RI
Perlu Siaga: Negara- Negara Besar Berupaya Tapsir Ualng UNCLOS
Indonesia
harus aktif dalam berbagai forum internasional untuk memastikan konvensi hukum
laut PBB, UNCLOS, tidak salah dipahami. Sebagai negara kepulauan, Indonesia
akan paling dirugikan jika konvensi itu diselewengkan. Pakar hukum
internasional Universitas Nasional Singapura, Robert Beckman, mengatakan, tidak
semua negara meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum
Laut (UNCLOS). Sejumlah negara juga berpotensi mempunyai pandangan berbeda soal
UNCLOS.
”Indonesia
harus aktif di forum-forum internasional agar perbedaan pemahaman UNCLOS tidak
merugikan Indonesia,” ujar Beckman pada simposium Hari Nusantara yang
diselenggarakan Kementerian Luar Negeri, Rabu (13/12), di Jakarta. Wakil Kepala
Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Madya Achmad Taufiqoerrochman, Duta Besar
Indonesia untuk Inggris dan Organisasi Maritim Internasional (IMO) Rizal Sukma,
serta Utusan Khusus Presiden untuk Penetapan Perbatasan Maritim Eddy Pratomo
juga menjadi pembicara dalam simposium itu.
Beckman
mengatakan, status negara kepulauan Indonesia diakui dunia internasional karena
ada UNCLOS. Padahal, Indonesia sudah mendeklarasikan diri sebagai negara
kepulauan sejak
13
Desember 1957. Hari deklarasi itu diperingati sebagai Hari Nusantara. Namun,
negara-negara lain tak mengakui deklarasi itu dan Indonesia harus menerima
fakta, laut di antara pulau-pulaunya bukan wilayah hukum Indonesia.
”Sebelum
UNCLOS, laut teritorial Indonesia hanya diakui 3 mil (sekitar 5,5 km) dari
garis pantai. Setelah UNCLOS, Indonesia bisa menarik garis perbatasan dari
landas kontinen dan semua (perairan dan daratan) di dalam garis itu menjadi
wilayah Indonesia,” tuturnya. Rizal Sukma mengatakan, ada upaya menafsirkan
ulang UNCLOS oleh negara-negara besar agar sesuai dengan kepentingan mereka.
Hal itu bisa mengancam Indonesia.
Letak
geografis Indonesia membuka peluang negara lain menafsirkan UNCLOS secara
berbeda dan melanggar kedaulatan Indonesia. Semua negara harus melewati
perairan Indonesia, baik teritorial maupun zona ekonomi eksklusif, untuk
kepentingan niaga dan militer. Sebab, jalur pelayaran vital global harus
melewati Selat Malaka, lalu menyisir di sekitar Natuna. ”Indonesia harus
asertif di forum internasional dan memastikan UNCLOS tidak ditafsirkan
berbeda,” kata Rizal.
Ia
mengatakan, perubahan nilai laut dari sekadar ekonomis menjadi strategis
membuat solusi sengketa maritim semakin sulit dicari. Sumber daya maritim dan
sengketa perairan juga lebih mungkin terjadi. Hubungan antarnegara akan
cenderung menjadi perseteruan kekuatan laut. Akibatnya, akan terjadi perlombaan
persenjataan di laut. Persaingan di Laut China Selatan dan Samudra Hindia
adalah mimpi buruk bagi Indonesia. Sebab, Indonesia berada di pusat dua
perairan itu.
Pelanggaran
Achmad
Taufiqoerrochman mengatakan, setelah UNCLOS disahkan pada 1982 sekalipun, masih
ada negara yang belum mau menghormati kedaulatan Indonesia di wilayah yang penetapannya
sudah sesuai UNCLOS. Hal itu, antara lain, tecermin pada insiden Bawean tahun
2003. Kala itu, pesawat F-16 Amerika Serikat terbang sampai di atas Pulau
Bawean yang terletak di utara Jawa. AS beralasan, mereka bebas bergerak di mana
saja sebagai bagian dari kebebasan bernavigasi (FON). Sampai sekarang, AS
memang tidak meratifikasi dan mengakui UNCLOS.
Kini,
pelanggaran laut paling banyak terjadi di sekitar Natuna, Kepulauan Riau.
Sebanyak 62 persen pelanggaran laut terjadi di sana dalam bentuk pencurian
ikan, latihan militer, hingga perlintasan tanpa izin. Eddy Pratomo mengatakan,
masalah di sekitar Natuna, antara lain, muncul karena belum selesainya beberapa
titik perbatasan Indonesia dengan Vietnam dan Malaysia. Titik perbatasan itu
masih terus dirundingkan sampai sekarang. Malaysia berkepentingan dengan Natuna
karena wilayahnya pada sisi semenanjung dan daerah di Kalimantan dipisahkan
Laut Natuna. Sumber : Kompas.id, RI Harus Aktif Jaga UNCLOS; Ada Upaya
Penafsiran Ulang oleh Negara-negara Besar yang Ancam Kedaulatan, 14 Desember
2017 (RAZ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar