Oleh harmen Batubara
Pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 merupakan langkah penting untuk menyembuhkan luka masa lalu dan membangun hubungan yang lebih kuat antara kedua negara. Namun, penting untuk diingat bahwa ini hanyalah satu langkah dalam proses yang panjang. Pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia perlu bekerja sama untuk mengatasi warisan kolonialisme dan membangun hubungan yang lebih setara dan adil.
Ya, secara teori, dengan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, seluruh wilayah jajahannya, dari Sabang sampai Merauke dan Miangas sampai Pulau Rote, secara hukum adalah Uti possidetis juris dari Belanda untuk Indonesia. Uti possidetis juris adalah asas hukum internasional yang menyatakan bahwa ketika suatu negara merdeka, batas-batasnya adalah batas-batas yang dimilikinya pada saat kemerdekaan. Prinsip ini diterapkan dalam kasus Indonesia, dan itu berarti bahwa semua koloni Belanda di Indonesia secara otomatis menjadi bagian dari negara merdeka yang baru, yakni NKRI.
Kita tahu dan biasanya. Tanggal 1 Desember bagi orang Papua OPM adalah hari penting dan terus diperingati setiap tahun. Momen bersejarah 1 Desember 1961 untuk kali pertama Parlemen Papua Barat, pemerintahan Belanda, mengibarkan bendera Bintang Kejora. Oleh OPM diartikan sebagai simbol pengakuan status berdirinya negara Papua Barat. Padahal Nicolaas Jouwe sang pembuat bendera Bintang Kejora itu dan merupakan salah satu anggota Dewan New Guinea (Nieuw Guinea Raad) Bentukan Belanda. Semua itu jelas buatan Belanda. Setelah PBB mendukung Kedaulatan dan Integritas wilayah Indonesia atas Papua dia kembali mengabdi untuk NKRI. PBB mengakui Kedaulatan dan Integritas Status Final Papua di dalam Indonesia berdasarkan UTI POSSIDETI IURIS, NY Agreement 1962, Act of Free Choice 1969, dan resolusi GA PBB 2504 (XXIV) 1969. Berdasarkan fakta inilah kemudian Nicolaas Jouwe dan Nicolaas Messet kembali ke pangkuan NKRI. Karena Belanda sendiri mengakui integritas NKRI atas Papua. Kita berharap aparat yang menangani masalah ke amanan tidak lengah dengan momen gerakan bulan Desember OPM.
Peristiwa September 2019 di Wamena yang terjadi 23 September lalu, kembali kita diingatkan bahwa kerusuhan yang menewaskan puluhan orang dan menjadikan banyak warga pendatang memilih mengungsi ke Jayapura atau kembali ke kampung halaman-dipicu oleh berita penghinaan berbau rasialis seorang guru pendatang kepada muridnya yang orang asli Papua (OAP). Narasi rasialisme yang kemudian di mamfaatkan OPM dalam gerakan separatism nya “mampu” memicu kemarahan sebagian OAP dan mengakibatkan kerusuhan. Pembunuhan terhadap warga pendatang dan perusakan rumah dan fasilitas umum. Suatu tindakan yang sebenarnya bisa dibaca oleh aparat pengamanan kalau mereka bisa membaca eskalasi yang dikaitkan dengan peristiwa Sidang Umum PBB pada bulan sama. Tetapi hal itulah yang sangat di sayangkan, para pengelola keamanan wilayah tidak peka dengan situasi yang berkembang di sekitar mereka. Mereka kurang peka dengan gerakan OPM.
Maunya OPM krisis di Wamena dapat dimanfaat kan demi keuntungan perjua ngan mereka. Kerusuhan tersebut dinarasikan publik secara sederhana sebagai sebuah konflik antara OAP dengan pendatang. Pemi cunya karena kesenjangan dan marginalisasi OAP selama ini. Narasi ini secara tidak langsung melanggeng kan stigma bernuansa rasialis bahwa OAP identik dengan kejahatan dan kekerasan. Untungnya Peme rintah kemudian membuat membuat konter-narasi. Pemerintah membantah adanya konflik OAP dan pendatang dan mengatakan hubungan antara pendatang dengan OAP tidak ada permasalahan dan tetap harmonis. Hal ini bisa dibuktikan karena dari berbagai berita yang berkembang banyak kasus memperlihatkan, justeru OAP yang melindungi dan menyelamatkan para pendatang dari amuk masa. Pemerintah memperlihatkan dan sekaligus menuduh OPM dan kelompok Benny Wenda sebagai aktor kerusuhan di Wamena ini demi siding Umum PBB pada waktu yang sama.
Membangun Papua Dan Kemiskinan OAP
Masalah Papua harus dilihat lebih dahulu dari persoalan kemiskinan. Bahwa kemiskinan itu ada dan sangat kental pada OAP tidak lepas dari kondisi riel wilayah Papua, yang selama ini memang masih terisolasi. Isolasi telah menjadikan warga OAP tidak mampu beradaptasi. Ironisnya, karena semua perangkat pembangunan yang seharusnya bisa mereka manfaatkan di wilayah sekitar mereka, justeru jadi sumber kehidupan baru yang lebih baik bagi para pendatang.
Kehidupan OAP masyarakat Papua masih bersifat “nomaden” bertumpu pada pola hidup berburu, meramu dan berladang berpindah. Kentalnya akar budaya subsistem membuat masyarakat Papua sulit mengadopsi model ekonomi pasar. Secara tradisional, tipe pemukiman masyarakat Papua dapat dibagi kedalam 4 kelompok dimana setiap tipe mempunyai corak kehidupan sosial ekonomi dan budaya tersendiri. Penduduk pesisir pantai; Penduduk ini mata pencaharian utama sebagai Nelayan disamping berkebun dan meramu sagu yang disesuaikan dengan lingkungan pemukiman itu. Komunikasi dengan kota dan masyarakat luar sudah tidak asing bagi mereka. Penduduk pedalaman yang mendiami dataran rendah; Mereka termasuk peramu sagu, berkebun, menangkap ikan di sungai, berburu dihutan disekeliling lingkungannya. Mereka senang mengembara dalam kelompok kecil. Mereka ada yang mendiami tanah kering dan ada yang mendiami rawa dan payau serta sepanjang aliran sungai. Adat Istiadat mereka ketat dan selalu mencurigai pendatang baru. Penduduk pegunungan yang mendiami lembah; Mereka bercocok tanam, dan memelihara babi sebagai ternak utama, kadang kala mereka berburu dan memetik hasil dari hutan. Pola pemukimannya tetap secara berkelompok, Adat istiadat dijalankan secara ketat dengan “Pesta Babi” sebagai simbolnya. Ketat dalam memegang dan menepati janji. Pembalasan dendam merupakan suatu tindakan heroisme dalam mencari keseimbangan sosial melalui “Perang Suku” yang dapat diibaratkan sebagai pertandingan atau kompetisi. dan Penduduk pegunungan yang mendiami lereng-lereng gunung; mereka memilih lokasi perkampungan yang bisa memberikan mereka rasa aman. Mereka memilih tempat ketinggian agar bisa melihat setiap orang yang datang. Mereka menempati tempat yang strategis terhadap jangkauan musuh, mereka ingin sedini mungkin dapat mendeteksi setiap makhluk hidup yang mendekati pemukiman mereka. Adat istiadat mereka sangat ketat, sebagian masih “KANIBAL” dan bunuh diri merupakan tindakan terpuji bila melanggar adat karena akan menghindarkan bencana dari seluruh kelompok masyarakatnya. Perang suku merupakan aktivitas untuk pencari keseimbangan sosial, dan curiga pada orang asing cukup tinggi juga.
Pemerintah memberikan Papua dengan Otonomi khusus, tetapi implementasinya ternyata tidak semudah yang di duga. Birokrasi dan anggarannya jlimet dan susah di implementasikan. Pemerintah Jokowi-JK kemudian mengambil alih Free Port, mulai membangun infrastruktur konektivitas di Papua. Trans Papua bisa membuka Isolasi. Harga BBM jadi satu, serta berbagai infrastruktur lainnya yang bisa mengembangkan potensi ekonomi Papua secara keseluruhan. Semua ini akan dengan segara bergayut kalau saja warga OAP nya sudah siap. Persoalannya, mereka belum berada pada tataran yang bisa berbaur dan bisa menjadi bagian dari perkembangan ekonomi yang terjadi di lingkungan mereka. Mereka masih berada di dalam pusaran kemiskinan itu sendiri.
Seperti apa sih karakter kemiskinan di tanah Papua itu ?[1] Menurut Dr Dirk, karakter kemiskinan di setiap tempat berbeda. Hal ini sangat tergantung dengan sumber dari kemiskinan itu sendiri. Sumber kemiskinan ada tiga jenis, keadaan alam, tingkat struktural sosial dan budaya. Karakter kemiskinan di Papua bersumber dari kultural atau budaya. Di Papua nilai sosial jauh lebih tinggi dari nilai ekonomi. Hampir setiap rumah di Papua bukan berisi keluarga INTI, yaitu bapak, ibu dan anak. Setiap rumah berisi keluarga besar. Akhirnya gaji (pendapatan) tidak cukup untuk kebutuhan sebulan. Sistem budaya mengkondisikan bapa ade, ipar, mertua tinggal bersama; belum lagi acara adat yang melibatkan seluruh keluarga besar dengan biaya yang besar juga. Hasil pertanian yang seharusnya memiliki nilai ekonomi yang besar, akhirnya menjadi tidak berharga, karena kekerabatan hasil pertanian harus dibagi bagikan secara kekeluargaan. Akhirnya tidak ada pendapatan yang tetap dari masyarakat yang mampu memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Di daerah perkotaan Papua, ada orang kaya, ada orang menengah, ada orang miskin. Kemiskinan lebih disebabkan oleh struktural, misalnya tingkat pendidikan yang menyebabkan perbedaan pekerjaan, yang mengakibatkan tingkat penggajian berbeda. UMR Papua yang sangat minim menyebabkab banyaknya orang miskin baru, khususnya di daerah perkotaan. Namun khusus orang papua asli, kombinasi dari struktural dan cultural, namun jika dikatakan 80 persen miskin absolut tentu tidak. Kita dapat menilai dari indikatornya.
Menjadi orang Papua miskin di pegunungan tentu lebih sederhana bila dibandingkan dengan orang Papua miskin di daerah perkotaan. Sebab meski tidak punya uang di pegunungan sepertinya tidak jadi persoalan. Karena yang jualan juga tidak ada. Berbeda dengan di Kota, semua serba harus beli. Bisa anda bayangkan hidup di kota tanpa uang di tangan. Untuk sekedar makan masih bisalah ngutang di warung tetangga, tetapi begitu ada yang sakit atau dapat musibah? Dunia jadi gelap. Untung sekarang di era Jokowi-JK sudah ada BPJS, sudah ada kartu Pintar dan Kartu Sehat. Masalah seperti ini tentu berlaku di kota-kota seluruh Indonesia. Kalau di Bandung atau Jakarta, mereka masih bisa cari uang kontan lewat apa saja; misalnya jadi tukang pacul musiman. Mereka bawa pacul dan pergi ke kota, ada saja yang memerlukan jasanya. Satu minggu kemudian pulang ke kampungnya dan bawa uang.
Intinya sesungguhnya warga miskin itu perlu pekerjaan yang selalu bisa memberi mereka penghasilan, misalnya punya kebun karet. Kebun karet adalah ATM di perdesaan. Pagi mereka menyadap karet, siangnya sudah dapat uang. Apakah susah memberikan kebun karet pada warga Papua? Tanah luas, dana operasional ada dana Otsus ada. Buat pola Transmigrasi; tapi khusus orang lokal. Sediakan lahan @ dua hektar, siapkan lahannya, buatkan rumahnya; sediakan bibit; sediakan obat hama dan berikan mereka kebutuhan hidup selama satu tahun. Maka mereka akan jadi tuan bagi diri mereka sendiri. Apakah Pemda tidak bisa membuatkan mereka modal seperti ini? Sementara untuk anak-anak mereka diberikan kartu pintar dan kartu kesehatan ala Jokowi. Sungguh membangun negeri ini sebenarnya tidaklah susah. Pemda bisa melakukan itu. Hanya saja pemda sering berpikirnya lain.
[1] Saya lalu ingat klipping saya tentang kemis kinan di Papua. Pada tahun 2008 ada wawancara wartawati Jubi Angle Flassy dengan Dr Dirk Veplum, MS . Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Cendera wasih tentang bagaimana karakter kemiskinan di tanah Papua dan hemat saya masih relevan untuk dipergunakan.
Pembiaran Berlanjutnya Kemiskinan
Berkaca Pada Budaya Proposal Ala Papua. Di sisi lain hal yang memprihatinkan dari Otonomi daerah bisa juga didengarkan dari penuturan Gubernur Papua Lukas Enembe SIP, MH; menurutnya masyarakat Papua masih hidup dalam kemiskinan dan ketergantungan, mereka belum bisa menolong dirinya sendiri. Kemam puan mereka hidup sangat bergantung dari kebijakan pemerintah baik pusat, maupun daerah dalam hal ini provinsi dan kabupaten/kota.
Perubahan baru yang sangat merisaukan adalah “ cara hidup masyarakat Papua hidup dengan budaya proposal ”. Budaya proposal sudah menjadi budaya baru, “sehingga setiap kepemimpinan pasti selalu memiliki pengalaman yang sama. Karena itu, pada awal kepemimpinannya pada periode kedua dia telah membakar kurang lebih 20 ribu proposal yang telah dimasukan ke Pemerintah Provinsi Papua,” Ungkap Gubernur dalam sambutan tertulis yang disampaikan Asisten Bidang Umum Sekda Papua, Recky Ambrauw, pada pembukaan Musyawarah Daerah I Jaringan Aksi Perubahan Indonesia (JAPI), Rabu (2/10/2013) di Diklat Sosial Abepura waktu itu.
Gubernur menuturkan, keputusannya untuk membakar seluruh proposal tersebut sudah melalui perang bathin yang luar biasa dalam hatinya. Gubernur berdoa pada Tuhan meminta kekuatan agar dapat menyelamatkan masyarakat Papua sehingga mereka terbebas dari rasa ketergantungan yang tinggi terhadap kebijakan pemerintah, yang pada akhirnya akan menyusahkan dan melemahkan kekuatan dirinya. ‘’Keinginan saya adalah masyarakat Papua dapat keluar dari ketergantungan terhadap kebijakan pemerintah, menggali dan mengelola potensi yang ada pada mereka dan sekitar mereka agar dapat bermanfaat bagi kehidupann mereka,’’ Ujarnya waktu itu.
Dikatakannya, Tanah Papua adalah surga yang jatuh di bumi, hitam kulit keriting rambut adalah kebanggaan dan kekuatan kami, dan ini adalah anugerah dari Tuhan yang maha kuasa untuk kita syukuri dan kita Jaga. Lanjutnya, Kenapa kehidupan di Papua yang ibarat surga tersebut tidak memberikan manfaat yang berarti bagi masyarakat, sehingga melemahkan semangat hidup mereka dan menciptakan berbagai kultur yang baru yang terangkat dari sebuah ketidak seriusan mereka dalam menghargai dan menjaga identitas dirinya sebagai masyarakat bangsa dan Negara yang pluralistik ini.
Kata Enembe, berat memang untuk mengubah kultur yang seperti ini yang kesemuanya penuh ketergantungan, tapi saya tetap akan bekerja keras selama masa kepemimpinan saya agar masyarakat Papua dapat Bangkit dan Mandiri serta Sejahtera. Harapan ini tidak muluk-muluk sebab banyak langkah konkrit dan strategis yang sedang kami perjuangkan dan laksanakan sesuai dengan visi misi kami Papua Bangkit Mandiri dan Sejahtera. “Saya selalu mengingatkan kepada semua komponen masyarakat di Papua, baik aparatur pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, adat serta komponen lainnya untuk selalu kita bekerja dengan hati, dengan penuh kerendahan serta jujur maka tuhan akan memberkati masyarakat dan tanah ini sehingga kita akan melihat dan merasakan satu tanda heran kepada tanda heran lainnya,”tambahnya.
Sebenarnya sudah banyak Tokok OPM yang kembali ke pangkuan NKRI. Beberapa diantara nya sebuatlah Nico laas Jouwe dan Nick Messet. Nicolaas Jouwe adalah tokoh pembuat bendera bintang Kejora dan anggota Dewan New Guinea (Nieuw Guinea Raad) bentukan Belanda. Dia termasuk tokoh yang mengi barkan bendera itu pada1 Desember 1961. Dan peris tiwa inilah yang menjadi dasar klaim pemimpin OPM Papua sekarang bahwa negara Papua pernah ada. Coba dimana logikanya, Belanda sendiri yang disebut memberikan kemerdekaan pada OPM, ternyata mengakui bahwa Papua adalah bagian sah dan final dari NKRI berdasarkan UTI POSSIDETI IURIS, NY Agreement 1962, Act of Free Choice 1969, dan resolusi GA PBB 2504 (XXIV) 1969. Nicolaas Jouwe setelah berjuang untuk OPM selama hidupnya lebih dari 50 tahun. Tohk di ujung hidupnya dia menyadari kekeluarannya dan kembali ke pangkuan NKRI.
Nicolaas Messet atau Nick Messet adalah mantan Menteri Luar Negeri Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang juga memilih pulang setelah 40 tahun berjuang demi Papua Merdeka. Sebagai putra asli Papua, Nick Messet adalah seorang pilot berdarah Papua pertama, lulusan Cessnock, New South Wales, Australia yang bekerja untuk maskapai Papua Nugini. Ayahnya adalah Bupati Jayapura periode 1976-1982.
Nick Messet meninggalkan Papua di tahun 1960-an. Ketika dia merasakan kehadiran orang Indonesia di wilayah Papua adalah sebuah kesalahan.”Dia berjuang untuk kemerdekaan Papua dari luar negeri selama lebih dari 40 tahun. Menurutnya hasilnya tidak ada. Setiap Negara yang dia minta dukungannya untuk Papua Merdeka. Semua negara selalu bilang kalau Papua itu bagian yang sah dari Indonesia. Hal itulah kemudian yang membuat ia kembali ke Indonesia dan membangun Papua di dalam bingkai NKRI. Karena dia melihat hal seperti itu sudah jalan. Satu-satunya jalan ya harus berjuang dan bekerjasama dengan Indonesia. Cara inilah yang paling logis untuk memperbaiki kehidupan, kesejahteraan sosial warga asli Papua,” kata Nicholas Messet.
Dari dua tokoh ini saya lalu berharap alangkah hebatnya
Papua, kalau mereka yang menamakan dirinya sebagai OPM mau membangun daerahnya
kembali dalam satu kesatuan dengan NKRI. Orang asli papua membu tuhkan para
pejuang yang mampu memberikan mereka tauladan dan semangat kerja nyata dan
mampu mengang kat derajat mereka menjadi warga yang berhasil, sukses serta
mampu menghidupi keluarganya sendiri.