Pusat
Kajian Separatisme Masihkah Relevan ?
Oleh
Harmen Batubara
TNI
lahir dari rakyat, tentara Rakyat terbiasa berhadapan dengan para pemberontak. Sudah
kenyang menghadapi para pemberontak, dan tidak pernah berhenti menangani kasus separatism.
Setiap
kali kita membicara perbatasan, khususnya di Papua maka pikiran kita akan
selalu teringat OPM? OPM dalam terminologi hukum RI adalah separatism dan wajib
hukumnya untuk di punahkan. Tapi ternyata itu tidak mudah. Dalam hal
Saparatisme Kiky Syahnakri mantan Wakasad, mengatakan sesuai pengalaman sendiri
dan beberapa negara lain menunjukkan bahwa gerakan separatis tidak pernah
berdiri sendiri; selalu ada link antara kaum separatis dan gerakan klandestin
lokal, nasional, ataupun internasional. Benar bahwa keadilan politik dan
ekonomi yang dirasakan daerah, terutama sebagai warisan sistem yang berlaku
pada masa lalu, adalah (salah satu) penyebab separatisme. Namun, kasus Ambon,
Aceh, dan Papua tidak hanya karena ketidakpuasan semata, di sana terdapat pula
masalah lain yang lebih fundamental, yaitu masalah ideologi dan kepentingan
asing.
Pada
prinsipnya, separatisme harus ditumpas sampai ke akarnya dalam arti sampai
hilangnya niat/hasrat untuk merdeka. Dalam konteks ini penekanannya lebih pada
aspek psikologis sebagaimana filosofi perang gerilya “memperebutkan hati dan
pikiran rakyat”. Dari perspektif ini, kata “tumpas” sama sekali tidak
mengandung arti penindakan dengan menggunakan laras senjata semata; tidak
pernah dan tidak mungkin ada penanganan separatisme yang tuntas di ujung
bayonet. Separatisme pasti berlatar belakang multi-aspek menyangkut ideologi,
politik, ekonomi, dan budaya, sedangkan masalah pertahanan dan keamanan
hanyalah akibat.
TNI Mestinya Sudah Ahli Dalam Penanganan Saparatisme
TNI
lahir dari rakyat, tentara Rakyat dan sejak lahirnya sudah terbiasa berhadapan
dengan para penjajah, juga para pemberontak. TNI sudah kenyang menghadapi para pemberontak,
dan tidak pernah berhenti menangani kasus separatisme. Kalau semua pengalamannya
itu di dokumentasikan, polanya di pelajari, di teliti dan dianalisis serta di
tungkan dalam konsep OLI ( Operasi Lawan Insurjensi) serta dilatihkan dan
diaflikasikan di lapangan maka sudah pasti hasilnya akan terlihat sangat
berbeda. Menakjubkan. Tetapi nyatanya, TNI tidak mempunyai semua upaya yang
seperti itu. Tidak ada yang namanya Pusat Kajian, pusat penelitian dan think
Tank terkait penangan Saparatisme, baik itu di lingkungan pusat Kesenjataan
ataupun Perguruan Tinggi (Unhan).Kalaupun ada, adanya hanya sepotong-sepotong.
Sama seperti tradisi penelitian di Indonesia. Tidak fokus. Semangatnya lebih
cenderung bagi bagai dana saja.
Masih
menurut Kyki Syahnakri, TNI tidak pernah diberi kemampuan untuk menjalankan
strategi “merebut hati rakyat” secara sungguh-sungguh. Yang ada baru sebatas
“operasi Teritorial” dengan penekanan berbuat baik dan berbaik-baik dengan
rakyat. Demikian pula dalam hal Komando. Dipercaya untuk penanganan separatisme
harus dengan konsep dan implementasi yang terpadu, meliputi aspek intelijen,
pertahanan dan keamanan, hukum, politik, ekonomi, dan juga sosio-budaya.
Kegiatan multi-aspek tersebut dapat efektif apabila berada dalam manajemen yang
terkoordinasi. Dengan kata lain, berada dalam satu komando; seperti saat
Inggris menangani separatisme di Irlandia Utara. Semua kegiatan operasi berada
di bawah satu manajemen yang dipimpin Menteri Dalam Negeri. Prinsip “satu
komando” sangat penting karena perkembangan satu aspek harus diimbangi dengan
aspek lainnya. Sebaliknya, kegagalan salah satu aspek akan berdampak pula
terhadap aspek lainnya. Keberhasilan operasi akan menurunkan motivasi
separatis. Sebaliknya, kegagalan dapat mendongkrak motivasi mereka.
Siapa Yang Pas Menangani Separatisme?
Apa
yang ingin kita katakan adalah, kita ingin kemampuan TNI didukung dalam
melakukan upaya merebut hati rakyat. TNI (bersama Kementerian/K/L Lembaga
terkait) diberi kemampuan Operasi, Kemampuan Memberdayakan warga maysrakat,
serta mengembangkan Pusat Kajian Separatisme. Meski melakukan Operasi terhadap kekuatan
bersenjata OPM, tetapi di sisi lain TNI juga tetap memberi jalan bagi para keluarga OPM untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Artinya mesti para
suami mereka di perangi, akan tetapi sebaliknya keluarganya tetap diberdayakan.
Maksudnya TNI dan Kementerian terkait berkenan membangunkan mereka kehidupan
yang lebih baik. Misalnya dengan memberikan mereka berbagai fasilitas yang setara
dengan yang diterima oleh para transmigran yang sudah kita kenal selama ini.
Misalnya setiap keluarga akan mendapatkan lahan 2 Ha, di lahannya dibuatkan
rumah, tanahnya di olah hingga siap tanam, diberikan bibit (terserah mau kopi,
sahang, karet, dll yang sesuai dengan jenis tanahnya dan laku di daerah itu),
diberikan pupuk, diberikan obat hama dan diberikan tenaga penyuluh yang bisa
membimbing mereka bertani. Intinya mereka diberdayakan dan anak-anak mereka di
sekolahkan, dan kesehatannya di perhatikan. Idenya adalah membuat warga di
daerah saparatis itu jauh lebih sejahtera dan secara nyata.
Pada
wilayah atau territorial binaannya praktis TNI memetakan secara telaten dua
pola. Pertama terkait pergerakan dan dinamika para anggota separatis itu
sendiri, sehingga tahu betul kekuatan dan kemampuan mereka dan secara perlahan
“melumpuhkan” kekuatan dan keinginan para separatis itu untuk melakukan
perlawanan. Kedua, memastikan keluarga mereka jadi sehatera. Hal itu ditunjukak
dengan keberhasilan usaha
pertanian/perkebunan para keluarga separatis itu sendiri. Artinya memastikan
bahwa pertanian/perkebunan mereka berhasil dan kegiatan pendidikan atau sekolah
anak-anak mereka berjalan dengan baik. Dari hal seperti ini, dipercaya akan ada
perubahan yang terjadi di daerah-daerah separatism itu.
Selama
ini kita tidak atau belum pernah melihat sesuatu yang khas serta dikemas untuk
diperuntukkan bagi penanganan para penggiat separatisme. Polanya hanya sejenis
“memadam kebakaran”. Kalau persoalannya lagi “mengendap” maka semua berjalan
sebagaimana biasa. Tetapi kalau separatism itu muncul, maka dilakukan pulalah
operasi “penumpasan”, begitu seterusnya. Padahal kita percaya, kalau pengalaman
TNI dan berbagai elemen bangsa lainnya dimanfaatkan dengan tepat, kita percaya
Indonesia mempunyai kemampuan yang tidak terbantahkan dalam hal menangani
masalah separatisme. Indonesia punya Universitas Pertahanan, punya pUsat
pendidikan Infantri, Pusat Pendidikan Zeni, Pusat Pendidikan Topografi
(Informasi Medan) Dll. Sayang kalau potensi semacam itu tidak dimanfaatkan
untuk kebaikan bersama dalam membangun bangsa.
Sumber : http://www.wilayahperbatasan.com/pusat-kajian-separatisme-dibutuhkan-atau-masihkah-relevan/