Jumat, 30 Oktober 2015

Sumpah Pemuda, Bertemu untuk Menjadi Satu



Sumpah Kebersamaan, Bertemu untuk Menjadi Satu
 oleh Imam Nahrowi

Sebagai pemuda yang lahir dan tumbuh di sebuah kepulauan seperti Madura, saya memiliki persepsi tersendiri tentang apa itu kesatuan dan persatuan. Garis pantai yang begitu dekat dengan tanah yang kami jejak telah membentuk cara pandang saya terhadap kesatuan Indonesia yang begitu luas. Bercampur antara kemusykilan, keajaiban, dan kebanggaan.

Saya sebut musykil karena bagaimana mungkin menyatukan orang dari ribuan pulau yang secara budaya, bahasa, dan tradisi berbeda-beda satu sama lain. Jangankan membayangkan bersatu, membayangkan orang-orang tersebut sekadar bertemu saja bukan pekerjaan mudah. Ribuan kilometer jarak harus ditempuh. Ribuan perbedaan dan juga sekat-sekat sosial harus ditebas jika ingin bertemu, apalagi bersatu dalam satu cara pandang yang sama tentang kenegaraan. Saya sungguh ragu-ragu mengemukakan kemusykilan di depan khalayak luas di saat bersamaan duduk di posisi pemegang amanat. Namun, itulah yang saya alami. Itulah yang saya rasakan. Dan, alhamdulillah, kemusykilan itu langsung runtuh tatkala saya membaca fakta sejarah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Saya takjub sekaligus musykil menerima pertanyaan, apa yang melatarbelakangi penjelasan negeri kepulauan nan membentang ini bersatu. Bagaimana bisa keberbedaan yang sempurna yang dimiliki oleh bangsa ini ternyata mampu bersatu? Satu lagi pertanyaan, imajinasi macam apa yang dimiliki para pemuda pendahulu sehingga mampu menyatukan bangsa-bangsa, ras-ras, suku-suku, agama-agama, adat-adat, bahasa-bahasa, golongan-golongan, juga kepentingan-kepentingan yang pragmatik?

Pelajaran di sekolah terlalu sederhana saat menjelaskan apa itu Bhinneka Tunggal Ika. Kalimat dari bahasa Sanskerta ini, bagi saya orang Madura, termasuk kategori jimat. Kenapa? Karena kalimat tersebut sakti. Ia bisa terus menyelip di buku pelajaran SD hingga SMA tanpa saya bisa memahami bagaimana semiotika dan semantiknya, apalagi mau dirunut dengan metodologi pengetahuan pesantren seperti sanad (asal-usul), rowi (otorisasi), serta asbabul nuzul dan asbabul wurud (konteks sejarah).

Saya mulai bisa menemukan rasionalisasi dari kesaktian Bhinneka Tunggal Ika dan ikrar Sumpah Pemuda 1928 itu dari kisah-kisah orang dekat, orangtua, kakek, atau guru mengaji di kampung saya di Madura. Perlahan mereka membuka pikiran saya. Misalnya, ada kisah bahwa orang Madura memiliki tradisi merantau di luar pulau, melaut mencari ikan hingga Sulawesi, bahkan Nusa Tenggara Timur.

Sebuah pertemuan. Kisah-kisah pertemuan orang Madura dengan orang-orang dari pulau lain di dermaga, di stasiun kereta api, di masjid, di pasar, hingga di lautan meminimalkan kemusykilan saya tentang bersatunya orang-orang di negeri kepulauan ini. Teman saya, Ahmad Baso, sambil mengutip sebuah buku, bercerita bahwa orang Madura itu disebut echte zwervers, pengelana sejati. Namun, muncul pertanyaan lain, yang sedikit menggelikan: bagaimana orang Madura bertemu dengan orang-orang dari bahasa, adat, hingga agama berbeda?

Ahmad Baso yang berasal dari Makassar menjawab, awal abad ke-19 ada kamus bahasa Bugis-Makassar-Madura. Artinya, pertemuan budaya itu sudah berlangsung lama dan begitu dekat. Komunikasi sudah begitu canggih sehingga dapat menghasilkan kamus bahasa bersama. Tentu ini pencapaian yang luar biasa. Kemusykilan-kemusykilan saya tentang keindonesiaan makin terpecahkan saat saya mulai merantau ke Surabaya, kuliah di IAIN Sunan Ampel. Saya mulai merasakan keindonesiaan yang sebelumnya hanya ada di buku pelajaran. Dan, saya pun pelan-pelan mengalami pertemuan yang sudah dialami nenek moyang orang Madura dengan orang-orang pulau yang jauh.

Prasangka-prasangka khas, seperti agama, suku, dari kampung di Madura yang homogen mulai hilang saat bertemu dengan orang-orang di Kota Surabaya yang heterogen, multikultur, multietnis, hingga multiagama. Di Kota Surabaya, saya tidak lagi menganggap Bhinneka Tunggal Ika sebagai jimat. Dari sinilah saya lantas menemukan rasionalisasi dari peristiwa Sumpah Pemuda yang dimotori pemuda dan pelajar dari sejumlah daerah, seperti Sugondo Djojopuspito dari Jawa, Mohammad Yamin dari Sumatera, dan Johannes Leimena dari Ambon. Dari sini pula saya meyakini NKRI itu bukan lagi sebuah kemusykilan, apalagi disebut imagined communities (komunitas imajer) seperti yang dikatakan oleh Ben Anderson.
Bhinneka Tunggal Ika, Sumpah Pemuda, dan NKRI adalah fakta sejarah yang dibentuk melalui dialektika zaman, bukan hasil dari lamunan atau imajinasi. Rekam jejaknya dapat dilacak dan diverifikasi secara logis ataupun empiris. Semua ini bisa terjadi karena adanya pertemuan dan dialog antarelemen pemuda dari pelbagi pelosok. Saya berhasil meruntuhkan kemusykilan saya tentang NKRI setelah saya ke Surabaya: kuliah, bertemu, dan berdialog dengan beragam orang. Tanpa pertemuan-pertemuan itu, tidak mungkin NKRI menemukan rasionalisasinya dalam diri saya. Bukankah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 juga baru diputuskan pada kongres kedua, bukan di kongres pertama? Artinya, sebelum itu terdapat serangkaian pertemuan pemuda yang cukup intens untuk menyatukan cara pandang antarpemuda.

Dalam peringatan Sumpah Pemuda kali ini, saya tak ingin bicara muluk-muluk tentang Sumpah Pemuda. Saya hanya ingin fokus pada satu hal: mengajak para pemuda Indonesia di seluruh Nusantara untuk bersama-sama dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga mengikhtiari semakin banyak pertemuan pemuda; memperbanyak dialog pemuda lintas suku, ras dan agama; serta menciptakan sebanyak mungkin momentum keindonesiaan (kebinekaan) pemuda, baik melalui organisasi kepemudaan, komunitas kepemudaan, maupun kegiatan keolahragaan.

Hanya dengan bertemu kita bisa saling berbagi dan menguatkan keyakinan kita akan kebinekaan Indonesia. Pertemuan meminimalkan salah paham dan munculnya paham salah. Saya percaya-dan sudah juga dialami dan dilakukan oleh para pemuda Indonesia, para pendiri bangsa 87 tahun silam-bahwa untuk menjadi satu adalah bertemu.

Imam Nahrawi, Menteri Pemuda Dan Olahraga ( Sumber ; kompas,28 oktober 2015)

Sabtu, 03 Oktober 2015

Melihat Beranda Depan Indonesia, Pertaruhan Jokowi di Perbatasan




Pertaruhan Jokowi di Beranda Indonesia

Oleh Freddy Numberi

Perbatasan suatu negara, bagi seorang pemimpin negara, tak dimungkiri adalah suatu harga diri yang tak dapat dipandang remeh oleh negara lain.Pasalnya, karena adanya perbatasan itulah, suatu negara memiliki kedaulatan. Karena itu, bisa dimaklumi jika Presiden Joko Widodo, saat sebelum menjadi presiden, dalam acara debat dengan calon presiden Prabowo Subianto kala itu terkesan arogan. "Kita bikin rame," katanya saat itu, terkait tekadnya jika terpilih menjadi presiden, ia akan tanpa ragu melakukan tindakan yang tegas jika kedaulatan RI diancam negara lain.
https://www.bukalapak.com/bukubatas
Meski mengedepankan diplomasi, dia menyatakan siap bertindak jika kedaulatan NKRI diganggu bangsa lain. "Apa pun akan saya lakukan jika kedaulatan kita diganggu, apa pun saya pertaruhkan," katanya saat itu.
Kedaulatan teritorial. Mengawali dari prolog menyangkut urgensi wilayah perbatasan, Jokowi saat masih calon presiden tampak garang dan terkesan bahwa mempertahankan kedaulatan batas negara merupakan harga mati. Sejatinya, seorang pemimpin bangsa dari suatu negara memang harus seperti itu, apalagi Indonesia punya sejarah menyakitkan ketika Sipadan-Ligitan lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi, berpindah ke pelukan Malaysia.

Apakah langkah Jokowi akan seperti janjinya? Sebagai gambaran, persoalan perbatasan hingga saat ini masih tetap berpotensi memunculkan konflik. Seperti potensi konflik pada daerah sengketa perbatasan laut, antara lain dengan Singapura (Selat Philips), Vietnam (utara Kepulauan Natuna), dan pengaturan kembali perairan Indonesia di sekitar Kepulauan Timor. Semrawutnya pengaturan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang hingga kini belum terselesaikan dengan beberapa tetangga juga berpotensi melahirkan friksi dan sengketa yang dapat mengarah pada konflik internasional.
Mengingat Indonesia negara kepulauan yang sarat isu-isu maritim, wajar apabila isu-isu tersebut menjadi perhatian serius dari pemerintah dan melibatkan aneka kepentingan strategis, baik militer maupun ekonomi.

Menyangkut batas teritorial, ada beberapa aspek yang dialami Indonesia. Pertama, Indonesia masih memiliki banyak "pulau tak bernama", membuka peluang negara tetangga mengklaim wilayah-wilayah itu.
Kedua, implikasi secara militer, TNI AL yang bertanggung jawab terhadap wilayah maritim perlu diperkuat armadanya, baik dalam kecanggihan maupun sumber daya manusia. Demikian juga TNI AU perlu diperkuat dan modernisasi pesawat tempurnya agar dapat melakukan tindakan tegas terhadap pesawat-pesawat tempur milik Malaysia yang berulang kali menerobos wilayah udara Indonesia.
Ketiga, Presiden Jokowi perlu memiliki utusan khusus sebagai negosiator mumpuni yang menguasai hukum teritorial kewilayahan yang diandalkan di fora internasional.

Secara gradual, pembenahan dapat dimulai dari tataran domestik. Pertama, melakukan penelitian dan penyesuaian kembali garis-garis (pangkal) pantai dan alur laut Nusantara. Hal ini perlu segera dilakukan guna mencegah klaim-klaim dari negara lain. Namun, sekali lagi, hal ini memerlukan kemauan politik pemerintah. Tanpa itu, mustahil akan berhasil. Kedua, mengintensifkan kehadiran yang terus-menerus, pengembangan ekonom, dan jaminan pelestarian terhadap pulau perbatasan. Tak terpenuhinya ketiga unsur itu menjadikan Sipadan-Ligitan jatuh ke Malaysia pada 17 Desember 2002.

Sampai di situ, Presiden Jokowi tampaknya memang berupaya bekerja keras untuk melakukan pembenahan. Paling tidak, janji Nawacita dalam butir "Membangun dari Pinggir" yang menjadi andalan Jokowi kini diaplikasikan dengan berbagai program oleh jajaran pembantunya di beberapa kementerian.
Membangun dari pinggir berarti Jokowi peduli untuk mengupayakan pembangunan di beranda-beranda Indonesia yang berbatasan dengan negara lain. Dan memang, dengan tersejahterakannya warga di daerah-daerah perbatasan, dengan sendirinya nasionalisme dan kedaulatan bisa terjaga dengan kuat.
Namun, keamanan maritim pun pastinya tak bisa diabaikan. Pasalnya, tantangan keamanan maritim yang mengemuka memungkinkan konflik antarnegara. Konflik antarnegara merujuk tingkat kompetisi antarnegara untuk mendapat sumber daya alam dan klaim berkait batas-batas nasional dan teritorial.
Sayangnya, isu keamanan maritim saat ini masih kurang mendapatkan perhatian serius. Lebih jauh lagi, hal ini juga berpengaruh terhadap tingkat kesiapan domestik, armada pengamanan kelautan kita dalam mengatasi ancaman dari luar negeri. Kemampuan militer armada laut kita masih terhitung minim, apalagi jika dibandingkan dengan luas wilayah. Belum lagi berbicara kecanggihan peralatan militer yang "tidak layak tempur" karena usia tua.
Kemampuan diplomasi. Ketegangan akibat beragam konflik dengan negara tetangga, terutama Malaysia, hingga kini masih cukup menggelitik. Masih segar dalam ingatan kita, Soekarno pernah menyerukan Komando "ganyang Malaysia" sebagai reaksi atas tuduhan neokolonialisme (Nekolim). Semangat "ganyang Malaysia" beberapa waktu lalu kembali menggema sebagai cermin nasionalisme kebangsaan, terkait isu perbatasan yang kerap muncul.
Dalam relasi dunia modern sekarang ini, tindakan penyerangan dengan persenjataan dianggap sebagai langkah konvensional primitif. Oleh karena itu, mengedepankan jalur diplomasi menjadi pilihan utama dan logis. Namun, kembali lagi adanya pengalaman pahit terkait lepasnya wilayah-wilayah Indonesia menjadikan publik pesimistis atas kemampuan tim diplomatik kita. Apalagi, seperti ditulis I Basis Susilo-"Menghadapi Provokasi Malaysia"-(Kompas, 7 Maret 2005), kita lalai dalam merawat perbatasan.
ASEAN-mengutip Wawan Fachrudin di Kompas beberapa waktu lalu-sebagai satu forum kerja sama regional sangat minim perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena ia dipandang sebagai persoalan domestik satu negara dan ASEAN tidak dapat campur tangan. Memang, secara historis ASEAN dibentuk atas dasar persoalan politik, yaitu adanya ketakutan peristiwa seperti "ganyang Malaysia" terulang. Artinya, kerja sama regional Asia Tenggara ini ingin meminimalkan intervensi satu negara atas negara lain.
Seperti mengidap paranoid historis, menjadikan ASEAN tak memiliki kekuatan dalam menyelesaikan masalah batas teritorial. Meski pembicaraan mengenai forum-forum kerja sama seperti Forum Keamanan ASEAN atau Forum Maritim ASEAN memang merumuskan kerja sama keamanan regional negara Asia Tenggara, realisasinya belum kelihatan. Seharusnya, sebagai forum kerja sama regional, beragam persoalan regional menjadi tanggung jawab bersama. Hanya saja, karena adanya prinsip nonintervensi yang mendominasi, peran ASEAN menjadi tidak cukup mengemuka dalam mengatasi persoalan perbatasan.
Kini, di era Jokowi yang belum setahun menduduki jabatan presiden, rasanya patut menaruh harapan besar untuk membenahi persoalan yang kerap muncul di area pagar negara Indonesia. Tentu demi harga diri bangsa, dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Freddy Numberi Mantan Menteri Perhubungan serta Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan ( Sumber : Pertaruhan Jokowi di Beranda Indonesia, Kompas 21 September 2015)