Jumat, 25 Juni 2021

Harmen Batubara Penulis Dari Wilayah Perbatasan


Bila di diskripsikan dengan kata-kata masyarakat pedesaan perbatasan terpencil adalah masyarakat yang relatf tertutup, mempunyai ketergantungan kuat dengan alam. Melakukan kegiatan produksi yang bersifat subsistence atau peramu, sekedar mengambilnya dari alam dengan mata pencaharian serabutan. Tidak ada atau  memperoleh pelayanan sosial yang sangat minim, menyebabkan tumbuhnya tingkat kualitas SDM yang relatif sangat rendah. Namun demikian, ada juga sebagian masyarakat pedesaan terpencil, khususnya masyarakat adat, mampu menghasilkan produk budaya berkualitas tinggi seperti ukiran suku Asmat, tato suku Mentawai, pengelolaan hutan yang harmonis suku Baduy, dll.


Harmen Batubara Penulis Dari Wilayah Perbatasan

Saat Belajar di Fort Belvoir Virginia, USA

Melihat desa tertinggal di perbatasan tentu tidak semua orang dapat “melihatnya”, karena untuk bisa melihat ketertinggalan itu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang tahu makna “tertinggal” itu sendiri. Desa tertinggal itu, ya jauh darimana-mana. Secara fisik desa itu baru dicapai setelah melakukan “perjalanan kaki”, selama satu atau dua hari, karena memang akses jalannya belum ada. Di sepanjang jalan kaki itu, sama sekali tidak ada “warung”. Karena memang semuanya masih berupa hutan dan hutan belukar. Kemudian sampailah anda ke perkampungan tertinggal itu. Ya benar-benar kampung apa adanya. Warung sudah ada, tetapi yang di jual hanya sebatas, beras, garam dan berbagai super mie serta jajanan anak-anak berupa permen dan sejenisnya. Rokok memang ada, tetapi lebih banyak jenis tembakau dan kertas linting. Pendek kata hanya sepertiga dari keperluan sehari-hari,mereka bisa beli juga karena masih bisa dengan cara barter. Jual kelapa, kemudian beli minyak tanah dst.dst.

Berikut Buku-Buku Yang Saya Tulis

Nama Buku

Nama Buku

BumDes & BumNas Sinergis Rakyat Sejahtera

Pengamanan Perbatasan

Seleksi Masuk SeskoaD

Kopi Mandheling Lungun NasoRaSasa

Membaca Strategi Perbatasan Jokowi

Membangun Pertahanan Negara Kepulauan

Formula Sukses Bisnis Affiliasi

Batas Laut Profil Perbatasan Indonesia

Membangun Halaman Depan Bangsa

Ketika Tugu Batas Digeser

Ketika Semua Jalan Tertutup

Rahasia Sukses Penulis Preneur

7Cara Menulis Artikel Yang Disukai Koran

Persiapan Tes Masuk Prajurit TNI

Penyelesaian Perselisihan Batas Daerah

Setiap Asa Bertabur Nikmat

 

Batas Negara Indonesia

Menangkan PilkadaMu

Pengelolaan Wilayah Pesisir

Mendirikan &Membangun BumDes

10 Langkah Efektif Memenangkan Pilkada

Perbatasan Tertinggal&Diterlantarkan

Formula GapTek 10 Jt Perbulan

Tapal Batas Profil Perbatasan Indonesia

Pertahanan Kedaulatan di Perbatasan

Cara Mudah Cari Uang di Clickbank

Cinta Ujung Negeri

Strategi SunTzu Memenangkan Pilkada

Papua Kemiskinan Pembiaran&Separatisme

Jadikan Sebatik Ikon Kota Perbatasan

Penetapan& Penegasan Batas Negara

Bila di diskripsikan dengan kata-kata masyarakat pedesaan perbatasan terpencil adalah masyarakat yang relatf tertutup, mempunyai ketergantungan kuat dengan alam. Melakukan kegiatan produksi yang bersifat subsistence atau peramu, sekedar mengambilnya dari alam dengan mata pencaharian serabutan. Tidak ada atau  memperoleh pelayanan sosial yang sangat minim, menyebabkan tumbuhnya tingkat kualitas SDM yang relatif sangat rendah. Namun demikian, ada juga sebagian masyarakat pedesaan terpencil, khususnya masyarakat adat, mampu menghasilkan produk budaya berkualitas tinggi seperti ukiran suku Asmat, tato suku Mentawai, pengelolaan hutan yang harmonis suku Baduy, dll.

Saya masih ingat kehidupan dikampung saya di Aekgarugur, Tapanuli Selatan di tahun-tahun 60 an. Kampung yang menghubungkan jalan raya provinsi dengan Kampung Sipotang Niari (± 20 km) lewat tengah hutan dan persawahan. Jalan memang sudah ada, tetapi masih sebatas diperkeras, hanya bisa dilewati oleh Pedati, kuda beban dan sepeda ontel. Geliat ekonomi ada, dan warung-warung di sepanjang jalan itu sudah hidup terutama oleh pelaku usaha “transportasi”, di sana sudah kita temukan tempat-tempat warung untuk pangkalan Pedati, ada pula tempat persinggahan bagi para pemilik kuda beban dan juga bagi para pelaku transportasi sepeda ontel para pemikul barang. Mereka membawa hasil bumi (padi, kopi,karet dll) dari sawah, kebun ke perkampungan di sepanjang jalan tersebut, dan kemudian membawa keperluan primer sehari-hari dan sekunder lainnya dari Kampung Aekgarugur atau Sayurmatinggi ke kampung-kapung sepanjang jalan ke Sipotang Niari. Layanan dari pemerintah masih sangat terbatas, belum ada listrik, lokasi sekolahan 4km dari kampung, tidak ada puskesmas tapi untunglah terdapat satu Rumah Sakit di Sayurmatinggi. Jadi kalau ada yang sakit dari desa Sipotang Niari maka cara membawanya adalah dengan ditandu cara sederhana. Kain sarung diusung dengan tiang bambu sebagai tandu, sipesakitan di tidurkan untuk kemudian diusung oleh dua orang, biasanya ada dua pasang tenaga “ganti” yang secara terus menerus bergantian. Jalan 20 km dengan mengusung orang sakit secara bergantian dan marathon adalah sesuatu yang biasa kala itu dan hal itu membutuhkan waktu satu sampai dua harian penuh. Sementara Rumah Sakitnya juga kira-kira setara dengan Puskesmas sekarang ini.


Saat Belajar di Australia, Bonegila Victoria

Meski tinggal di kampung terpencil, tetapi ke sekolah terus saja berlanjut. Sejujurnya saya juga tidak mengerti mengapa saya masih terus saja sekolah, padahal jumlah anak SR di sekolahan saya itu hanya tinggal 9 anak lagi, itupun sudah dari berbagai kampung tetangga. Dari kampung saya sendiri hanya tinggal saya saja, yang masih sekolah. Tetapi hebatnya lagi, saya ikut dua sekolah. Pagi jadi murid di SR dan Sore hari ikut Sekolahan Agama. Praktis semua teman-teman di kampung sudah tidak ada lagi yang bersekolah, saya juga sebenarnya ingin juga seperti mereka. Tapi kedua orang tua tidak pernah meminta saya untuk berhenti, dan saya terus melakoninya begitu saja.

Sehabis di SR saya harus ikut dengan keluarga ke Kotanopan untuk bersekolah di SMP Kotanopan. Padahal jarak dari Kampung ke Kotanopan itu sekitar 80 Km. Meski jaraknya 80 km, tetapi pada masa itu harus di tempuh selama satu hari perjalanan dengan mobil antar Kota. Namanya mobil Adianbania. Mobil itu memang setiap hari ada 5 trayek dari Kotanopan-Padangsidimpuan. Mereka dari Kotanopan pada pagi hari, mulai dari jam 05.00 pagi dan pulang lagi dari Padangsidimpuan kembali ke Kotanopan. Nah kalau saya naik dari Kampung saya misalnya jam 09.00, saya harus jalan kaki dahulu sejauh 2 km ke pinggir jalan, menunggu Adianbania dari Padangsidimpuan dan baru sampai di Kotanopan Jam 17.00. Tamat dari SMP Kotanopan, saya kemudian melanjutkan ke SMA Kotanopan. Tetapi sayangnya, saya harus dipindahkan ke SMA Padangsidimpuan, karena kebetulan dari anak-anak SMA klas satu naik ke kelas dua ada 4 orang anak yang masuk katagori jurusan Pas/Pal. Saya termasuk salah satunya. Untungnya semua keperluan perpindahannya diatur oleh sekolahan. Jadi saya resmi menjadi Anak kelas II Pas/Pal di SMA 2 Padangsidimpuan. Saya sangat menikmati suasana sekolah saya di Padangsidimpuan. Karena setiap sabtu sore saya bisa pulang ke Aekgarugur (± 30km) dan besok paginya saya bisa manderes karet. Jadi tiap minggu saya bisa dapat uang sendiri dari manderes karet uang setara RP75 -100 ribu. Dalam pergaulan saya, saya ikut Klub Boxing, dan pelari Marathon. Nah yang juga menarik adalah setamat SMA dan perubahan sikap mencari Pendidikan Berikutnya.

Terus terang, saya tadinya tidak punya niat untuk kuliah lagi. Hal itu disebabkan keuangan orang tua dan juga belum ada contohnya anak yang berhasil kuliahnya di Kampung saya. Malah sebaliknya mereka telah menghabiskan semua kebun dan sawah orang taunya, tetapi sekolah juga tidak selesai-selesai. Tetapi sekitar dua minggu sebelum pengumuman kelulusan SMA, saya main ke sekolahan saya. Saat itulah saya baru sadar bahwa sebagian besar teman-teman saya sudah pada punya rencana kuliah. Mereka umumnya ke Medan, Padang, Palembang da nada juga yang ke Jakarta, Bogor dan Yogyakarta. Pada saat itulah hati saya berguncang, dalam hati saya sangat yakin bahwa dengan ketrampilan hidup ( bisa menderes karet, bisa bersawah, bisa berkebun, bisa berjualan sayur mayur dengan sepeda, bisa berjualan minyak tanah dengan sepeda dll) yang sudah saya lakoni di Kampung saya, maka saya percaya saya akan mampu menghidupi diri saya sendiri dan bahkan yakin mampu mengkuliahkan diri sendiri, dimanapun kotanya. Pulang dari Sekolahan niat itu saya bicarakan dengan keluarga. Intinya adalah, keluarga mau mendukung Kuliah ke Yogya dengan Rp 15 ribu serta mampu membiayai sebesar Seribu rupiah perbulan. Waktu itu harga beras masih sekitar 30 rupiah/Kg. Jadi perhitungan saya dengan besar 10 kg atau Rp 300 dan dengan uang Rp 700 lainnya saya akan bisa hidup di Yogya dengan pola saya sendiri. Maka kesampaianlah cita-cita saya untuk meneruskan Kuliah ke Yogyakarta. Soal gimana nantinya? Yan anti sajalah dibicarakan. Toh kalau misalnya gagal juga, ya kembali ke Kampung. Begitu saja.


Ketika Wisuda di UGM

Pernah dengar dengan istilah tentang anak batak di perantauan kan? Batak tembak langsung. Tapi ini untuk setting ceritra tahun tahun 70an. Itu menurut saya adalah upaya untuk menggambarkan anak-anak batak yang di kampungnya sana, dia dengan segala keterbatasannya. Dia yang aslinya belum tahu apa-apa, dia yang tidak tahu apa itu universitas, apa itu aturan lalu lintas jalan; tidak tahu mana saatnya stop dan mana saat jalan ketika melihat lampu setopan “abang-ijo” di perempatan jalan. Tetapi semua itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk melanjutkan kuliah ke Jawa. Banyak dari mereka yang kondisi orang tuanya, sungguh tidak memungkinkan untuk membiayai kuliahnya. Tapi anak-anak batak itu tetap nekat. Tidak berbeda dengan anakan penyu yang meluncur ke laut, dari ribuan yang berlari yang sampai hanya beberapa. Saya salah satu diantaranya. Saya waktu itu, hanya berbekal uang sebesar 15 ribu rupiah dengan kesanggupan orang tua biaya bulanan satu ribu perbulan, dengan tujuan  Yogyakarta. Ongkos kapal waktu itu sudah 6 ribu, uang daftar di UGM 3 ribu. Belum lagi ini itu, jelas membaginya tidak bisa atau sangat sulit sekali.

Tapi itulah jalannya kehidupan, panggilan suratan tangan. Bagaimana anak kampung dengan semua ke idiotannya menapaki hidup di kota besar metropolitan. Banyak dari teman-teman meski tetap terbatas, tetapi umumnya punya uang bulanan bervariasi, antara 15-25 ribu perbulan. Tapi hal itu sama sekali tidak memberi pengaruh yang berlebihan bagi perjalanan nasibku. Sangat bersyukur karena meski dengan berbagai keterbatasan itu, ternyata saya diterima kuliah di UGM. Saat itu sebuah pencapaian luar biasa. Apalagi bagi seorang siswa lulusan SMA pedalaman dari Sumatera. Tetapi dengan uang satu ribu rupiah perbulan jelas ini sebuah tantangan. Tantangannya nyata dan sungguh luar biasa.

Saya sendiri punya jurus kehidupan langka tapi, menurut saya pas. Misalnya dalam mencari tempat Kos, carilah di wilayah kota yang tidak ada listriknya. Maksudnya agar segalanya lebih terjangkau dan murah. Lokasi itu saya temukan, yakni di Gondolayu, pinggir kali Code. Memang kondisinya kumuh, dan tempat mandinya juga di sumur-sumur seadanya di pinggiran kali code kala itu. Tapi bagi anak kampung seperti saya jelas itu jauh lebih baik dari di Kampung. Waktu itu saya malah dapat tempat kost yang tidak perlu bayar apa-apa.

Persoalan berikutnya adalah bagaimana hidup dengan uang sebesar itu? Memang harga beras waktu itu per kilonya masih rp 30 rupiah. Jadi 10 kg harganya sebesar 300 rupiah. Tapi hidup dengan uang 700 rupiah perbulan, sudah termasuk semuanya secara logika itu tidak masuk akal. Teman saya yang waktu itu kost di asrama Realino, bayarannya sudah 15 ribu rupiah per bulan. Tapi saya sangat percaya jalan pasti ada. Saya  yakin sekali, jalan untuk itu pasti ada. Cuma sayangnya saya belum tahu. Dari berbagai analisa yang saya lakukan, maka jalan yang tersedia adalah jadi penulis di koran harian. Karena menulis tidak terikat waktu, tidak mengganggu waktu kuliah. Tapi menulis untuk bisa dimuat di koran tentunya, bukanlah tulisan yang dibuat oleh penulis seperti saya yang tidak tahu apa-apa tentang menulis. Tapi jalan itu jelas terbuka. Dan saya percaya jalan saya ada di sana. Cuma bagaimana memulainya.


Saat Bersama Keluarga

Saya beruntung dan tergolong anak anak yang mudah beradaptasi, dan dengan cepat saya mendapatkan tugas sebagai pembersih dan penunggu “kantor” RW. Sebagai petugas RW saya boleh memakai sarana itu kapan saja, tugas saya hanya merawat kantor, mengetikkan dan menyampaikan surat-surat dinas dan undangan. Entah bagaimana ceritanya, pak RW malah membolehkan saya tinggal di situ, lengkap dengan makan minum gratis di warung yang ada di dekat kantor itu. Coba bayangkan, alangkah murahnya hati pak RW itu. Tuhan menolongku lewat kebaikan hati pak RW. Sederhananya saya dapat pekerjaan jadi penjaga dan merawat kantor RW tanpa upah, tetapi sebaliknya saya bisa tinggal di kantor itu dan dapat makan. Sungguh pencapaian yang luar biasa dan, itu saya peroleh ketika saat mandi di pinggiran kali code.

Sungguh saya sangat bersyukur karena “tangan Tuhan” memberikan saya begitu mudahnya dan semuanya. Tempat tinggal dengan semua sarananya, malah ada listrik, air ledeng dan mesin tik kantor yang bisa saya pakai sampai pagi. Padahal umumnya warga di kampong itu ya hanya dengan lampu teplok dan air sumur. Waktu itu, sasaran dan tekad saya hanya satu jadi penulis. Menulis untuk mendapatkan honor bagi kelanjutan kuliah. Sebagai mahasiswa UGM akses ke perpustakaan terbuka lebar, bahan bacaan saya melimpah. Saya terus menulis, menulis, menulis dan menulis. Menulis dengan mesin tik sebelas jari setiap ada kesempatan.

Sampai suatu hari setelah enam bulan mengetik tulisan siang  dan malam. Salah satu tulisan saya dimuat di Koran dua mingguan EKSPONEN YOGYAKARTA. Aduh senangnya bukan main. Rasanya dunia ini jadi begitu indah. Saya lalu mengajak anak pak RW mengambil honor tulisan itu di jalan KH Dahlan. Memang besarnya hanya 500 rupiah, dan honor itu sendiri saya berikan ke anaknya pak RW. Maka sontak di desa itu nama saya jadi buah bibir dan terkenal, mahasiswa UGM itu ternyata pintar juga menulis. Tetapi yang lebih heboh lagi, dua minggu kemudian, koran Sinar Harapan Jakarta memuat tulisan saya dengan honor 27.500 rupiah begitu juga dengan Surabaya Post dengan honor 30.000 rupiah. Setelah itu tulisan saya sudah ada dimana-mana. Bayangkan teman-teman saya umumnya hanya punya wessel antara 15-25 ribu perbulan sementara saya sudah punya penghasilan dengan rata-rata 30 ribu perbulan.

Saya menikmati kehidupan masa muda saya di Gondolayu selama dua tahun. Pada tahun ke tiga saya sudah bisa menyewa kamar di Jetis Harjo tepat di depan Teknik Geologi UGM waktu itu. Sebagai mahasiswa penulis saya juga sudah punya sepeda motor, dan bisa membayar berbagai kebutuhan saya sebagai mahasiswa Yogya.  Setelah saya memasuki kuliah di tahun ketiga, maka dunia kepenulisan telah mulai memudar karena digantikan oleh dunia survei dan pemetaan. Dari segi penghasilan, tantangan kerja di lapangan ternyata dunia survei lebih menantang. Menulis bagi saya waktu itu hanyalah jadi selingan, sementara kehidupan saya sudah sepenuhnya di topang oleh pekerjaan survei dan pemetaan. Apalagi waktu itu saya juga diangkat sebagai Chief Surveyor untuk lembaga penelitian kerja sama UGM dan KemenPU dalam hal penelitian persawahan Pasang Surut. Kehidupan mahasiswa saya sangat mennyenangkan. Mandiri, penuh dinamik dan antusiasme.

Prajurit Dengan Gaji Terbatas

Setelah lulus Geodesi UGM, mencari pekerjaan masih tergolong Mudah. Kalau di perusahaan cuku Telpon Perusahaannya dan pekerjaan selalu Ada. Saya malkukannya dan sempat beberapa bulan kerja di perusahaan Swasta. Begitu juga kalau mau jadi PNS masih tergolong mudah. Hanya saja memang harus seperti “magang” dahulu. Maksudnya  Kementerian itu mau menerima, tetapi waktunya kan pada bulan-bulan tertentu. Jadi sebelum bulan itu datang, kita jadi “magang” dulu dengan mereka dengan upah sebesar 30% dari Gaji. Sekedar untuk bisa ongkos ke Kantor. Kebetulan saya dipanggil untuk ikut Wajib Militer. Maka jadilah saya prajurit TNI. Tetapi jadi prajurit gajinya juga terbatas, artinya kalau mengandalkan Gaji saja tidak cukup.


Pengabdian Tidak Mengenal Berhenti

Saya lalu ingat besaran gaji saat memulai meniti karier di TNI dahulu. Ya di tahun-tahun 1980an. Sebagai seorang perwira pertama dengan pangkat Letnan Satu total gajinya, sebesar Rp 90 ribu. Itu sudah termasuk ULP ( Uang Lauk Pauk). Artinya itulah semua. Hal yang sama untuk personil Pollri dan PNS, kalaupun beda besarnya kecil sekali. Tentu berbeda dengan karyawan swasta. Kalau perusahaanya baik, ya gajinya besar tetapi kalau perusahaanya biasa saja, maka gajinya juga menyesuaikan. Tetapi tetap penghasilannya masih lebih baik. Untuk menyicil Rumah BTN atau katakanlah Sewa rumah, waktu itu, sebesar Rp60 ribuan/bulan. Bisa dibayangkan bagaimana sisa uang Rp30 ribu itu bisa membiayai makan, pakaian, sekolah anak-anak dan transportasi kekantor dll dalam sebulan. Dalam kondisi keuangan seperti itu, kita juga harus menjaga “road Map” jenjang karier kita. Bagaimana kau bisa tampil sehat, kerja bersemangat dan dapat penilaian baik dari atasanmu? Terus terang tidak banyak yang bisa lolos dengan baik dalam hal seperti ini. Intinya adalah kau harus bisa mencukupi keperluan harian keluargamu terlebih dahulu dan kemudian baru bisa bertugas dengan baik di tempatmu bekerja. Kau harus paham dengan Pareto 80/20.  Tapi bagaimana kau melengkapi keperluan keluargamu? Itulah tantangannya.

Pada masa itu banyak sekali hal yang dilakukan oleh mereka-mereka yang mempunyai persoalan seperti ini. Ada yang nyambi jadi sopir angkot setelah selesai jam kerja. Ada yang buka warung di rumah kontrakannya. Ada juga yang membuka “lesehan” semacam pecel lele dan mengajak teman patungan. Ada yang jadi guru les privat, ada yang jadi petugas “ keamanan” di berbagai tempat usaha atau kegiatan malam. Biasanya para anggota prajurit/Polri yang punya “pergaulan” bisa memanfaatkan jejaring seperti ini. Bisa dibayangkan, bagaimana kinerja mereka ditempat kerjanya, kalau semalaman tidak tidur. Ada juga yang jadi “pengamanan” truk. Jadi anggota prajurit/polri itu sehabis kerja ikut duduk di kenderaan Truk. Dll ternyata dinamika kehidupan itu sangat “responsip”, banyak sekali ragamnya, sulit untuk mengatakannya satu persatu. Bahkan ada banyak yang juga bisa melihat peluang ditengah-tengah kondisi ekonomi seperti itu.

Pada zaman itu, setiap instansi yang memiliki peralatan yang banyak diminati oleh masarakat atau pengusaha (alasan, untuk membantu biaya pemeliharaan)  masih diperbolehkan untuk menyewakannya. Misalnya jajaran Kementerian PU, mereka boleh menyewakan alat-alat eskapator, stoom walls dsb. Begitu juga TNI., satuan yang mempunyai alat-alat berat seperti itu atau alat-alat “pemetaan”  bisa menyewakannya. Peluang ini sesungguhnya sangat “baik” dan bisa dimanfaatkan oleh anggota prajurit itu sendiri. Saya pernah melihat seorang prajurit bisa “menyewakan” alat-alat pemetaan dari satuan TNI terdekat kepada koleganya di seluruh Nusantara. Karena memang satuan itu ada di setiap Kodam, boleh dikatakan ada di setiap provinsi. Memang “komisi”nya tidak besar, dalam artian sang parjurit tersebut juga harus memikirkan nama baiknya dan nama satuannya. Tetapi yang jelas, kalau bisa memanfaatkannya dengan baik maka ada “pemasukan” yang bisa diperoleh dari kegiatan tersebut.

Hal lain juga sangat khas, khususnya pada prajurit TNI/Polri dan PNS yang bisa berbahasa inggeris atau bahasa lain seperti Jerman, Belanda Dll. Pada masa itu masih sangat banyak kesempatan untuk bisa mengkuti “pendidikan” di luar negeri. Kelebihannya pendidikan di luar negeri apa? Pertama sesuai dengan jenjang kariernya, karena secara langsung bermanfaat untuk meningkatkan SDM di tempat dia bekerja. Penilaian kantornya pasti bagus. Hal lain yang lebih menarik lagi adalah honor yang diterima saat mengikuti pendidikan tersebut. Misalnya untuk prajurit TNI/Polri (waktu itu masih bersatu) dalam satu hari pendidikan di luar negeri minimal mereka memperoleh $10 dari TNI dan $14 dari Kementerian Pertahanan belum lagi dari Negara yang menyelenggarakannya. Besarnya tidak mesti tetapi biasanya sudah menyediakan semua fasilitas dan sarana selama pendidikan. Mulai dari apartemen, makan minum, rekreasi dan uang saku. Artinya kalau prajurit tersebut mau berhemat maka ia akan dengan mudah memperoleh $24-$35 perhari selama ia mengikuti pendidikan. Umumnya mempunyai rentang waktu antara 3-6 bulan. Kalau di hitung dengan kurs pada waktu itu, setara dengan Rp24-35 ribu perhari. Bayangkan dengan gaji yang hanya Rp90 ribu per bulan. Peluang yang sungguh tidak dinyana. Terus terang penulis juga ikut memanfaatkan kesempatan ini. Dari beberapa Sekolah ke dinasan saya, hanya dua yang saya ambil dalam negeri selebihnya saya ambil di luar. Mulai dari Amerika, Autralia, dan Inggeris. Berkat dengan semangat itu. Saya bisa belajar di  Mapping Charting And Geodesy Course (DMA,USA,1984) ; Map Control Survey Course (Aust,1988); Mapping And Manegement Border Area Course (Aust,1993); Rasvy Regimen tal Officer Course (Aust,1994) dan MBA (Leicester Univ, 1998)

 

Bersama Cucu ke Sekolah, sebelum cocvid-19

Hal lain yang memungkinkan bisa dikerjakan oleh anggota prajurit/Polri atau PNS adalah menulis. Ya menulis untuk mengejar Honor. Besaran honor menulis pada waktu itu jauh labih besar daripada saat ini. Kenapa saya berani bilang begitu? Pada masa-masa itu harga satu artikel untuk harian sekelas Kompas, Sinar Harapan dan Surabaya Post bisa mencapai antara Rp27.500-35.000. Sementara Koran-koran Lokal seperti Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Merdeka, Yudhagama Dll bervariasi mulai dari Rp 1.500-3.500 per artikel. Jadi dengan bisa menulis 2 artikel dalam sebulan di harian sekelas Sinar Harapan, atau Surabaya Post, atau Kompas ditambah dengan 4 artikel di harian lokal maka anda bisa memperoleh Rp 50.000-65.000. lumayan kan? Bandingkan dengan gaji yang sebesar Rp 90.000 perbulan. Penulis sendiri, pada waktu itu juga memanfaatkan kemampuan menulis untuk mencari penghasilan tambahan. Saya kebetulan di ajak teman untuk bergabung dengan Majalah Elektronika di Bandung. Disamping menjadi anggota redaksi tersebut, saya juga menjadi penulis buku. Saya punya kesepakatan dengan Penerbit. Waktu itu, setiap naskah buku yang saya serahkan saya dibayar Rp 1.000.000 ( satu juta ). Dengan catatan, besarnya honor penulisan 12.5 % dari harga buku. Jadi besaran satu juta itu adalah pembagian honor yang dibayarkan di depan, yang nantinya akan diperhitungkan kemudian. Kesepakatannya biaya itu, adalah biaya untuk membantu penulisan; seperti biaya untuk pembelian buku-buku referensi dan kebutuhan lainnya.

 

Selasa, 13 April 2021

Wilayah Perbatasan Dengan Transmigran Terpadu

 




Oleh Harmen Batubara
Pada awal tahun 1990 an, ketika kami (Tpografi AD) memetakan wilayah perbatasan di perbatasan Papua, untuk wilayah Merauke ke Tanah Merah, salah satu yang jadi perhatian saya adalah tidak optimalnya manfaat jalan raya Merauke-Tanah Merah yang waktu itu sudah sangat bagus, karena tidak ada yang memanfaatkannya. Sebab jalan sepanjang 350 km, nyaris tidak ada perkampungan yang “hidup”, kalaupun ada jaraknya sangat jauh. Memang ada perkampungan transmigrasi di Km 50, selebihnya hanya ada di Muting, Mindip Tanah dan Tanah Merah. Jadi kalau mau pakai mobil, ya harus bawa semuanya, mulai dari bensin,peralatan bengkel dll. Karena di sepanjang jalan itu anda tidak akan bisa mendapatkan apa-apa.
Akibatnya jalan raya yang tadinya sudah baik itu kembali rusak, badan jalan memang masih bagus karena sudah di aspal, tetapi alang-alang dari kiri kanan jalan sudah menutupi seluruh badan jalan sehingga tidak bisa lagi dilalui mobil. Kalau mau harus ada orang yang jalan di depan mobil sebagai petunjuk jalan, artinya sarana jalan itu jadi sia-sia karena tidak adanya kegiatan warga di sekitarnya yang bisa memanfaatkannya. Tetapi di perbatasan dengan Malaysia dan Timor Leste berbeda. Di sana jalan dan warganya yang tidak ada, jadi kehidupan di perbatasan seolah jadi mati. Padahal kalau hal seperti ini dikoordinasikan dengan BNPP, Kementerian daerah tertinggal dan Kementerian Transmigrasi dll tentu manfaatnya akan lebih optimal.

Perlu Kembali Digalakkan

Anggota Komisi VIII DPR MH Said Abdullah meminta agar pemerintah kembali untuk menggencarkan program transmigrasi sebagai upaya untuk menekan angka kemiskinan dan meningkatkan serapan tenaga kerja. “Mengikuti program transmigrasi ini jauh lebih terhormat dibandingkan harus bekerja di luar negeri menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI),” katanya kepada Neraca, Selasa (16/4). Selain lebih terhormat dan lebih mandiri, Said Abdullah juga menyatakan, transmigrasi juga berpotensi untuk ketahanan nasional. “Artinya, jika memang harus memilih, transmigrasi ini jauh lebih baik,” katanya menjelaskan. Namun, lanjut dia, yang saat ini menjadi masalah, karena sebagian masyarakat menganggap bekerja di luar negeri lebih menarik dengan berbagai pertimbangan. Salah satunya karena karena dari sisi penghasilan dianggap jauh baik.
Padahal, menurut dia, program transmigrasi itu sebenarnya tidak kalah dari sisi potensi ekonomi dibanding bekerja di luar negeri, karena pemerintah memberikan sejumlah fasilitas, seperti rumah tinggal dan lahan pertanian seluas dua hektar untuk dikelola. Oleh karena itu, dirinya mendorong agar pemerintah kembali berupaya menggiatkan program ini, dengan cara terus menggencarkan sosialisasi kepada masyarakat, terutama di daerah padat penduduk. “Salah satu caranya tentu harus ada komunikasi intensif antar kepada daerah asal dengan kepala daerah yang menjadi tujuan transmigrasi itu,” ungkapnya. Di Pulau Madura sendiri yang merupakan daerah asal Said Abdullah, dia menuturkan program transmigrasi ini pernah sukses dan banyak warga di Pulau Garam itu mengikuti program yang dicanangkan pemerintah sejak puluhan tahun lalu.
Hanya saja, sejak terjadi kasus bernuansa Sara di Sampit, Kalimantan beberapa tahun lalu, kini program transmigrasi kurang diminati lagi, bahkan masyarakat cenderung mengaku trauma. Dari adanya kasus itu diketahui, bahwa warga Madura yang paling banyak mengikuti program transmigrasi adalah asal Kabupaten Sampang dibanding tiga kabupaten lain yang ada di pulau itu, yakni Sumenep, Pamekasan dan Kabupaten Bangkalan.”Ini tentu karena adanya situasi politik itu tadi.
Makanya pemerintah harus melakukan penyelesaian melalui upaya-upaya politik pula,” tambahnya. Said Abdullah pun menyarankan, perlunya pemerintah melakukan kajian strategis untuk lima dan 10 tahun ke depan untuk sebaran penduduk, karena salah satu tujuan program itu juga untuk penyebaran penduduk Indonesia, selain untuk menekan angka kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja.

Penghargaan Transmigran Teladan 2012

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar memberikan penghargaan Transmigran Teladan dan Petugas Pembina Permukiman Transmigrasi Teladan Tingkat Nasional dalam rangka memperingati hari kemerdekaan RI tahun 2012.
Juara pertama Transmigran Teladan 2012 diraih Cokro Sugimo, transmigran yang bermukim di unit pemukiman teknis (UPT) III Sesayap, Kabupaten Tana Tidung, Kalimantan Timur. Setelah mengikuti program transmigrasi, lulusan SLTA asal Karang Anyar, Jawa Tengah, ini memiliki penghasilan total Rp 318 juta per tahun atau Rp 26,5 juta per bulan dari usaha bertani serta industri rumahan pengolahan keripik/kerupuk dan beternak.
juara kedua transmigran teladan diterima Zaenal Arifin, transmigran kelahiran Cilacap, Jawa Tengah, di UPT Kumai Seberang-Kota Waringin Barat, Kalimantan Tengah. Penghasilannya mencapai Rp 193,15 juta per tahun dari hasil bertani dan berdagang. Sedangkan juara ketiga diraih Daniel Ndiken, transmigran lokal di Tanah Miring, SP-1 Kampung Sarsang, Merauke (Papua). Penghasilannya mencapai Rp 185,9 juta per tahun dari hasil jualan pasir golongan dan perajin kayu.
Sementara itu, juara I petugas pembina permukiman transmigrasi diterima oleh Ali Okman asal lokasi transmigrasi Gedong Karya-Muaro Jambi, Jambi. Sedangkan juara II diraih Ujang Slamet asal Lubuk Talang-Moko Muko, Bengkulu, serta juara III diterima Ikhwan asal Sori Panihi-SP 5, Bima, Nusa Tenggara Barat.

Masih Banyak Diminati

Hingga akhir tahun 2012 lalu, jumlah Kepala Keluarga (KK) di Provinsi Jawa Tengah yang ingin bertransmigrasi telah mencapai kisaran 6.000 KK. Panjangnya daftar antrean tersebut pun diyakini mengalami kenaikan pada bulan-bulan awal 2013 ini. Itu disebabkan, seluruh kantor Dinas Transmigrasi tingkat kabupaten dan kota masih menerima permohonan dan berkas pengajuan program transmigrasi dari sejumlah warganya. Kepala Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Kependudukan (Nakertransduk) Jawa Tengah, Agus Tusono mengatakan, tingginya jumlah tersebut merupakan bukti besarnya kebutuhan masyarakat akan pelayanan transmigrasi. Apalagi di wilayah perkotaan atau pemukiman padat, angka kebutuhan bertransmigrasi bahkan cenderung lebih tinggi.
Betul jika transmigrasi masih dianggap sebagai kebutuhan serta solusi akhir untuk mengatasi masalah kepadatan penduduk. Namun secara tidak langsung atau perlahan, transmigrasi dapat memberikan kontribusi pada kemajuan pembangunan dan kesejahteraan yang lebih merata,” kata Agus Tusono, Jumat (08/03). Menurut Agus, melonjaknya minat bertransmigrasi lebih disebabkan oleh cerita sukses tentang keluarga transmigran yang lebih dahulu berangkat. Dari yang semula merupakan warga miskin atau petani penggarap lahan, di daerah transmigrasi, mereka berhasil meningkatkan taraf hidupnya menjadi seorang petani makmur dan pelopor pertanian modern.
Di wilayah yang baru, sebagian besar transmigran asal Jawa Tengah membudidayakan hasil pertanian atau peternakan yang sulit didapatkan sementara tingkat kebutuhannya cukup tinggi. Mulai dari padi, cabai, sayuran hingga buah varietas terbaru. Dan setelah bertahun-tahun bekerja keras serta menerapkan ilmu dan pengalamannya, mereka berhasil meraih sukses. Kabar baik seperti ini biasanya menyebar dengan cepat dan menjadi bahan diskusi warga khususnya di wilayah semula transmigran tinggal. Efek berantai seperti inilah yang menurut Agus, lebih efektif untuk menumbuhkan minat bertransmigrasi dibanding program penjaringan dan sosialisasi.
“Melonjaknya cukup pesat jika kami bandingkan dengan minat bertransmigrasi pada 10 atau 15 tahun terakhir. Bahkan kami yakin jumlahnya akan semakin meningkat di tahun-tahun mendatang,” ujar Agus Tusono. Meski demikian Agus menyayangkan daftar antrean sepanjang itu ternyata sama sekali tidak sebanding dengan alokasi target pemindahan dan penempatan transmigran yang diberikan pihak Tenaga Kerja dan Transmigrasi bagi Jawa Tengah. Periode 2013 ini, Provinsi Jawa Tengah hanya mendapatkan kuota sebanyak 560 KK. “Komposisi daerah tujuan transmigrasi tahun ini lebih banyak ditujukan ke pulau Sulawesi mencapai 45 persen. Pulau Kalimantan 44 persen dan sisanya 11 persen di pulau Sumatera,” ujar Agus.

Perlu Sinergitas dan Kebersamaan

Pembangunan transmigrasi masa lalu penting diingatkan lagi agar tidak terjadi kesalahan yang sama, maka pembangunan transmigrasi yang berwawasan tertentu harus dipelajari. Dalam sejarahnya istilah transmigrasi pertama kali dikemukakan oleh Bung Karno pada tahun 1927 dalam Harian Soeloeh Indonesia. Kemudian Egbert de Vries pakar berkebangsaan Belanda pada tahun 1934, selanjutnya Bung Hatta dalam Konferensi Ekonomi di Yogyakarta pada tanggal 3 Februari 1946.
Pada jaman pemerintahan Hindia Belanda kegiatan transmigrasi disebut kolonisasitransmigrasi  pada masa itu dimaknai sebagai program pemindahan penduduk yang menyeberangi laut (trans), dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa. Dalam rangka pengentasan kemiskinan dan pembangunan daerah-daerah di luar pulau Jawa.
Terlihat disitu bahwa pemerintah Indonesia menjelang kemerdekaan memutuskan untuk melanjutkan program tersebut dengan tujuan untuk mempersatukan bangsa Indonesia agar lebih kokoh lagi melalui berbauran antar etnis. Dan itu berlanjut sampai reformasi yang dimulai sejak tahun 1998.
Pada tahun 1960 dikeluarkanlah PERPU Nomor 29, tentang Pokok-Pokok Penyelenggaraan Transmigrasi. Dalam PERPU tujuan penyelenggaraan transmigrasi dibatasi atau dipersempit pada hal-hal yang menyangkut: keamanan, kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat dan memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dengan jalan :Membuka sumber-sumber alam dan mengusahakan tanah secara teratur; Mengurangi tekanan penduduk di daerah-daerah padat penduduk dan mengisidaerah kosong atau tipis penduduk.
Pada era otonomi daerah khususnya satu tahun menjelang era reformasi lahirlah Undang-Undang R.I. Nomor 15 Tahun 1997, tentang Ketransmigrasian. Dalam undang-undang tersebut penyelenggaraan transmigrasi ditujukan untuk meningkatkan kesejaheteraan transmigran dan masyarakat sekitarnya, peningkatan dan pemerataan pembangunan daerah, serta memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa.
Tujuannya lebih disederhanakan agar daerah (otonomi) dapat mengembangkan sesuai dengan kebutuhannya. Tujuan itu hanya bingkai pembatas, di dalamnya harus berkembang sesuai kondisi masing-masing daerah. Kondisi yang beragam harus dilihat sebagai suatu hikmah. Tujuan ketahanan dan pertahanan tidak dimasukkan karena dianggap sudah terwakili dalam tujuan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, dan tidak akan popular di alam reformasi. Artinya selama ini yang menjadi esensi dari penyelenggaraan transmigarsi, adalah untuk  mempersatukan nusantara sebagai bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itu harus ada sinergitas yang baik diantara kementerian/Lembaga maupun non lembaga terkait agar program ini optimal.

Sabtu, 10 April 2021

Otsus Memang Untuk Warga Papua NKRI

 


Otsus Memang Untuk Mengurangi Pengaruh Warga Papua Anti NKRI

Oleh Harmen Batubara[1]

Otsus harus dilihat dari kondisi Indonesia Paska Orde Baru. Orde Baru dalam sepanjang pemerintahannya juga ternyata belum mampu meng inflementasikan pembangunan Indonesia sesuai dengan UUD 1945. Orde baru juga gagal serta tidak bisa fokus untuk membangun negaranya sendiri tapi malah terjebak dengan mengkooptasi Timor Timur mejadi bagian dari NKRI. Pemerintah Orde Baru malah terlibat terlalu dalam dengan persoalan masalah dalam negera tetangga itu. Keterpurukannya Orde baru dan di awal Orde Reformasi Indonesia harus kembali melepas Timor Timur untuk menjadi Timor Leste. Nah Papua khususnya, para pendukung OPM melihat kesempatan ini sesuatu yang perlu dimanfaatkan. Kita tidak perlu melihat setting operasionalnya, tetapi hal itulah yang kemudian melahirkan OtSus dari hasil TAP MPR No,4/1999.

Isi dari TAP MPR No. 4/1999 tersebut mengamanatkan pembentukanUndangUndang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua(Otsus Papua), suatu lebijakan yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan di Papua.Sebagaimana amanat UU No. 21 Tahun 2001, Otsus Papua pada dasarnyaadalah pemberian KEWENANGAN YANG LEBIH LUAS bagi pemerintah provinsi danrakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangkaNKRI. Kewenangan yang lebih luas berarti tanggung jawab yang lebih besar bagi pemerintah provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakanpemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam untukkemakmuran rakyat Papua.

Kewenangan ini berarti pula kewenangan untukmemberdayakan potensi sosialbudaya dan perekonomian masyarakatPapua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orangorang asliPapua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Undangundang Otonomi Khusus juga memberikankeberpihakan dan perlindungan terhadap hakhak dasar dari penduduk asliPapua. Untuk itu perlindungan terhadap hakhak dasar orang asli Papuamencakup enam dimensi pokok kehidupan, yaitu: (1) Perlindungan hakhidup orang Papua di Tanah Papua, yaitu suatu kualitas kehidupan yang bebas dari rasa takut serta terpenuhi seluruh kebutuhan jasmani danrohaninya secara baik dan proporsional; (2) Perlindungan hakhak orangPapua atas tanah dan air dalam batasbatas tertentu dengan sumberdayaalam yang terkandung di dalamnya; (3) Perlindungan hakhak orang Papuauntuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat dan aspirasinya; (4)Perlindungan hakhak orang Papua untuk terlibat secara nyata dalamkelembagaan politik dan pemerintahan melalui penerapan kehidupan berdemokrasi yang sehat; (5) Perlindungan kebebasan orang Papua untuk

Otsus Papua juga mengamanatkan pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga representasi kulturaldari masyarakat asli Papua.Kedudukan MRP terdapat dalam Bab V Pasal 5 Ayat (2), Pasal 19, Pasal 20,Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24 dan Pasal 25 UU Otsus Papua,sedangkan pembentukannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua. Sebagai partner kerja daripemerintah daerah, kedudukan MRP dengan segala tugas dankewenangannya dapat memberikan suatu manfaat atas pelaksanaan OtsusPapua, dan diharapkan dapat memberi masukan yang memihak padakepentingan masyarakat asli Papua.  MRP sesuai  [Pasal 23 ayat 1) UU 21/2001] mempunya kewajiban untuk mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua; mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta menaati segala peraturan perundang-undangan;  membina pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat dan budaya asli Papua; membina kerukunan kehidupan beragama; dan mendorong pemberdayaan perempuan.



Papua Adalah Milik Warga Asli Papua Pro NKRI

Para pejuang KKB atau OPM selama ini selalu berdalih bahwa kaum elit terdidikPapua telah merencanakan penentuan nasib sendiri melalui pembentukan Nieuw Guinea Raad yang diresmikan pada April 1951. Ketua dan kawan kawan  Nieuw Guinea Raad  yaitu Nicolaas Jouwe  membentuk komite nasional dalam rangka mempersiapkan alatalat dan simbol kelengkapan negara. Negara bangsaPapua yang dipersiapkan itu dinamai Papua Barat (West Papua). Pada 1Desember 1961, Bintang Kejora, bendera nasional negara Papua Baratdikibarkan sejajar dengan bendera Belanda, dan lagu kebangsaan “HaiTanahku Papua”

Dalam perjalanannya yang anti Indonesia  sejak 1960-an Nicolaas Jouwe[2] berjuang agar hak-hak orang Papua untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai bangsa  merdeka yang dihormati. Perjuangan itu sudah dilakukannya hingga 1969. Menurut Nicolaas Jouwe, setelah 2/3 negara anggota dalam Sidang Umum PBB menerima hasil Pepera 1969, tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Suka atau tidak suka, bangsa Papua telah menjadi bagian resmi dari negara-bangsa Indonesia. Baginya, dia harus menerima secara realistis keadaan ini dan menghabiskan sisa hidupnya untuk membantu pemerintah Indonesia menyejahterakan rakyat Papua. Dia kembali kepangkuan NKRI.

Masih ingat  Nick Messet adalah  mantan Menteri Luar Negeri Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang juga memilih pulang setelah 40 tahun berjuang demi Papua Merdeka. Sebagai putra asli Papua, Nick Messet adalah seorang pilot berdarah Papua pertama, lulusan Cessnock, New South Wales, Australia yang bekerja untuk maskapai Papua Nugini. Ayahnya adalah Bupati Jayapura periode 1976-1982.  Setelah kembali ke NKRI, Nick Messet ditugasi membangun hubungan antara Indonesia dan negara-negara di Pasifik.Peran Nick Messet dahulu sebagai Menlu OPM dalam merangkul negara-negara di kawasan Pasifik kini diminta  untuk mendukung kepentingan diplomasi Indonesia. Tak heran sejak pertengahan 2018, Nick Messet ditetapkan sebagai Konsul Kehormatan dari Indonesia untuk Nauru. Selama ini negara-negara di Pasifik seperti Nauru, Kepulauan Marshall, Solomon, Vanuatu, Tuvalu dan Tonga serta Papua Nugini dipandang menjadi target untuk meraih dukungan bagi ide kemerdekaan Papua melalui referendum karena kesamaan ras yakni Melanesia. Dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, Nick Messet melontarkan alasannya kembali ke NKRI.

Nick Messet meninggalkan Papua di tahun 1960-an. ”Saya tinggalkan Papua untuk berjuang dari luar negeri, dan selama lebih dari 40 tahun tapi hasilnya tidak ada. Setiap Negara yang saya minta dukungannya untuk Papua Merdeka. Mereka selalu bilang kalau Papua itu bagian yang sah dari Indonesia. Lalu saya kembali ke Indonesia dan  membangun Papua di dalam bingkai NKRI. Karena saya lihat hal seperti itu sudah jalan. Satu-satunya itu harus kerjasama dengan Indonesia untuk memperbaiki kehidupan, kesejahteraan sosial Papua,” kata Nicholas Messet.

OPM Mempermasalahkan New York Agreement

Para penggiat OPM itu sering menyebut bawa New York Agreemeny pada 15 Agustus 1962. Sebagai kesepakatan antara pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia itu berisi: (1) Belanda menyerahkan tanggung jawab administratif pemerintahan Papua Barat kepada PBB melalui UnitedNations Temporary Executive Authority (UNTEA); (2) Terhitung 1 Mei 1962 UNTEA menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia; (3) Pada akhir 1969, di bawah pengawasan PBB, dilakukan  Act of Free Choice  bagi rakyat Papua untuk dapat menentukan sendiri nasib atau kemerdekaannya sendiri.“The Act of self-determination will be completed before the end of 1969,” Pada 14 Juli hingga 2 Agustus 1969,  Act of Free Choice  bagi rakyat Irian Barat digelar lewat PEPERA (PenentuanPendapat Rakyat). PEPERA diwakili 1,025 warga Papua, menurut OPM itu  Act of self-determination  mengkaidahkan satu orang satu suara (One Man One Vote)

Tetapi mereka lupan bahwa pada saat itu kondisi Papua masih sangat tertutup sarana transportasi nyaris belum ada.  Semua serba terbatas Mereka juga lupa bahwa cara pemilu di Papua masih memakai sistem NOKEN artinya suara warga dopercayakan penuh pada kepala suku. Selama ini OPM selalu berdalih bahwa bagi rakyat Papua, hingga saat ini PEPERA masih dianggap sebagai bentuk manipulasi Indonesia untuk menguasai tanahPapua. Padahal para penggiat OPM itu juga melihat bahwa bentuk Pemilu hingga tahun 2021 di Papua masih dengan sistem “Noken” yang dalam pengertian budaya masih menganut asas musyawarah untuk mufakat. Dimana Noken dipakai sebagai simbol kebersamaan Suku atau keluarga besar yang diwakilakn oleh para kepala Suku. Jadi secara Hukum dan sesuai sejarahnya Papua itu adalah bagian syah dari NKRI. Jadi bagi mereka yang tidak suka NKRI ya sebaiknya jangan tinggal di wilayah itu, tetapi ke wilayah lain yang bisa menerima mereka. Menurut hemat saya, berbagai alasan untuk mengevaluasi Otsus itu ide yang baik tetapi jika dilihat dengan realitas di lapangan kita masih perlu terlebih dahulu membangun Papua yang lebih baik lagi, Khususnya perlu dana yang lebih besar dan pemekaran wilayah. Soal ada yang tidak setuju hal itu ya sah-sah saja. Nanti setelah keadaan dan sistemnya lebih baik lagi maka evaluasi bisa dilakukan kembali. Sekarang lebih baik fokus sesuai konsep NKRI dan mensukseskan acara PON Papua.

Pembangunan Papua Masih Perlu Perjuangan

Papua dilihat dari segi territorial memang besar dan kaya akan sumber daya alamnya, tetapi kalau dilihat dari Sumber Daya Manusianya Papua justeru sangat kecil sekali jika dibandingkan dengan daerah Indonesia lainnya. Sebagai informasi, jumlah penduduk di Tanah Papua[3] diperkirakan mencapai 4,3 juta jiwa pada 2019. Angka tersebut terdiri atas 963.600 jiwa penduduk Papua Barat dan 3,34 juta jiwa penduduk Papua dengan Perkiraan warga asli Papua tidak lebih dari 3 Juta jiwa. Jadi bisa dibayangkan seberapa besar perhatian pemerintah yang bisa diberikan ke wilayah ini, sementara Indonesia masih mempunyai 240 jutaan di daerah lainnya. Jadi secara logika pemerintah “ kedederan” dalam memperhatikan dan membangun Papua. Apalagi pembangun pemerintahan sebelum era Jokowi memang masih lebih fokus pada Pulau Jawa dan sekitarnya. Dalam kondisi seperti itulah, para penggiat warga Papua yang pro kemerdekaan kian mendapat angin dan terus berusaha untuk mendiskreditkan pemerintah. Betul kelahiran Otsus sudah pada treknya, tetapi belum sepenuhnya terkelola secara baik. Namun satu hal yang telah memberikan warna adalah telah muncul dengan semarak para Pemimpin Papua dari warga Papua Asli.


Tahun 2021 adalah tahun ahir masa berlakuknya Otsus, berbagai pihak mengutarakan harapannya agar sebelum memperpanjang Otsus perlu terlebih dahulu Evaluasi menyeluruh terkait Otsus, suatu harapan yang sebenarnya sangat baik. Tetapi dihadapkan dengan fakta di lapangan justeru banyak hal juga tengah berjalan kea rah yang lebih baik. Khususnya Gubernur dan Bupati, Pangdam dan Kapolda sudah dari warga Papua Asli. Harapan kita setelah pimpinannya dari warga asli Papua mestinya segala sesuatunya akan jauh lebih baik dan itu perlu waktu. Meski ada yang mengatakan untuk apa adanya Otsus sementara kekerasan masih terjadi?  Ya kita harus realistik dan melihat bahwa kekerasan yang terjadi itu adalah atas adanya kegiatan “kekerasan” yang dilakukan oleh KKB atau OPM diberbagai daerah. Pemerintah sudah mereseponnya sesuai dengan UU yang ada, serta melakukannya secara baik dan terbatas dilakukan oleh Polri dan TNI secara terkendali. Harapan kita demikian juga terhadap ASN, Lingkungan Pendidikan Tinggi Dll agar lebih fokus memberikan kesempatan kepada warga papua Asli yang pro NKRI. Sebaliknya terus mengeliminasi warga papua yang tidak pro NKRI.

Bahwa ada juga yang mengatakan Papua bukan hanya butuh dana,  Majelis Rakyat Papua misalnya merasa "dibungkam" oleh pemerintah pusat karena tidak dilibatkan dalam rencana revisi UU Otsus Papua yang kini sudah masuk ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk kemudian dilakukan pembahasan. Yang menyebut "Itu adalah langkah sepihak Jakarta, tanpa persetujuan dan tidak sesuai dengan aspirasi rakyat Papua. Kami mengalami pembungkaman demokrasi hak orang asli Papua. MRP menganggap tidak ada niat baik dari Pemerintah Pusat membangun Papua sebagai satu kesatuan dalam NKRI," kata Ketua MRP Timotius Murib. Kita bisa melihat kekecewaan dari mereka yang tidak puas atas apa yang terjadi setelah adanya Otsus, tetapi kita juga bisa melihat bahwa keberdaan Otsus saat ini masih relepan, dan bisa dilakukan lebih baik lagi di lapangan dan pemerintah Pusat justeru melihat lebih perlu untuk melakukan pemekaran wilayah untuk Papua. Karena apa? Karena hal itu akan membuka kesempatan kerja bagi warga asli papua pro NKRI. Bayangkan saja untuk satu provinsi saja ia membutuhkan kurang lebih 10 ribu prajurit Polri dan TNI belum lagi Pemdanya sendiri dan yang lebih penting lagi hal itu akan bisa mempersemput gerakan para penggiat KKB dan organisasi lainnya yang tidak pro NKRI.

 



[1] CEO https://www.wilayahperbatasan.com/

[2] https://www.wilayahperbatasan.com/nicolaas-jouwe-nick-messet-kembali-ke-nkri-membangun-papua/

[3] https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/08/22/jumlah-penduduk-di-tanah-papua-diproyeksi-mencapai-578-juta-jiwa-pada-2045