketua BNPP Gamawan menjelaskan, dalam perencanaan tahunannya BNPP selalu melibatkan pemerintah pusat, kementerian, lembaga nonkementerian, provinsi dan kabupaten atau kota. “Sudah ditentukan lokasi prioritasnya yang diminta sekarang adalah grand desain pembangunan di lokasi prioritasnya itu. Jadi apa saja yang dibutuhkan pada lokasi prioritas itu,” tutur beliau saat Raker di Hotel Borobudur Jakarta. Beliau juga menegaskan kementeriannya telah menargetkan tahun 2014, ada 111 kecamatan yang diprioritaskan dalam pemenuhan kebutuhan mendasar bagi masyarakat wilayah perbatasan.

Jumat, 09 Agustus 2013

Tantangan Jenderal Moeldoko, Meneruskan Reformasi TNI | WilayahPertahanan.Com

Tantangan Jenderal Moeldoko, Meneruskan Reformasi TNI | WilayahPertahanan.Com



Oleh: Iwan Santosa dan M Hernowo[1]
Komitmen reformasi TNI, peningkatan disiplin dan netralitas dalam Pemilu 2014 menjadi tantangan bagi calon Panglima TNI Jenderal (TNI) Moeldoko. DPR akan menagih komitmen Moeldoko soal reformasi TNI yang berjalan lamban.  Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menyerahkan satu nama sebagai calon panglima TNI menggantikan Laksamana Agus Suhartono. Calon tunggal itu adalah Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Moeldoko. Dalam Uji Kelayakan dan Kepatutan di DPR kelak, Moeldoko akan dimintai pandangan dan penyikapan seputar penuntasan reformasi di dalam tubuh TNI.
”Kami sudah tentu akan menggali sejauh mana komitmen Moeldoko dalam menyelesaikan pekerjaan rumah reformasi internal TNI,” kata anggota Komisi I DPR, Helmy Fauzi, di Jakarta, Rabu (31/7). Jenderal Moeldoko dipilih Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menggantikan Jenderal Pramono Edhie Wibowo yang pensiun sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat. Moeldoko dilantik pada tanggal 22 Mei 2013.
Sebelum menjadi KSAD, lulusan terbaik (adhi makayasa) Akmil 1981 ini pernah menjabat posisi Wakil KSAD. Ia juga sempat menjadi Kasdam Jaya (2008), Pangdivif 1/Kostrad (2010), Pangdam XII/Tanjungpura (2010), Pangdam III/Siliwangi (2010), dan Wakil Gubernur Lemhannas (2011). Moeldoko akan menggantikan Laksamana Agus Suhartono yang pensiun pada 25 Agustus 2013.
Dalam catatan Helmy Fauzi, saat menjadi Pangdam III/Siliwangi, pria kelahiran 8 Juli 1957 itu pernah menjadi buah bibir ketika melancarkan ’Operasi Sajadah’ pada tahun 2011. Operasi ini disebut-sebut bersinggungan dengan Jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat.
Menurut Helmy, tugas panglima TNI mendatang sangat berat. Selain ada momentum Pemilu dan Pilpres 2014, masih ada beberapa agenda reformasi internal yang telantar. Mereka, antara lain, revisi Undang-Undang Peradilan Militer, ancaman nontradisional, serta transparansi dan efisiensi anggaran pertahanan. ”Sudah semestinya jika Moeldoko jadi panglima TNI, maka kekuatan teritorial di perkotaan digeser ke pengamanan perbatasan serta pulau terluar lebih diutamakan,” kata Helmy.
Direktur Program Imparsial Al Araf secara terpisah menegaskan, panglima TNI yang baru harus menghindarkan dirinya dari kepentingan politik sesaat rezim untuk pemenangan Pemilu 2014. ”Panglima TNI baru tidak boleh menjadi alat politik kekuasaan rezim demi kepentingan pemilu. Meski panglima TNI diangkat oleh presiden, netralitas dalam politik menjadi keharusan,” kata Al Araf.
Panglima TNI yang baru tidak boleh resisten terhadap agenda reformasi TNI. Dalam konteks itu, DPR harus memastikan bahwa panglima TNI yang baru memiliki komitmen untuk patuh terhadap otoritas politik dalam mendorong reformasi TNI. Khususnya, lanjut Al Araf, reformasi peradilan militer, restrukturisasi komando teritorial (koter), transparansi dan akuntabilitas pembelian pengelolaan persenjataan, dan lain-lain.
Yang terpenting, ujar Al Araf, panglima TNI baru harus responsif atas kritik dan masukan dari masyarakat. ”Panglima TNI yang baru tidak boleh resisten dan antipati terhadap kritik rakyat. Sebisa mungkin panglima TNI yang baru membuka ruang komunikasi yang baik dengan berbagai kalangan untuk menerima masukan dalam rangka mewujudkan tentara yang profesional,” ujar Al Araf, menandaskan.

Politik praktis

Direktur Research Institute for Democracy and Peace (Ridep) Anton Ali Abbas yang ditemui terpisah menambahkan, sejumlah catatan atas kinerja Moeldoko yakni agar tidak lagi melakukan kebijakan seperti Operasi Sajadah yang kontroversial tahun 2011 lalu. Lebih baik Muldoko fokus bekerja untuk meningkatkan profesionalisme sesuai dengan UU TNI.
”Moeldoko harus menjauhkan diri dari kegiatan yang dekat dengan ’politik praktis’. Pertemuan dengan elite politik seperti pada awal Juli lalu tidaklah baik bagi reformasi TNI secara keseluruhan. Itu hanya akan menimbulkan pesan bahwa TNI ingin kembali berpolitik. Selain itu, ke depan, publik sangat menaruh harapan TNI secara institusi tidak lagi melindungi prajurit yang melawan hukum dan melakukan tindakan kriminal,” kata Anton Ali Abbas.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Mabes TNI Laksamana Muda (TNI) Iskandar Sitompul, yang sedang dalam kunjungan kerja di Bangkok, Thailand, menegaskan, siapa pun panglima TNI yang baru, agenda reformasi TNI dan netralitas dalam Pemilu 2014 akan tetap dijaga. ”TNI terus menjalankan agenda reformasi dan tidak berpolitik praktis,” kata Sitompul.
Sementara itu, Helmy Fauzi, anggota DPR dari Fraksi PDI-P ini, menambahkan, dalam fit and proper test di Komisi I pada Agustus mendatang, Moeldoko juga akan ditanyai seputar pemenuhan Minimum Essential Forces 2014. ”Apalagi saat ini disinyalir masih banyak praktik off budget dalam operasi dan kebutuhan personel. Sudah saatnya panglima TNI yang baru nanti menghapus semua pembiayaan off budget demi menjaga profesionalitas militer, dan kami akan menagih janji ini,” ucap dia.
Terkait tahun politik, Helmy mengaku akan menanyakan komitmen Moeldoko terhadap politik praktis. Apalagi, pada 8 Juli silam, Moeldoko sempat mengumpulkan elite untuk membahas sejumlah isu. ”Dalam kacamata reformasi TNI, pertemuan dengan elite politik itu tidak memberi persepsi positif dan bisa disalahgunakan. Pasalnya, 2014 sudah sebentar lagi, maka komitmen menjaga netralitas menjadi penting,” tutur Helmy.
Pada pertemuan 8 Juli, Moeldoko mengundang sejumlah tokoh nasional untuk berbicara soal isu kebangsaan. Mereka antara lain politisi PAN Amien Rais, mantan Menpora Adhyaksa Dault, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Ketua MUI Maruf Amin, dan pengusaha Setiawan Djodi. Acara tersebut bertajuk ”Silaturahmi KSAD dengan Para Tokoh Guna Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa”.

Selasa, 16 Juli 2013

Perbatasan RI-Timor Leste Masih Terbelakang dan Terisolasi | WilayahPerbatasan.com


Perbatasan RI-Timor Leste Masih Terbelakang dan Terisolasi | WilayahPerbatasan.com


Menurut pendapat kita, setelah adanya BNPP tadinya kita sangat berharap banyak. Karena secara UU dan Peraturan Pemerintah BNPP sudah memiliki semuanya. Hanya saja entah kenapa atau karena berada di tangan yang kurang kompeten, maka yang terjadi adalah perlambatan pembangunan itu sendiri. Malah kita mendengar sendiri apa kata Sekretaris Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan yakni Triyono Budi Sasongko. Menurutnya posisi kelembagaan pengelola perbatasan hingga kini masih lemah karena belum ada sistem, kebijakan, dan instrumen pengelolaan perbatasan negara yang terintegrasi, “Sistem perencanaan komprehensif, baik yang bersifat sektoral maupun spasial juga belum tersedia. Telah terjadi parsialitas, di mana kebijakan pengelolaan kawasan perbatasan banyak tersebar di kementerian dan lembaga,” katanya pada seminar “Cetak Biru Pengelolaan Perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia“, di Yogyakarta, Rabu 5 Juni 2013.
Menurut dia, lemahnya koordinasi, integrasi, sinergitas, dan sinkronisasi menjadikan banyak kementrian dan lembaga sektoral teknis belum terlibat secara langsung dalam pengelolaan kawasan perbatasan. Untuk itu, sebagai agenda utama pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan perlu dilakukan penetapan dan penegasan batas wilayah negara dan meningkatkan upaya pertahanan, keamanan, dan penegakan hukum. Bagi kita apa yang disampaikan Bapak Sekretaris BNPP itu adalah lagu lama dan hanya diulang-ulang oleh pejabat yang berbeda.

Masih Jalan Di Tempat 

Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao bertemu dengan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah pada (20/3/2013) dalam pertemuannya waktu itu, kedua pemimpin negara itu membahas masalah teritori perbatasan. ”Kurang lebih 90 persen perbatasan darat Indonesia dan Timor Leste sudah terselesaikan. Menlu waktu itu mengatakan pertemuan ini akan merampungkan masalah tersebut. Selain soal perbatasan, Marty mengatakan kedua pemimpin negara juga membahas soal rencana keanggotaan Timor Leste di ASEAN. Menurutnya, keanggotaan Timor Leste dalam ASEAN memang memiliki sedikit masalah.
Pemberitaan lain terkait perbatasan kedua negara adalah pada tanggal (21/6/2013). Menurut Menlu Pemerintah telah merampungkan satu titik daerah perbatasan antara Negara Indonesia dengan Timor Leste. “Yang tadi kita sepakati adalah di Dilumil Memo, masih ada dua titik lagi yang harus disepakati,” kata Menlu Marty Natalegawa, di Jakarta Jumat (21/6/2013). Dua titik perbatasan lainnya masih akan dirampungkan oleh kedua negara, diharapkan agar segera terselesaikan.
Marty mengatakan belum mempunyai target kapan titik-titik perbatasan itu akan selesai. Dia menjelaskan masih perlu perundingan-perundingan dengan negara tetangga Indonesia itu. “Saya kira kalau perundingan perbatasan lazimnya kita tidak menetapkan target karena ini kan harus dengan penuh kehati-hatian,” tuturnya.
Selain itu, Marty menjelaskan pemerintah juga akan melakukan pembicaraan terkait titik perbatasan di wilayah laut. “Jadi kita harus bekerja keras untuk menuntaskan dua lagi segmen ini kemudian mulai berangsur membahas masalah perbatasan laut,” terangnya.

Kondisi Wilayah Perbatasan 

Perbatasan antar negara RI-RDTL di NTT terletak di 3 (tiga) Kabupaten yaitu Belu, Kupang, dan Timor Timur Utara (TTU). Perbatasan di Belu terletak memanjang dari utara ke selatan bagian pulau Timor, sedangkan Kabupaten Kupang dan TTU berbatasan dengan salah satu wilayah Timor Leste yaitu Oekusi yang terpisah dan berada di tengah wilayah Indonesia (enclave). Garis batas antar negara di NTT ini terletak di 9 (Sembilan) kecamatan yaitu; 1 (satu) Kecamatan di Kabupaten Kupang, 3 (tiga) Kecamatan di Kabupaten TTU dan 5 (lima) Kecamatan di Kabupaten Belu.
Permasalahan batas meliputi  3 (tiga) Unresolved di Noel Besi/Citrana, Bijael Sunan/Oben dan Dilumil/memo serta 1 (satu) Unsurveyed area yaitu Subina; masalah yang sedang menonjol adalah di Noel Besi/Citrana. Sebagai catatan yang disebut Unresolved bermakna belum terselesaikan sementara unsurveyed maksudnya belum bisa di survey karena adanya penolakan warga.

 Noel Besi / Citrana.

Daerah sengketa terletak di dusun Naktuka, dengan luas + 1.069 Ha, Warga yang berada di wilayah tersebut berasal dari Kec. Citrana Distrik Oecusee (Timor Leste) dan ber KTP Timor Leste; masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan masyarakat RI yang berada di Desa Natemnanu Utara Kec. Amfoang Timur Kab. TTU-NTT.jumlah warga yang tinggal di Dusun Naktuka sebanyak 44 KK terdiri atas 36 KK beragama Katholik dan 8 KK beragama Protestan dengan jumlah  200 jiwa dengan Kepala dusun Sdr. Ignasius Lake.
Terdapat bangunan baru yaitu Balai Pertanahan dan Perkebunan (Balai Pertanian, Perkebunan, Rumah Dinas, Aula Pertemuan dan gudang) yang berjarak ± 2 Km dad Pos Pamtas Yonif 744/SYB yang terletak di Oepoil Sungai; di daerah tersebut juga terdapat LSM OACP (Oecusssee Ambono Community Programme). 
Pada November 2008 telah dilaksanakan pembangunan Pos Imigrasi RDTL di daerahUnresiolved Segment Noel Besi-Citrana namun kegiatan pembangunan gedung tersebut dapat dihentikan setelah diadakan musyawarah yang melibatkan aparat pemerintah dan masyarakat. Tetapi kemudian telah ditemukan adanya bangunan baru untuk Kantor Pertanian, Balai Pertemuan, Gudang Dolog dan tempat penggilingan padi di  area yang sama, yang diperkirakan dibangun pada bulan September 2008 dan diresmikan oleh Menteri Pertanian RDTL bulan Mei 2009.
Pada minggu ke empat bulan April 2010 ditemukan pemasangan  nama Gedung  yang bertuliskan  “ MENESTERIO DA AGRI KULTURA “ dan penggunaan mesin pertanian (Traktor) didaerah Naktuka. Di area ini juga terdapat LSM OACP( Oecussee Ambeno Community Programme).

Bijael Sunan/Manusasi.

Daerah sengketa meliputi daerah seluas ± 142,7 Ha, dikarenakan adanya perbedaan persepsi traktat, dan juga di sebabkan karena masalah adat. Sebelum tahun 1893 daerah ini di kuasai oleh masyarakat Timor Barat (Belanda), namun antara 1893-1966 daerah ini di kuasai masyarakat Timor Timur (Portugis).
Pada tahun 1966, garis batas di sepanjang Sungai Noel Miomafo digeser ke utara mengikuti puncak pegunungan/bukit mulai dari puncak Bijael Sunan sampai dengan barat laut Oben yang ditandai dengan pilar Ampu Panalak. Pemindahan batas wilayah yang dilakukan secara adat dengan melintasi batas antar Negara/batas Internasional;  pemindahan batas tersebut juga disaksikan oleh Gubenur Portugis dan NTT pada saat itu.(data tertulis belum ditemukan).

Dilumil/Memo

Daerah bermasalah di Dilumil/Memo Kabupaten Belu mencakup daerah seluas ± 41,9 Ha, berada di delta S. Malibaka sebagai hasil proses alamiah (pengendapan). Dalam hal ini, pihak RI pada awalnya menghendaki batas wilayah RI-RDTL berada disebelah timur Delta, sedangkan RDTL menghendaki di sebelah barat Delta. Namun pada perkembangan terakhir (sesuai pertemuan TSC-BDR RI-RDTL tahun 2004), pihak RI menghendaki penarikan batas sesuai median line yang membagi dua river island/delta. Di wilayah ini tidak / belum ada konflik batas yang menonjol dari masyarakat setempat kedua Negara.
Subina-Oben. Unsurveyed segment terdapat diantara Subina sampai dengan Oben yang sebenarnya bagi RI merupakan permasalahan klaim hak ulayat masyarakat setempat. Masyarakat menolak daerah ini untuk di survey dan ditentukan batasnya, sehingga kedua tim (RI-RDTL) tidak bisa melaksanakan survey di area ini. Penyelesaian permasalahanunsurveyed hingga sekarang belum ada kemajuan (titik temu).

Masih Terbelakang dan Miskin

“Secara administrasi, perbatasan darat di Timor bagian barat dengan Timor Leste meliputi 10 Kecamatan yang tersebar di empat kabupaten yaitu Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan kabupaten Belu dan Kabupaten Alor,” Ke-10 kecamatan itu meliputi Kabupaten Kupang yang terdiri dari Kecamatan Amfoang Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara meliputi Kecamatan Miomafo Barat, Miomfo Timur dan Kecamatan Insana Utara.
Adapun kecamatan perbatasan berikut yang berbatasan dengan Timor Leste adalah Kecamatan Malaka Timur, Tasifeto Barat, Tasifeto Timur, Lamaknen, Kecamatan Rehaat dan Kecamatan Kobalima di Kabupten Belu. Untuk perbatasan Laut, ia menilai, kawasan perbatasan laut wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan Timor Leste meliputi empat kabupaten dengan lima kecamatan, yaitu Kabupaten Kupang meliputi Kecamatan Amfoang Utara, Kabupaten Belu terdiri dari Kecamatan Tasifeto Barat, Kecamatan Kobalima. Kabupaten TTU ada di Kecamatan Insana Utara dan Kabupaten Alor dengan Kecamatan Alor Barat Daya.

Rabu, 05 Juni 2013

Indonesia Harus Berterimakasih dan Australia Perlu peka pada budaya Indonesia | KawasanPerbatasan.com

Indonesia Harus Berterimakasih dan Australia Perlu peka pada budaya Indonesia | KawasanPerbatasan.com

Saya terkejut dengan tulisan Kompas dengan judul Australia harus peka pada budaya Indonesia (4 Juni 2013). Bukan apa-apa karena Kompas adalah media yang menurut saya sangat kental dengan intelektualitas ke Indonesiaan. Saya pernah empat kali belajar di Australia atas dana negeri itu sendiri. Tetapi sesungguhnya, kalau kita peka. Australia sudah memberikan kita begitu banyak, sementara dari kita? Menurut saya ini penting untuk meningkatkan hubungan bilateral Indonesia-Australia di masa depan. Ada banyak manfaat yang bisa diraih kedua negara di tengah perubahan geopolitik global.
Karena itu saya sangat heran dengan tulisan Kompas itu. Karena bukan apa-apa, hal itu terungkap dalam diskusi panel yang diselenggarakan Kompas di Jakarta, Selasa (4/6/2013), yang dihadiri Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama. Semua pembicara berasal dari Asia Research Centre Murdoch University, Perth, Australia. Para pembicara merupakan pakar tentang Indonesia yang mengajar di Murdoch University. Mereka adalah Prof Dr David Hill, Dr Ian Wilson, Prof Dr Vedi Hadiz, Prof Dr Richards Robinson, Dr Jeffrey Wilson, dan Dr Sharar Hameiri. Dosen Universitas Indonesia (UI), Inaya Rakhmani, tampil sebagai pembicara tentang pandangan media di Indonesia terhadap Australia.

BRAND NEW UNLOCKED BLACKBERRY Q10 WHITE 16GB

BRAND NEW UNLOCKED BLACKBERRY Q10 WHITE 16GB
From BlackBerry

Price:$714.99

Availability: Usually ships in 1-2 business days
Ships from and sold by HeavyDuty Electronics
11 new or used available from $699.99

Product Description

2G Network GSM 850 / 900 / 1800 / 1900 3G Network HSDPA 4G Network LTE SIM Yes Announced 2013, January Status Available. Released 2013, April Body Dimensions 119.6 x 66.8 x 10.4 mm (4.71 x 2.63 x 0.41 in) Weight 139 g (4.90 oz) Keyboard QWERTY Display Type Super AMOLED capacitive touchscreen, 16M colors Size 720 x 720 pixels, 3.1 inches (~328 ppi pixel density) Multitouch Yes Sound Alert types Vibration, MP3 ringtones Loudspeaker Yes 3.5mm jack Yes Memory Card slot microSD, up to 64 GB Internal 16 GB storage, 2 GB RAM Data GPRS Yes EDGE Yes Speed HSDPA, HSUPA WLAN Wi-Fi 802.11 a/b/g/n, dual band, Wi-Fi hotspot Bluetooth Yes, v4.0 with A2DP NFC Yes USB Yes, microUSB v2.0 Camera Primary 8 MP, 3264 x 2448 pixels, autofocus, LED flash Features Geo-tagging, image stabilization, face detection Video Yes, 1080p@30fps Secondary Yes, 2 MP, 720p Features OS BlackBerry 10 OS Chipset TI OMAP 4470 CPU Dual-core 1.5 GHz Cortex-A9 GPU PowerVR SGX544 Sensors Accelerometer, gyro, proximity, compass Messaging SMS, MMS, Email, Push Email, IM, BBM 6 Browser HTML5 Radio TBD GPS Yes, with A-GPS support Java Yes, MIDP 2.1 Colors Black, White - SNS integration - HDMI port

Rektor Universitas Gadjah Mada Prof Dr Pratikno dan ekonom Institut Pertanian Bogor, Prof Dr Rina Oktaviani, tampil sebagai pembahas topik diskusi dalam dua sesi. Moderator diskusi sesi pertama dosen Universitas Atma Jaya, Dr A Prasetyantoko, sementara pada sesi kedua, dosen UI Prof Dr Rhenald Kasali. Vedi Hadiz mengatakan, banyak masalah yang terjadi dalam hubungan Indonesia-Australia disebabkan sensitivitas kultural yang tidak pada tempatnya (misplaced). Sensitivitas yang tidak pada tempatnya itu terjadi baik di kalangan orang Australia memandang Indonesia maupun sebaliknya.
Namun, di tengah berbagai prasangka dan masalah yang terjadi di antara kedua negara, Australia tetap menjadi salah satu tujuan utama para mahasiswa Indonesia untuk belajar, sebagaimana diutarakan David Hill. Bahkan Hill mengaku terkejut jumlah mahasiswa dari Indonesia hanya turun sedikit dalam dua tahun terakhir, saat nilai tukar mata uang dollar Australia naik drastis.

Bersinergi Dan Saling Memahami

Richards Robinson mengingatkan agar konflik kecil dan persepsi negatif yang muncul tidak dijadikan sebagai gambaran hubungan bilateral RI-Australia. ”Saya sudah berada di Indonesia sejak Peristiwa Malari (1974), hubungan bilateral berkembang baik,” kata Robinson, yang juga ekonom. Robinson mengatakan, memang hubungan bilateral RI-Australia secara ekonomi tidak besar.
Hubungan RI-Australia juga dipandang lebih diwarnai urusan strategis internasional. ”Namun, kita memiliki peluang memperdalam hubungan lewat kerja sama ekonomi, seperti di sektor pertambangan,” ujarnya. Menurut Robinson, dalam peta geopolitik global sekarang ini, sangat penting bagi Australia-Indonesia untuk berkolaborasi. Meski demikian, berbagai akar masalah di antara kedua negara harus diatasi lebih dulu agar satu sama lain bisa saling memahami lebih dalam. Vedi mengatakan, di balik berbagai perbedaan, masih banyak persamaan antara Indonesia dan Australia dalam berbagai bidang. (MON)

Ketidaktahuan Dua Pihak

Menurut Richard Woolcott[1] Ini adalah fakta yang menyedihkan bahwa masyarakat Indonesia-Australia pada umumnya tidak cukup tahu tentang negara lain. Misalnya banyak orang Indonesia kurang menyadari bahwa 25% warga Australia lahir di luar negeri, dan sekitar 40% dari Australia memiliki salah satu atau kedua orang tua lahir di luar negeri. Juga  banyak orang Indonesia tidak menyadari bahwa sumber siswa dan migrant terbesar di Australia sekarang adalah dari dua negara Asia, yakni China dan India.
Australia memiliki sejarah panjang keterlibatan aktif di Asia dan di Indonesia, menarik untuk dikenang adalah bagaimana suasananya takkala Australia mendukung kemerdekaan Indonesia pada tahun 1947 dan bantuan Colombo Plan. Peristiwa itu kian memudar seiring dengan munculnya isu-isu seperti kematian lima wartawan Australia di Balibo pada tahun 1975, invasi Indonesia di Timor Timur, reaksi terhadap penangkapan pengedar narkoba Australia dan sikap Australia sendiri; sayangnya semua itu jadi isu berlebihan karena kaitannya dipicu dengan alasan politik dalam negeri, termasuk sikap Australia terhadap pengungsi dan pencari suaka.
Banyak orang Australia belum menyadari akan perubahan besar di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Indonesia kini telah menjadi negara yang menegakkan Demokrasi di semua kehidupannya. Kedua negara telah menyepakati adanya pertemuan tahunan Kepala Pemerintahan; kesepakatan yang paling terbaru  yang diadakan di Darwin pada bulan Juli 2012. Kedua negara juga telah melembagakan pertemuan para menteri urusan luar negeri dan pertahanan 2 +2 simbol kerjasama yang kian solid.
Pertumbuhan di kedua negara Indonesia dan Australia di Abad Asia memberikan kesempatan emas bagi kedua negara. Pada 1970-an Indonesia digambarkan dalam sebuah buku terkenal “a nation in waiting” karena Indonesia masih sebuah negara yang harus di tunggu, Sekarang telah menjadi pemain regional dan global yang penting.
Secara keseluruhan perekonomian Indonesia berada dalam posisi yang kuat. Pertumbuhan ekonomi yang kuat sebesar 6,4%. Meskipun inflasi telah meningkat sejak Februari itu 4,45% pada bulan Mei masih berada dalam target Bank Indonesia. Meskipun beberapa inisiatif politik dapat mencegah pertumbuhan ekonomi di masa depan, aliran modal dari luar masuk terus. Bagi Indonesia untuk mencapai tujuannya pertumbuhan tinggi tetapi inklusif, pemerintah perlu mengurangi subsidi dan meningkatkan pengeluaran pada pengurangan kemiskinan. Hal ini juga menarik bahwa Indonesia bergerak dan terus memperbaiki pelayanan kesehatannya.

Australia Menyiapkan Pinjaman Siap Pakai

Australia peka terhadap kepentingan nasional Indonesia, hal ini terlihat dari upaya Pemerintah Australia pada tahun 2012 menambah jumlah dana pinjaman siap pakai bagi Indonesia sebesar 1 miliar dollar Australia (Rp 9,63 triliun) sebagai persiapan menghadapi krisis. Jika krisis keuangan zona euro sampai berdampak terhadap Indonesia, dana pinjaman tersebut siap diambil sewaktu-waktu.
Keputusan Pemerintah Australia tersebut disampaikan dalam pertemuan bilateral antara Perdana Menteri Australia Julia Gillard dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Darwin, Australia, Selasa (3/7/2012).Menurut Gillard waktu itu, kontribusi Australia itu menjadi bagian dari paket pinjaman darurat internasional bagi Indonesia sebesar 5,5 miliar dollar AS. Fasilitas pinjaman siap pakai tersebut selama ini sudah diberikan oleh Jepang, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Bank Dunia.
Oleh sebab itulah , Australia menyambut baik langkah-langkah proaktif Indonesia dalam menjaga stabilitas ekonomi mereka dan pelaksanaan berbagai kebijakan ekonomi yang aman,” papar Gillard dalam pernyataan resmi.Ekspor Indonesia telah merosot dalam dua bulan terakhir akibat rendahnya harga berbagai komoditas dan kekhawatiran bahwa krisis zona euro akan memotong permintaan barang-barang dari Asia. Menurut Gillard, fasilitas pinjaman siaga serupa juga pernah disediakan bagi Indonesia saat krisis ekonomi Asia tahun 1997-1998, tetapi waktu itu tidak pernah dimanfaatkan oleh Indonesia.(Reuters/DHF)

[1] [1]Richard Woolcott was the head of the Department of Foreign Affairs and Trade from 1988-1992.  He was Australia’s Ambassador to Indonesia from 1975-1978 and chairman of the Australia-Indonesia Institute from 1992-1997. He is a regular visitor to Indonesia. Tulisan ini diangkat dari harian The Jakarta Post tanggal 23 September 2012, dialih basakan secara lugas oleh harmen batubara.

Minggu, 26 Mei 2013

Konflik Batas Antar Daerah, Di Picu Oleh Peta Batas Yang Amburadul | WilayahPerbatasan.com






Konflik Batas Antar Daerah, Di Picu Oleh Peta Batas Yang Amburadul | WilayahPerbatasan.com

Sengketa batas antar daerah maupun antar negara kian mengemuka. Di tingkat internasional kita kenal masalah laut china selatan, juga ada persoalan batas antara Kamboja dan Thailand, antara Indonesia dan Malaysia dan masih banyak lagi yang lainnya.  Begitu juga dengan konflik batas antar daerah di Indonesia, misalnya sengketa batas antara Kabupaten Musirawas dengan Musi Banyuasin yang dipicu oleh posisi sumur Gas Subhan 4, antara Kabupaten Blitar dengan Kabupaten Kediri dalam hal memperebutkan kawah Gunung Kelud dan sengketa batas wilayah antara Provinsi Jambi dengan Provinsi Kepulauan Riau terkait kepemilikan Pulau Berhala dll.

Batas Daerah Sesudah Era Reformasi

Jatuhnya Orde Baru melahirkan Era Reformasi. Era reformasi yang dimulai pada tahun 1999 mengubah paradigma desentralisasi administrastif yang dianut Orde Lama (1945-1965) dan Orde Baru (1966-1998) ke desentralisasi politik. (Suyanto, 2002). Pada Era Reformasi ini lahirlah dua paket undang-undang yang sangat besar pengaruhnya terhadap batas daerah, yaitu Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang  Pemerintahan Daerah (UU Otonomi Daerah) dan UU No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Lahirnya dua paket undang-undang tersebut merupakan kebijakan desentralisasi di bidang politik, administrasi dan fiskal menandai dimulainya Era Otonomi Daerah yang lebih luas di Indonesia.
Sejak berlakunya UU.No.22 tahun 1999, daerah mempunyai peluang yang lebih mandiri dalam mengelola daerahnya sesuai kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Pada UU No.22 tahun 1999 banyak kewenangan yang diberikan ke daerah kecuali  bidang-bidang: politik luar negeri, fiskal dan moneter, pertahanan, keamanan, hukum dan keagamaan. Dengan demikian, semenjak era otonomi daerah yang luas, daerah mempunyai porsi kewenangan yang sangat besar dibandingkan dengan era sebelumnya. Adanya pelimpahan wewenang yang luas kepada daerah untuk mengelola wilayahnya menciptakan suatu tantangan sekaligus peluang bagi pemerintah daerah.
Dengan berbagai alasan memanfaatkan peluang otonomi daerah yang luas memicu terjadinya pemekaran di berbagai wilayah di Indonesia, sehingga fenomena yang menyertai pelaksanaan otonomi daerah sejak tahun 1999 adalah munculnya daerah-daerah baru hasil pemekaran. Pemekaran wilayah berarti penambahan segmen batas daerah. Data dari Kementrian Dalam Negeri (2010) menyebutkan bahwa saat ini pada jumlah 34 provinsi dan 491 kabupaten/kota kabupaten/kota di Indonesia  terdapat 946 segmen (151 segmen batas provinsi, 795 segmen batas Kabupaten/Kota).
Menurut penelitian Decetralization Suport Facility (2007) ada berbagai faktor penyebab yang mendorong munculnya pemekaran yaitu: faktor kesejarahan, ketimpangan pembangunan, luasnya rentang kendali pelayanan publik dan  tidak terakomodasinya representasi politik. Sedangkan faktor penyebab pemekaran yang berupa penarik adalah limpahan fiskal yang berasal dari APBN berupa DAU (Dana Alokasi Umum)  dan DAK (Dana Alokasi Khusus). Penentuan DAU memperhatikan kebutuhan daerah yang tercermin dari data jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografis dan tingkat pendapatan masyarakat dan potensi ekonomi daerah (Salamm, 2002).
Akibatnya aspek  wilayah menjadi suatu yang sangat penting sebab cakupan wilayah suatu daerah yang ditandai dengan keberadaan batas wilayah yang jelas mencerminkan sejauh mana kewenangan daerah tersebut dapat dilaksanakan. Cakupan wilayah merupakan aspek yang dapat menunjang kemampuan penyelenggaraaan otonomi daerah karena dari wilayah dapat dihasilkan pajak dan retribusi daerah, dan juga bagi hasil sumberdaya alam kepada daerah dimana sumberdaya alam tersebut berada. Bahkan luas wilayah juga merupakan variable dalam penentuan bobot yang mempengaruhi besarnya DAU yang diterima daerah. Oleh sebab itu, pada era otonomi daerah ini, batas daerah menjadi sangat penting dan bermakna bagi daerah.
Pentingnya batas wilayah daerah otonom yang tegas adalah demi :1) kejelasan cakupan wilayah dalam pengelolaan kewenangan administrasi pemerintahan daerah, 2) menghindari  tumpang  tindih tata ruang daerah, 3) efisiensi – efektivitas pelayanan publik, 4) kejelasan luas wilayah, 5) kejelasan administrasi kependudukan, 6) kejelasan daftar pemilih (Pemilu, Pilkada), 7) kejelasan administrasi pertanahan, 8) kejelasan perijinan pengelolaan sumberdaya alam (Subowo, 2009). Oleh sebab itu batas wilayah daerah otonom memiliki arti penting dan strategis apabila dibandingkan dengan era sebelumnya, maka  ketidakjelasan batas wilayah daerah otonom selalu menjadi sumber penyebab sengketa batas antar daerah (Kristiyono,  2008).

Peta Batas Daerah Yang Amburadul

Di dalam UU Pembentukan Daerah ditetapkan cakupan wilayah daerah yang dibentuk dan biasanya dilampirkan dalam bentuk peta batas wilayah. Setelah batas wilayah ditetapkan dalam undang-undang pembentukan daerah, seharusnya segera ditindaklanjuti dengan penegasan batas wilayah  yaitu memasang tanda-tanda batas di lapangan. Namun saat ini masih banyak daerah-daerah yang telah dibentuk belum melakukan penegasan batas daerahnya di lapangan dengan berbagai alasan yaitu: terbatasnya anggaran, kondisi sulitnya medan/topografi, terbatasnya SDM. Jumlah segmen batas yang telah selesai ditegaskan dan memiliki kepastian hukum dan fisik di lapangan baru mencapai 155 segmen (16 %). Banyaknya  batas daerah yang belum ditegasankan berpotensi menimbulkan sengketa batas daerah  ( Subowo, 2012).
Menurut (Sumaryo,2013) dari berbagai permasalahan yang ditemukan, banyak peta batas wilayah pada UUPD yang tidak memenuhi syarat teknis kartografis bila digunakan sebagai dasar dalam penegasan batas daerah. Persyaratan teknis tersebut meliputi : adanya skala, datum geodetik, sistem koordinat dan sistem proyeksi peta. Penelitian yang telah dilakukan terhadap peta batas wilayah pada UUPD periode 1990-2003, 68 % tidak mencantumkan skala. Tidak adanya  skala maka peta batas wilayah tersebut tidak dapat digunakan untuk analisis spasial seperti mengukur panjang segmen batas atau luas wilayah.
Hampir semua peta batas wilayah UUPD produk era OTDA tidak mencantuman datum geodetik yang sangat diperlukan untuk mentransformasi garis batas dari peta kelapangan. Penegasan titik batas dengan alat Global Positioning system (GPS) bila menggunakan datum geodetik perkiraan akan mengakibatkan pergeseran garis batas dari yang seharusnya dan sangat berpotensi menimbulkan sengketa dengan daerah tetangga terutama bila didaerah tersebut terdapat sumber daya alam.
Sengketa batas wilayah bisa terjadi dalam hal adanya ketidaksepakatan batas hasil  penetapan dalam undang-undang pembentukan daerah maupun dalam proses penegasan yaitu pemasangan tanda batas di lapangan. Dalam praktek di lapangan, proses penegasan batas daerah tidak selalu dapat dilaksanakan dengan lancar, bahkan ada kecenderungan jumlah sengketa batas antar daerah meningkat (Rere, 2008). Sampai saat ini jumlah kasus sengketa perbatasan antar daerah mencakup 82 segemen yang melibatkan 19 Provinsi dan 81 Kabupaten/Kota dan dari 449 segmen batas yang belum ditegaskan diduga berpotensi terjadi sengketa (Subowo,  2012).

Sabtu, 27 April 2013

Menghadirkan Kemakmuran di Perbatasan





Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi melantik Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Timur, Irianto Lambrie, sebagai Penjabat Gubernur Kalimantan Utara (Kaltara), Senin (22/4). Untuk setahun ke depan, Irianto diserahi tugas menyusun perangkat daerah  di Pemprov Kaltara sekaligus personilnya. Tugas lain yang disandang Irianto adalah pembentukan DPRD Kaltara pada tahun 2014 dan pemilihan gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi hasil pemekaran dari Kalamantan Timur itu pada 2015.
Sebagai Gubernur Irianto berharap pada bulan ketiga penyelenggaraan pemerintahan di Kaltara bisa berjalan normal dan terfokus pada pelayanan publik. Selama masa peralihan, lanjut dia, Kaltara baru akan dilengkapi 10 lembaga teknis daerah, dengan jumlah dinas tak akan sampai 20. Sedangkan soal personil, selain meminjam dari Kaltim juga akan diambil dari kabupaten/kota di Kaltim dan Kaltara.
Melihat pelantikan gubernur tentu saja banyak harapan yang dilamunkan bisa jadi akan terwujud. Tapi bisa juga sebaliknya, jika tidak hati-hati, Provinsi Kalimantan Utara dan Kabupaten Mahakam Ulu, dua daerah otonom baru di wilayah Kalimantan Timur, bisa terjebak euforia sehingga melupakan tujuan awal, yakni menyejahterakan masyarakat.”Harus segera disiapkan rencana tata ruang dan pengembangan wilayah secara partisipasif. Masalah dan potensi daerah juga segera dipetakan. Ingat, dukungan dana dari provinsi induk hanya dua tahun,” ujar Hetifah Sjaifudian, anggota Komisi V DPR dari daerah pemilihan Kaltim, Selasa (23/4).
Mahakam Ulu dan Kaltara berbatasan dengan Malaysia sehingga pemekaran akan berdampak strategis. Dua daerah itu cukup terisolasi. Kondisi infrastruktur dan sarana transportasi pun masih buruk sehingga menghambat distribusi barang, bahkan harga barang kebutuhan dan jasa di wilayah itu jadi sangat mahal.
Sekadar gambaran, untuk menuju Tanjung Selor, ibu kota Provinsi Kaltara, harus terbang dulu ke Kabupaten Berau, lalu disambung perjalanan darat dua-tiga jam. Atau terbang ke Kota Tarakan, lalu disambung naik speedboat sekitar tiga jam. Begitu pula Kabupaten Mahakam Ulu. Dari lima kecamatan, yang terjauh adalah Long Apari. Dari Barong Tongkok, kecamatan pusat pemerintahan Kutai Barat, dua kali naik speedboat minimal tujuh jam untuk sampai Long Apari. Atau bisa juga menumpang longboat alias kapal barang.
Secara fakta wilayah perbatasan merupakan pintu gerbang internasional dan beranda depan negara Indonesia. Kenyataan inilah yang kini tengah diupayakan oleh pemerintah,  yakni bagaimana melakukan pengembangan wilayah perbatasan sehingga kesan ”daerah tertinggal” dapat dihilangkan, serta kesenjangan antara perbatasan dan wilayah bukan perbatasan dapat diminimalkan. Secara umum tantangan besar pengembangan wilayah perbatasan adalah bagaimana menyinergikan semua stakeholder terkait dalam pengembangan wilayah dengan segala permasalahannya yang multidimensi, seperti terkait dengan kepastian garis batas (delimitasi dan demarkasi), pertahanan dan keamanan, kedaulatan, ketersediaan infrastruktur, pergerakan lintas batas, dan kelembagaan, serta kesejahteraan penduduk.
Sebenarnya kalau infrastruktur dan aturannya nya dibangun dan berkualitas, maka geliat ekonomi akan mencari jalannya sendiri. Hal seperti itu terlihat jelas dalam perdagangan antara Indonesia dan Malaysia di wilayah perbatasan, pulau Kalimantan. Malaysia dengan kesiapan infrastrukturnya, ternyata telah jadi “pendikte” pasar di perbatasan, tetapi ternyata hal yang sama tidak bisa kita lakukan di wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste, sebab memang pemerintah tidak membangun infrastruktur di perbatasan. Pemerintah kita hanya kaya dalam wacana, tetapi miskin dalam aksi.
Di perbatasan RI-Timor Leste yang terjadi malah sebaliknya, kelihatannya justeru pembangunan infrastruktur di Timor Leste justeru jauh lebih baik dan konsisten, sehingga meski produk Indonesia meski tidak punya saingan tetapi justeru belum mampu mendikte pasar seperti yang terjadi di perbatasan Kalimantan, dimana pasar sepenuhnya dikuasai produk Malaysia. Di timor Leste produknya ada, tetapi lakunya terbatas sebab harganya sudah terlalu mahal.

Malaysia Sudah Jauh Di Depan

Lihatlah misalnya Sarawak Malaysia, di  Tebedu wilayah itu sudah jadi bagian kawasan pelabuhan Darat Kota Kuching ( Ibu Kota Sarawak). Terminal Darat pertama dan di perbatasan RI-Malaysia- Sarawak, Tebedu Inland Port (TIP) terletak sekitar di sebelah Entikong. TIP berada di bawah yurisdiksi Otoritas Pelabuhan Kuching, dioperasikan dan dikelola oleh SM Inland Pelabuhan Sdn Bhd. Pembangunan TIP adalah dalam rangka pengembangan secara sinergis Kawasan Industri Tebedu sebagai katalis untuk membantu pembangunan di pedalaman Kalimantan dengan memanfaatkan sumber daya alam yang kaya dan sumber daya manusia yang melimpah di daerah sekitarnya.
Efek sinergis antara TIP (fasilitas pelabuhan), Tebedu Industri estate (pengembangan industri) dan Bandar Mutiara Baru Tebedu Township (pembangunan komersial) akan memiliki multiplier effect dalam meningkatkan pembangunan ekonomi di daerah dan sekitarnya. Tujuannya Pemerintah Negara Sarawak dalam pembentukan Tebedu Inland Port adalah untuk memantau, mengatur dan mengontrol pergerakan barang dalam rangka memfasilitasi dan meningkatkan perdagangan lintas batas. Inisiatif ini dalam hubungannya dengan perkembangan Tebedu Industrial Estate dan Bandar Mutiara, New Tebedu Township akan memiliki efek sinergis dan multiplier dalam pembangunan ekonomi regional di wilayah perbatasan, yang memungkinkan warga Kalimantan Barat, Indonesia dan Sarawak untuk berbagi dalam kemakmuran dari pengembangan Selatan Barat Sarawak.

Memang Baru Langkah Pertama

Kalau melihat pada kondisi rielnya, Kaltara ternyata masih sangat sederhana dengan assets yang juga sangat terbatas alias miskin. Aset Pemprov Kaltim yang nantinya akan diserahkan ke Kalimantan Utara (Kaltara), ternyata hanya sebagian kecil dari total aset yang dimiliki Kaltim. Secara keseluruhan, aset Pemprov mencapai Rp 18 triliun lebih, sementara yang diserahkan ke Kaltara hanya sekitar Rp 1,3 triliun. Angka ini merupakan total aset Pemprov di sana. Ini berarti, hanya 7,2 persen harta Kaltim yang diwariskan ke Kaltara.
Menurut Kepala Biro Perlengkapan Setprov Kaltim, Fathul Halim. Fathul menyebut, aset terbesar yang dimiliki Pemprov didominasi infrastruktur jalan, termasuk di utara Kaltim. Nilai jalan jaringan yang dicatat Dinas Pekerjaan Umum di wilayah utara, mencapai Rp 829 miliar. Sementara dari kabupaten/kota terbesar di Kaltara, aset Pemprov terbanyak ada di Tarakan. Totalnya Rp 503 miliar dan di Tana Tidung dengan total aset Rp 630 juta.
Namun demikian, Dalam undang-undang pembentukan Kaltara, lama waktu yang ditetapkan untuk menuntaskan tugas tersebut, dua tahun setelah Kaltara diresmikan.
Kepala Biro Perbatasan, Penataan Wilayah, dan Kerja Sama, Setprov Kaltim, Tri Murti Rahayu belum lama ini menyebut, dalam undang-undang, batas waktu penyelesaian batas wilayah dengan Kaltara selambat-lambatnya lima tahun sejak Kaltara diresmikan. Pemprov menargetkan persoalan itu rampung tahun ini juga. Pemprov mencatat, untuk masalah perbatasan Berau-Bulungan, terbagi dalam enam segmen yang total panjangnya mencapai 371 kilometer (km). Ada juga Kutai Barat-Malinau yang masih belum pasti 175,9 km. Selain itu, Kutai Kartanegara-Malinau yang totalnya 95,8 km.
Provinsi baru ini memiliki luas wilayah 71.176 km persegi. Luas wilayah ini tergolong kecil dibanding luas wilayah Kaltim yang sebelumnya berada di angka 245.238 km persegi (hanya 29% dari luas wilayah “provinsi induk”). Luas Kaltim tersebut tercatat sebagai provinsi terluas ke-2 di NKRI (setelah Provinsi Papua). Kehidupan masyarakat di wilayah ini tergolong memprihatinkan karena kurangnya infrastruktur penunjang perekonomian. Masyarakat mengaku berdarah Indonesia, tetapi perut milik Malaysia. Hal ini dikarenakan bahan kebutuhan pokok lebih mudah diakses dari negeri seberang, Malaysia.
Secara garis besar, karakteristik wilayah perbatasan meliputi :  pertama, karakteristik fisik dan infrastruktur yang sangat terbatas (masalah penegasan dan penetapan garis batas yang belum selesai, berada di pedalaman, sarana-prasarana terbatas, pos pengawas lintas batas dan custom, immigration, quarantine, security/CIQS belum lengkap). Kedua, karakteristik permukiman penduduk yang jarang dan tidak terdistribusi merata, kualitas relatif rendah, angka kematian tinggi, secara etnis memiliki hubungan kekeluargaan dengan saudara di negara tetangga. Ketiga, karakteristik ekonomi yang tidak seimbangKeempat, belum terkelolanya sumber daya alam secara baik.
Pengembangan wilayah perbatasan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu kesejahteraan/prosperity (peningkatan kesejahteraan dan ketahanan), keamanan/security (menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI melalui pertahanan dan pengamanan teritorial wilayah perbatasan), serta environment (berwawasan lingkungan sekaligus berkelanjutan). Masalahnya harus diakui selama ini yang baru bisa bergerak barulah pendekatan pertahanan territorial. Sementara pertahanan fungsional berupa pemberdayaan ekonomi dan pendekatan sosial budaya baru sebatas ide dan belum berjalan sebagaimana mestinya.
Kalau memang ingin menjadikan wilayah perbatasan sebagai halaman depan bangsa maka Infrastruktur yang dibangun mestinya mendukung semua aspek yang terkait dengan karakteristik ekonomi wilayah tanpa mengabaikan aspek lingkungan. Sektor perkebunan, industri, perdagangan, dan pariwisata merupakan potensi penggerak utama pengembangan ekonomi perbatasan. Dia harus menjadikan wilayah perbatasan masuk dalam arus utama pembangunan nasional, daeran dan kawasan. Karena itu, dalam rencana tata ruang perlu dialokasikan zona-zona untuk mendukung aktivitas sektor itu. Di sini diperlukan peran pemerintah yang lebih dominan mengingat daerah perbatasan sering kali kurang diminati investor.
Salah satu yang jadi titik lemah wilayah perbatasan adalah masyarakat tidak bisa dijadikan sebagai pemilik dan pengelola wilayah produksi. Padahal percepatan kemajuan pembangunan wilayah perbatasan bisa ditempuh melalui pengembangan wilayah produksi, dengan membuka akses dari wilayah perbatasan ke sumber bahan baku setempat, meningkatkan kapasitas masyarakat sehingga tidak saja harus integrasi jaringan komunikasi dan transportasi sebagai penggerak ekonomi lokal, tetapi mereka sendiri harus mempunyai wilayah produksi itu sendiri, yakni dengan memberikan mereka kemampuan untuk memiliki lahan produksi minimal 2 ha per KK( bisa karet, sawit, coklat, lada,dll. Barulah setelah itu potensi mereka ini dikaitkan dengan pengembangan pusat pertumbuhan wilayah melalui kerja sama ekonomi dan pengembangan wilayah perbatasan, seperti dengan negara bagian Sabah dan Serawak di Kalimantan, serta dengan membentuk zona perdagangan internasional. Kita belum bisa melihat apa-apa, kini baru pelantikan Gubernur, semoga semangat menyejahterakan warganya terus di aksikan, bukan lagi hanya sekedar berwacana.

Sabtu, 13 April 2013

Dinamika Batas Daerah Sebelum Era Orde Baru, Wilayah Perbatasan | WilayahPerbatasan.com



Dinamika Batas Daerah Sebelum Era Orde Baru, Wilayah Perbatasan | WilayahPerbatasan.com


Mencermati perkembangan penataan batas daerah di Indonesia dapat dirunut lewat titian waktu (time-line description) memperlihatkan adanya kesamaan dengan proses pergulatan politik negara. Gambaran penataan batas [wilayah] daerah  diawali dengan peristiwa terkait dengan wilayah negara beberapa saat sebelum disyahkannya Undang Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) pada tanggal 18 Agustus 1945[1]. Sebagai konsekuensi logis dari proklamasi kemerdekaan negara adalah adanya pertanyaan tentang “dimanakah batas-batas dari wilayah RI yang dibagi habis atas Provinsi, Kabupaten/Kota tersebut?”.
Fakta sejarah memperlihatkan bahwa ketika Bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, para pendiri bangsa ini belum dapat secara tuntas menyelesaikan persoalan cakupan dan batas-batas wilayah negara RI yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945[2]. Maka sebagai konsekwensi logis, sesuai dengan Pasal II Aturan Peralihan pada UUD 1945 tersebut, Indonesia menggunakan batasan cakupan wilayah negaranya menurut peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1939, yaitu sesuai dengan “Territorial Zee en Maritime Krigen Ordonante 1939” (TZMKO-1939).
Setelah kemerdekaan dan sesuai Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “ Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang,”  Dari rentang sejarahnya kita dapat melihat perkembangan penataan daerah otonom yang berjalan sesuai dinamika pembangunan bangsa, perkembangan sistem desentralisasi pemerintahan kepada daerah otonom dengan perjalanan sejarah dapat di jelaskan sebagai berikut;
Pada awal tahun 1945, pembagian wilayah sepenuhnya diatur oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan menetapkan daerah Negara Kesatuan  Republik Indonesia dibagi dalam 8 (delapan) provinsi, yang masing-masing dikepalai oleh seorang gubernur, yaitu provinsi-provinsi : Jawa Barat ; Jawa Tengah; Jawa Timur; Sumatera; Borneo (Kalimantan) ; Sulawesi ; Maluku; dan Sunda Kecil.
Sejarah perbatasan di  Indonesia, digambarkan sebagai pembagian teritorial pemerintahan sub-nasional, dan sebenarnya upaya ini telah dilakukan sejak zaman penjajahan, ketika pemerintahan Belanda berperan selaku pelaksana pemerintahan. Pada umumnya pola yang dipakai Belanda adalah menggunakan pendekatan :
(i) sejarah (bekas kerajaan besar dan kecil);   (ii) fungsional (daerah kota dan kabupaten);  (iii) ekonomis (terutama utk daerah  baru); (iv) administratif ( utk daerah baru terutama utk mempersempit rentang kendali pemerintahan);   (v) etnis;   (vi) politis;  dan juga gabungan dari beberapa diantaranya. Belanda sangat memperhatikan berbagai karakter ini, disamping untuk memudahkan pelayanan juga terkandung maksud menggali potensi yang bisa di gali sebagai pemicu “devide” et impera. Maksudnya tahu sisi-sisi mana yang paling mudah untuk dimanfaatkan demi kepentingan pengendalian daerah jajahan.
Kemudian daerah provinsi ini masih dibagi lagi  atas karesidenan-keresidenan yang dikepalai oleh seorang residen. Gubernur dan residen dibantu oleh komite nasional daerah. Pada masa itu semangatnya masih kental dengan semangat perjuangan dan polanya juga cukup sederhana, misalnya;
  1. Untuk sementara waktu, sambil menunggu ketentuan lebih lanjut, kedudukan daerah kesultanan Yogyakarta dan Surakarta,  dibiarkan tetap seperti apa adanya.
  2. Untuk sementara waktu kedudukan kota (Gemeente) diteruskan sebagaimana keadaanapa adanya waktu itu. 

Bagaimana batasnya? Persoalan batas dilakukan sesuai kepentingan dan semua masih serba terbuka. Misalnya, provinsi Sumatera, patokannya juga tidak diatur secara detail yang penting provinsi Sumatera itu, ya terdiri dari pulau Sumatera dan sekitarnya. Pengertian sekitarnya ini, hanya dilihat dari sisi pelayanannya. Misalnya terkait dengan pulau-pulau yang ada disekitar Pulau Sumatera, maka ia akan masuk jadi wilayah provinsi Sumatera. Boleh dikatakan tidak memerlukan petunjuk teknis dan cukup dikoordinasikannya.
Memasuki era reformasi sejak akhir tahun 1998, dapat dicatat adanya perubahan batas-batas laut Indonesia sebagai akibat adanya jajak pendapat (referendum) rakyat Timor-Timur pada tahun 1999 yang berakhir dengan terbentuknya negara baru Republik Demokratik Timor-Leste (RDTL). Beberapa titik garis pangkal kepulauan Indonesia harus diperbaiki, karena adanya garis-garis pangkal yang terputus di sekitar Selat Leti, Selat Wetar, Selat Ombai, dan Laut Sawu, untuk melengkapi daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia yang ada.
Selain batas-batas laut antara RI dan RDTL, harus pula ditetapkan kembali beberapa titik batas laut (ZEE dan Landas Kontinen) yang telah disepakati bersama antara Indonesia dan Australia, secara trilateral.
Pada tahun 1948, kondisi daerah otonom disesuaikan dengan UU No 22 Tahun 1948 tentang UU Pemerintah Daerah.  Pada periode ini penentuan batas-batas daerah otonom,  ditetapkan dengan Undang-undang Pemerintahan Daerah Nomor  22/1948 ini.   Peraturan ini mengatur keseragaman dalam pemerintahan daerah bagi seluruh Indonesia yaitu tingkat I disebut provinsi, tingkat II kota besar dan kabupaten, serta tingkat III desa dan daerah yang setingkat dengannya, seperti Marga.

Batas Daerah Sebelum Otonomi Luas  Era 1950 – 1957 (Percobaan Demokrasi) 

Pembagian wilayah Indonesia sebagai implementasi amanat Undang-undang Dasar 1945 secara efektif baru mulai dilakukan tahun 1950 dengan pembentukan beberapa daerah provinsi dan daerah-daerah kabupaten dan kota. Secara politik, sebagai suatu negara yang baru merdeka dengan rakyatnya banyak yang miskin, tingkat pendidikan rendah,  mewarisi tradisi-tradisi otoriter dan sedikit masyarakat yang faham politik, maka sistem politik Indonesia pada periode tahun 1950 sampai dengan 1957 masih dalam tahap mencoba berdemokrasi.
Pada tanggal 29 September tahun 1955 diselenggarakan pemilihan umum yang pertama kali setelah Indonesia merdeka untuk memilih anggauta DPR. Namun setelah pemilihan umum situasi politik tidak menjadi semakin stabil tetapi sebaliknya karena jatuh bangunnya kabinet dan persaingan yang semakin tajam diantara partai politik. Masa ini sering disebut sebagai era Percobaan Demokrasi (Ricklefs, 2010). Walaupun demikian, pada masa percobaan demokrasi ini terbentuk 11 provinsi dan 102 kabupaten/kota (Darmawan, dkk., 2008).

Era 1957 – 1965 (Demokrasi Terpimpin) 

Pada periode ini yang dipergunakan adalah Undang-undang Nomor 1/1957 yang didasarkan kepada Undang – Undang sementara 1950, maka kemudian dikenal ada tiga tingkatan daerah dengan batas-batasnya yang mengacu kepada peninggalan pemerintah Belanda. Selama kurun waktu 1950-1959 sering kali terjadi pergantian kabinet yang menyebabkan instabilitas politik. Parlemen mudah mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap kabinet sehingga koalisi partai yang ada di kabinet menarik diri dan kabinet pun jatuh. Sementara Sukarno selaku Presiden tidak memiliki kekuasaan secara riil kecuali menunjuk para formatur untuk membentuk kabinet-kabinet baru, suatu tugas yang sering kali melibatkan negosiasi-negosiasi yang rumit. Puncak ketidakstabilan politik adalah gagalnya Konstituante membentuk Undang-Undang Dasar sehingga Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli tahun 1959 yang isinya pembubaran Konstituante dan kembali lagi ke Undang-undang Dasar 1945.
Langkah politik Presiden Sukarno selanjutnya menuju suatu bentuk pemerintahan yang diberi nama “Demokrasi Terpimpin”. Politik demokrasi terpimpin berlangsung sampai tahun 1965, dan selama era demokrasi terpimpin ini situasi politik tetap tidak stabil ditambah situasi ekonomi yang semakin terpuruk yang puncaknya terjadi peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang menandai runtuhnya bangunan sistem demokrasi terpimpin (Ricklefs, 2010).
Pada era ini lahir dua undang-undang Pemerintahan Daerah (otonomi daerah) yaitu UU. No.1 tahun 1957  dan  UU No.18 Tahun 1965, namun demikian dua undang-undang ini masih bersifat sentralistik, sehingga kewenangan masih sepenuhnya dipegang pemerintah pusat (Suyanto, 2002).  Pada masa ini, daerah otonom sudah berjumlah 14 provinsi dan 148 kabupaten/kota (Darmawan, dkk., 2008). Karena kewenangannya masih banyak dipegang pemerintah pusat, maka keberadaan batas daerah sama sekali hampir tidak bermakna bagi daerah. Oleh sebab itu pada periode ini hampir tidak ada permasalahan (sengketa) tentang batas daerah (Kristiyono, 2008).

[1] Dengan merujuk kepada “Sejarah pembentukan UUD-1945” oleh Prof. Dr. Jumly Asshidiqi, SH., MH.
[2] Perhatikan pasal-pasal dalam batang tubuh UUD-RI 1945 dan penjelasannya yang tidak mencantumkan pasal tentang wilayah negara. Ibid Jimly Asshidiqi.