Sabtu, 20 Februari 2010

Meski di Pedalaman, Mereka Punya Ponsel

Oleh C Wahyu Haryo dan Fandri Yuniarti

Hidup di daerah pedalaman tak selalu identik dengan ketertinggalan. Tengok saja Dayak Iban di Dusun Pelaik dan Meliau. Pengembara yang tinggal di pedalaman Kalimantan Barat itu tidak hanya bisa mengikuti program televisi sebagaimana layaknya saudara-saudara mereka di kota besar, tetapi juga bisa berkomunikasi melalui telepon seluler.

Memang komunikasinya tak terlalu lancar. Sinyal telepon kadang muncul, kadang tenggelam. Karena itu, tak perlu heran jika melihat telepon seluler (ponsel) bergelantungan di rumah betang atau rumah panjang kedua kelompok masyarakat tersebut. ”Kadang (ponsel) harus digantung tinggi-tinggi biar dapat sinyal,” kata Alexander Burung (30), Kepala Desa Pelaik, tertawa geli.

Siang itu Burung baru selesai memperbaiki tanggul sungai di hutan sekitar rumah betang mereka. Pasalnya, air sungai tersebut dibutuhkan untuk pembangkit listrik.

Sejak Januari 2008, rumah betang Pelaik—di Desa Melemba, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat—telah dialiri listrik dari tiga mesin pembangkit listrik tenaga mikrohidro yang pembangunannya difasilitasi Center for International Forestry Research dan Yayasan Riak Bumi. Itulah sebabnya, sembilan keluarga yang tinggal di rumah itu kini melengkapi bilik mereka dengan alat-alat elektronik, seperti televisi dan lemari es. Bahkan, ada yang mempunyai kompor gas meski cuma dijadikan hiasan karena umumnya mereka memasak dengan kompor minyak tanah atau kayu.

Saat ditemui, Burung terkesan sangat rileks dan ramah meski hanya mengenakan celana dalam dan baju kaus. Namun, sesampai di rumah betang, ia segera berganti pakaian. ”Ayo... silakan minum,” katanya kepada Kompas setelah menuangkan teh manis hangat yang dibuatkan istrinya ke beberapa gelas.

Keramahan Burung tampaknya merupakan sifat yang dituruni dari nenek moyang mereka. Tjilik Riwoet, yang kini namanya diabadikan sebagai nama bandar udara di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, dalam bukunya berjudul Dajak Kalimantan (Borneo) terbitan 1947 menyebutkan, orang Dayak memang suka menjalin hubungan dengan suku-suku lain. Bahkan, hubungan seperti itu ada yang berlanjut dengan kawin-mawin, sebagaimana disaksikan Kompas di Meliau, di kawasan Taman Nasional Danau Sentarum.

”Saya berasal dari Jombang, Jawa Timur. Dulu orangtua saya bekerja di salah satu perusahaan kayu di sekitar ini. Itulah mengapa saya dapat gadis Iban. Beberapa penghuni rumah betang ini juga ada yang kawin dengan warga Tionghoa, Manado, dan Bugis,” kata Sudik Asmoro (24) saat ditemui di Meliau.

Serupa tetapi tak sama

Dayak, penduduk asli Kalimantan, yang tinggal di Pelaik dan Meliau bisa dibilang serupa tetapi tak sama. Meski sama- sama keturunan Dayak Iban dan berada di Kapuas Hulu, yang di Pelaik tinggal ”menyendiri” di tengah hutan, sedangkan yang di Meliau tinggal di sekitar permukiman suku Melayu.

Rumah betang Pelaik bisa dikatakan sudah dijadikan obyek wisata. Selama Januari 2010 bangunan yang berukuran sekitar 10 x 100 meter dan dihuni 64 jiwa itu sudah dikunjungi lebih dari 100 orang, baik dari dalam maupun luar negeri.

Meliau, meski bukan tujuan wisata, saat ini tercatat sebagai satu-satunya daerah di kawasan Taman Nasional Danau Sentarum yang masih memiliki arwana merah (Sclerophages formosus), ikan hias yang harganya jutaan, bahkan puluhan juta rupiah.

Pelaik tergolong sulit dicapai dan agak jauh dari permukiman lainnya. Untuk masuk ke kawasan itu, kita harus melalui jalur yang agak sempit karena banyaknya pohon. Di samping itu, kita juga terlebih dahulu harus meniti jalan kayu (yang mereka sebut gertak) sekitar 500 meter untuk menuju satu-satunya rumah betang di sana.

Karena itu, tak perlu heran jika anak di Pelaik banyak yang putus sekolah. ”Soalnya jarak dari sini ke sekolah membutuhkan perjalanan (dengan perahu motor) lebih dari satu jam,” kata Burung menjelaskan.

Dampak dari kondisi yang demikian, lanjut Burung, beberapa bocah perempuan yang putus sekolah di kelas VI SD akhirnya dinikahkan orangtua mereka dengan pria dewasa. Memprihatinkan!

Beda dengan Meliau. Kawasan itu tergolong mudah dicapai. Perahu motor yang kita gunakan bahkan bisa diparkir di halaman rumah warga.

Perbedaan lainnya, kawasan Pelaik hanya terdiri atas satu rumah betang. Tak seperti Meliau, yang selain ada rumah betang, juga ada rumah lanting (rumah terapung) dan rumah jangkung (tiang tongkat rumah tinggi), serta SD dan gereja.

Menurut Akasius Kacong (60), sesepuh rumah betang di Meliau, Dayak Iban di Meliau tidak semuanya tinggal di rumah betang. Beberapa di antaranya memisahkan diri dengan membangun rumah lanting atau rumah jangkung.

”Warga bebas memilih, mau tinggal di rumah panjang atau di rumah sendiri. Yang tinggal di rumah sendiri biasanya beralasan takut kebakaran. Bagi yang tinggal di rumah panjang, tentu harus mengikuti adat di rumah panjang,” papar Kacong.

Rumah betang Meliau yang dihuni 13 keluarga (sekitar 150 jiwa) agak lebih panjang dari rumah betang Pelaik. Namun, sepintas, rumah betang kedua kelompok itu tak ubahnya rumah kopel yang lazim dijumpai di asrama tentara, tetapi tetap memiliki kekhasan rumah betang, sebagaimana diceritakan Tjilik Riwoet 63 tahun silam, ada balai atau pesanggrahan tempat menerima tamu.

Balai itu berupa ruang terbuka di bagian terdepan dari seluruh bilik. Di sana semua warga bebas beraktivitas, mulai dari menenun kain, menganyam tikar, duduk bersantai menyantap buah yang didapat dari hutan, menonton televisi, sampai menimang anak bayi yang diletakkan di gantungan.

Fungsi lain dari balai adalah sebagai tempat berkumpul saat pesta adat. ”Kalau ada pesta, semuanya akan berkumpul di sini, baik yang tinggal di rumah panjang maupun yang di rumah terpisah. Yang dari kampung lain juga biasanya diundang,” ujar Kacong.

Kacong dan Burung mengakui, sebagian tradisi mereka sudah luntur. ”Ada beberapa yang sudah disesuaikan dengan kondisi masyarakat sekitar. Dulu, misalnya, kalau tamu disajikan minuman (sejenis arak), mereka harus meminumnya. Sekarang tidak. Tamu boleh menolaknya,” papar Kacong.

Demikian juga soal berburu. Dulu, hasil buruan, seperti babi, dibagi rata untuk semua penghuni rumah betang. ”Sekarang tidak. Hasil buruan menjadi milik pemburunya. Yang lain boleh beli. Daging babi biasanya dijual Rp 20.000 per kilogram,” lanjut Kacong.

Tentang budaya mengayau (pemenggalan kepala, baik terhadap musuh maupun keluarga yang akan dikorbankan—dulu Dayak Iban dikenal jagonya mengayau), Kacong menyatakan bahwa hal itu sudah tidak ada lagi. ”Kalau ada pesta adat, kami sekarang mengorbankan hewan, seperti babi atau ayam. Satu babi setara dengan lima ayam,” kata Sudik menimpali.

JU Lontaan dalam bukunya, Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat (1975), menyebutkan, tradisi mengayau itu sebenarnya lebih berkaitan dengan keyakinan mereka. ”Dalam struktur religius, suku Dayak sangat yakin, dengan mempersembahkan korban kepala manusia, mereka akan mendapat panen yang berlimpah-limpah. Pertanian akan terhindar dari segala macam ancaman hama tanaman. Tradisi itu berlangsung hingga masuknya agama Kristen ke daerah mereka.”

Sujarni Alloy, peneliti sekaligus salah seorang penulis buku Mozaik Dayak, Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat, mengungkapkan, ada kesepakatan bersama yang berlangsung di Tumbang Anoi, Kalimantan Tengah, pada 1909 untuk mengakhiri tradisi mengayau. Meski demikian, Dayak Iban yang tinggal di bagian utara Kapuas Hulu masih menjalankan tradisi itu hingga tahun 1960-an.

Sekalipun sebagian tradisi mereka sudah luntur, yang pasti kehidupan Dayak Iban di kedua dusun tersebut lebih mencerminkan kemandirian, damai, dan santai. Namun, pemerintah tentunya tetap perlu memerhatikan kesejahteraan mereka, terutama pendidikan bagi generasi mudanya. (Sumber : Kompas/ 20 /2/ 2010)

2 komentar:

Oyah mengatakan...

Mampirr, slm knal yaaa... Tlg aktifkan Google Follower-nya pak... tar saya follow ... tq

anakpontianak mengatakan...

desa pelaik . .

http://anak-pontianak.blogspot.co.id/2016/02/jembatan-gantung-desa-pelaik-sintang.html