Minggu, 14 Februari 2010

Perubahan,Terperangkap Mitos




Tanjung Pinang bukanlah kota tanpa masa lalu. Kota seluas 293,5 kilometer persegi yang ditetapkan menjadi kota otonom tanggal 17 Oktober 2001 itu adalah kota pelabuhan penting pada masa kejayaan Kerajaan Riau-Lingga.

Kota itu berada di kepulauan yang wilayahnya bak ”segantang lada”, 3.214 pulau besar dan kecil membentang mulai dari Laut China Selatan hingga Selat Bangka, menghubungkan Laut Atlantik dengan Laut Pasifik, juga Laut China Selatan dengan Samudra Hindia, di silang Selat Malaka.

Posisi strategis di perbatasan itu membuka pintu yang lebar bagi persilangan budaya, selain menjadi bemper untuk urusan apa saja dengan negara tetangga, termasuk menampung ribuan tenaga kerja Indonesia yang diusir dari Malaysia.

Kepulauan Riau bergabung dengan Indonesia pada tahun 1950, tetapi warga Tanjung Pinang tetap merasa lebih dekat dengan Malaysia dan Singapura. ”Karena lebih mudah menangkap siaran TV sana dibanding Jakarta,” kenang Hatori (50). ”Pergi ke Singapura buat tengok kerabat seperti pergi ke rumah tetangga,” sambung pegawai negeri sipil suatu instansi di Jakarta itu.

Sebelum konfrontasi, pasokan makanan datang dari Singapura, ditukar hasil laut dan hasil bumi. Transaksinya dengan dollar sehingga dikenal sebagai zaman dollar.

”Kapalnya tak besar, bisa dua-tiga hari pulang pergi,” ujar Akib, ”Kalau menunggu kapal dari Jakarta atau Semarang, bisa satu bulan baru datang.”

Terlena

Sampai awal tahun 1980-an, Hatori masih menikmati baju dan celana jeans bermerek dengan harga murah. Sesekali ia menjualnya kepada teman-teman kuliahnya di Jakarta. ”Juga buah-buahan impor, muraaah banget,” kata Hatori yang mendapat tambahan uang saku dengan cara itu.

Sayangnya, kemakmuran itu lalu menjadi mitos. ”Mereka pikir kondisi seperti itu sudah seharusnya,” ujarnya.

Ia memberi contoh, pada zaman itu, bibinya memiliki hotel bagus di Tanjung Pinang, tetapi tak ada usaha meningkatkannya. ”Kalau dulu hotel itu jadi tempat menginap para pedagang, sekarang sopir truk.”

Sementara kaum pendatang relatif mampu membangun masa depan. Seperti Pak Saban, penjual ketoprak di akau Potong Lembu, yang tiba dari Klaten, Jawa Tengah, tahun 1970. ”Anak saya enam, semua sekolah di Jawa,” katanya dalam bahasa Melayu beraksen Jawa.

Warga asli, seperti Mahdan (57), nelayan di Dompak lama, hanya menonton. Ia tak tahu apa yang tengah terjadi, kecuali air laut langsung berlumpur setelah satu jam hujan, tangkapan ikan yang berkurang 30 persen, dan keramba ikan yang rusak.

Tak jauh dari rumahnya, pemandangan lain menjelaskan: hutan bakau yang gundul, senyawa merah debu dari bukit-bukit pertambangan bauksit dengan air comberan yang menggenang di mana-mana. Begitulah. (Sumber: Kompas/MH/ 4/10/ 2009)

Tidak ada komentar: