Selasa, 22 Juni 2010

Tapal Batas Samosir dan Hasundutan Sumber Konflik



Pemerintah Kabupaten Samosir mengakui, penyebab banjir bandang di Desa Buntumauli dan Desa Sabula, Kecamatan Sitiotio, salah satunya adalah kerusakan hutan di hulu Sungai Silogologo dan Mabulak. Namun, lokasi kerusakannya berada di daerah perbatasan dengan Kabupaten Humbang Hasundutan.
Asisten Pemerintah Kabupaten Samosir Ombang Siboro, Sabtu (1/5), mengatakan, penyebab banjir bandang yang mengakibatkan satu orang tewas dan empat orang masih hilang memang karena degradasi lingkungan di hulu sungai.
”Tetapi, kalau disebut salah satunya karena kerusakan di kawasan Hutan Sitonggitonggi, sepertinya tidak karena kawasan itu terletak lebih dari 10 kilometer dari hulu sungai dan terdapat bukit yang membatasinya. Ini memang kerusakan di hulu, tepatnya di daerah perbatasan Samosir dengan Humbang Hasundutan,” kata Ombang.
Ombang mengakui mendapat laporan tentang terdapatnya aktivitas penebangan dan pengolahan kayu di kawasan hutan yang menjadi hulu sungai. Namun, ia belum dapat memastikan, keberadaan sawmill tersebut masuk ke wilayah Samosir atau Humbang Hasundutan.
Kawasan Hutan Sitonggitonggi yang disebut rusak, menurut Ombang, merupakan areal hak pengusahaan hutan (HPH) milik salah satu perusahaan.
Hutan Sitonggitonggi dulunya memang hutan alam yang kemudian menjadi hutan produksi setelah berada dalam kawasan HPH itu.
Masalah tapal batas
Menurut Ombang, kawasan hulu Sungai Silogologo dan Mabulak yang sering disebut daerah Tombak Haranggaol merupakan perbatasan antara Kabupaten Samosir dan Humbang Hasundutan. Selama ini, belum ada tapal batas yang jelas di antara kedua kabupaten itu.
Ombang menuturkan, konflik di daerah perbatasan sempat terjadi antarwarga dua kabupaten itu. Namun, belum jelas warga dari mana yang melakukan perambahan kawasan hutan di Tombak Haranggaol. ”Itulah makanya kami minta Pemprov Sumut agar membantu mengatasi persoalan tapal batas kabupaten ini biar jelas nanti kawasan tangkapan air ini dijaga oleh pemerintah kabupaten yang mana. Kalau tanpa kejelasan begini, tak ada yang berwenang menjaga kawasan tersebut,” lanjutnya.
Hingga saat ini, korban hilang akibat banjir terus dicari. Menurut Anggiat Sinaga dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat Parapat, yang ikut membantu pencarian korban, upaya pencarian menemukan kesulitan karena ketiadaan alat berat. ”Kami sudah meminta bantuan Pemkab Samosir agar ada alat berat, tetapi masih juga belum ada yang datang,” kata Anggiat.
Masyarakat berharap, anjing pelacak didatangkan untuk mencari korban yang hilang. (Sumber : Kompas /13/5/BIL)

Bentrok Desa Persi Kotamubago,  18 Rumah Hangus

Kalau bentrok antar desa terjadi di Papua, orang mungkin mafhum sebab di sana perang adalah sebuah ritual yang tidak terpisahkan dengan kehidupan mereka, tetapi kalau itu di sulawesi khususnya Kotamubago, maka memang ada yang aneh di sana. Tetapi apapun itu, kita harus melihatnya dengan logis, dan mengambil hikmahnya. Pantaskah suatu perang antar desa di lakukan? Lalu mau dikemanakan akal sehat dan para tetua adat?
Cobalah lihat perang antar desa di Kotamubagu seperti yang di tuliskan oleh wartawan Kompas berikut ini;
Bentrokan antara warga Desa Pusian dan Desa Toruakat, Kecamatan Dumoga Timur, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, Minggu (21/2), mengakibatkan 18 rumah hangus terbakar. Di samping itu, belasan orang terluka, termasuk enam polisi yang berusaha melerai pertikaian.

Hingga Minggu malam, sekitar 250 personel dari Kepolisian Resor Bolaang Mongondow masih berjaga-jaga di kedua desa tersebut. Polisi melarang warga keluar rumah karena situasi belum normal.

Kepala Kepolisian Resor Bolaang Mongondow Ajun Komisaris Besar Gatot Tri yang dihubungi dari Manado mengatakan, tawuran antara warga dua desa tersebut dipicu oleh perkelahian pemuda yang mabuk-mabukan. Perkelahian antarindividu itu kemudian berujung pada perkelahian massal.

”Para pelaku perkelahian berlari ke desanya masing-masing sambil memukul-mukul tiang listrik sebagai tanda meminta bantuan kepada warga desa masing-masing,” kata Gatot.

Dua kerumunan warga dari desa bertetangga itu akhirnya berhadap-hadapan kemudian terlibat saling lempar batu hingga menjurus pada penggunaan senjata tajam. Aksi massa yang tidak terkendali tersebut mengakibatkan munculnya tindakan pembakaran rumah.

Di Desa Toruakat, sebanyak 15 rumah warga musnah terbakar, sementara tiga rumah lainnya yang juga musnah dimakan api berada di desa ”lawan” mereka, Desa Pusian.

Polisi juga diserang

Enam polisi yang berusaha meredam dan mengendalikan bentrokan itu rata-rata terluka karena terkena lemparan batu dan lontaran anak panah.

Menurut Gatot Tri, sejauh ini polisi telah menahan 30 pelaku, termasuk pemuda yang terlibat tawuran. ”Petugas juga menyita ratusan senjata tajam, parang, pisau, tombak, katapel, anak panah, dan samurai dari kedua desa tersebut,” ujar Gatot.

Beberapa korban dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah Kotamobagu, sekitar 80 kilometer dari lokasi kejadian.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, perseteruan antara warga Desa Pusian yang berpenduduk 4.340 jiwa dan Desa Toruakat yang berpenduduk 2.000 jiwa memang kerap terjadi.

Dalam catatan kepolisian setempat, tawuran antarwarga dua desa sudah yang empat kali terjadi sejak tahun 2006.

Menanggapi kejadian itu, HR Makagansa, Asisten Pemerintahan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, menyatakan keprihatinannya, ”Pertikaian dua desa itu berskala lokal. Namun, hal itu harus ditangani secara serius dengan mendamaikan pihak-pihak yang bertikai. Kami tengah mempelajari bentrokan itu untuk mencari solusi yang baik bagi dua pihak. Apalagi kami dengar bentrokan warga kerap terjadi. Besok, saya lapor ke gubernur.”

Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Utara, Benny Ramdhani, yang berasal dari Bolaang Mongondow menilai tindakan anarki warga Pusian dan Toruakat karena kesenjangan sosial. Warga Pusian dan Toruakat telah lama meminta Pemprov Sulut untuk menyelesaikan permasalahan tanah mereka yang dijadikan lahan transmigrasi sejak berpuluh tahun lalu. ”Pendekatan terhadap warga harus komprehensif. Jangan semata pada aspek perkelahian. Harus dicari akar penyebab mengapa warga cepat anarki,” katanya. (Sumber; Kompas/zal/22/2/ 2010).

Tidak ada komentar: