Senin, 05 September 2016

Pendidikan di Perbatasan dan Desa Tertinggal


Oleh harmen batubara[1]

Soal pendidikan di perbatasan; arahan Presiden Jokowi Jelas-Indonesia mengalami ketidak merataan sarana dan kesempatan berpendidikan. Presiden sudah memulainya dengan Kartu Pintar dan Kartu Sehat. Presiden meminta agar melakukan yang terbaik untuk pendidikan, bila perlu reformasi pendidikan di daerah perbatasan, coba lakukan kerja sama dengan negara tetangga; yang penting kesempatan pendidikan itu ada,nyata bagus dan terjangkau. Meski presiden sudah berbuat secara nyata tetapi sangat disayangkan para pembantunya di Kementerian/Lembaga (K/L) terkait masih saja berada pada zona “comport”nya masing-masing. Tetapi untunglah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy kini tengah menggagas perlunya membangun  boarding school di daerah perbatasan agar kualitas pendidikan di daerah itu tidak kalah dengan negara tetangganya."Selama ini pemerintah daerah di kawasan perbatasan belum menggarap masalah pendidikan ini dengan maksimal, sehingga perlu diambil alih pemerintah pusat, termasuk para pengajarnya.
Masalah Pendidikan di Perbatasan dan Daerah Tertinggal
Masalahnya kompleks dan masih sangat mendasar. Pemda selama ini tidak tertarik dan tidak mampu membangun SDM di perbatasan dan daerah tertinggal. Pemda lebih fokus pada warganya yang ada di pusat-pusat kehidupan, yang ada di kota-kota di wilayahnya karena itu terkait “para warga pemilih” mereka dan itu penting untuk direspon. Akibatnya sarana dan prasarana pendidikan di perbatasan dan daerah tertinggal tidak pernah terperhatikan dengan wajar. Cobalah lihat bagaimana kondisi pendidikan warga kita di desa Tanjung Datu, Kal Barat; di desa Binter, Lumbis Ogong; di simantipal atau Sinapad perbatasan Kalimantan Utara; bisa juga di desa Pegunugngan bintang, atau di desa muting perbatasan Papua; atau di Naibenu; Noemuti; dan  Noemuti Timur di perbatasan Timor Leste; kondisinya sungguh jauh dari memadai.
Masalahnya itu umumnya, sarana berupa ruang-rung Kelas yang tidak berfungsi, tidak ada kapur tulis, tidak ada buku pelajaran. Ruang kelas yang kumuh dan tidak mempunyai MCK. Kondisi guru-gurunya juga tidak lebih baik; secara fisik mereka tinggal di Kota Kabupaten atau Kecamatan jauh dari lokasi tempat mereka mengajar; akibatnya kehadiran mereka hanya bisa mencapai 40% dalam setahun; bisa dibayangkan dengan petugas-petugas sekolah lainnya atau semacam pembantu dan sekaligus penjaga sekolah; lebih parah lagi.
Hal yang juga tidak kalah memperihatinkannya adalah kondisi ekonomi para orang tua siswa tersebut. Mereka adalah masyarakat peramu, yang kalau di Kota bisa kita sebuat sebagai tenaga serabutan. Penghasilan mereka sepenuhnya masih tergantung dengan kemurahan alam, seperti berburu, mencari kulit kayu manis, cari damar dll yang hanya bisa menopang kehidupan yang sangat-sangat sederhana. Kalau mereka sempat sakit, maka tamatlah sudah. Kemana mau mintak pertolongan? Ke Puskesmas? Yang ada hanya Plang namanya saja, ruangan tidak punya kalau beruntung warga masih punya bidan atau perawat desa. Mereka senang sekali kalau bisa membantu, tetapi karena mereka juga tidak punya apa-apa; yang masih ada hanya sebatas pemberi semngat, dan doa semoga lekas sembuh. Sementara di negara tetangga, Puskesmas itu ada dan real fungsinya. Puskesmas mereka nyata ada baik secara fisik, maunpun non fisik. Mereka punya petugas yang diberi gaji dan tunjanga-mereka punya sarana peralatan kesehatan; mereka punya sarana tempat menginap pasien dll. Puskesmas mereka sangat dekat dengan warga.
Semua Konsep Masih Rencana dan Akan
Seperti apa sebenarnya persepsi Pemda terkait “Boarding School” gagasan Mendikbud ini?  Salah satunya kita bisa lihat konsep pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, mereka akan membangun sekolah terpadu minimal pada lima titik di lima kabupaten di sepanjang perbatasan dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia.“Sekolah terpadu dilengkapi fasilitas asrama, mulai dari Pendidikan Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dalam satu kawasan,” kata Aleksius Akim[2], Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi (Kadis Dikbud Prov) Kalimantan Barat (Kalbar), Jumat (1/7).
Menurut Akim, keberadaan sekolah terpadu satu atap akan menjadi pilot project secara nasional yang sudah dikoordinasikan dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, agar ada model sekolah yang efektif di dalam pembinaan karakter bangsa.Akim mengatakan, sekolah terpadu satu atap biayanya akan jauh lebih murah dibandingkan dengan sekolah-sekolah dengan lokasi terpisah, karena sistem pembiayaan terintegrasi. Terintegrasi, ujar Akim, nanti ada segmen yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Kalimantan Barat dan APBD Kabupaten yang bersangkutan.
Diungkapkan Akim, tahap awal sekolah terpadu satu atap dimulai di Sintang, Kabupaten Sintang yang sudah mulai jalan tahun 2016, dimana dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA dan SMK dalam satu kawasan.“Sekarang dalam tahap inventarisir lahan di perbatasan wilayah Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sintang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Sambas. Kawasan sekolah terpadu minimal menempati lahan 10 hektar, lengkap dengan fasilitas pendukung, seperti asrama, perumahan guru dan lain-lain,” ungkap Akim.
Konsep yang mirip juga tengah di wacanakan pemerintah Kabupaten Tana Tidung (KTT) dalam mempersiapkan sekolah unggulan terpadu berkonsep boarding school (sekolah asrama). Sejauh ini, pemkab terus memberi perhatian terhadap persiapannya. Hal ini diungkapkan Bupati KTT Dr H Undunsyah MH MSi pada sebuah acara di KTT, Selasa (23/8). “Awal tahun 2017 nanti kami akan meresmikan boarding school. Kita sangat berharap selain SDM lokal, bisa diisi dari anak-anak sekitar KTT. Seperti yang di perbatasan-perbatasan dan wilayah terpencil. Daripada harus ke kota-kota besar dengan jarak yang jauh, lebih baik bisa diarahkan di KTT,” ungkapnya. “Dengan konsep boarding school yang akan ada di KTT, anak akan diwajibkan tinggal di sekolah dengan disediakan fasilitas dan ditanggung makan yang akan ditanggung oleh pemerintah daerah,” bebernya. Sekadar informasi, hingga saat ini pembangunan sekolah telah mencapai 60 persen dengan segala perencanaan fasilitas. Karena bertajuk sekolah kejuruan, fasilitaspun akan dilengkapi dengan lokasi-lokai praktik, seperti hutan buatan dan lahan untuk bercocok tanam.
Perlu Kerja Kolaborasi K/L
Bagi daerah perbatasan dan daerah tertinggal, menyelamatkan SDM nya agar tetap bisa berkembang sebagai mana mestinya jelas suatu kepentingan mendesak dan strategis sifatnya. Kedepan kita ingin melihat bagaimana konsep “boarding school” ini bisa di kolaborasi oleh K/L terkait dan Pemda sehingga sekolah ini bisa diwujudkan dan jadi nyata. Tetapi satu hal yang jadi ikutannya adalah, bagaimana agar K/L dan Pemda yang sama juga bisa memberdayakan para warganya atau para orangtua murid yang ada. Selama ini kita banyak mendengar program dan gagasan K/L terkait pembangunan SDM perbatasan dan daerah tertinggal. Tetapi terus terang sasarannya itu banyak yang naggak jelas dan sering dibalut oleh jargon-jargon yang sama sekali sulit dipahami. Misalnya jadi Desa Mandiri; lokasi priritas satu; prioritas dua dst dst. Tapi kalau kita telusuri kepada warganya, hasilnya nggak bisa di baca.

Padahal kita maunya warga perbatasan itu, minimal nantinya mempunyai paktor produksi yang berupa perkebunan ( karet, kopi, coklat dll sesuai kecocokan daerah) atau persawahan minimal 2 Ha per kepala keluarga. Daerah mereka terjangkau sarana transfortasi, tersedia pasar, pengolahan hasil, sehingga mereka benar-benar jadi warga yang punya penghasilan. Cobalah baca visi dan Misi BNPP, Kementerian Desa Tertinggal dan Transmigrasi; Kemendikbud, KemnePu, Pemda dll begitu bagus dan hebat-hebat tetapi apa hasilnya bagi warga? Sama sekali jauh dari memadai. Saya lalu teringat dengan Tim Perbatasan Indonesia 30 tahun yang lalu. Juru masaknya sudah bangun sejak jam 04 subuh, mereka dengan cekatan dan semangat menyediakan masakan pagi untuk Tim; tetapi pada saat makan pagi jam 06.30 yang diolah mereka hasilnya hanya nasi dengan lauk krupuk ikan teri dan rebusan daun singkong. Sementara Juru masak Tim Negara tetangga bangunnya jam 05.30 dan tiba saat  sarapan pagi mereka menyantap berbagai pilihan; Makanan Roti ala Barat dan Makanan Prasmanan ala Melayu dan lengkap. Padahal biayanya sama, semangat dan selogannya sama; tapi hasilnya yang satu dengan tetangganya berbeda seperti langit dan bumi. 



[1] Tulisan ini pertama kali dimuat di - http://www.wilayahperbatasan.com/boarding-school-di-perbatasan-babak-baru-pendidikan-di-desa-tertinggal/