Minggu, 13 Juni 2010

Pintu Optimisme

Oleh : Sukardi Rinakit

Malam Minggu kemarin, saya menghadiri peluncuran buku Arifin Panigoro atau AP. Judulnya, Berbisnis Itu (Tidak) Mudah. Jakob Oetama, dalam sambutannya, mengatakan, ”AP itu bukan saja seorang pengusaha, tetapi juga ’aktivis politik’ yang teguh memegang koridor etis.”Penulis bersetuju dengan pandangan itu. Di tengah merenungi ucapan Jakob Oetama dan merekonstruksi peran Griya Jenggala (kediaman AP) sebagai oase pergerakan kebangsaan sejak era reformasi, seorang tamu tiba-tiba berbisik, ”Mas, bagaimana prediksi politik?” Saya menjawab pendek, ”Stabil.”

Dalam perspektif budaya politik, sekurangnya ada tiga syarat agar stabilitas politik terwujud, yaitu ladang penuh rumput (tegal akeh suket), sungai tidak kering (kali ora asat), dan penguasa tidak sibuk dengan citra diri (ratu titi periksa).

Stabilitas politik

Padang menghijau rumput, sungai tidak kering, dan penguasa yang ”titi periksa” sebenarnya merupakan analogi dari keterkaitan antara stabilitas politik dan pembangunan. Itu semua untuk menjaga agar proses demokrasi yang terkonsolidasi tidak menjadi defektif (Merkel dalam Hadiwinata dan Schuck, 2010). Apabila padang tanpa rumput, ternak otomatis akan meninggalkannya. Jika sungai menjadi kering, burung kuntul juga akan terbang ke tempat lain.

Demikian juga jika penguasa hanya sibuk menjaga citra diri, hati rakyat pelan-pelan akan meninggalkannya. Ia akan kesepian sendirian.

Dalam konteks Indonesia sekarang ini dapat dikatakan ladang Indonesia sedang penuh dengan rumput. Ini adalah analogi dari kondisi politik yang kondusif. Indikatornya, pelaksanaan Pemilihan Umum 2009 dan 456 pemilihan kepala daerah dalam dua tahun terakhir tidak ada konflik besar, gerakan separatis, dan penumpasan etnis sebagai sisi gelap demokrasi (Mann, 2005). Keyakinan yang sama berlaku pada 244 pemilihan kepala daerah tahun 2010.

Di luar urusan pemilihan umum tersebut, secara hipotesis, rakyat sendiri tampaknya juga sudah lelah dengan segala hiruk-pikuk politik dan ketidakpastian hidup. Dalam kondisi seperti itu, mereka akan mudah didorong guna merajut optimisme menghadapi masa depan. Apalagi gerak pemberantasan korupsi dan perang terhadap terorisme, meski tetap terbuka praktik tebang pilih, ia tetap berguna bagi terbukanya pintu optimisme publik.



Pendeknya, ladang kita memang mulai dipenuhi rumput. Kenyataan ini pasti dipantau oleh para pelaku usaha internasional. Mereka tentu mulai melirik Indonesia sebagai tempat investasi. Gejala awalnya sudah jelas, arus wisatawan meningkat 13 persen dalam sebulan terakhir. Bisa jadi ini adalah efek dari kekisruhan politik di Thailand. Akan tetapi, secara obyektif, ladang subur Indonesia memang mulai eksotik kembali. Menurut perkiraan, investasi akan tumbuh lebih dari 10 persen pada semester pertama tahun 2010. Jika ladang kita mulai dipenuhi rumput, demikian juga dengan sungainya. Air mulai mengalir dan burung-burung kuntul berdatangan. Analog ini tepat untuk menggambarkan indikator mikro ranah politik, yaitu perilaku kelompok strategis.

Apabila kita mencermati perilaku partai politik, aktivis dan mahasiswa, pengusaha, serta TNI, misalnya, tidak ada yang bergerak di luar garis konstitusi. Semua berada dalam kesepakatan yang menjunjung nilai dan perilaku nirkekerasan. Esensinya, tidak ada yang mengancam stabilitas politik nasional.

Meskipun politisi di parlemen riuh seperti dalam kasus Bank Century, kehidupan partai politik relatif mengalir tenang. Tidak ada konflik internal dan kompetisi antarpartai yang berpotensi membelah ketenangan hidup berbangsa. Demikian juga dengan tekanan para aktivis dan mahasiswa melalui gerakan ekstraparlementer, berlangsung tertib.

Tidak mengherankan jika pengusaha tetap menjalankan aktivitas rutinnya dan tidak tertarik untuk ikut campur sebuah gerakan politik. Hal yang sama terjadi pada TNI. Mereka tetap berada di luar medan magnet politik dan tidak tergoda melakukan manuver yang bisa menyeret mereka kembali ke pusaran politik.

Itulah alasan mengapa saya menjawab bahwa kondisi politik akan stabil ketika seseorang bertanya pada malam Minggu lalu.

Bisa menangis

Akan tetapi, stabilitas politik yang terjaga tersebut, setidaknya sampai menjelang Pemilihan Umum 2014, tidak akan bisa menjadi pintu optimisme publik dan peningkatan kesejahteraan umum jika para elite politik sudah lupa cara menangis dan hanya sibuk bersolek. Hati mereka menjadi beku karena hanya memikirkan kepentingan diri sendiri dan kelompok. Mereka mengabaikan ”titi periksa” dan tidak sensitif terhadap penderitaan dan perikehidupan rakyat.

Kalau mau jujur, memang banyak elite kita yang hatinya sudah beku. Jangankan memikirkan perikehidupan rakyat, naik mobil pun mereka tidak memikirkan orang-orang yang berdiri di pinggir jalan yang kecipratan genangan air hujan karena mobil yang dikendarainya melaju kencang. Melihat orang tua yang tertatih-tatih memikul beban berat dan kesulitan menyeberang jalan pun, hati mereka tak tersentuh. Jika kondisi ini terus berlangsung, pintu optimisme akan sulit terbuka.

Semoga hati para pemimpin menjadi terbuka dan berani mengambil jalan mendaki dan sulit demi rakyat. Dengan demikian, peluang emas bisa direbut. Gusti ora sare.



Sumber : Kompas 20/4/2010/SUKAR DI RINAKIT Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate

Tidak ada komentar: