Jumat, 26 Februari 2010

Keamanan Energi, Paktor Pertahanan Vital dan Menentukan

Keamanan energi, yaitu pasokan yang berkesinambungan, adalah hal yang krusial. Tidak mustahil, kekuatan militer harus diarahkan untuk upaya menjaga keamanan energy di masing-masing negara. Hal ini terungkap dalam diskusi ”Papua dan Keamanan Energi” yang diadakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Institute of Defense and Security Studies (IODAS), dan Penerbit Pustaka Sinar Harapan di Jakarta, pada 16/11,2009).

Salah satu yang terasakan besarnya perhatian internasional terhadap keamanan di selat Malaka, adalah dalam upaya Negara-negara para pihak untuk mengamankan jalur pasokan minyak/ energy ked an dari negaranya. Diperkirakan 50 % pasokan energi dunia, memang lewat selat tersebut. Hal lain yang jadi konsern dari Negara-negara maju, atau Negara industeri adalah upaya mereka dalam mengamankan kepentingan energinya. Mereka melakukan semua hal untuk memastikan bahwa kepentingan energinya aman. Hal-hal seperti itulah, yang kemudian memberikan warna dalam hugungan antar Negara, baik itu dalam kelompok/hegemoni ataupun secara unilateral. Berbagai permasalahan yang timbul di kawasan timur tengah, tidak lepas dari upaya pengamanan kepentingan energy dari Negara pihak. Bisnis ? Coba Lihat Site Ini



Menurut mantan menhan Juwono Sudarsonopersoalan energi kian lama akan berhubungan erat dengan isu pertahanan. Keberadaan sumber daya energi (alam) menjadi salah satu faktor penentu keamanan negara. Sosok Purnomo, kata Juwono, paham akan keterkaitan itu, yang memang menjadi banyak kepedulian banyak negara. ”Saya kira Menhan di mana pun akan mengaitkan kedua hal tadi. Salah satu faktor terpenting dari mobilitas persenjataan dan personel militer adalah ketersediaan bahan bakar,” ujarnya (kompas, , (19/10/2009) Juwono Sudarsono melihat kemungkinan penunjukan Purnomo Yusgiantoro menggantikan dirinya pada pemerintahan mendatang adalah hal yang beralasan. Purnomo saat itu masih menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

Dari data Kompas terlihat bahwa, Purnomo pernah menjadi Presiden Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan tiga kali menjabat Menteri ESDM. Dia juga pernah menjabat Wakil Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional tahun 1998-2000. Juwono mengingatkan, dalam lima tahun ke depan, persoalan pertahanan yang akan dihadapi tetap terkait masalah keterbatasan anggaran belanja pertahanan. Kemampuan APBN masih jauh dari kebutuhan riil pertahanan seperti terjadi selama ini.

Juwono meminta Menhan pada periode mendatang mampu menjaga efisiensi penggunaan anggaran belanja pertahanan, yang diberikan di tengah berbagai keterbatasan dan tingginya kebutuhan. ”Jika ada kenaikan perolehan alokasi anggaran sebesar Rp 7 triliun-Rp 10 triliun per tahun, besaran itu diyakini tetap tidak mampu mengimbangi kebutuhan riil yang juga terus meningkat. Jadi, harus diperhatikan soal ketepatan, kecermatan, dan kehematan penggunaan anggaran yang ada,” ujarnya.

Penilaian serupa juga disampaikan mantan anggota Komisi I dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Andreas Pareira, yang meyakini pemahaman strategis tentang isu sumber daya alam sangat diperlukan di masa mendatang, terutama dikaitkan dengan isu pertahanan. ”Kita sudah sering lihat konflik yang terjadi di negara-negara Timur Tengah, Irak, dan Afganistan terkait erat perebutan sumber daya energi. Begitu juga hubungan kita dengan negara tetangga, seperti Malaysia, seperti di wilayah kaya minyak di Ambalat,” ujar Andreas.

Untuk menjaga keamanan energi baik itu keamanan akan sumber-sumbernya, maupun akan jalur pasokannya, jelas diperlukan kekuatan militer yang mumpuni. Oleh karena itu, kebijakan minimal essensial force adalah suatu kebijakan yang tepat, yang tetap tegar mencoba mengatasi keterbatasan anggaran atas kepentingan pembangunan kekuatan pertahanan. Saat ini anggaran militer Indonesia Rp 40,7 triliun atau hanya 0,9 persen dari produk domestik bruto. Padahal Negara-negara tetangga kita justeru sudah mencapai 3-5 % PDBnya. Keterbatasan anggaran itu, misalnya, menyebabkan jumlah alutsista tetap terbatas.

Sabtu, 20 Februari 2010

Meski di Pedalaman, Mereka Punya Ponsel

Oleh C Wahyu Haryo dan Fandri Yuniarti

Hidup di daerah pedalaman tak selalu identik dengan ketertinggalan. Tengok saja Dayak Iban di Dusun Pelaik dan Meliau. Pengembara yang tinggal di pedalaman Kalimantan Barat itu tidak hanya bisa mengikuti program televisi sebagaimana layaknya saudara-saudara mereka di kota besar, tetapi juga bisa berkomunikasi melalui telepon seluler.

Memang komunikasinya tak terlalu lancar. Sinyal telepon kadang muncul, kadang tenggelam. Karena itu, tak perlu heran jika melihat telepon seluler (ponsel) bergelantungan di rumah betang atau rumah panjang kedua kelompok masyarakat tersebut. ”Kadang (ponsel) harus digantung tinggi-tinggi biar dapat sinyal,” kata Alexander Burung (30), Kepala Desa Pelaik, tertawa geli.

Siang itu Burung baru selesai memperbaiki tanggul sungai di hutan sekitar rumah betang mereka. Pasalnya, air sungai tersebut dibutuhkan untuk pembangkit listrik.

Sejak Januari 2008, rumah betang Pelaik—di Desa Melemba, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat—telah dialiri listrik dari tiga mesin pembangkit listrik tenaga mikrohidro yang pembangunannya difasilitasi Center for International Forestry Research dan Yayasan Riak Bumi. Itulah sebabnya, sembilan keluarga yang tinggal di rumah itu kini melengkapi bilik mereka dengan alat-alat elektronik, seperti televisi dan lemari es. Bahkan, ada yang mempunyai kompor gas meski cuma dijadikan hiasan karena umumnya mereka memasak dengan kompor minyak tanah atau kayu.

Saat ditemui, Burung terkesan sangat rileks dan ramah meski hanya mengenakan celana dalam dan baju kaus. Namun, sesampai di rumah betang, ia segera berganti pakaian. ”Ayo... silakan minum,” katanya kepada Kompas setelah menuangkan teh manis hangat yang dibuatkan istrinya ke beberapa gelas.

Keramahan Burung tampaknya merupakan sifat yang dituruni dari nenek moyang mereka. Tjilik Riwoet, yang kini namanya diabadikan sebagai nama bandar udara di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, dalam bukunya berjudul Dajak Kalimantan (Borneo) terbitan 1947 menyebutkan, orang Dayak memang suka menjalin hubungan dengan suku-suku lain. Bahkan, hubungan seperti itu ada yang berlanjut dengan kawin-mawin, sebagaimana disaksikan Kompas di Meliau, di kawasan Taman Nasional Danau Sentarum.

”Saya berasal dari Jombang, Jawa Timur. Dulu orangtua saya bekerja di salah satu perusahaan kayu di sekitar ini. Itulah mengapa saya dapat gadis Iban. Beberapa penghuni rumah betang ini juga ada yang kawin dengan warga Tionghoa, Manado, dan Bugis,” kata Sudik Asmoro (24) saat ditemui di Meliau.

Serupa tetapi tak sama

Dayak, penduduk asli Kalimantan, yang tinggal di Pelaik dan Meliau bisa dibilang serupa tetapi tak sama. Meski sama- sama keturunan Dayak Iban dan berada di Kapuas Hulu, yang di Pelaik tinggal ”menyendiri” di tengah hutan, sedangkan yang di Meliau tinggal di sekitar permukiman suku Melayu.

Rumah betang Pelaik bisa dikatakan sudah dijadikan obyek wisata. Selama Januari 2010 bangunan yang berukuran sekitar 10 x 100 meter dan dihuni 64 jiwa itu sudah dikunjungi lebih dari 100 orang, baik dari dalam maupun luar negeri.

Meliau, meski bukan tujuan wisata, saat ini tercatat sebagai satu-satunya daerah di kawasan Taman Nasional Danau Sentarum yang masih memiliki arwana merah (Sclerophages formosus), ikan hias yang harganya jutaan, bahkan puluhan juta rupiah.

Pelaik tergolong sulit dicapai dan agak jauh dari permukiman lainnya. Untuk masuk ke kawasan itu, kita harus melalui jalur yang agak sempit karena banyaknya pohon. Di samping itu, kita juga terlebih dahulu harus meniti jalan kayu (yang mereka sebut gertak) sekitar 500 meter untuk menuju satu-satunya rumah betang di sana.

Karena itu, tak perlu heran jika anak di Pelaik banyak yang putus sekolah. ”Soalnya jarak dari sini ke sekolah membutuhkan perjalanan (dengan perahu motor) lebih dari satu jam,” kata Burung menjelaskan.

Dampak dari kondisi yang demikian, lanjut Burung, beberapa bocah perempuan yang putus sekolah di kelas VI SD akhirnya dinikahkan orangtua mereka dengan pria dewasa. Memprihatinkan!

Beda dengan Meliau. Kawasan itu tergolong mudah dicapai. Perahu motor yang kita gunakan bahkan bisa diparkir di halaman rumah warga.

Perbedaan lainnya, kawasan Pelaik hanya terdiri atas satu rumah betang. Tak seperti Meliau, yang selain ada rumah betang, juga ada rumah lanting (rumah terapung) dan rumah jangkung (tiang tongkat rumah tinggi), serta SD dan gereja.

Menurut Akasius Kacong (60), sesepuh rumah betang di Meliau, Dayak Iban di Meliau tidak semuanya tinggal di rumah betang. Beberapa di antaranya memisahkan diri dengan membangun rumah lanting atau rumah jangkung.

”Warga bebas memilih, mau tinggal di rumah panjang atau di rumah sendiri. Yang tinggal di rumah sendiri biasanya beralasan takut kebakaran. Bagi yang tinggal di rumah panjang, tentu harus mengikuti adat di rumah panjang,” papar Kacong.

Rumah betang Meliau yang dihuni 13 keluarga (sekitar 150 jiwa) agak lebih panjang dari rumah betang Pelaik. Namun, sepintas, rumah betang kedua kelompok itu tak ubahnya rumah kopel yang lazim dijumpai di asrama tentara, tetapi tetap memiliki kekhasan rumah betang, sebagaimana diceritakan Tjilik Riwoet 63 tahun silam, ada balai atau pesanggrahan tempat menerima tamu.

Balai itu berupa ruang terbuka di bagian terdepan dari seluruh bilik. Di sana semua warga bebas beraktivitas, mulai dari menenun kain, menganyam tikar, duduk bersantai menyantap buah yang didapat dari hutan, menonton televisi, sampai menimang anak bayi yang diletakkan di gantungan.

Fungsi lain dari balai adalah sebagai tempat berkumpul saat pesta adat. ”Kalau ada pesta, semuanya akan berkumpul di sini, baik yang tinggal di rumah panjang maupun yang di rumah terpisah. Yang dari kampung lain juga biasanya diundang,” ujar Kacong.

Kacong dan Burung mengakui, sebagian tradisi mereka sudah luntur. ”Ada beberapa yang sudah disesuaikan dengan kondisi masyarakat sekitar. Dulu, misalnya, kalau tamu disajikan minuman (sejenis arak), mereka harus meminumnya. Sekarang tidak. Tamu boleh menolaknya,” papar Kacong.

Demikian juga soal berburu. Dulu, hasil buruan, seperti babi, dibagi rata untuk semua penghuni rumah betang. ”Sekarang tidak. Hasil buruan menjadi milik pemburunya. Yang lain boleh beli. Daging babi biasanya dijual Rp 20.000 per kilogram,” lanjut Kacong.

Tentang budaya mengayau (pemenggalan kepala, baik terhadap musuh maupun keluarga yang akan dikorbankan—dulu Dayak Iban dikenal jagonya mengayau), Kacong menyatakan bahwa hal itu sudah tidak ada lagi. ”Kalau ada pesta adat, kami sekarang mengorbankan hewan, seperti babi atau ayam. Satu babi setara dengan lima ayam,” kata Sudik menimpali.

JU Lontaan dalam bukunya, Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat (1975), menyebutkan, tradisi mengayau itu sebenarnya lebih berkaitan dengan keyakinan mereka. ”Dalam struktur religius, suku Dayak sangat yakin, dengan mempersembahkan korban kepala manusia, mereka akan mendapat panen yang berlimpah-limpah. Pertanian akan terhindar dari segala macam ancaman hama tanaman. Tradisi itu berlangsung hingga masuknya agama Kristen ke daerah mereka.”

Sujarni Alloy, peneliti sekaligus salah seorang penulis buku Mozaik Dayak, Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat, mengungkapkan, ada kesepakatan bersama yang berlangsung di Tumbang Anoi, Kalimantan Tengah, pada 1909 untuk mengakhiri tradisi mengayau. Meski demikian, Dayak Iban yang tinggal di bagian utara Kapuas Hulu masih menjalankan tradisi itu hingga tahun 1960-an.

Sekalipun sebagian tradisi mereka sudah luntur, yang pasti kehidupan Dayak Iban di kedua dusun tersebut lebih mencerminkan kemandirian, damai, dan santai. Namun, pemerintah tentunya tetap perlu memerhatikan kesejahteraan mereka, terutama pendidikan bagi generasi mudanya. (Sumber : Kompas/ 20 /2/ 2010)

Minggu, 14 Februari 2010

Perubahan,Terperangkap Mitos




Tanjung Pinang bukanlah kota tanpa masa lalu. Kota seluas 293,5 kilometer persegi yang ditetapkan menjadi kota otonom tanggal 17 Oktober 2001 itu adalah kota pelabuhan penting pada masa kejayaan Kerajaan Riau-Lingga.

Kota itu berada di kepulauan yang wilayahnya bak ”segantang lada”, 3.214 pulau besar dan kecil membentang mulai dari Laut China Selatan hingga Selat Bangka, menghubungkan Laut Atlantik dengan Laut Pasifik, juga Laut China Selatan dengan Samudra Hindia, di silang Selat Malaka.

Posisi strategis di perbatasan itu membuka pintu yang lebar bagi persilangan budaya, selain menjadi bemper untuk urusan apa saja dengan negara tetangga, termasuk menampung ribuan tenaga kerja Indonesia yang diusir dari Malaysia.

Kepulauan Riau bergabung dengan Indonesia pada tahun 1950, tetapi warga Tanjung Pinang tetap merasa lebih dekat dengan Malaysia dan Singapura. ”Karena lebih mudah menangkap siaran TV sana dibanding Jakarta,” kenang Hatori (50). ”Pergi ke Singapura buat tengok kerabat seperti pergi ke rumah tetangga,” sambung pegawai negeri sipil suatu instansi di Jakarta itu.

Sebelum konfrontasi, pasokan makanan datang dari Singapura, ditukar hasil laut dan hasil bumi. Transaksinya dengan dollar sehingga dikenal sebagai zaman dollar.

”Kapalnya tak besar, bisa dua-tiga hari pulang pergi,” ujar Akib, ”Kalau menunggu kapal dari Jakarta atau Semarang, bisa satu bulan baru datang.”

Terlena

Sampai awal tahun 1980-an, Hatori masih menikmati baju dan celana jeans bermerek dengan harga murah. Sesekali ia menjualnya kepada teman-teman kuliahnya di Jakarta. ”Juga buah-buahan impor, muraaah banget,” kata Hatori yang mendapat tambahan uang saku dengan cara itu.

Sayangnya, kemakmuran itu lalu menjadi mitos. ”Mereka pikir kondisi seperti itu sudah seharusnya,” ujarnya.

Ia memberi contoh, pada zaman itu, bibinya memiliki hotel bagus di Tanjung Pinang, tetapi tak ada usaha meningkatkannya. ”Kalau dulu hotel itu jadi tempat menginap para pedagang, sekarang sopir truk.”

Sementara kaum pendatang relatif mampu membangun masa depan. Seperti Pak Saban, penjual ketoprak di akau Potong Lembu, yang tiba dari Klaten, Jawa Tengah, tahun 1970. ”Anak saya enam, semua sekolah di Jawa,” katanya dalam bahasa Melayu beraksen Jawa.

Warga asli, seperti Mahdan (57), nelayan di Dompak lama, hanya menonton. Ia tak tahu apa yang tengah terjadi, kecuali air laut langsung berlumpur setelah satu jam hujan, tangkapan ikan yang berkurang 30 persen, dan keramba ikan yang rusak.

Tak jauh dari rumahnya, pemandangan lain menjelaskan: hutan bakau yang gundul, senyawa merah debu dari bukit-bukit pertambangan bauksit dengan air comberan yang menggenang di mana-mana. Begitulah. (Sumber: Kompas/MH/ 4/10/ 2009)

Senin, 08 Februari 2010

Yang Terlupakan dalam Program 100 Hari

Diskusi Panel Ahli Media Group

PEMERINTAH mengklaim telah mencapai target yang memuaskan dalam program 100 hari. Tapi, berbagai kalangan menilai program tersebut belum memenuhi apa yang diharapkan oleh masyarakat. Pemerintah dianggap melupakan beberapa masalah penting. Di antaranya kesiapan sektor industri menghadapi pelaksanaan perdagangan bebas ASEAN-China (ASEAN-China Free Trade Agreement/ACFTA) dan pertambahan penduduk yang semakin meningkat.

Hal-hal itulah yang menjadi pokok bahasan dalam Diskusi Panel Ahli Media Group tentang 100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono, di Grand Studio Metro TV, Selasa (26/1) malam. Diskusi menghadirkan Menteri Perindustrian MS Hidayat, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, dan Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih.

Selain itu, dihadirkan pula panel ahli Media Group yakni Rektor UIN Jakarta Komarudin Hidayat, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Firmanzah, pakar lingkungan dari IPB Surjono Hadi Sutjahjo, pakar ekonomi pertanian Unila Bustanul Arifin, pengamat militer Jaleswari Pramodhawardani, Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Kartono Mohamad, ahli sosiologi organisasi UI Meuthia Ganie Rohman, pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar, budayawan Radhar Panca Dahana, dan Andy Agung Prihatna dari Media Group.

Dalam pandangan sejumlah pakar, perdagangan bebas ASEAN-China telah menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi menjadi pemicu daya saing produk dalam negeri, tapi di lain sisi menjadi bumerang bagi kehancuran beberapa sektor industri.

Itu terlihat dari ditundanya implementasi delapan sektor industri dalam perjanjian ACFTA. Kedelapan sektor industri itu di antaranya sektor makanan dan minuman, petrokimia, tekstil dan produk tekstil, kimia anorganik, alas kaki, elektronika, furnitur, dan sektor besi baja.

Menyikapi hal itu, budayawan Radhar Panca Dahana mengkritik kinerja pemerintah yang lamban. Perencanaan yang dibuat pemerintah dinilai kurang matang sehingga terlihat panik di detik-detik terakhir.

MS Hidayat mengemukakan pihaknya telah berupaya untuk meningkatkan daya saing produk dalam negeri. Tidak hanya dengan usaha negosiasi pos tarif yang sudah dilakukan, tapi juga mengusahakan peningkatan kualitas produk dalam negeri. Dalam hal ini, lanjut MS Hidayat, perlu back up infrastruktur dan suplai energi untuk menopang sektor industri. Tidak bisa dimungkiri, ACFTA membuat bangsa maju berkompetisi. Namun, butuh waktu untuk melakukan pembenahan.

Andy Agung mengungkapkan fakta yang menarik. Hasil survei opini publik yang dilakukannya bersama tim menunjukkan sebanyak 71,3% responden lebih memilih produk Indonesia ketimbang produk luar negeri. Ini menunjukkan bahwa masyarakat kian sadar dan bangga akan produk dalam negeri.

Mari Elka Pangestu mengungkapkan bahwa ia pun mendapatkan hasil polling serupa saat melaksanakan kampanye Aku Cinta Indonesia. Sayangnya, untuk level menengah ke atas masih terbelenggu oleh pemikiran impor-minded.

Untuk itu, Mari menambahkan, perlu adanya reformasi birokrasi yang menyingkat perizinan, terutama di sektor UKM, seperti masalah bahan baku dan pinjaman. Keberpihakan terhadap penggunaan produk dalam negeri dalam pemerintahan dan BUMN juga terus digalakkan.

Soal kependudukan

Hal lain yang juga luput dari program 100 hari adalah masalah kesehatan dan kependudukan. Data UNDP (badan PBB untuk kependudukan) menyebutkan, pertambahan penduduk Indonesia mungkin akan mencapai 20%. Tingginya pertambahan penduduk akan berimbas pada banyak sektor, seperti pertanian, lapangan kerja, dan penyediaan layanan kesehatan.

Menurut Kartono Mohamad, seharusnya pemerintah menerapkan langkah yang jelas untuk mengatasi hal itu, tidak sebatas program keluarga berencana (KB). Hal yang juga harus diperhatikan adalah ketersediaan dan penyebaran alat kontrasepsi bagi masyarakat miskin.

Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengemukakan bahwa pihaknya telah melakukan berbagai upaya untuk menekan laju pertambahan penduduk. Salah satunya dengan program peningkatan pelayanan kesehatan dasar, termasuk masalah KB, gizi, dan kesehatan reproduksi.

Dana bantuan operasional kesehatan juga akan dikucurkan ke lebih dari 8.000 puskesmas di Indonesia. Dengan dana itu diharapkan pelayanan kesehatan di tiap daerah menjadi lebih baik.

Tak bersinergi

Setelah merangkum kinerja pemerintah dalam program 100 hari, para panelis ahli menyatakan ketidakpuasan mereka. Begitu pun responden dalam polling Media Group. Walau pada pekan ini terlihat ada sentimen positif, kenaikannya kurang signifikan. Tingkat kepercayaan responden pekan ini masih jauh di bawah tingkat kepercayaan pada Oktober 2009 lalu, saat Presiden dan Wapres dilantik.

Komarudin Hidayat mengemukakan tidak ada program kementerian yang mendorong perubahan secara signifikan. Pemerintah terlalu banyak dirundung konflik yang kemudian menjadi tontonan publik. Pemerintah hanya bisa menangkal isu tanpa ada arah tujuan yang jelas. Koordinasi belum berjalan dengan baik. Reformasi birokrasi yang selama ini diupayakan juga dinilai belum menampakkan hasil nyata.

Idealnya, sambung Kartono, harus ada sinergi dari semua program tiap kementerian. Sinergi itulah yang kemudian dapat memperlihatkan arah kemajuan bangsa. SBY seharusnya bisa menjadi dirigen pemersatu yang memimpin kemajuan. Namun, lanjut Kartono, kenyataannya tidak begitu. Tiap program seolah-olah dijalankan sendiri-sendiri.

Ia lalu memberikan perumpamaan bagi kinerja pemerintah, jika diibaratkan sebuah lagu, partiturnya sudah dibuat namun ketika dimainkan tak jelas apa lagunya. (Sumber: MI/Christine Franciska/X-10/ 29/1/2010)

Rabu, 03 Februari 2010

Rumah Dinas TNI, Kemmen Gandeng Purnawirawan

Rumah Dinas TNI, Kemmen Gandeng Purnawirawan


Kementerian Pertahanan menggandeng Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan Polri atau Pepabri untuk mencari solusi penertiban rumah negara atau rumah dinas TNI. Kementerian Pertahanan dan Pepabri sepakat penertiban harus dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kemanusiaan.

Hal itu menjadi materi pembahasan antara Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dan Ketua Umum Pepabri Agum Gumelar serta jajarannya di Kantor Pepabri, Jakarta, Selasa (2/2).

Salah satu solusi yang tengah dijajaki adalah penyediaan rumah nondinas untuk prajurit TNI. Ada dua macam perumahan, yaitu rumah negara yang merupakan rumah dinas dan rumah nondinas yang diadakan dengan mempertimbangkan kesejahteraan prajurit.

”Selama ini sudah ada tabungan. Setiap orang mendapatkan bantuan Rp 14 juta, tetapi jumlah itu memang tidak cukup,” kata Sjafrie.

Agum menyatakan, Pepabri menggarisbawahi prinsip bahwa rumah dinas atau rumah negara adalah aset negara.

Saat ini, langkah yang dijanjikan Pepabri adalah inventarisasi masalah yang ada di berbagai daerah. Bagi purnawirawan yang tidak mampu akan diberikan jalan keluar lewat Yayasan Kesejahteraan Perumahan Prajurit. ”Harus ada jalan keluar yang manusiawi. Minggu depan kami akan ketemu Kemhan untuk bahas rinciannya,” ujar Agum.

Pengamat militer dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Andi Widjajanto, mendesak pemerintah agar berani mencari skema moratorium dengan menetap- kan kondisi status quo terha- dap aset-aset rumah prajurit TNI ketimbang sekadar menggusur.

Terkait rumah negara itu, Komisi I DPR mempertanyakan pengalihan aset TNI terkait dengan masuknya hal tersebut dalam program 100 hari Kementerian Pertahanan. ”Kami sudah mengajukan pertanyaan tertulis kepada Kemhan serta TNI. Mereka akan jawab dalam rapat kerja Februari nanti,” kata Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin.

Sumber : Komapas /dwa/ink/edn/ 3 Februari 2010