Rabu, 26 Juli 2017

Penamaan Laut Natuna Utara, Diplomasi Peta Deklarasi Sepihak


Secara Sederhana kalau kita mendengar kata DIPLOMASI PETA maka pikiran kita akan merujuk pada suatu kegiatan melakukan penerbitan Peta Wilayah NKRI secara periodik yang diikuti oleh berbagai kegiatan yang memungkinkan pemunculan Peta NKRI baru tersebut akan memberikan lebih terjalinnya suasana persahabatan dengan negara tetangga. Hal itu bisa terkait dengan kegiatan perpetaan dengan negara tetangga; baik dengan negara tetangga dekat ataupun tetangga jauh. Tetapi kalau kegiatan tersebut justeru menuai “Kritik” maka tentu saja akan berlawanan dengan istilah Diplomasi itu sendiri.
Dengan kacamata seperti itu. Indonesia, entah terinspirasi oleh Filipina atau tidak, tetapi faktanya Indonesia juga ikut mengubah nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara. Sebagaimana kita ketahui Filipina pada tahun 2011 mengubah nama Laut China Selatan menjadi Laut Filipina Barat. Tiongkok waktu itu  tidak terima dan protes ke  Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag, Belanda. Pada tahun 2016 Badan itu ternyata  menolak keberatan pemerintah Tiongkok, dan mengatakan bahwa Filipina punya hak untuk menamai wilayah lautnya sesuai dengan keinginan mereka.
Pada tahun 2017, tepatnya 14 Juli 2017 Indonesia resmi mempublikasikan Peta NKRI baru dengan mengganti Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara. Tongkok jelas tidak bisa terima.Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Geng Shuang, menekankan bahwa diperlukan waktu lama, serta sesuai dengan penamaan standar internasional, istilah Nanhai atau Laut China Selatan telah diterima komunitas internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa. “Perubahan nama sebagaimana Anda sebutkan itu tidak masuk akal dan tidak kondusif bagi upaya standardisasi internasional penamaan sejumlah tempat,” kata Shuang sembari berharap negara-negara yang berada di wilayah Laut China Selatan untuk bekerja sama dengan Beijing.
Terkait protes ini, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan menegaskan penggunaan nama Laut Natuna Utara bukan untuk menggantikan nama Laut China Selatan. "Perubahan peta itu sebenarnya masih di daerah kita saja. Tidak mengganti South China Sea (Laut China Selatan)," ujar Luhut di Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta,
Bagi Indonesia sendiri, peluncuran peta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada (14/7/2017) di Jakarta oleh Kemenko Kemaritiman sejatinya adalah hasil dari kegiatan pemetaan batas bersama antara Indonesia dengan negara tetangganya, seperti Malaysia, Singapura dan Filipina. Pembaharuan itu jelas merupakan bagian ajang persahabatan Komunitas penegasan batas antara Indonesia dengan negara tetangganya. Kegiatan itu sangat konstruktif dan dalam suasana bersahabat yang telah terjalin lama dalam hal kegiatan penegasan batas  laut dengan negara tetangga.
Kita mengatakannya demikian karena yang dilakukan “Panitia Pembaruan Peta NKRI 2017” itu memang masih merupakan kelanjutan berbagai kegiatan penegasan batas yang telah dilakukan oleh Indonesia dengan negara tetangganya. Konkritnya ada beberapa hal dan data perbatasan baru yang melatarbelakangi perlunya pembaruan NKRI tersebut, beberapa diantaranya :
Pertama, Pemetaan Batas Laut antara Indonesia-Singapura-Filipina; yakni adanya perjanjian perbatasan laut teritorial yang sudah berlaku, yakni antara Indonesia dan Singapura di sisi barat dan sisi timur. Demikian juga dengan perjanjian batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan Filipina yang sudah disepakati bersama dan diratifikasi. Maka, dalam waktu yang tak lama lagi, dua perjanjian itu akan berlaku.
Kedua, hal itu juga masih berkaitan keputusan arbitrase antara Filipina dan China. Keputusan ini memberikan yurisprudensi hukum internasional bahwa pulau kecil atau karang kecil di tengah laut yang tak bisa menyokong kehidupan manusia tidak memiliki hak ZEE 200 mil laut serta landas kontinen. Karena itu, pulau-pulau kecil milik negara tetangga hanya diperhitungkan dan diberikan batas 12 mil laut.
Ketiga, merujuk pada pembaruan kolom laut di utara Natuna. Hal ini mengacu pada Landas kontinen di kawasan itu sejak 1970-an menggunakan nama blok sesuai dengan referensi arah mata angina seperti Blok Natuna Utara, Blok Natuna Selatan, Blok Natuna Timur, dan Blok Natuna Tenggara.
Karena itu, supaya ada satu kejelasan, kesamaan antara kolom laut di atasnya dengan landas kontinennya dibawahnya, kolom laut  itu disepakati oleh tim nasional diberi nama Laut Natuna Utara. Nama ini disebutnya jelas menyesuaikan dengan nama blok-blok migas yang sudah ada di landas kontinen di bawahnya.
Keempat, pemerintah ingin mempertegas klaim di Selat Malaka dengan melakukan simplifikasi klaim garis batas guna mempermudah penegakan hukum. Selain itu, di kawasan dekat perbatasan Singapura, sudah ada garis batas yang jelas. Dengan posisi itu, peta perlu diperbarui sehingga petugas TNI AL, Bea dan Cukai, serta kesatuan penjagaan laut dan pantai akan mudah berpatroli.
Tradisi Pembaruan Peta NKRI
Pemerintah Indonesia meski tidak dijadwalkan secara periodik, tetapi sudah melakukan pembaharuan Peta NKRI sesuai kebutuhan. Pembaruan Peta NKRI selama ini dilakukan  oleh badan perpetaan Nasional yang dimotori oleh BIG, Dittop TNI-AD,  Pusat Hidrografi & Oseanografi TNI-AL serta oleh Kementerian/Lembaga ( K/L) terkait seperti  Kemenko Polhukam, Kemenko Perekonomian, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Polri, Badan Keamanan Laut, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, dan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Dll sesuai kebutuhan.
Indonesia  sudah sering memperbaharui Peta NKRI,  misalnya ketika akan merilis UU No 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara juga di rilis peta NKRI baru ;  Tahun 2015 Indonesia juga Indonesia mengeluarkan Peta NKRI. Dalam revisi ini terdapat sejumlah pembaharuan seperti revisi perbatasan dengan negara tetangga dan perubahan atau penambahan toponim batas administrasi. Terjadi revisi berupa tambahan batas laut teritorial yang telah disepakati pada September 2014 antara Indonesia dengan Singapura, serta perubahan batas landas kontinen. Selain itu, juga telah disepakati persetujuan perubahan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dengan Filipina, batas wilayah darat Indonesia dengan Timor Leste, dan perubahan tempat tulisan Laut Natuna di dalam peta dll.
Memang tidak ada yang kurang dalam hal ini. Tapi kalau kegiatan Peta pembaharuan perbatasan ini dilakukan secara seremonial dengan mengikut sertakan negara-negara tetangga yang terkait tentu akan berbeda suasannya dan jelas akan menjadikan kegiatan penegasan batas itu lebih bersahabat dan menyenangkan.  Jadi apa yang terjadi dengan pembaharuan Peta NKRI 2017?. Yang istimewa dari Peta NKRI 2017 sebenarnya hanya “sedikit” yakni adanya penamaan ruang laut yang tadinya dikenal sebagai bagian dari Laut China Selatan (LCS) ditambah menjadi Laut Natuna Utara (LNU). Secara logika sebenarnya tetangga jauh tidak perlu protes, sebab kedua negara sendiri tidak termasuk dalam bagian negara yang saling berbatasan. Kalau kita mengubah nama yang mereka senangi dengan yang kita senangi tentu tidak perlu dipersoalkan. Tokh kita bukannya mengubah nama tetapi menambah nama yang kita senangi di wilayah kita sendiri.
Deklarasi Peta Malaysia 1979
Berbeda dengan semangat diplomasi penerbitan Peta NKRI 2017 yang tidak mendapat protes dari negara tetangganya.  Pemerintah Malaysia justeru pernah mendeklarasikan Peta Barunya pada Tahun 1979, tetapi justeru mendapat protes dari negara negara tetangganya sendiri. Usut punya usut, ternyata pemerintah Malaysia mengeluarkan Peta 1979 justeru merupakan jurus Diplomasi untuk memanfaatkan situasi sebelum hadirnya UNCLOS 1982. Pemerintah Malaysia ingin mengantisipasi UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea, Hukum Laut Internasional). Sebab  mereka percaya UNCLOS justeru akan memperlemah posisi perbatasannya sendiri, dan sebaliknya  memperkuat posisi perbatasan negara tetangganya, seperti Indonesia, Singapura dan Filipina. Jadi sangat wajar kalau Peta Malaysia Tahun 1979 ini diprotes banyak negara tetangganya.
Peta Malaysia Tahun 1979, mendapat protes dari negara tetangganya hampir  menyangkut semua segmen. Di Selat Malaka Malaysia mencampur aduk antara ZEE (zona ekonomi eksklusif) dan landas kontinen. Di Selat Singapura, dia memasukkan beberapa wilayah Singapura ke peta tersebut. Di dekat Laut Cina Selatan, gambaran dia juga membuat masalah dengan Filipina, Vietnam. Di Laut Sulawesi bermasalah dengan kita dan dengan Filipina. Di semua segmen dia bermasalah. Itu permasalahan Peta Malaysia 1979. Tetapi sebagai langkah Diplomasi, apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang perlu di apresiasi. Kepekaannya atas kepentingan Nasionalnya, negara itu dengan lihai memanfaatkan “timing waktu” sebelum UNCLOS diberlakukan.
Dalam sejarah nya negara-negara ASEAN, Asia Tenggara, tidak ada yang mengeluarkan peta unilateral selain  Malaysia. Tetapi kini langkah seperti itu nampaknya justeru dimanfaatkan dan dicontoh oleh negara-negara anggota Asean, minimal oleh Filipina dan Indonesia. Tetapi sebenarnya kalau dilihat dari sisi Diplomasi, penamaan baru seperti itu tidak akan membawa perubahan apa-apa. Kecuali bagi negara si penerbitnya. Secara emosional mereka mungkin senang nama wilayahnya disebut dengan nama yang berciri khas negaranya.
Tetapi bagi regional, hal itu sebenarnya hanya membuat suasana kurang kondusif. Tidak ada yang salah di sana, dan seperti kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan penggunaan nama Laut Natuna Utara bukan untuk menggantikan nama Laut China Selatan. Tapi itulah dinamika. Meski bisa jadi menimbulkan sedikit gaduh, tetapi Diplomasi Peta memang sebaiknya dilakukan secara bersama-sama dengan negara tetangga yang terlibat langsung. Karena dipercaya dengan cara itu, maka penerbitan Peta NKRI baru justeru akan membuat persahabatan antar negara yang saling berbatasan bisa lebih solid dan saling menguatkan.


Sabtu, 15 Juli 2017

Havas Oegroseno: Kebijakan Kelautan Indonesia


Oleh Arif Havas Oegroseno

Indonesia adalah satu-satunya negara yang mampu memperluas wilayah kedaulatan dan hak berdaulatnya dari 2 juta kilometer persegi menjadi 6 juta kilometer persegi, negara kepulauan terbesar di dunia, tanpa ekspedisi militer. Capaian ini diraih lewat diplomasi maraton di PBB sejak akhir 1960-an hingga diterimanya UNCLOS pada 1982.Diplomasi ternyata bukan sekadar berbasa-basi dengan tutur kata indah tanpa makna. Operasi gencar melawan pencuri ikan hari ini tidak akan pernah ada, apabila diplomasi tidak menghasilkan hak berdaulat ZEE 200 mil laut dari garis pangkal negara kepulauan.
Dengan kebangkitan ekonomi, politik dan militer Asia, terutama Asia Timur, posisi silang Indonesia berubah dari strategis menjadi super-strategis.

Tak hanya posisi silang di antara dua benua (Asia dan Australia) serta dua samudra (Samudra Pasifik dan Samudra Hindia), tetapi juga di antara Laut China Selatan dan Laut Asia Timur dengan Samudra Hindia, antara individualisme liberal di selatan dan komunisme di utara. Juga antara penghasil komoditas di selatan dan pengguna komoditas di utara, antara penghasil energi di selatan dan pengguna energi di utara, antara middle power di selatan dan global power di utara, antara non-nuclear power di selatan dan nuclear power di utara, serta antara anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB di utara dan bukan anggota DK PBB di selatan. Indonesia kini ada dalam lingkaran perebutan pengaruh antara kekuatan dominan pasca-Perang Dunia II dan kekuatan lama yang bangkit kembali.
Posisi super-strategis Indonesia beserta kemajemukan dan toleransi antarsuku, bangsa, dan agama juga menempatkan Indonesia dalam posisi penting di kawasan, yaitu dalam memengaruhi stabilitas politik, ekonomi, dan keamanan. Tak terbayangkan betapa sulitnya kondisi politik, ekonomi, dan keamanan kawasan apabila Indonesia berada dalam konflik seperti Suriah.Selain sumber daya alam yang bernilai tinggi di laut Indonesia, alam Indonesia sendiri bernilai strategis bagi Planet Bumi. Indonesia memiliki hutan tropis kedua terbesar di dunia, 20 persen terumbu karang di dunia, 20 persen hutan bakau dunia, 30 persen padang lamun, serta di pertemuan arus Samudra Hindia dan Samudra Pasifik yang membawa sumber makanan bagi kehidupan laut.
Hutan bakau dan padang lamun mampu menyerap emisi gas rumah kaca lebih besar daripada hutan teresterial. Kemampuan ini harus diperhitungkan dalam menghitung emisi dan serapan emisi Indonesia sebagai bagian solusi masalah pemanasan bumi dan perubahan cuaca dunia.
Kemampuan kelola laut
Pertanyaan mendasar bagi kita sekarang adalah: (a) apakah kita telah mampu memanfaatkan sumber daya alam laut yang diberikan hak pengelolaannya oleh para pendiri bangsa dan perunding ulung kita di UNCLOS 1982; (b) apakah kita telah mampu menjaga kelestarian dan keberlanjutan lingkungan laut yang sangat luas ini; (c) apakah benar laut kita telah menjadi pendukung pemerataan pembangunan; dan (d) apakah kita mampu mengamankan laut kita dari ancaman agresi atau kriminal.
Semua pertanyaan itu tak bisa dijawab secara terpisah karena terkait satu sama lain dengan erat. Kita pun tak bisa lagi menggantungkan diri kepada para tokoh Indonesia perumus UNCLOS 1982. Tugas mereka telah selesai. Adalah tugas kita semua untuk menjawab berbagai pertanyaan krusial itu dengan satu narasi besar yang komprehensif dan juga didukung oleh strategi yang tajam dan rencana aksi yang spesifik. Tidak akan ada manfaatnya lagi berkutat pada wacana dan debat tentang masalah kelautan tanpa arah yang jelas.
Dalam konteks inilah, kini Indonesia memiliki Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) atau Indonesian Ocean Policy yang diluncurkan dalam bentuk Perpres No 16/2017. Indonesia satu-satunya negara ASEAN dan satu dari sedikit negara di dunia yang memiliki pada 2013.
Sebagai suatu narasi besar bangsa Indonesia untuk menjadi pemenang di lautan, KKI berpijak pada tujuh pilar, yaitu pengelolaan sumber daya kelautan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM); pertahanan keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan di laut; tata kelola dan kelembagaan laut; ekonomi dan infrastruktur kelautan dan peningkatan kesejahteraan; pengelolaan ruang laut dan pelindungan lingkungan laut; budaya bahari; dan diplomasi maritim.
Tujuh pilar ini dijabarkan secara rinci dengan strategi yang jelas dan rencana aksi yang nyata serta terkait satu sama lain. Perang melawan penangkapan ikan secara ilegal (illegal, unreported and unregulated fishing/IUUF), misalnya, memiliki keterkaitan erat antara kebijakan penangkapan kapal asing dan perlunya membuat norma baru kejahatan perikanan di kawasan dan global serta peningkatan ekspor hasil perikanan, peningkatan kesejahteraan nelayan dan pembangunan infrastruktur pelabuhan perikanan yang modern serta gudang es yang memadai.
Keterkaitan adalah kunci krusial dalam pelaksanaan KKI. Tak hanya keterkaitan dari sisi tujuh pilar dengan strategi dan rencana aksi nyata, juga keterlibatan semua pemangku kepentingan—pemerintah pusat dan daerah, industri, dan gerakan akar rumput—secara komprehensif. Masalah sampah plastik di laut, misalnya. Indonesia dinilai negara terburuk kedua di dunia yang menghasilkan sampah plastik. Riset Universitas Hasanudin pada 2015 menunjukkan, 28 persen dari 76 sampel ikan dari pasar ikan Paotere, Makassar, memakan plastik dengan ukuran 0.1–4.5 mm. Pelancong ke Kepulauan Seribu sering mengeluhkan banyaknya plastik di laut kita.
Sekitar 80 persen sampah plastik di laut berasal dari daratan. Sampah ini tidak dikelola dengan baik oleh pemda, yang faktanya telah berhasil mengambil alih hak pengelolaan sampah dari pusat dengan alasan otonomi daerah. Tanpa langkah konkret dan cepat, sampah plastik dapat menyerang kita kembali dalam bentuk asupan toksin, racun, atau kanker, atau bahkan perubahan DNA manusia Indonesia.
Sinergi kebijakan                                
Langkah cepat Indonesia dalam menangani hal ini melalui penyusunan rencana aksi nasional penanganan sampah plastik di laut, kerja sama dengan inovator pembuat jalan aspal dengan plastik, membuka diri kepada investor pusat listrik tenaga sampah yang sudah sangat lazim di Uni Eropa, dan memimpin diskursus global soal penanganan sampah plastik di laut telah menciptakan momentum baru dalam menangani masalah ini. Momentum ini diciptakan bersama-sama antara birokrasi dengan industri nasional dan global serta gerakan akar rumput lingkungan hidup.
Tak terlalu sering terjadi di dunia ini, suatu tantangan nasional menciptakan gerakan nasional yang pada saat sama juga mengantarkan negara menjadi pemimpin dunia. Indonesia telah membuktikan. Gerakan nasional melawan sampah plastik di laut membuat Indonesia dikenal sebagai pemimpin global dalam menangani masalah ini. Hal ini terjadi karena adanya acuan KKI.
Kebijakan ini memang harus dilengkapi rencana aksi yang rinci karena salah satu tantangan besar bangsa Indonesia adalah inefisiensi dan birokrasi yang dinilai lambat dan kurang tanggap. Memang, rujukan yang rinci pun belum tentu menjamin terlaksananya suatu program nasional yang kompleks, tetapi Indonesia telah memiliki suatu acuan mendasar tentang arah pengelolaan laut Nusantara melalui KKI. Apabila kita semua memang ingin menjadi negara maritim yang sejahtera dan kuat serta disegani dunia, pelaksanaan KKI adalah suatu keniscayaan.

Arif Havas Oegroseno Deputi Kedaulatan Maritim Kemenko Kemaritiman
( Sumber : Harian Kompas.id Tanggal 14 Juli 2017 )