Minggu, 26 Mei 2013

Konflik Batas Antar Daerah, Di Picu Oleh Peta Batas Yang Amburadul | WilayahPerbatasan.com






Konflik Batas Antar Daerah, Di Picu Oleh Peta Batas Yang Amburadul | WilayahPerbatasan.com

Sengketa batas antar daerah maupun antar negara kian mengemuka. Di tingkat internasional kita kenal masalah laut china selatan, juga ada persoalan batas antara Kamboja dan Thailand, antara Indonesia dan Malaysia dan masih banyak lagi yang lainnya.  Begitu juga dengan konflik batas antar daerah di Indonesia, misalnya sengketa batas antara Kabupaten Musirawas dengan Musi Banyuasin yang dipicu oleh posisi sumur Gas Subhan 4, antara Kabupaten Blitar dengan Kabupaten Kediri dalam hal memperebutkan kawah Gunung Kelud dan sengketa batas wilayah antara Provinsi Jambi dengan Provinsi Kepulauan Riau terkait kepemilikan Pulau Berhala dll.

Batas Daerah Sesudah Era Reformasi

Jatuhnya Orde Baru melahirkan Era Reformasi. Era reformasi yang dimulai pada tahun 1999 mengubah paradigma desentralisasi administrastif yang dianut Orde Lama (1945-1965) dan Orde Baru (1966-1998) ke desentralisasi politik. (Suyanto, 2002). Pada Era Reformasi ini lahirlah dua paket undang-undang yang sangat besar pengaruhnya terhadap batas daerah, yaitu Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang  Pemerintahan Daerah (UU Otonomi Daerah) dan UU No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Lahirnya dua paket undang-undang tersebut merupakan kebijakan desentralisasi di bidang politik, administrasi dan fiskal menandai dimulainya Era Otonomi Daerah yang lebih luas di Indonesia.
Sejak berlakunya UU.No.22 tahun 1999, daerah mempunyai peluang yang lebih mandiri dalam mengelola daerahnya sesuai kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Pada UU No.22 tahun 1999 banyak kewenangan yang diberikan ke daerah kecuali  bidang-bidang: politik luar negeri, fiskal dan moneter, pertahanan, keamanan, hukum dan keagamaan. Dengan demikian, semenjak era otonomi daerah yang luas, daerah mempunyai porsi kewenangan yang sangat besar dibandingkan dengan era sebelumnya. Adanya pelimpahan wewenang yang luas kepada daerah untuk mengelola wilayahnya menciptakan suatu tantangan sekaligus peluang bagi pemerintah daerah.
Dengan berbagai alasan memanfaatkan peluang otonomi daerah yang luas memicu terjadinya pemekaran di berbagai wilayah di Indonesia, sehingga fenomena yang menyertai pelaksanaan otonomi daerah sejak tahun 1999 adalah munculnya daerah-daerah baru hasil pemekaran. Pemekaran wilayah berarti penambahan segmen batas daerah. Data dari Kementrian Dalam Negeri (2010) menyebutkan bahwa saat ini pada jumlah 34 provinsi dan 491 kabupaten/kota kabupaten/kota di Indonesia  terdapat 946 segmen (151 segmen batas provinsi, 795 segmen batas Kabupaten/Kota).
Menurut penelitian Decetralization Suport Facility (2007) ada berbagai faktor penyebab yang mendorong munculnya pemekaran yaitu: faktor kesejarahan, ketimpangan pembangunan, luasnya rentang kendali pelayanan publik dan  tidak terakomodasinya representasi politik. Sedangkan faktor penyebab pemekaran yang berupa penarik adalah limpahan fiskal yang berasal dari APBN berupa DAU (Dana Alokasi Umum)  dan DAK (Dana Alokasi Khusus). Penentuan DAU memperhatikan kebutuhan daerah yang tercermin dari data jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografis dan tingkat pendapatan masyarakat dan potensi ekonomi daerah (Salamm, 2002).
Akibatnya aspek  wilayah menjadi suatu yang sangat penting sebab cakupan wilayah suatu daerah yang ditandai dengan keberadaan batas wilayah yang jelas mencerminkan sejauh mana kewenangan daerah tersebut dapat dilaksanakan. Cakupan wilayah merupakan aspek yang dapat menunjang kemampuan penyelenggaraaan otonomi daerah karena dari wilayah dapat dihasilkan pajak dan retribusi daerah, dan juga bagi hasil sumberdaya alam kepada daerah dimana sumberdaya alam tersebut berada. Bahkan luas wilayah juga merupakan variable dalam penentuan bobot yang mempengaruhi besarnya DAU yang diterima daerah. Oleh sebab itu, pada era otonomi daerah ini, batas daerah menjadi sangat penting dan bermakna bagi daerah.
Pentingnya batas wilayah daerah otonom yang tegas adalah demi :1) kejelasan cakupan wilayah dalam pengelolaan kewenangan administrasi pemerintahan daerah, 2) menghindari  tumpang  tindih tata ruang daerah, 3) efisiensi – efektivitas pelayanan publik, 4) kejelasan luas wilayah, 5) kejelasan administrasi kependudukan, 6) kejelasan daftar pemilih (Pemilu, Pilkada), 7) kejelasan administrasi pertanahan, 8) kejelasan perijinan pengelolaan sumberdaya alam (Subowo, 2009). Oleh sebab itu batas wilayah daerah otonom memiliki arti penting dan strategis apabila dibandingkan dengan era sebelumnya, maka  ketidakjelasan batas wilayah daerah otonom selalu menjadi sumber penyebab sengketa batas antar daerah (Kristiyono,  2008).

Peta Batas Daerah Yang Amburadul

Di dalam UU Pembentukan Daerah ditetapkan cakupan wilayah daerah yang dibentuk dan biasanya dilampirkan dalam bentuk peta batas wilayah. Setelah batas wilayah ditetapkan dalam undang-undang pembentukan daerah, seharusnya segera ditindaklanjuti dengan penegasan batas wilayah  yaitu memasang tanda-tanda batas di lapangan. Namun saat ini masih banyak daerah-daerah yang telah dibentuk belum melakukan penegasan batas daerahnya di lapangan dengan berbagai alasan yaitu: terbatasnya anggaran, kondisi sulitnya medan/topografi, terbatasnya SDM. Jumlah segmen batas yang telah selesai ditegaskan dan memiliki kepastian hukum dan fisik di lapangan baru mencapai 155 segmen (16 %). Banyaknya  batas daerah yang belum ditegasankan berpotensi menimbulkan sengketa batas daerah  ( Subowo, 2012).
Menurut (Sumaryo,2013) dari berbagai permasalahan yang ditemukan, banyak peta batas wilayah pada UUPD yang tidak memenuhi syarat teknis kartografis bila digunakan sebagai dasar dalam penegasan batas daerah. Persyaratan teknis tersebut meliputi : adanya skala, datum geodetik, sistem koordinat dan sistem proyeksi peta. Penelitian yang telah dilakukan terhadap peta batas wilayah pada UUPD periode 1990-2003, 68 % tidak mencantumkan skala. Tidak adanya  skala maka peta batas wilayah tersebut tidak dapat digunakan untuk analisis spasial seperti mengukur panjang segmen batas atau luas wilayah.
Hampir semua peta batas wilayah UUPD produk era OTDA tidak mencantuman datum geodetik yang sangat diperlukan untuk mentransformasi garis batas dari peta kelapangan. Penegasan titik batas dengan alat Global Positioning system (GPS) bila menggunakan datum geodetik perkiraan akan mengakibatkan pergeseran garis batas dari yang seharusnya dan sangat berpotensi menimbulkan sengketa dengan daerah tetangga terutama bila didaerah tersebut terdapat sumber daya alam.
Sengketa batas wilayah bisa terjadi dalam hal adanya ketidaksepakatan batas hasil  penetapan dalam undang-undang pembentukan daerah maupun dalam proses penegasan yaitu pemasangan tanda batas di lapangan. Dalam praktek di lapangan, proses penegasan batas daerah tidak selalu dapat dilaksanakan dengan lancar, bahkan ada kecenderungan jumlah sengketa batas antar daerah meningkat (Rere, 2008). Sampai saat ini jumlah kasus sengketa perbatasan antar daerah mencakup 82 segemen yang melibatkan 19 Provinsi dan 81 Kabupaten/Kota dan dari 449 segmen batas yang belum ditegaskan diduga berpotensi terjadi sengketa (Subowo,  2012).