Perbatasan Natuna, KKP
Penjaga ZEE dan Traditional Fishing Rights
Oleh harmen batubara
Tiongkok sepertinya
hanya peka dengan kepentingan nasionalnya, dan sebagai Negara terbesar di
kawasan sama sekali tidak memperlihatkan uanggah unggih yang semestinya. Faktanya
Tiongkok tidak mengindahkan hak berdaulat atau hak-hak negara lain. Padahal
kedua negara bersahabat erat. Hal ini terkait dengan penangkapan ikan secara
illegal di perairan Natuna, Indonesia. Faktanya bisa dilihat pada saat
Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP) berhasil menangkap basah pelaku
illegal fishing dari Tiongkok yang menggunakan KM Kway Fey 10078 di Perairan
Natuna Indonesia. Penangkapan kapal ini sempat dihalangi oleh Kapal Penjaga Pantai
(coastguard) Tiongkok. KP Hiu 11 hanya berhasil menangkap awal kapal tersebut,
sementara itu KM Kway Fey 10078 dipertahankan oleh Coastguard Tiongkok pada
tanggal 19 Maret 2016. Hal yang sama terulang lagi pada tanggal 17 Juni 2016,
kali ini dengan KRI Imam Bonjol-383 dari 12 Kapal hanya berhasil menangkap Satu
Kapal berikut awaknya. Sebelumnya KRI Oswald Siahaan-354 juga telah berhasil
menangkap kapal nelayan China yang juga melakukan aksi pencurian ikan di
wilayah perairan yang sama.
China ternyata masih punya
agenda lain. Pada tanggal 3 Januari 2020
terdeteksi sekitar 30 kapal nelayan China yang dikawal tiga kapal coast
guard atau penjaga pantai. Berada di wilayah ZEE Indonesia. Saat itu, belum ada
kapal nelayan Indonesia ataupun kapal perang RI (KRI) di lokasi. Pada hari
berikutnya, kapal-kapal China sudah bergeser ke selatan, makin mendekati Ranai.
Pelanggaran ini telah jauh melewati batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Indonesia yang merentang dari garis pangkal pantai hingga 200 mil ke arah laut.
Tiongkok memang punya niat yang kurang baik, atau arogansinya jauh dari
basa-basi sesame Negara di kawasan.
Untungnya kita sudah
punya Kogabwilahan. Kogabwilhan merupakan organisasi yang mendapat mandat
kendali utama dari Panglima TNI untuk melaksanakan operasi gabungan darat,
laut, dan udara di wilayahnya. Kogabwilhan posisi dan tupoksinya jelas, mereka
punya mandat kendali utama untuk melakukan operasi yang melibatkan komando
utama TNI AL, yaitu Armada I dan Komando Operasi TNI AU (Koopsau) I. Cara
kerjanya tentu sesuai kebutuhan. Pesawat intai strategis TNI melakukan operasi
pengamatan dan pengintaian; Armada I mengerahkan kapal perang. Kendali operasi
ada di masing-masing Panglima Armada I dan Pangkoops I. Panglima Armada I
Laksamana Muda Muhammad Ali mengatakan, selain dua KRI yang sudah tiba di Laut
Natuna Utara, didatangkan pula KRI John Lie, KRI Usman Harun, KRI Karel Satsuit
Tubun, dan KRI Tarakan.
Masalahnya Tiongkok
mendatangkan 30 Kapal pencuri ikan serta tiga kapala pengawalnya dari Coast
Guard atau penjaga Pantai yang secara resmi diawaki oleh petugas-petugas sipil.
Dalam kondisi seperti ini, tentu Kogabwilhan tidak bisa berbuat banyak kecuali
melakukan langkah-langkah persuasip, sipatnya hanya sekedar menghalang-halangi.
Idealnya itu kapal KKP yang maju, dengan atau tanpa perlindungan KRI
Kogabwilhan di situ, KKP bisa langsung menangkapi kapala-kapal pencuri ikan
itu. Kemudian membawanya untuk kemudian di proses secara hokum yang berlaku di
Indonesia. Faktanya pada tahun 2016 KKP ternyata mampu melakukannya dengan
baik. Meski tangkapannya terbatas. Jadi kedepannya perlu dilakukan dengan
memperkuat kemampuan KKP untuk mengkapi kapal-kapal pencuri Ikan itu serta
dibantu oleh Kogabwilhan secara terukur.
ZEE dan Traditional Fishing Ground
Dilihat dari UU,
khususnya UU UNCLOS 1982, dimana Indonesia dan Tiongkok mengakuinya jelas
Tiongkok melakukan “pelecehan” atau tidak menghormati “hak berdaulat” RI atas
wilayah tersebut. Tiongkok memakai alasan karena wilayah itu merupakan
“traditional fishing ground” mereka sejak dahulu kala. Padahal UU UNCLOS sama
sekali tidak mengenal “istilah” traditional fishing ground seperti itu. Lalu
Apa sebenarnya MAUNYA Tiongkok?
Sesuai UU, konsep
Traditional Fishing Grounds tidak dikenal dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut
Internasional 1982 (UNCLOS) di mana Tiongkok dan Indonesia adalah negara
anggota. Dalam konvensi yang dikenal adalah konsep Traditional Fishing Rights
(bukan Grounds) sebagaimana diatur dalam Pasal 51 UNCLOS. Menurut ketentuan
Pasal 51 keberadaan Traditional Fishing Rights harus didasarkan pada perjanjian
bilateral. Hingga saat ini Indonesia hanya memiliki perjanjian bilateral
terkait Traditional Fishing Rights dengan Malaysia.
Lalu apa yang menjadi
dasar bagi Traditional Fishing Grounds? Dasarnya tidak lain adalah klaim
Sembilan Garis Putus. Pemerintah Indonesia sejak lama, saat Ali Alatas menjabat Menteri Luar Negeri, mempertanyakan
kepada Pemerintah Tiongkok apa yang dimaksud dengan Sembilan Garis Putus-Putus.
Namun, hingga saat ini jawaban atas pertanyaan tersebut belum pernah diberikan
oleh Pemerintah Tiongkok. Secara sepihak,
Presiden Joko Widodo pada saat berada di Jepang hendak berkunjung ke Tiongkok
(22/3/2015) menyatakan bahwa Tiongkok tidak memiliki dasar hukum internasional
apa pun atas Sembilan Garis Putus.
Dalam tradisi klaim
wilayah, sebenarnya caranya sangat sederhana. Kalau ada wilayah yang tidak
bertuan atau sesaat setelah berhasil direbut kemudian di “declare” atau
ditegaskan bahwa wilayah dengan batas-batas nya menjadi dibawah kekuasaannya.
Maka mereka berhak atas pengusaan wilayah itu selama tidak ada yang membantah
atau menyanggah. Kalau ada sanggahan mereka bisa selesaikan sendiri, bisa dgn
cara damai atau cara perang. Terserah, yang penting ada pengakuan. Hal itu
dilakukan oleh Jerman di Papua. Mereka men declare, bahwa wilayah yang tidak
termasuk penguasaan Inggeris dan Belanda di Papua adalah wilayahnya Jerman.
Ketiga Negara itu menjadi pemilik wilayah di pulau Papua.
Hal seperti itu
pulalah yang dilakukan China. Masalah Nine
dash line pada awalnya muncul di peta China sebagai garis 11-garis (sebelas
garis) pada tahun 1947 ketika angkatan laut Republik China kala itu menguasai
beberapa pulau di Laut China Selatan yang sebelumnya diduduki Jepang di saat
perang dunia kedua. Setelah negara Republik Rakyat China berdiri pada tahun
1949, pemerintah komunis China menyatakan diri sebagai satu-satunya perwakilan
sah China dan mewarisi semua klaim maritim di wilayah tersebut. Dalam
perjalanan waktu, dua buah “garis” telah dihapus pada awal 1950-an di kawasan
Teluk Tonkin, sehingga tinggal sembilan garis. Garis ini sangat penting bagi
China karena berfungsi sebagai dasar klaim China untuk “hak historis” di
wilayah tersebut.
Beijing bersikukuh dan
berpendapat bahwa sembilan garis putus-putus muncul dalam tatanan dunia setelah
perang dunia kedua dan terbentuk jauh sebelum UNCLOS 1982. Beijing beralasan
China menerima penyerahan Jepang dan merebut kembali kawasan itu dengan
dukungan hukum dan otorisasi negara-negara Sekutu. Menurut China, saat itu
negara-negara di wilayah itu dan AS tidak menyatakan keberatan pada klaim
China.
Dalam hal tradisi
penegasan perbatasan Negara. Perbatasan diakui kalau ada kesepakatan, tanpa
kesepakatan itu maka perbatasan tidaklah bermakna. Hal itu bisa kita lihat dari
berbagai putusan Mahkamah Internasional tentang polemik perbatasan atau
perairan. Boleh dikatakan,selama ini Mahkamah
Internasional selalu menghindari putusan yang bersifat mengatur kewenangan
teritorial perairan negara-negara yang bersengketa. Artinya, persoalan mendasar
soal garis batas mana yang paling sah secara hukum internasional tidak mereka kukuhkan
secara jelas.
Masalahnya kenapa
China hanya berpatokan kepada “nine dash Line” nya saja, sementara mereka tidak
peka dengan batas-batas Negara yang telah melekat pada masing-masing Negara lewat
berbagai UU, termasuk UU UNCLOS 1982? Secara geografis, dan positioning “nine dash
Line” itu perlu di uji ke akuratan posisinya secara ilmiah, atau cara-cara yang
bisa diterima berbagai pihak. Sehingga posisi yang dikehendaki oleh “nine dash
line” china itu bisa diketahui secara pasti, untuk kemudian di jadikan
referensi yang semestinya. Sampai saat ini, keberadaan, posisi dan akurasi “nine
dash line” itu tidak diakui oleh UNCLOS 1982. UU yang dimana China dan Negara tetangganya
justeru mengakui UU tersebut.
Sesuai dengan kaidah
bernegara yang baik. Pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno
Marsudi telah tepat melakukan protes diplomatik atas insiden di Natuna. Protes
tidak sekadar ditujukan karena tindakan dari penjaga pantai Tiongkok yang tidak
mendukung Pemerintah Indonesia dalam memberantas penangkapan ikan tanpa izin di
ZEE RI, tetapi juga dalam rangka protes atas hendak ditegaskannya Sembilan
Garis Putus oleh Pemerintah Tiongkok yang disamarkan sebagai Traditional
Fishing Grounds. Suatu hal yang sama sekali tidak punya dasar hokum yang bisa
diterima oleh pemerintah Indonesia.
Ketegasan dan Kerja
Sama
Kini Indonesia mau
tidak mau harus berbenah diri, memperkuat kemampuan pertahanannya. Sesuai amanat UU harus memperkuat kemampuan
aparatnya untuk menjaga dan mengawal kedaulatan dan hak berdaulatnya di manapun
itu adanya. Tiongkok sebagai negara sahabat, kita harapkan sebenarnya berkenan
dan mau menghormati hak berdaulat
Indonesia atas ZEE kita di wilayah tersebut. Kalau Kogabwilhan tidak
bisa melakukan sesuatu atas pelanggaran Negara lain karena mereka sebagai
petugas sipil. Maka posisi yang pas untuk menegakkan kedaulatan kita di wilayah
ZEE itu adalah KKP. Bisa jadi kita membuat perangkat KKP kita lengkapi dengan
atribut sebagai petugas sipil (bukan militer), tetapi kemampuan dan kekuatannya
setara dengan yang bisa dilakukan oleh petugas prajurit. Sasarannya jelas,
tangkap para pencuri ikan di wilayah ZEE.
Kalau Tiongkok mau
mengendors konsep 9 Garis Putus-putusnya, maka Tiongkok harus jelas posisinya.
Yakni dengan menjawab pertanyaan Indonesia terkait konsep tersebut dan
konsekwensinya terhadap wilayah laut ke dua negara. Kalau semuanya jelas, Indonesia
dapat mengajak negara itu untuk melakukan Kerja Sama penangkapan Ikan di
wilayah tersebut dan membuat perusahaan pabrikan pengelolaan ikan bersama di
Natuna dan sekitarnya. Hal seperti ini malah akan mendatangkan kemaslahatan
bagi kepentingan bersama.
Kalau hal seperti ini
ternyata tidak juga di Indahkan oleh Tiongkok. Maka ada baiknya Indonesia
melakukan evaluasi atas keberadaannya sebagai mediator yang tidak berpihak di
konflik Laut Tiongkok Selatan. Indonesia harus berani menyatakan diri sebagai
negara yang bersengketa dengan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan, seperti
Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei. Namun demikian Indonesia harus tetap
konsisten dengan bagian lainnya yakni tetap mempertahankan kerja sama ekonomi,
khususnya dalam pembangunan infrastruktur, antara Tiongkok dan Indonesia.
Kedekatan secara ekonomi dengan Tiongkok perlu tetap dipelihara. Tidak jadi
masalah kalau suatu saat kapal TNI dan Tiongkok baku hantam di perairan Natuna,
tetapi hubungan baik yang ada tetap dipelihara. Untuk itu TNI AL perlu didukung
dengan kapal yang lebih kuat dan modern serta buatan sendiri. Kita ingin jadi
suatu negara yang tegas, tetapi juga tidak emosional.
Sumber : wilayahperbatasan Dot Com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar